• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Keberadaan Larva Aedes sp. pada Container Non Tempat Penampungan Air Antara RW 03 dan RW 07 Kelurahan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbandingan Keberadaan Larva Aedes sp. pada Container Non Tempat Penampungan Air Antara RW 03 dan RW 07 Kelurahan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Perbandingan Keberadaan Larva Aedes sp.

pada Container Non Tempat Penampungan Air

Antara RW 03 dan RW 07 Kelurahan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat

Denisa Prahajna* dan Rawina Winita**

*Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia **Staf Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

E-mail: prade_nisa@yahoo.co.id

Abstrak

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dengan nyamuk Aedes sp. sebagai vektornya. Jumlah kasus DBD masih tinggi di Kelurahan Cempaka Putih Barat Jakarta Pusat sehingga perlu dilakukan pengendalian vektor virus dengue dengan memberantas tempat yang berpotensi menjadi sarang nyamuk, antara lain container non-TPA. Penelitian yang menggunakan desain cross sectional ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran jenis container non-TPA dan keberadaan larva Aedes sp. pada

container non-TPA di wilayah dengan karakteristik pemukiman yang tidak padat (RW 03)

dan padat (RW 07). Di setiap 100 rumah warga RW 03 dan RW 07, dilakukan single larval

method pada container non-TPA. Di RW 03 ditemukan 70 container, terdiri dari dua belas

jenis, dengan container terbanyak kolam/akuarium dan larva paling banyak ditemukan di penampungan air dispenser. Sedangkan, di RW 07 ditemukan 53 container, terdiri dari sembilan jenis, dengan container terbanyak penampungan air dispenser dan larva paling banyak ditemukan di kaleng bekas. Container non-TPA lebih banyak ditemukan di RW 03, namun container non-TPA positif larva lebih banyak di RW 07 (22,64%) daripada di RW 03 (5,71%) secara bermakna (p=0,006). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan keberadaan larva Aedes sp. pada container non-TPA antara RW 03 dan RW 07 Kelurahan Cempaka Putih Barat.

Kata kunci : Cempaka Putih Barat; container non-TPA; demam berdarah dengue; larva Aedes

sp.; RW 03; RW 07.

Abstract

Dengue Hemorrhage Fever (DHF) is a disease caused by dengue virus carried by Aedes sp. as the vector. DHF cases in West Cempaka Putih, Central Jakarta are considerably high so it is important to extirpate the potential vector breeding places, such as non-water-reservoir containers. This cross-sectional study aimed to identify the distribution of reservoir containers and the existence of Aedes sp. larval at non-water-reservoir containers in two locations with different characteristic, mainly sparse (RW 03) and dense settlements (RW 07). The single larval method was applied at 100 houses each for RW 03 and 07. In RW 03, there were 70 containers from twelve different types with pool/aquarium as the most frequent type of containers found and larval were mostly found in water dispenser reservoirs. In RW 07, there were 53 containers from nine different types with water dispenser reservoir as the most common type of containers found and larval were mostly found in used cans. In conclusion, the number of containers with larval found in RW

(2)

07 (22,64%) is higher than in RW 03 (5,71%), despite the presence of more non-water-reservoir containers found in RW 03, and the difference is statistically significant (p=0.006). Keywords: Aedes sp. larval; dengue hemorrhagic fever; non-water-reservoir container; RW 03; RW 07; West Cempaka Putih.

Pendahuluan

Dengue, demam yang pada umumnya tidak mematikan tetapi dapat melemahkan tubuh (“breakbone disease”), merupakan penyakit karena virus yang diperantarai oleh nyamuk sehingga sangat sering terjadi pada manusia.1 Diperkirakan bahwa sekitar 50 juta kasus infeksi dengue terjadi di dunia setiap tahun.2 Walaupun demikian, 75% dari kasus

dunia tersebut terjadi di daerah Asia Tenggara dan Pasifik Barat sehingga dengue menjadi penyakit endemik di negara tropis dan subtropis.1,2 Di antara 50-100 juta kasus demam

dengue di dunia, terdapat 500.000 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dapat menyebabkan kematian sebanyak lebih dari 20.000 kasus setiap tahun. Penyakit DBD ini disebabkan oleh virus dengue yang ditransmisikan dari manusia ke manusia oleh populasi nyamuk, terutama Aedes aegypti, yang mendapatkan makanan hanya dari manusia.1 Indikator adanya populasi nyamuk Aedes aegypti tersebut di suatu daerah adalah keberadaan larva

Aedes aegypti pada tempat yang berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk di daerah

tersebut.3,4

Indonesia merupakan wilayah endemis DBD dengan sebaran hampir mencakup seluruh wilayah yang ada. Angka kejadian DBD di Indonesia pun juga tinggi dengan jumlah kasus antara enam hingga lima belas per 100.000 penduduk.5 Sebagai ibukota negara, provinsi DKI Jakarta memiliki mobilitas dan kepadatan penduduk yang tinggi sehingga penyakit DBD dapat menjadi salah satu masalah kesehatan lingkungan yang jumlah penderitanya akan meningkat dan daerah penyebarannya akan semakin luas.3 Hal tersebut terlihat pada tahun 2010 di mana terjadi peningkatan kasus DBD dan kematian akibat DBD, yaitu 1514 kasus dengan tidak ada yang meninggal pada bulan Januari, 1845 kasus dengan dua orang meninggal pada bulan Februari, dan 2560 kasus dengan tiga orang meninggal pada bulan Maret.6

Berdasarkan jumlah kasus DBD yang terjadi, Jakarta Pusat menduduki urutan ke-5 di antara keenam wilayah administrasi provinsi DKI Jakarta, yaitu dengan 954 kasus, namun, Jakarta Pusat memiliki zona merah terbanyak, yaitu 27 kelurahan, di mana zona merah adalah daerah yang dalam tiga minggu berturut-turut terdapat tiga pasien DBD per minggu atau

(3)

dalam tiga minggu pengawasan terdapat lebih dari dan sama dengan sembilan penderita DBD atau dalam tiga minggu pengamatan terdapat pasien meninggal karena DBD.6 Di antara zona merah di Jakarta Pusat tersebut, kasus DBD tertinggi ke-3 sejak Januari hingga April 2010 adalah di Kecamatan Cempaka Putih dengan 107 kasus.7 Kelurahan di Cempaka Putih yang mengalami kasus DBD yang tinggi sehingga tetap terdaftar sebagai zona merah hingga tahun 2010 adalah Cempaka Putih Barat, Cempaka Putih Timur, dan Rawasari.8,9 Angka kejadian DBD di Kelurahan Cempaka Putih Barat sendiri pada tahun 2009 cukup tinggi, di mana terdapat 100 orang penderita DBD yang tersebar di 13 RW, dengan 38 orang penderita berasal dari RW 03 dan 15 orang penderita berasal dari RW 07.

Cara yang terbaik untuk menanggulangi penyakit DBD di daerah Cempaka Putih Barat tersebut adalah dengan mengendalikan vektor virus dengue, yaitu Aedes aegypti, karena hingga saat ini belum ditemukan obat atau vaksin untuk DBD.3,4 Salah satu upaya untuk mengendalikan vektor virus penyebab DBD tersebut adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk sehingga perlu diketahui tempat yang optimal bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak dan hidup. Salah satu tempat potensial tersebut adalah container non-TPA (Tempat Penampungan Air). Adanya kehidupan nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di jenis container ini umumnya tidak disadari masyarakat karena wadah ini tidak diperlukan untuk keperluan sehari-hari, seperti vas bunga, ban bekas, botol bekas, tempat minum burung, tempat sampah dan lain-lain.4,10,11

Karakteristik pemukiman penduduk antara RW 03 dan 07 terlihat berbeda, di mana secara umum ukuran rumah penduduk RW 03 lebih besar daripada RW 07 sehingga jarak antar rumah pun lebih jarang. Perbedaan karakteristik pemukiman penduduk tersebut dapat mempengaruhi jenis container non-TPA yang banyak terdapat di daerah tersebut sehingga ingin diketahui apakah terdapat perbedaan keberadaan larva Aedes sp. pada container non-TPA antara kedua RW tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan survei entomologi untuk mengetahui penyebaran jenis container non-TPA dan keberadaan larva Aedes sp. pada

container non-TPA di Kelurahan Cempaka Putih Barat, khususnya di RW 03 dan RW 07,

yang kemudian dapat dijadikan sebagai dasar pengendalian vektor DBD.

Tinjauan Pustaka

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit akut akibat infeksi oleh virus dengue yang menular secara tidak langsung melalui gigitan nyamuk Aedes sp., terutama

(4)

Aedes albopictus betina juga berpotensi membawa virus dengue namun hidup dan

berkembang biak di kebun-kebun sehingga jarang terjadi kontak dengan manusia.3,12 Baik

Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan nyamuk yang bermetamorfosis secara

sempurna selama sekitar tujuh hingga lima belas hari.10,13 Keempat fase yang dialami selama proses metamorfosis tersebut adalah telur, larva (jentik), pupa (kepompong), yang ketiganya hidup di dalam air, hingga nyamuk dewasa telah aktif hidup di luar air dengan terbang untuk mencari darah sebagai makanannya.10,14,15 Nyamuk Ae. Aegypti maupun Ae.albopictus betina memiliki kebiasaan menghisap darah lebih dari satu kali terhadap lebih dari satu orang dalam satu siklus gonotropiknya (multiple bites) dengan puncak aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00.14,16,17 Setelah menggigit dan menghisap darah, nyamuk akan beristirahat di tempat yang tinggi kelembabannya dan kurang pencahayaannya, serta pada tumpukan benda atau benda-benda yang bergantung di dalam rumah.14,15,18,19 Selain kebiasaan menggigit dan beristirahat, nyamuk Aedes sp. juga memiliki kebiasaan terbang yang dapat mencapai hingga jarak 40 atau 50 meter dengan ketinggian 100-200 meter.10,19

Sampai saat ini obat atau vaksin untuk menangani penyakit DBD yang bersifat endemis di Indonesia ini belum ditemukan sehingga yang dapat dilakukan adalah mencegah terjadinya rantai penularan dengan mengendalikan vektor virus penyebab DBD tersebut.11 Salah satunya adalah dengan memberantas sarang nyamuk yang merupakan tempat yang disukai nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat perindukannya, yaitu di genangan air jernih yang tertampung dalam wadah yang disebut container.10,11,15,17,19 Nyamuk betina sering

menempatkan telurnya di atas permukaan air pada dinding bagian dalam container yang berisi hanya dengan sedikit air dan yang tidak tersinari secara langsung oleh matahari.10 Namun, nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung bersentuhan dengan tanah.16,19 Salah satu tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan nyamuk tersebut adalah container non-TPA yang merupakan container yang tidak digunakan sehari-hari tetapi dapat menampung air, seperti tempat minum hewan peliharaan, barang bekas (ban, kaleng, botol, pecahan piring/gelas, plastik), vas atau pot bunga, tempat sampah, perangkap semut dan lain-lain.4,10,14,19,20

Selain jenis container, keberadaan larva Aedes aegypti juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bahan dan warna tempat penampungan air. Pada fase larva atau pupa, nyamuk Aedes aegypti lebih banyak ditemukan pada TPA yang terbuat dari logam, tanah liat, semen, plastik, dan paling sedikit di keramik.10,14,21 Hal tersebut dapat terjadi karena adanya ketersediaan makanan larva, yaitu mikroorganisme, yang lebih mudah tumbuh pada TPA berdinding kasar seperti logam, semen, tanah liat dan lebih sulit tumbuh pada TPA berdinding

(5)

licin seperti keramik.21 Di samping itu, nyamuk Aedes aegypti juga lebih tertarik untuk

meletakkan telurnya pada tempat penampungan air yang berwarna gelap, terutama warna hitam, yang terbuka lebar tetapi terlindung dari sinar matahari langsung.21 Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberadaan larva Aedes aegypti adalah kelembaban udara, di mana kelembaban udara yang tinggi, yaitu 40%-70%, dapat meningkatan kebiasaan menggigit nyamuk.3,10,16,22 Dengan adanya faktor biotik, seperti ikan pemakan jentik (Aplocheilus

panchax, Gambusia affinis, ikan cupang), parasit kelompok Copepoda seperti Mesocyclops aspericornis, makanan yang berinteraksi dalam container, dan kandungan air pada container,

seperti bahan organik, komunitas mikroba, dan serangga air juga dapat mempengaruhi keberadaan larva Aedes aegypti .10,23,24

Metode Penelitian

Penelitian dengan desain cross sectional ini dilaksanakan di RW 03 dan RW 07 Kelurahan Cempaka Putih Barat, Kecamatan Cempaka Putih, Kotamadya Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 28 Maret 2010. Kedua RW tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan karakteristik pemukiman penduduk yang lebih kurang homogen di antara 13 RW yang tersebar di Kelurahan Cempaka Putih Barat, di mana karakteristik pemukiman di RW 03 tidak padat karena secara umum berukuran besar dan jarak antar rumah yang jarang, sedangkan karakteristik pemukiman di RW 07 padat karena secara umum berukuran sederhana dan jarak antar rumah yang dekat. Subyek pada penelitian ini ialah container non-TPA, baik yang terletak di dalam maupun di luar rumah serta berisi larva nyamuk Aedes sp. maupun tidak, pada masing-masing 100 rumah warga25 (sesuai dengan jumlah rumah yang direkomendasikan WHO untuk survei entomologi) di RW 03 dan RW 07 Kelurahan Cempaka Putih Barat tersebut. Sampel penelitian diperoleh dengan single larval method, yaitu dengan mengambil satu larva di setiap container26 non-TPA positif larva di setiap rumah yang ditentukan dengan metode two stage cluster sampling. Dengan diketahuinya variabel bebas pada penelitian ini, yaitu container non-TPA di RW 03 dan RW 07 dapat diketahui pula keberadaan larva Aedes sp. sebagai variabel terikatnya.

Langkah awal untuk memperoleh data adalah dengan mengobservasi seluruh

container yang ada di dalam maupun di luar rumah penduduk yang terpilih, apakah terdapat

larva nyamuk atau tidak dengan senter. Jika terdapat larva, larva tersebut diambil dari

container dengan pipet kecil, jika volume container kecil, atau dengan pipet besar jika

(6)

derajat ke arah kumpulan larva. Larva yang telah diambil dipindahkan ke dalam botol kecil yang telah diberi kertas label untuk penomoran container agar tidak tertukar dengan sampel larva dari container yang lain. Semua data mengenai seluruh container pada satu rumah, baik positif larva maupun tidak, dimasukkan pada formulir survei. Setelah larva dari setiap

container berhasil dikumpulkan, larva diidentifikasi di Laboratorium Departemen Parasitologi

FKUI. Langkah pertama yang dilakukan adalah mematikan larva nyamuk di dalam botol kecilnya dengan air panas. Kemudian, larva diambil dengan pipet kecil dan diletakkan di

object glass dengan posisi yang lurus supaya mudah diidentifikasi. Larva nyamuk yang telah

ada di object glass tersebut ditutup dengan cover glass dan kemudian diidentifikasi di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x40. Larva Aedes aegypti dapat diidentifikasi dengan duri lateral yang berkembang dengan baik pada gigi sisir di segmen abdomen ke-7, sedangkan larva Aedes albopictus dapat diidentifikasi dengan gigi pecten yang pendek, kuat, dan tidak/memiliki gerigi, serta berukuran sama besar/lebih kecil pada pangkal sifon daripada ujung sifon.27,28 Hasil identifikasi larva ini dicatat dan dimasukkan ke dalam formulir survei.

Kemudian, data yang telah tercatat ini dianalisis dengan uji chi square pada SPSS for

Windows versi 16 untuk melihat ada tidaknya perbedaan bermakna antara container non-TPA

positif larva Aedes sp. kedua RW.

Hasil Penelitian

Data Umum

Jakarta Pusat merupakan salah satu kotamadya dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang memiliki luas wilayah 47,90 kilometer persegi. Dari 8 kecamatan, salah satu kecamatan di Jakarta Pusat yang termasuk kategori zona merah adalah Kecamatan Cempaka Putih karena angka kejadian DBD di Kelurahan Rawasari, Cempaka Putih Timur dan Cempaka Putih Barat masih tinggi.

Kelurahan Cempaka Putih Barat terdiri dari 8.889 Kepala Keluarga, 35.474 jiwa, 13 Rukun Warga, dan 151 Rukun Tetangga yang tersebar di wilayah yang luasnya 1,22 kilometer persegi atau sekitar 121,87 hektar. Kelurahan Cempaka Putih Barat berbatasan dengan Jl. Letjen Soeprapto di sebelah utara, Jl. Percetakan Negara dan Kelurahan Rawasari di sebelah selatan, Jl. Pangkalan Asam, Jl. Mardani Raya, Kelurahan Galur, Kelurahan Johar Baru, Kelurahan Kampung Rawa di sebelah barat, dan Saluran kali utan kayu dan Kelurahan Cempaka Putih Timur di sebelah timur.

(7)

Wilayah RW 03 di Kelurahan Cempaka Putih Barat berbatasan dengan Jl. Letnan Suprapto di sebelah utara, Jl. Cempaka Putih Raya di sebelah selatan, Jl. Cempaka Putih Barat di sebelah barat, dan Kali Utan Kayu di sebelah timur. Sedangkan perbatasan wilayah RW 07 adalah Jl. Cempaka Putih Barat 14 di sebelah utara, Jl. Percetakan Negara di sebelah selatan, Jl. Cempaka Putih Barat di sebelah barat, dan Kali Utan Kayu di sebelah timur.

Data Khusus

Berdasarkan survei entomologi yang dilakukan di 100 rumah terpilih di RW 03, diperoleh empat container yang positif larva Aedes sp. dan 66 container yang tidak ditemukan larva sehingga jumlah container non-TPA yang ditemukan adalah 70 container yang terdiri dari dua belas jenis container. Sedangkan container non-TPA yang diperoleh dari survei yang dilakukan di 100 rumah terpilih di RW 07 terdiri dari sembilan jenis yang berjumlah 53 container dengan rincian 12 container yang positif larva Aedes sp. dan 41

container yang tidak ditemukan larva.

Tabel 1. Sebaran Jenis Container Non-TPA di RW 03 dan RW 07 Kelurahan Cempaka Putih Barat

Jenis Container non-TPA RW 03 RW 07

Alas pot bunga 1 5

Gelas/botol bekas 3 1

Kaleng bekas 3 1

Kolam/akuarium 25 12

Kulkas 1 5

Penampungan air AC 1 0

Penampungan air dispenser 14 20

Saluran air lain 5 1

Talang air 1 0

Tempat minum burung 7 2

Tempat/bak sampah 2 0

Vas/pot bunga 7 6

(8)

Pada tabel 1 di atas, terlihat bahwa jumlah container non-TPA di RW 03 lebih banyak dibandingkan di RW 07, dengan persentase 56,91%. Di samping itu, ditemukan dua belas jenis container non-TPA di RW 03 dan sembilan jenis di RW 07 sehingga jenis container non-TPA di RW 03 lebih banyak daripada RW 07. Namun, sebaran jenis container non-TPA antara kedua RW tersebut tidak jauh berbeda. Di RW 03, tiga jenis container non-TPA yang terbanyak ditemukan adalah kolam/akuarium (35,71%), penampungan air dispenser (20%), dan tempat minum burung bersama dengan vas/pot bunga (10%). Sedangkan tiga jenis

container non-TPA yang paling banyak ditemukan di RW 07 adalah penampungan air

dispenser (37,74%), kolam/akuarium (22,64%), dan vas/pot bunga (11,32%).

Tabel 2. Sebaran Larva Aedes sp. pada Container Non-TPA di RW 03 Kelurahan Cempaka Putih Barat

Jenis Container non-TPA Keberadaan Larva Total Positif Negatif

Alas pot bunga 0 1 1

Gelas/botol bekas 0 3 3

Kaleng bekas 0 3 3

Kolam/akuarium 2 23 25

Kulkas 0 1 1

Penampungan air AC 0 1 1

Penampungan air dispenser 2 12 14

Saluran air lain 0 5 5

Talang air 0 1 1

Tempat minum burung 0 7 7

Tempat/bak sampah 0 2 2

Vas/pot bunga 0 7 7

Total 4 66 70

Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa terdapat dua jenis container non-TPA positif larva yang ditemukan di RW 03 dari dua belas jenis container yang ada, yaitu kolam/akuarium dan penampungan air dispenser.

Di antara 25 kolam/akuarium, 2 container merupakan positif larva Aedes sp. dan 23

container tidak ditemukan larva sehingga persentase kolam/akuarium yang positif larva

(9)

Aedes sp. dan 12 tidak terdapat larva sehingga persentase penampungan air dispenser positif

larva adalah 14,28%. Dengan demikian, di RW 03 ini terdapat empat container positif larva (5,71%) dari tujuh puluh container yang ada dan penampungan air dispenser merupakan jenis

container non-TPA yang paling disukai nyamuk Aedes sp. untuk berkembang biak. Tabel 3. Sebaran Larva Aedes sp. pada Container Non-TPA di RW 07

Kelurahan Cempaka Putih Barat

Jenis Container non-TPA Keberadaan Larva Total Positif Negatif

Alas pot bunga 2 3 5

Gelas/botol bekas 0 1 1

Kaleng bekas 1 0 1

Kolam/akuarium 1 11 12

Kulkas 0 5 5

Penampungan air dispenser 6 14 20

Saluran air lain 0 1 1

Tempat minum burung 1 1 2

Vas/pot bunga 1 5 6

Total 12 41 53

Berdasarkan tabel 3 di atas, dari sembilan jenis container yang ditemukan di RW 07 terdapat enam jenis container non-TPA positif larva, yaitu alas pot bunga, kaleng bekas, kolam/akuarium, penampungan air dispenser, tempat minum burung, dan vas/pot bunga.

Pada lima alas pot bunga yang ditemukan, terdapat dua container positif larva (40%). Larva Aedes sp. juga terdapat pada satu kaleng bekas dari satu yang ditemukan (100%). Selain itu, dari dua belas kolam/akuarium yang ada di RW 07 ini terdapat satu container positif larva (8,33%). Penampungan air dispenser juga menjadi container positif larva dengan jumlah enam dari dua puluh container yang ditemukan (30%). Container non-TPA lainnya yang juga ditemukan larva adalah tempat minum burung dengan jumlah satu positif larva dari dua container yang ada (50%) dan satu vas/pot bunga positif larva dari enam container yang ditemukan (16,67%). Dengan demikian, jumlah container non-TPA positif larva di RW 07 ini adalah sebanyak dua belas dari 53 container yang ditemukan (22,64%) dengan kaleng bekas merupakan container non-TPA yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di RW 07.

(10)

Tabel 4. Keberadaan Larva Aedes sp. pada Container non-TPA di Kelurahan Cempaka Putih Barat

Daerah Positif Negatif Uji kemaknaan

RW 03 4 66 Chi square

RW 07 12 41 p = 0,006

Persentase container non-TPA positif larva di RW 03 adalah5,71%, sedangkan di RW 07 adalah 22,64%. Dengan demikian, container non-TPA positif larva Aedes sp. di RW 07 lebih banyak daripada di RW 03. Perbedaan antara RW 03 dan RW 07 tersebut juga dibuktikan dengan nilai p yang diperoleh pada uji Chi Square, yaitu 0,006 (tabel 4) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara RW 03 dan RW 07 dimana

container non-TPA positif larva Aedes sp. di RW 07 lebih banyak daripada di RW 03.

Pembahasan

Hasil penelitian yang dilakukan dengan survei entomologi ini menunjukkan bahwa jumlah container non-TPA yang ditemukan di RW 03 (70 container) lebih banyak daripada di RW 07 (53 container). Perbedaan jumlah container tersebut didukung dengan ukuran rumah yang pada umumnya lebih besar di RW 03 sehingga memungkinkan semakin banyaknya ketersediaan wadah non-TPA. Namun, terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal jumlah

container non-TPA positif larva antara kedua RW tersebut. Container non-TPA positif larva

di RW 07 (22,64%) lebih banyak daripada di RW 03 (5,71%) yang menunjukkan bahwa larva

Aedes sp. lebih banyak tersebar di RW 07 daripada di RW 03. Berdasarkan hasil penelitian

tersebut, keberadaan larva Aedes sp. tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah container non-TPA. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi keberadaan larva Aedes sp., yaitu kepadatan penduduk. Wilayah RW 07 terlihat lebih padat penduduknya yang ditandai dengan jarak antar rumah yang saling berdekatan sehingga nyamuk dapat menemukan container lain hanya dengan terbang sejauh 30-50 meter. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Suyasa ING,dkk di Denpasar Selatan pada tahun 2008 yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan keberadaan vektor DBD.4 Selain kepadatan penduduk, faktor yang juga dapat mempengaruhi keberadaan larva

Aedes sp. adalah kelembaban udara. Pemukiman penduduk di RW 07 yang padat

menyebabkan kurangnya sinar matahari yang masuk ke dalam maupun sekitar rumah sehingga kelembaban di RW 07 ini lebih tinggi daripada RW 03 yang jarak antar rumahnya

(11)

jarang. Penelitian yang dilakukan oleh Rahman DA di Kabupaten Blora pada tahun 2010 juga menemukan adanya hubungan bermakna antara resting place yang tinggi kelembabannya dengan kejadian DBD.29 Dengan demikian banyak container non-TPA positif larva yang dapat ditemukan di RW 07.

Selain jumlah container, hasil penelitian ini juga mengidentifikasi sebaran jenis

container non-TPA yang dapat ditemukan di RW 03 dan RW 07. Container non-TPA

terbanyak di RW 03 adalah kolam/akuarium (35,71%), penampungan air dispenser (20%), dan tempat minum burung dan vas/pot bunga (10%), sedangkan di RW 07 adalah penampungan air dispenser (37%), kolam/akuarium (22,22%), dan vas/pot bunga (11,11%). Berdasarkan hasil persentase tersebut, terdapat perbedaan persentase vas/pot bunga di antara kedua wilayah ini, di mana vas/pot bunga lebih banyak ditemukan di RW 07 daripada RW 03. Vas/pot bunga ini merupakan salah satu container non-TPA yang disenangi oleh nyamuk

Aedes sp sehingga keberadaannya dapat mempengaruhi banyaknya jumlah container

non-TPA positif larva yang ditemukan di RW 07. Hubungan antara keberadaan vas/pot bunga dengan keberadaan vektor DBD tersebut juga ditemukan oleh Suyasa ING,dkk4 dalam penelitiannya di Denpasar Selatan pada tahun 2008, yang menjelaskan bahwa genangan air pada pot tanaman hias menjadi tempat nyamuk berkembang biak karena media air yang digunakan sebagai pertumbuhan tanaman tersebut merupakan air bersih. Selain vas/pot bunga, container non-TPA berupa kolam/akuarium juga berbeda persentasenya di antara kedua RW. Akan tetapi, tidak sama halnya dengan vas/pot bunga, kolam/akuarium merupakan container non-TPA yang lebih banyak ditemukan di RW 03 daripada RW 07. Oleh karena itu, container positif larva di RW 07 lebih banyak dibandingkan dengan RW 03 sebab di dalam container kolam/akuarium tersebut terdapat faktor biotik berupa ikan yang dapat memusnahkan larva. Hal ini sesuai dengan saran yang dikemukakan oleh Sungkar S, dkk24 untuk masyarakat di kecamatan Bayah, Provinsi Banten pada tahun 2010 agar menggunakan ikan pemakan jentik, seperti Aplocheilus panchax, Gambusia affinis, ikan cupang, untuk memutus siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. Keberadaan kolam/akuarium ini juga dapat menyebabkan larva Aedes sp. di RW 03 lebih banyak ditemukan di penampungan air dispenser dengan persentase 14,28%, walaupun merupakan container non-TPA terbanyak kedua setelah kolam/akuarium.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa container non-TPA positif larva di RW 03 berjumlah 4 container (5,71%) yang larvanya tersebar di 2 kolam/akuarium dan 2 penampungan air dispenser. Sama halnya dengan RW 03, di mana larva Aedes sp. terdapat pada container terbanyak, container positif larva di RW 07 juga ditemukan pada container

(12)

yang dominan di daerah ini, yaitu berjumlah 12 container (22,64%) yang terdiri dari 2 alas pot bunga, 1 kaleng bekas, 1 kolam/akuarium, 6 penampungan air dispenser, 1 tempat minum burung, dan 1 vas/pot bunga. Dengan demikian, terlihat bahwa keberadaan larva pada berbagai jenis container non-TPA tersebut sesuai dengan jumlah jenis container yang berpotensi menjadi tempat perindukan larva Aedes sp. terbanyak di setiap RW. Akan tetapi, terdapat perbedaan keberadaan larva pada kedua RW yang bermakna secara statistik dengan p=0,006. Selain karena jumlah container positif larva yang lebih banyak, larva Aedes sp. pada container non-TPA di RW 07 yang lebih banyak jika dibandingkan dengan RW 03 ini juga dapat terjadi karena lebih banyaknya jenis container yang positif larva di RW 07 (enam jenis) daripada di RW 03 (dua jenis). Banyaknya jumlah dan jenis container non-TPA positif larva di RW 07 tersebut dapat disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai PSN DBD sehingga tidak dapat melaksanakan program tersebut dengan baik. Sebagai dampaknya, wadah yang dapat menampung air terutama air bersih, seperti alas pot bunga, kolam/akuarium, penampungan air dispenser, tempat minum burung, dan vas/pot bunga, tidak dibersihkan dan diganti airnya dengan rutin. Selain itu, barang yang sudah tidak digunakan lagi seperti kaleng bekas diabaikan di sebarang tempat sehingga menjadi container non-TPA yang paling berpotensi bagi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di RW 07 dengan persentase 100%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rahman DA di Kabupaten Blora pada tahun 2010 yang menemukan adanya hubungan antara keberadaan

breeding place berupa kaleng bekas di luar rumah dengan kejadian DBD.29 Seiring dengan

berjalannya waktu, kaleng bekas tersebut akan terisi oleh air, terutama oleh air hujan. Dengan tidak disadari, kaleng bekas yang telah terisi air tersebut akan menjadi tempat perindukan larva Aedes sp., seperti yang dinyatakan oleh Soegijanto30 bahwa telur, larva, dan pupa nyamuk Aedes aegypti tumbuh dan berkembang di dalam genangan air yang bukan genangan air di tanah.

Jika dibandingkan dengan penampungan air dispenser yang merupakan container non-TPA positif larva terbanyak di RW 03 Kelurahan Cempaka Putih Barat, nyamuk Aedes

aegypti lebih menyukai kaleng bekas yang terdapat di RW 07 karena larva atau pupa nyamuk

paling banyak ditemukan pada container berbahan logam daripada plastik yang pada umumnya dibuat sebagai bahan dasar penampung air dispenser. Selain itu, kaleng bekas biasanya berwarna lebih gelap daripada penampung air dispenser sehingga larva akan lebih banyak dijumpai pada kaleng bekas yang menjadi tempat favorit nyamuk untuk meletakkan telurnya.10,14,21 Faktor-faktor inilah yang dapat menyebabkan container non-TPA positif larva di RW 07 lebih banyak daripada di RW 03 dengan persentase 22,64%.

(13)

Kesimpulan

1. Jumlah container non-TPA di RW 03 adalah 70 container dengan kolam/akuarium merupakan container non-TPA terbanyak, sedangkan jumlah container non-TPA di RW 07 adalah 53 container dengan penampungan air dispenser merupakan container non-TPA terbanyak.

2. Larva Aedes sp. di RW 03 banyak ditemukan di penampungan air dispenser, sedangkan di RW 07 larva Aedes sp. banyak terdapat di kaleng bekas.

3. Container non-TPA positif larva di RW 07 lebih banyak daripada di RW 03 sehingga keberadaan larva Aedes sp. pada container non-TPA di RW 07 lebih tinggi dibandingkan dengan RW 03 Kelurahan Cempaka Putih Barat.

Saran

Upaya memperhatikan dan membersihkan lingkungan sekitar, khususnya terhadap tempat-tempat bukan penampungan air yang merupakan bentuk pelaksanaan program Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) perlu dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Selain itu, penelitian mengenai hubungan antara tingkat pelaksanaan PSN DBD dengan keberadaan larva Aedes sp. pada container non-TPA perlu dilakukan selanjutnya.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Vector-borne disease. Diunduh dari http:// www.who.int/vaccine_research/documents/Chapter3_Vector-borne_New.pdf. Diakses 14 Agustus 2011.

2. World Health Organization. Situation update of dengue in the South East Asia (SEA) region, 2010. Diunduh dari http:// 209.61. 208. 233/ LinkFiles/ Dengue_Dengue_update_SEA_2010.pdf. Diakses 14 Agustus 2011.

3. Yudhastuti R dan Vidiyani A. Hubungan kondisi lingkungan, kontainer, dan perilaku masyarakat dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di daerah endemis demam berdarah dengue surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005;1(2):171,3-5,7.

4. Suyasa ING, Putra NA, dan Aryanta IWR. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku masyarakat dengan keberadaan vektor demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja

(14)

puskesmas I denpasar selatan. ECOTROPHIC.2008;3(1):1,3-4,6.

5. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Demam berdarah dengue. Diunduh dari http://www.diskes.jabarprov.go.id. Diakses 14 Agustus 2011.

6. Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Korban meninggal di jakarta dan bekasi 26 orang. Diunduh dari http:// www.jakarta.go.id/ web/ databerita/ detail/ 2010/ 05/23/110. Diakses 14 Agustus 2011.

7. Sudin Kominfonas Jakarta Pusat. Cegah kasus DBD di Jakpus, walikota minta jumantik aktif periksa kamar mandi warga. Diunduh dari http://www.pusat.jakarta.go.id. Diakses 14 Agustus 2011.

8. Sudin Kominfonas Jakarta Pusat. Kasus penyakit DBD di kelurahan rawasari selalu tinggi. Diunduh dari http://www.pusat.jakarta.go.id. Diakses 14 Agustus 2011.

9. Sudin Kominfonas Jakarta Pusat. Musim hujan, kasus DBD di jakpus dapat ditekan. Diunduh dari http://www.pusat.jakarta.go.id. Diakses 14 Agustus 2011.

10. Widiyanto T. Kajian manajemen lingkungan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purworejo Jawa-Tengah [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.2007.hal.12-42,95,112.

11. Fathi, Keman S, dan Wahyuni CU. Peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap penularan demam berdarah dengue di kota Mataram.Jurnal Kesehatan Lingkungan .2005;2(1):2,5,7-8.

12. Quijano FAD and Waldman EA. Factors associated with dengue mortality in Latin America and the Caribbean, 1995-2009: an ecological study. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene.2012;86(2):328.

13. Sapir DG and Schimmer B. Review dengue fever: a new paradigms for a changing epidemiology. Emerging Themes in Epidemiology. 2005;2(1).

14. Nugroho FS. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di RW IV desa Ketitang kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali [Skripsi]. Surakarta:Universitas Muhammadiyah Surakarta.2009. hal. 6-15,35,41.

15. Malar M dan Sivanathan. The ecology and biology of Aedes aegypti (L) and Aedes

albopictus (Skuse) (diptera:Culicidae) and the resistance status of Aedes albopictus (field

strain) against organophosphates in Penang, Malaysia [Thesis]. Malaysia.2006. p. 8-13,7-20,2.

16. Wati WE. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Poso kecamatan Pacitan tahun 2009 [Skripsi]. Surakarta:Universitas Muhammadiyah Surakarta.2009.hal.1-26,55,7.

(15)

17. World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and control. New Edition. Geneva:WHO Press.2009.p.3-28,117-8.

18. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.2005.

19. Haditomo I. Efek larvasida ekstrak daun cengkeh (Syzygium aromaticum L) terhadap

Aedes aegypti L [Skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.2010. hal. 21-5.

20. Fathi, Keman S, dan Wahyuni CU. Peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap penularan demam berdarah dengue di kota Mataram.Jurnal Kesehatan Lingkungan .2005;2(1):2,5,7-8.

21. Hasyimi M dan Soekirno M. Pengamatan tempat perindukan Aedes aegypti pada tempat penampungan air rumah tangga pada masyarakat pengguna air olahan. Jurnal Ekologi Kesehatan.2004;3(1):1,5,6.

22. Arunachalam N, Tana S, Espino F, Kittayapong P, Abeyewickreme W, Khin TW, et al. Eco-bio-social determinants of dengue vector breeding:a multicountry study in urban and periurban Asia. Bull World Health Organ.2010;88:173,175,179,180.

23. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Demam berdarah dengue. Buletin Jendela Epidemiologi.2010;2:1-14,21-9,44.

24. Sungkar S, Winita R, dan Kurniawan A. Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat dan kepadatan Aedes aegypti di kecamatan Bayah, provinsi Banten. Makara, Kesehatan.2010;14(2):2,3,4.

25. World Health Organozation. A review of entomological sampling methods and indicators for dengue vectors. Geneva: TDR.2003. p.15.

26. Sungkar S. Demam berdarah dengue. Jakarta:Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.2002. hal.28.

27. World Health Organization. Guidelines for dengue surveillance and mosquito control. 2nd Edition. Manila: WHO Western Pacific Regional Publication. 2003.p.9-10.

28. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kunci identifikasi nyamuk Aedes. Jakarta: DepKes RI.2008.hal. 10,2.

29. Rahman DA. Hubungan kondisi lingkungan rumah dan praktik 3M dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja puskesmas Blora Kabupaten Blora. Unnes Journal of Public Health.2012;2(1):4.

Gambar

Tabel 1. Sebaran Jenis Container Non-TPA di RW 03 dan RW 07  Kelurahan Cempaka Putih Barat
Tabel 2. Sebaran Larva Aedes sp. pada Container Non-TPA di RW 03   Kelurahan Cempaka Putih Barat
Tabel 3. Sebaran Larva Aedes sp. pada Container Non-TPA di RW 07   Kelurahan Cempaka Putih Barat
Tabel 4. Keberadaan Larva Aedes sp. pada Container non-TPA  di Kelurahan Cempaka Putih Barat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran mnemonik terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajarn bahasa indonesia kelas VII di SMPN

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penulisan tugas akhir ini adalah “Apakah penerapan akuntansi aset tetap pada PT Perkebunan

Keseruan keluarga Tunas Unggul ini juga dapat dilihat dari kesan-kesan yang disampaikan beberapa perwaki- lan siswa-siswi yang mengikuti kegiatan Malaysia National Children’s

Posisi Telah melakukan beberapa kali tindak Pidana pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, baik di dalam dakwaan maupun tuntutan jaksa penuntut umum, telah menerapkan

Salah satu teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh dari variabel- variabel pengamatan yang cukup banyak adalah dengan menggunakan Principal Component Regression

Seperti telah diterangkan dimuka, ada dua macam kekuatan yang bisa menyebabkan peristiwa keluar rel, yaitu yang pertama ialah gaya yang menimbulkan momen guling

Pada kawasan Talang Semut ini ruang terbuka merupakan salah satu elemen fisik pembentuk pola ruang kota yang merupakan bagian dari pembentukan pola ruang

Sindrom nefrotik merupakan salah satu faktor risiko kejadian PGK yang sering terjadi Tujuan : Mengetahui karakteristik faktor risiko kejadian penyakit ginjal kronik pada sindrom