• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai penanda digantikannya kekuasaan kolonial dengan pemerintahan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sebagai penanda digantikannya kekuasaan kolonial dengan pemerintahan Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1.1.Latar Belakang Masalah

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat dimaknai dari berbagai segi, baik dari segi politik, hukum, maupun ekonomi. Secara politik, kemerdekaan dimaknai sebagai penanda digantikannya kekuasaan kolonial dengan pemerintahan Indonesia yang berdaulat. Jika dilihat dari segi hukum, maka kemerdekaan merupakan garis batas antara berlakunya hukum kolonial dengan hukum nasional. Sementara itu secara ekonomi, kemerdekaan dimaknai sebagai momentum untuk melakukan dekolonisasi ekonomi. Artinya seluruh sumber ekonomi yang menjadi kebutuhan dasar rakyat Indonesia akan dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Indonesia, tidak lagi oleh pihak asing terutama Belanda1.

Namun, setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia mengalami krisis ekonomi sebagai akibat pendudukan Jepang dan perjuangan fisik dengan Belanda, serta hampir seluruh aset ekonominya masih berada di tangan pihak Belanda2. Ketimpangan sistem ekonomi inilah yang kemudian dianggap oleh para pemimpin Indonesia sebagai penghalang munculnya kedaulatan ekonomi. Mereka

1

Wasino, “Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing menuju Ekonomi Berdikari”, dalam Jurnal Paramita Vol. 26 No. 1 - Tahun 2016, hlm. 62.

2 Ibid.

(2)

menganggap bahwa penguasaan sumber-sumber ekonomi nasional yang masih berada di tangan pengusaha asing menandakan bahwa sistem ekonomi warisan kolonial belum pudar dari sistem perekonomian Indonesia.

Berdasarkan sebab itulah, maka wacana mengenai nasionalisasi perusahaan asing mulai bergulir di Indonesia pasca kemerdekaan3. Nasionalisasi menjadi suatu jalan alternatif untuk memecahkan masalah ketimpangan ekonomi dan sebagai sarana untuk mengurangi dominasi pengusaha asing dalam pengelolaan sumber daya ekonomi di Indonesia. Nasionalisasi merupakan bagian dari orientasi ekonomi yang berdasarkan pada proses dekolonisasi ekonomi4.

Nasionalisasi ini mendapatkan momentumnya ketika hubungan Indonesia dengan Belanda kian memburuk karena tersendatnya penanganan persoalan Irian Barat. Klimaks dari serentetan proses nasionalisasi terjadi ketika Indonesia secara sepihak membatalkan perjanjian KMB dan membubarkan diri dari Uni Indonesia-Belanda karena persoalan Irian Barat. Rakyat dan pemerintah Indonesia segera saja

3

Yang dimaksud dengan istilah nasionalisasi adalah pengalihan hak milik asing kepada negara Indonesia. Istilah tersebut digunakan dalam arti Nationalization dengan konotasi bahasa Inggris normal. Lihat Muhaimin A. Yahya. Bisnis dan Politik

Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 173.

Definisi yang lengkap mengenai Nasionalisasi serta perbedaannya dengan makna

expropriation atau konfiskasi dijelaskan dalam Martin Domke, “Foreign

Nationalizations”, dalam Jurnal The American Journal of International Law, Vol. 55, No. 3 (Jul., 1961), hlm. 587-589. Perbedaan diantara istilah-istilah ini pada dasarnya mengandung implikasi hukum yang berbeda-beda.

4

(3)

melampiaskan kemarahannya kepada Belanda dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang menjalankan usahanya di Indonesia. Hingga akhirnya pada tahun 1958, pemerintah dibawah Kabinet Djuanda mengesahkan nasionalisasi secara yuridis dengan menetapkan UU No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda 5.

Pengambilalihan terhadap perusahaan Belanda dilakukan oleh massa buruh yang digerakkan oleh berbagai serikat buruh terutama SOBSI (PKI) yang dimulai pada bulan Desember 1957. Pengambilalihan tersebut terjadi atas banyak bidang perusahaan, baik vital maupun non-vital, diantaranya adalah 38 perusahaan pertanian dan perkebunan, 9 perusahaan kereta api, 9 perusahaan maritim termasuk perusahaan pelayaran Belanda (KPM), 3 Bank dagang yang besar, perusahaan asuransi, perusahaan farmasi, dan 5 perusahaan dagang besar Belanda yang terkenal sebagai ‘Big Five’6.

Pada dasarnya sebelum terjadi pengambilalihan perusahaan Belanda secara besar-besaran pada tahun 1957, Indonesia telah menasionalisasi beberapa perusahaan besar milik Belanda, seperti yang dilakukan terhadap De Javasche Bank (DJB) pada

5

Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. xiv-xv.

6

Wasino, dkk., Sejarah Nasionalisasi Asset-aset BUMN dari Perusahaan

(4)

tahun 19517, nasionalisasi trem dan bus B.VM. di Jakarta, tindakan nasionalisasi terhadap beberapa perusahaan umum seperti listrik, dan lain sebagainya8. Tindakan nasionalisasi juga sudah mulai dilakukan terhadap perusahaan kereta api pada saat kabinet dipimpin oleh Mohammad Hatta (1949-1950)9.

Masalah nasionalisasi bagi Indonesia merupakan persoalan yang selalu aktual. Pasca kemerdekaan, persoalan tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda merupakan pokok pembahasan dan bahan pertukaran pikiran yang dimuat dalam berita-berita di berbagai harian, dibicarakan di dalam maupun di luar parlemen. Keberadaan perusahaan asing dan nasionalisasi juga merupakan persoalan yang selalu memunculkan atmosfir kebencian terhadap Belanda dari kalangan akar rumput. Mengingat bahwa nasionalisasi merupakan suatu tindakan hukum dari penguasa atau

act of state, persoalan nasionalisasi ini tidak dapat dilepaskan dari peranan politik dan

kepentingan-kepentingan ekonomis. Setelah tercampur dengan begitu banyak 7 Ibid, hlm. 632. 8 Muhaimin, op.cit., hlm. 98. 9

Bruce Glassburner, “Economic-Making in Indonesia, 1950-57”, dalam Jurnal Economic Development and Cultural Change, Vol. 10, No. 2, part 1 (Jan., 1962), hlm. 132. Beberapa perusahaan besar yang didirikan oleh pemerintah, pada perkembangan selanjutnya kemudian digabungkan dengan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi sepanjang tahun 1950-an, seperti Garuda Indonesia Airways NV (GIA) dengan perusahaan KLM pada tahun 1954, Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) dengan perusahaan KPM yang memang sudah direncanakan untuk dinasionalisasi dari tahun 1950 tetapi baru bisa dilakukan tindakan nasionalisasi pada tahun 1957, dan Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia (DAMRI). Lihat Wasino (2014), op.cit., hlm. 804.

(5)

kepentingan politik, nasionalisasi merupakan salah satu kepentingan ekonomi yang terbesar dan berada di tingkat tertinggi, sehingga menjadi benang persoalan yang semakin sulit untuk diselesaikan10.

Gagasan mengenai nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda merupakan salah satu ciri yang melekat pada masa Demokrasi Parlementer. Pasca kemerdekaan, terutama sepanjang masa Demokrasi Parlementer, terdapat berbagai macam reaksi oleh para pemimpin negeri ini dalam menanggapi gagasan nasionalisasi perusahaan Belanda. Ada yang menolak wacana tersebut, ada pula yang selalu aktif menuntut kepada pemerintah agar segera mengadakan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda. Pihak yang selalu menuntut tindakan nasionalisasi tersebut merupakan golongan kiri (PKI) dan nasionalis radikal dari PNI yang suaranya relatif dominan dalam parlemen kala itu. Sementara itu, pihak yang cenderung bersikap hati-hati dalam memandang nasionalisasi adalah tokoh-tokoh ekonomi yang berpikiran moderat-pragmatis yang kebanyakan berasal dari partai Masyumi dan PSI. Perbedaan antara kedua kelompok tersebut tercermin dalam pertentangan mengenai kebijakan ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan peranan perusahaan-perusahaan asing11.

Herbert Feith menyebutkan bahwa awal periode Demokrasi Parlementer merupakan batasan waktu ketika Indonesia dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang

10

Gouw Giok Siong, Segi-segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di

Indonesia. (Jakarta: UI Press, 1960), hlm. 1-3

11

(6)

moderat. Periode tersebut hanya terbatas pada kabinet Hatta, Natsir, Sukiman, dan Wilopo. Kabinet-kabinet ini secara intensif memberi perhatian kepada persoalan ekonomi dan administratif, yang mencakup pada peningkatan bidang produksi dan rencana pembangunan ekonomi12.

Dalam sistem parlementer, kedudukan dan peranan partai politik penting sekali. Partai-partai politik besar seperti Masyumi, PNI, PSI, dan PKI memiliki peran yang dominan dalam pengambilan keputusan di Parlemen. Bila kebijaksanaan kabinet tidak disetujui oleh parlemen, maka kabinet tersebut dapat dengan mudah dijatuhkan oleh parlemen. Namun pada kenyataannya, partai-partai besar tersebut tidak selalu satu haluan pemikiran atau satu kepentingan. Dengan demikian, pada masa Demokrasi Parlementer sulit untuk membentuk pemerintahan yang stabil guna mendapat dukungan mayoritas di parlemen13. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada dekade ini dunia perpolitikan Indonesia tengah menikmati tingkat tertinggi dari kebebasan otonominya14.

Semenjak penyerahan kedaulatan 1949 hingga berakhirnya masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1959, Indonesia telah mengalami perubahan Kabinet

12

Herberth Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. (Ithaca: Cornel University Press, 1962), hlm. 556.

13

Kardiyat Wiharyanto, Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu

2009, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2011), hlm. 75-76.

14

Richard Robison, Indonesia the Rise of Capital. (Sydney: Allen & Unwin, 1986), hlm. 37.

(7)

sebanyak 8 kali. Sepanjang masa Demokrasi Parlementer, Masyumi merupakan salah satu partai politik yang paling sering memegang kekuasaan, baik dalam kabinet maupun parlemen. Sejak kabinet dipimpin oleh Mohammad Hatta pada bulan Desember 1949 hingga kabinet Karya atau Kabinet Djuanda yang dimulai pada bulan April 1957, Masyumi telah memimpin kabinet sebanyak 3 kali, yaitu pada saat dipimpin oleh M. Natsir (1950-1951), Sukiman (1951-1952), dan Burhanuddin Harahap (1955-1956). Sebelum Pemilu 1955, bersama dengan PSI dan PNI, Masyumi merupakan partai yang banyak memiliki perwakilan di Parlemen. Hasil Pemilu 1955 kemudian menunjukkan bahwa PNI, Masyumi, PKI, dan NU merupakan 4 partai besar yang suaranya dominan di parlemen15. Pada saat formatur kabinet disusun oleh PNI yang dipimpin oleh Wilopo (1952) dan Ali II (1956), Masyumi selalu berada di dalam koalisi pemerintahan bersama dengan PNI16.

Masyumi merupakan salah satu partai yang memiliki ketertarikan besar terhadap ide mengenai nasionalisasi. Hal ini didukung oleh keberadaan beberapa tokohnya yang memiliki kemampuan dan ketertarikan terhadap isu-isu ekonomi seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Jusuf Wibisono. Dalam memandang persoalan nasionalisasi, Masyumi cenderung mengambil sikap yang sangat berhati-hati dan berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya tidak perlu campur tangan terhadap

15

Ibid. 16

(8)

perusahaan-perusahaan Belanda selama mereka masih memberikan manfaat terhadap rakyat Indonesia17.

Hal ini berbeda dengan partai lain, seperti PKI dan PNI. Meskipun memiliki pandangan yang kuat mengenai nasionalisasi, tetapi PKI sama sekali belum pernah menjadi partai pemerintah selama bergulirnya masa Demokrasi Parlementer. Pemikirannya mengenai nasionalisasi hanya sebatas tersebar di dalam media massa, sehingga tidak dapat berlangsung menjadi suatu kebijakan. Peran sentralnya baru diakui kemudian pada saat pengambilalihan perusahaan Belanda melalui SOBSI pada tahun 1957-1958. Sebagai partai terbesar, PNI juga sering menjadi partai pemerintah. Namun, partai ini tidak dipenuhi oleh para pemikir ekonomi seperti Masyumi, kecuali hanya segelintir orang saja18.

Penelitian ini menjadi penting apabila mengingat bahwa historiografi Indonesia mengenai nasionalisasi cenderung mengkajinya sebagai sebuah aksi. Historiografi Indonesia mengenai nasionalisasi lebih banyak menekankan pada aspek

17

Muhaimin, op.cit., hlm. 22-23. 18

Salah satu pemikir ekonomi PNI yang paling penting adalah Sujono Hadinoto. Pada tahun 1949, Sujono mengeluarkan sebuah booklet yang berjudul Dari

Ekonomi Kolonial menjadi Ekonomi Nasional. Pesan dari tulisan tersebut

tersampaikan dengan jelas, bahwa Indonesia harus mengubah sistem ekonominya yang masih berbau kolonial menjadi sistem ekonomi nasional yang berada di tangan rakyat Indonesia sendiri. Pemikirannya mengenai ekonomi nasional akhirnya menjadi dasar bagi perbincangan umum pada tahun 1950an. Sujono Hadinoto merupakan Menteri Perdagangan dan Industri pada masa kabinet Sukiman. Namun, ia akhirnya digantikan oleh Wilopo karena kondisi kesehatannya yang memburuk. Lihat Thomas Linblad, Bridges to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia. (Leiden: KITLV Press, 2008), hlm. 5-6.

(9)

narasi tentang proses pengambilalihan terhadap suatu perusahaan, sehingga belum nampak penulisan sejarah yang membahasnya dari sudut pandang ide atau perdebatan-perdebatan yang melatarbelakangi proses tersebut.

Beberapa kajian lebih banyak membahas nasionalisasi sebagai studi per kasus, seperti yang dilakukan oleh Wasino dengan penelitiannya yang berjudul

Nasionalisasi Pabrik Gula Mangkunegaran19. Dalam risetnya tersebut Wasino menjelaskan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh negara pada kurun waktu pasca kemerdekaan hingga masa demokrasi parlementer tidak hanya ditujukan kepada perusahaan asing, melainkan juga dilakukan terhadap perusahaan pribumi, seperti yang terjadi pada usaha pabrik gula milik Mangkunegaran. Selain Wasino, terdapat pula Purnawan Basundoro yang melakukan penelitian tentang nasionalisasi perusahaan minyak dengan judul Menjadi Tu(h)an di Rumah Sendiri: Pancaroba

Usaha Pertambangan Minyak di Indonesia 1945-196020 yang menyoroti proses

nasionalisasi tambang minyak oleh negara kepada pemilik konsesi yang berasal dari asing serta menjelaskan bagaimana nasib tambang minyak tersebut setelah dinasionalisasi.

19

Wasino, Nasionalisasi Pabrik Gula Mangkunegaran, dalam Jurnal

Lembaran Sejarah, Vol. 8, No. 2, 2005, hlm. 69-84.

20

Purnawan Basundoro. “Menjadi Tu(h)an di Rumah Sendiri : Pancaroba Usaha Pertambangan Minyak di Indonesia 1945-1960”, dalam Jurnal Lembaran

(10)

Meskipun tidak berfokus pada proses nasionalisasi, namun karya Widigdo Sukarman yang berjudul “Upaya Membentuk Perbankan Nasional Peran Bank BNI pada Tahun 1950an” juga membahas proses nasionalisasi De Javasche Bank pada tahun 1951. Nasionalisasi di bidang pelayaran merupakan fokus penelitian dari Singgih Tri Sulistiyono yang berjudul In the Shadow of Nationalism : Pelni during

the Period of Indonesianisasi 21. Dalam penelitiannya tersebut, Singgih menjelaskan mengenai gagalnya pemerintah Indonesia dalam menasionalisasi KPM dan hubungannya dengan munculnya Pelni beserta dengan proses Indonesianisasi di sektor laut. Sementara itu, dalam kajiannya yang membahas mengenai proses Indonesianisasi Internatio dan HVA yang berjudul Defeatism is Our Worst Enemy

Rehabilitation, Reorientation, and Indonesianisasi at Internation and HVA, 1945-195822, Van de Kerkhof menjelaskan hubungan diantara perusahaan Internatio dan HVA dengan kemerdekaan Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga pengambilalihan secara besar-besaran terhadap perusahaan Belanda1957-1958.

Terlihat bahwa beberapa kajian diatas mendasarkan fokus penelitiannya pada nasionalisasi sebagai kasus, seperti nasionalisasi terhadap pabrik gula, nasionalisasi terhadap tambang minyak, dan nasionalisasi terhadap bank sirkulasi. Oleh karena itu,

21

Singgih Tri Sulistiyono, “In the Shadow of Nationalism : Pelni during the Period of Indonesianisasi”, dalam jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 8, No.2, 2005, hlm. 85-108.

22

Van de Kerkhof, J.P., “Defeatism is Our Worst Enemy Rehabilitation, Reorientation, and Indonesianisasi at Internation and HVA, 1945-1958”, dalam jurnal Lembaran Sejarah Vol. 8, No. 2, 2005, hlm. 109-127.

(11)

membahas nasionalisasi dari segi pandangan dan kebijakan suatu partai merupakan suatu ruang yang kosong dalam historiografi Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

Jika selama ini tulisan-tulisan sejarah mengenai nasionalisasi lebih banyak berbicara mengenai proses pengambilalihan perusahaan Belanda, maka penelitian ini berbicara mengenai pandangan dan kebijakan partai Masyumi mengenai nasionalisasi. Partai Masyumi dianggap relevan untuk dijadikan objek penelitian dengan alasan bahwa Masyumi merupakan salah satu partai terbesar di masa Demokrasi Parlementer dan partai politik yang paling sering berkuasa, sehingga menjadi menarik untuk melihat konsistensi antara pemikiran dan kebijakan partai ini terhadap gagasan nasionalisasi. Menjadi menarik untuk melihat bagaimana partai ini sebagai partai penguasa dengan idenya yang cenderung melawan opini umum, dapat terus menjaga konsistensi antara pemikiran dan kebijakannya. Mengapa Masyumi yang notabene-nya menjadi ‘partai penguasa’, tetapi justru idenya kalah?

Guna memudahkan pembahasan, maka rumusan masalah tersebut dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Kapan isu mengenai nasionalisasi mulai berkembang di Indonesia, terutama diantara partai politik? hal apa saja yang disoroti dan diperdebatkan?

2. Apa garis ideologi Masyumi terhadap gagasan nasionalisasi? 3. Bagaimana kebijakan Masyumi terhadap nasionalisasi?

(12)

4. Bagaimana reaksi Masyumi terhadap pengambilalihan secara besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perusahaan Belanda pada tahun 1957-1958?

Penelitian ini mengambil cakupan temporal pada tahun 1945 hingga tahun 1958. Tahun 1945 diambil sebagai batasan awal dalam penelitian ini karena pada tahun 1945 Indonesia telah berkuasa penuh atas kedaulatannya. Tahun 1945 juga menjadi dasar karena beberapa saat setelah kemerdekaan, revolusi mulai bergulir di tanah air. Masa revolusi merupakan salah satu faktor yang menyadarkan rakyat bahwa rupanya Indonesia hanya memperoleh kekuasaan politiknya saja, belum sampai pada kekuasaan ekonominya. Penetapan tahun 1945 sebagai tahun awal dalam penelitian ini juga didasarkan atas pernyataan Taufik Abdullah bahwa Indonesianisasi bukanlah hal yang terpikirkan sejak periode awal masa Pergerakan Nasional karena pada saat itu para pemimpin masih berbicara pada hal-hal yang berkisar tentang pembentukan bangsa, demokrasi, dan kerakyatan. Gagasan nasionalisasi baru kemudian tersampaikan secara eksplisit pada saat pidato wakil presiden Hatta yang menjamin masa depan perusahaan Belanda di Indonesia pada bulan November 194523.

Cakupan penelitian ini berhenti pada tahun 1958. Pada tahun 1958, pemerintah mengeluarkan produk hukum UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda. Selain didasarkan pada penetapan

23

Taufik Abdullah, “Indonesianisasi : Sebuah Wacana dan Serentetan Peristiwa”, dalam Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 8, No. 2, 2005, hlm. 6.

(13)

undang-undang tersebut, cakupan akhir penelitian ini sesungguhnya lebih didasarkan pada masa berakhirnya periode Demokrasi Parlementer. Pada tahun 1957, sistem tata negara Indonesia telah mulai menunjukkan disorder. Hal ini mulai nampak pada tahun 1956 ketika presiden Soekarno menyampaikan pidato yang berisi seruan agar rakyat Indonesia mengubur partai-partai politik dan menggantikan sistem Demokrasi Liberal dengan Demokrasi Terpimpin24. Masa depan sistem kepartaian Indonesia mulai menunjukkan kehancurannya. Sejak munculnya gerakan PRRI-PERMESTA, partai politik yang paling awal menujukkan kehancurannya adalah Masyumi. Kondisi ini dimulai pada saat Masyumi menarik semua menterinya dari Kabinet Ali II pada akhir tahun 195625. Kondisi semakin parah setelah beberapa pimpinan Masyumi meninggalkan Jakarta untuk menggabungkan diri dengan gerakan tersebut. Setelah serentetan peristiwa tersebut, akhirnya Masyumi sudah tidak berada di dalam pemerintahan lagi.

Penelitian ini fokus terhadap partai Masyumi. Setidaknya ada 3 alasan yang mendasarinya, yaitu adanya kenyataan bahwa Masyumi merupakan partai terbesar sepanjang periode awal Demokrasi Parlementer sebelum Pemilu 1955 dan masuk menjadi 4 partai terbesar setelah Pemilu 1955, Masyumi telah berkali-kali menjadi partai pemerintah sepanjang periode Demokrasi Parlementer, serta adanya banyak

24

Herbert Feith dan Lance Castles (ed.). Pemikiran Politik Indonesia

1945-1965. (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 64-65.

25

Soebagio I.N., Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang. (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1980), hlm. 196-197.

(14)

tokoh pemimpin di dalam Masyumi yang memiliki ketertarikan yang besar terhadap isu nasionalisasi.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah menjelaskan pengaruh garis ideologi partai Masyumi terhadap wacana nasionalisasi yang dilontarkan oleh Masyumi dalam tataran ide dan kebijakan. Secara historiografis, penelitian ini juga bertujuan untuk melengkapi kajian nasionalisasi dalam aspek pemikiran dan kebijakan yang dilakukan oleh Masyumi.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sejauh ini telah banyak kajian yang secara komprehensif membahas tema nasionalisasi. Banyak diantara karya tersebut yang telah membahas munculnya gagasan nasionalisasi dari proses Dekolonisasi dan Indonesianisasi.

Masalah hukum internasional dalam pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda 1957-1958 merupakan pokok penelitian Gouw Giok Siong dalam karyanya yang berjudul Segi-segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia26.

Gouw Giok Siong bertolak dari pembayaran kompensasi yang dilakukan oleh Indonesia kepada perusahaan Belanda untuk menilainya dari segi hukum perdata internasional. Selain meninjau nasionalisasi berdasarkan atas pembayaran kompensasi, ia juga menilai nasionalisasi Indonesia berdasarkan UU Nasionalisasi

26

Gouw Giok Siong, Segi-segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di

(15)

No. 86 tahun 1958. Dalam karyanya Gouw Giok Siong membandingkan nasionalisasi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia dengan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1957-1958. Salah satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwasanya terjadinya nasionalisasi di Indonesia bukan disebabkan oleh adanya alasan ekonomi, tapi juga adanya alasan yang politis dan ideologis, sama halnya yang terjadi pada nasionalisasi di beberapa negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan Cekoslovakia.

Bondan Kanumoyoso dalam bukunya yang berjudul Nasionalisasi

Perusahaan Belanda di Indonesia27 membahas mengenai keterkaitan antara masalah

ekonomi dengan politik di Indonesia pada penghujung masa Demokrasi Parlementer yang mendorong munculnya masalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada kurun waktu 1957-1958. Selain berfokus terhadap proses pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda, penelitian ini juga membahas mengenai menguatnya peran negara setelah terjadi pengambilalihan tersebut. Secara struktural kondisi ekonomi, sosial, dan politik Indonesia sepanjang masa Demokrasi Parlementer memang terlihat mengarah dan berpuncak pada pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda.

27

Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001).

(16)

Buku yang ditulis oleh Wasino dkk dengan judul Sejarah Nasionalisasi

Asset-aset BUMN dari Perusahaan Kolonial menuju Perusahaan Nasional28 bisa dikatakan

sebagai buku induk mengenai nasionalisasi perusahaan asing. Buku tersebut membahas secara menyeluruh kajian mengenai nasionalisasi, dari sejarah berdirinya perusahaan-perusahaan asing pada masa Hindia Belanda, perkembangannya, hingga ketika perusahaan tersebut dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Buku ini memadukan kajian historis dan yuridis dalam membahas peralihan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan-perusahaan Belanda, tetapi tetap dengan melihat aspek politik, ekonomi, dan sosialnya. Fokus besar dari buku ini adalah mencari akar sejarah dari perusahaan-perusahaan yang sekarang dikelola oleh Kementerian BUMN.

Karya Thomas Linblad yang berjudul Bridges to New Business: The

Economic Decolonization of Indonesia29 menjelaskan bahwa nasionalisasi dan

pengambilalihan perusahaan Belanda merupakan puncak dari proses dekolonisasi ekonomi Indonesia, sebuah proses yang berbeda secara momentum dan waktunya dengan kemerdekaan politik Indonesia. Menurutnya nasionalisasi juga merupakan sebuah cara yang paling radikal dalam mencapai dekolonisasi ekonomi. Linblad mencatat bahwa asal mula proses dekolonisasi ekonomi berasal sejak akhir masa

28

Wasino, dkk., Sejarah Nasionalisasi Asset-aset BUMN dari Perusahaan

Kolonial menuju Perusahaan Nasional. (Jakarta: BUMN, 2014)

29

Thomas Linblad, Bridges to New Business: The Economic Decolonization

(17)

kolonial yang mencakup masa pendudukan Jepang dan masa Revolusi Indonesia pada tahun 1945-1949, yang kemudian dilanjutkan pada masa beroperasinya perusahaan Belanda pada masa Demokrasi Parlementer.

Masalah Indonesianisasi merupakan pokok penelitian John Orval Sutter yang berjudul A Historical Survey of the Role of Politics in the Institutions of Changing

Economy from the Second World War to the Eve of the General Elections (1940-1955)30. Dalam disertasi tersebut, Sutter menyebut proses pengambilalihan

perusahaan Belanda 1957-1958 sebagai proses Indonesianisasi. Nasionalisasi atau

socialization merupakan bagian dari Indonesianisasi sebagai sebuah konsep. Menurut

Sutter, Indonesianisasi setidaknya terdiri dari 9 tipe perubahan institusi, yang intinya dapat dirumuskan sebagai berikut : perubahan kekuasaan ekonomi dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik, perubahan status hak milik atas usaha asing kepada rakyat Indonesia, terwujudnya pengusaha nasional, pengembalian tanah dari pengusaha asing kepada rakyat Indonesia, serta meningkatnya partisipasi rakyat Indonesia dalam perusahaan asing di bidang administrasi dan pelaksana (eksekutif).

Banyaknya penelitian yang bertema nasionalisasi seperti diatas menandakan bahwa tema nasionalisasi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Namun bervariasinya ragam penelitian yang bertema nasionalisasi seperti yang diuraikan

30

Sutter, John O. Indonesianisasi : A Historical Survey of the Role of Politics

in the Institutions of Changing Economy from the Second World War to the Eve of the General Elections (1940-1955). Ithaca: Cornell University, 1959.

(18)

diatas, rupanya belum menunjukkan adanya penelitian mengenai nasionalisasi yang melihatnya dari sudut pandang suatu partai politik. Penelitian ini menjadi penting karena menunjukkan bahwa nasionalisasi bukan hanya menjadi kepentingan rakyat kebanyakan, tetapi juga menjadi kepentingan dari golongan elit dari bangsa ini, yaitu partai politik.

1.5 Metode dan Sumber Penelitian

Agar penelitian ini menjadi tulisan sejarah, maka penelitian ini menggunakan lima tahap penelitian sejarah, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristic), tahap verifikasi, interpretasi, serta penulisan31. Setelah menentukan temanya, penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan sumber (proses heuristic) dari buku-buku yang membahas mengenai tema nasionalisasi, Demokrasi Parlementer, dan Masyumi. Buku-buku tersebut merupakan sebuah langkah awal untuk memulai penelitian ini. Untuk memperoleh buku-buku tersebut, maka penelusuran dilakukan di beberapa perpustakaan di lingkungan kampus UGM, seperti perpustakaan FIB, Perpustakaan Pusat UGM, dan Perpustakaan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara. Selain itu, dilakukan pula penelusuran ke Perpustakaan st. Ignatius dan Perpustakaan Kota Yogyakarta untuk mencari buku-buku yang terkait.

Sumber-sumber primer yang telah dikumpulkan berupa arsip dan koran-koran se-zaman yang membahas mengenai pemikiran-pemikiran Masyumi terhadap modal asing dan nasionalisasi. Arsip-arsip tersebut ditelusuri di kantor Arsip Nasional

31

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2005) hlm. 90

(19)

Republik Indonesia, sedangkan Koran-koran se-zaman dikumpulkan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dan Perpustakaan Monumen Pers di Surakarta. Surat kabar yang berhasil dikumpulkan adalah harian Masyumi (Abadi), majalah Masyumi yang terbit mingguan seperti Berita Masjumi, Suara

Masjumi, dan Hikmah, surat kabar yang menjadi harian beberapa partai seperti Harian Rakyat milik PKI, Suluh Indonesia milik PNI, dan Pedoman yang cenderung

berafiliasi dengan PSI, serta surat kabar nasional seperti Antara.

Tahap selanjutnya dalam penelitian ini adalah menguji keabsahan sumber melalui verifikasi atau kritik sumber. Tahap verifikasi terdiri dari dua macam, autentisitas atau kritik ekstern dan kredibilitas atau kritik intern. Pada tahap ini juga dilakukan perbandingan antar sumber yang bertujuan untuk menguji apakah data yang diberikan oleh suatu sumber sesuai dengan sumber lain yang sezaman.

Tahap selanjutnya adalah interpretasi. Pada tahapan inilah, sumber-sumber yang telah diperoleh dan dikritisi, kemudian di interpretasi. Pada tahap ini, sumber-sumber dianalisis untuk mencari fakta yang kemudian dikelompokkan atau dikonseptualisasikan. Tahap terakhir dalam penelitian ini adalah menuliskan seluruh sumber yang telah dikumpulkan, diverifikasi, dan diinterpretasi tersebut. Hasil penelitian ini disajikan dalam tiga bagian, yaitu pengantar, hasil penelitian, dan simpulan.

1.6 Sitematika Penulisan

Agar penulisan ini menjadi sistematis, maka hasil penelitian ini disusun secara kronologis. Penulisan ini dimulai dengan Bab 1 yang terdiri dari latar belakang,

(20)

rumusan masalah dan ruang lingkup, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode dan sumber, serta sistematika penulisan.

Di dalam Bab 2 dibahas tentang perdebatan mengenai isu nasionalisasi perusahaan Belanda. Pembahasan dalam bab ini dimulai dengan permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia pasca kemerdekaan, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai perdebatan mengenai isu nasionalisasi pada masa revolusi dan masa demokrasi parlementer. Pembahasan pada masa demokrasi parlementer dijelaskan dengan menggunakan 3 partai politik, yaitu PKI, PNI, dan Masyumi.

Di dalam Bab 3 dibahas tentang pandangan partai Masyumi terhadap wacana nasionalisasi. Pembahasan dalam bab ini dimulai dengan pandangan Masyumi terhadap modal asing, kemudian dilanjutkan dengan pandangan Masyumi terhadap ide nasionalisasi. Di dalam bab ini juga dibahas mengenai solusi yang diberikan oleh Masyumi terhadap perdebatan antara modal asing dan nasionalisasi.

Di dalam Bab 4 dibahas tentang kebijakan dan reaksi partai Masyumi terhadap nasionalisasi. Pembahasan dalam bab ini dimulai dengan kebijakan nasionalisasi yang diterapkan oleh Masyumi, kemudian dilanjutkan dengan pandangan dan reaksi partai Masyumi terhadap pengambilalihan perusahaan Belanda secara besar-besaran yang berlangsung pada tahun 1957-1958.

Bab 5 merupakan kesimpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari pembuatan sistem ini adalah halaman-halaman informasi yang nantinya dijalankan dengan web browser. Adapun sub-menu yang terdapat di dalam sistem pada

Untuk metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis berganda yang diperkuat dengan Uji Normalitas, Uji Multikolonieritas, Uji

Yaki akan melompat dari satu pohon ke pohon yang lain, sesekali berhenti untuk mengambil buah- buahan atau menangkap hewan-hewan kecil, dan pada akhirnya berhenti

f. Menandatangani surat-surat, laporan-laporan serta dokumen-dokumen lainnya dalam rangka aktifitas Bidang Pemasaran Dalam Negeri sesuai dengan kewenangan yang

1.1 Melaksanakan misi kantor Cabang secara keseluruhan, yaitu membantu Pemimpin Cabang untuk memperoleh laba yang wajar dalam penyediaan produk dan jasa perbankan

Indeks Bisnis-27 merupakan indeks harga saham hasil kerja sama antara PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan Harian Bisnis Indonesia. Harian Bisnis Indonesia sebagai pihak

Berbeda dengan penelitian Naryanto dan Arisman (2017) yang menyatakan bahwa opini audit tidak memiliki pengaruh terhadap audit report lag suatu perusahaan

Pada awalnya perusahaan ini berdiri pada 1917 yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan namanya “ Dienst Voor Water Krachen