• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Student Well-Being Ditinjau dari Persepsi Siswa terhadap Perilaku Internasional Guru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Student Well-Being Ditinjau dari Persepsi Siswa terhadap Perilaku Internasional Guru"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

terhadap Perilaku Internasional Guru

Kurniasari Dwi Wati

Tino Leonardi

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstract. This study aims to find out whether there is any difference in student well-being in terms of student’s perception toward teacher interpersonal behavior.There are eight types of teacher interpersonal behaviors: leadership, helpful/friendly, understanding, student responsibility/freedom, uncertain, admon-ishing, dissatisfied and strict. The difference in student well-being was analyzed based on these eight types. Subjects on this study are 219 students with age ranged from 15 to 18 years old who studied in SMA Negeri 16 Surabaya, a state high school. The data were collected using QTI (Questionnaire on Teacher Interac-tion) developed by Wubbels (1985) for the perception toward teacher interpersonal behavior, and using the student well-being scale developed by the author. Data were then analyzed using One-way ANOVA utiliz-ing IBM SPSS Statistics 22.0. The result showed that there is a statistically significant difference in student well-being in terms of student’s perception toward teacher’s interpersonal behavior with significance level of 0,004. Furthermore, crosstab statistical analysis showed that 53,3% of students who perceived their teacher as having helpful/friendly behavior have high student well-being value, whereas 60% of students who perceived their teacher as uncertain have low student well-being value.Keywords: student well-being, perception, teacher interpersonal behavior, High school student.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan student well-being ditin-jau dari persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru. Terdapat delapan bentuk perilaku interper-sonal guru, yaitu leadership, helpful/friendly, understanding, student responsibility/freedom, uncertain, admonishing, dissatisfied dan strict. Selanjutnya akan dianalisa apakah terdapat perbedaan student well-being ditinjau dari kedelapan bentuk perilaku interpersonal guru tersebut. Subjek penelitian ini berjumlah 219 siswa dengan rentang usia 15-18 tahun yang bersekolah di SMA Negeri 16 Surabaya. Alat pengumpu-lan data untuk mengukur persepsi terhadap perilaku interpersonal guru menggunakan QTI (Question-naire on Teacher Interaction) yang dikembangkan oleh Wubbels (1985) dan skala student well-being yang disusun sendiri oleh penulis. Analisis data dilakukan dengan teknik Anava Satu Jalur dengan bantuan program IBM SPSS Statistics 22.0. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada student well-being ditinjau dari persepsi siswa terhadap perilaku interper-sonal guru dengan nilai taraf signifikansi sebesar 0,004. Hasil analisa tambahan dengan menggunakan teknik statistik crosstabs menunjukkan 53,3 % dari siswa yang mempersepsikan perilaku gurunya helpful/ friendly memiliki tingkat student well-being yang tinggi. Sedangkan 60 % dari siswa yang mempersepsi-kan gurunya sebagai uncertain memiliki tingkat student well-being yang rendah.

Kata kunci : student well-being, persepsi, perilaku interpersonal guru, siswa SMA

Korespondensi: Kurniasari Dwi Wati. Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031)5032770, (031) 5014460, Fax (031) 5025910.E-mail: kurniasaridwiwati@gmail.com

(2)

PENDAHULUAN

Studi mengenai well-being pada rema-ja dalam satu dasawarsa terakhir semakin mendapatkan perhatian yang besar dari para ahli (Casas, dkk., 2004). Hal itu dikarenakan masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju usia dewasa dengan perubahan tugas-tugas dan tuntutan perkembangan. Pada masa ini, remaja menghadapi tantangan-tantan-gan yang berkaitan dentantangan-tantan-gan pencarian identitas, gangguan emosi serta gangguan perilaku ( Si-mons-Morton, dkk., 1999).

Bagaimana kontekstualisasi isu perkem-bangan remaja ini dalam dunia pendidikan? Dengan asumsi bahwa remaja memiliki kapasi-tas intelektual yang semakin berkembang dari fase perkembangan sebelumnya, tuntutan sosial terhadap para remaja dalam hal belajar menjadi semakin besar. Remaja yang pada umumnya be-rada pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas dituntut mampu secara mandiri meregulasi diri untuk menampilkan peforma yang baik di sekolah. Se-jauhmana remaja mampu menampilkan peforma belajar yang baik di sekolah ditentukan dari se-jauhmana Ia mampu memiliki manajemen diri yang baik. Emosi remaja cenderung labil dengan fluktuasi perasaan yang mudah berubah. Remaja dapat dengan mudah jatuh ke dalam kondisi afek yang sangat negatif namun berpeluang berubah menjadi kondisi afek yang positif (Santrock, 2007).

Kondisi negatif inilah yang menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua untuk terus mema-hami dan mencari jalan keluar bahwa pendidikan bukan hanya mengembangkan aspek kognitif saja tetapi juga mampu membantu perkembangan manusia yang seutuhnya, yaitu meliputi aspek fisik, psikologis, sosial, dan religius. Di Surabaya

pernah ditemukan 829 siswa terjaring razia yang dilakukan oleh Satpol PP di 31 kecamatan saat jam pelajaran masih berlangsung (Taufik, 2014). Hal ini membuktikan bahwa banyak siswa remaja yang merasa tidak senang akan kegiatan yang ter-jadi di sekolah, sehingga mereka lebih memilih untuk pergi membolos daripada harus terlibat dalam kegiatan belajar mengajar.

Dengan demikian, kajian mengenai student well-being perlu dilakukan mengingat pentingnya isu tersebut bagi pengembangan kebijakan pen-didikan (Karyani, 2013). Permasalahan pada siswa remaja tersebut diantaranya ditemukan oleh Josef dan Hidayat (2011 dalam Estika, 2014) yang menel-iti 1.200 siswa remaja di Indonesia. Penelmenel-itian tersebut menemukan bahwa 4,6 % responden mengalami ketidakpuasan akut terhadap sekolah. 65 % responden mengalami masalah psikososial dan kesehatan mental dalam tingkat sedang, dan satu dari delapan siswa (12 %) pernah mengalami serangan fisik yang sengaja dilakukan oleh siswa lain. Siswa dengan tingkat well-being yang rendah cenderung melakukan perilaku-perilaku yang merugikan dan sikap anti sekolah (Van Petegem, dkk., 2008), untuk itu diperlukan upaya dalam peningkatan student well-being. Fraillon (2004) mendefinisikan student well-being sebagai suatu kondisi dimana seorang siswa memiliki peranan yang efektif dalam komunitas sekolahnya. Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bah-wa dalam pencapaian student well-being tidak saja ditentukan oleh faktor internal yang merupakan kebutuhan pribadi siswa untuk sejahtera, namun peran lingkungan sosial dalam membentuk kes-ejahteraan siswa tidak dapat dipungkiri memberi-kan kontribusi yang sangat penting.

Berbagai faktor telah dianalisis untuk me-lihat keterikatannya dalam dalam peningkatan student well-being, salah satunya adalah persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal gurunya

(3)

ketika mengajar. Persepsi ini menjelaskan jenis hubungan interpersonal yang telah muncul an-tara guru dan siswa, dan merupakan faktor pent-ing dalam menentukan iklim kelas (Van Houtte, 2005; Fraser, 1994; Maslowski, 2001 dalam Van Petegem, dkk., 2008). Faktor iklim, seperti sistem sosial di dalam kelas, telah terbukti memberi-kan pengaruh langsung pada student well-being (Creemers & Reezigt, 1999; Creemers, 1994 dalam Van Petegem, dkk., 2008).

Perubahan yang signifikan terjadi pada masa remaja, dimana lingkungan sosialnya berkembang ke seluruh sekolah daripada ruang kelas. Para remaja berinteraksi dengan guru dan teman sebaya dengan berbagai latar belakang dan minat yang lebih luas (Santrock, 2007). Kebutu-han untuk menjalin komunikasi dan memper-tahankan ikatan interpersonal yang kuat terma-suk dalam kebutuhan mendasar (Baumeister & Leary, 1995 dalam Gross, Juvonen, & Gable, 2002). Penelitian menunjukkan bahwa pada usia remaja, prediktor yang cukup kuat untuk menjelaskan well-being adalah keterhubungan remaja den-gan orang lain setiap hari, merasa dimengerti dan dihargai serta berbagi interaksi menyenang-kan lainnya (Reis, dkk., 2000). Interaksi yang dilakukan akan memunculkan berbagai bentuk perilaku interpersonal guru (Wubbels & Brekel-mans, 2005) yakni Leadership, Helpful/friendly, Understanding, Student responsibility, Uncertain, Dissatisfied, Admonishing dan Strict.

Perilaku guru terhadap siswa, sangat mem-pengaruhi siswa dalam memahami suatu hal. Dan melalui perilaku yang dihasilkan oleh guru maka akan timbul persepsi siswa terhadapnya. Dinamika yang terjadi di dalam hubungan guru dan siswa menarik untuk diteliti karena kemam-puan siswa dalam mempersepsi perilaku guru mereka tidaklah sama (Frymier & Houser, 2000). Oleh karena itu, peneliti ingin melihat perbedaan

student well-being ketika mereka mempersepsi-kan perilaku interpersonal guru mereka.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dan tergolong dalam penelitian uji perbedaan. Uji perbedaan digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pada variabel dependen keti-ka variabel independennya bervariasi. Hal ini ses-uai dengan maksud penelitian yang ingin men-getahui apakah ada perbedaan student well-being ditinjau dari persepsi siswa terhadap perilaku in-terpersonal guru.

Student well-being didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana seorang siswa memiliki peranan yang efektif dalam komunitas sekolahnya (Fraillon, 2004). Sedangkan untuk membuat kue-sioner mengenai student well-being, indikator dis-usun mengacu pada dimensi yang diungkapkan oleh Fraillon (2004), yakni terdiri atas dimensi in-trapersonal dan dimensi interpersonal. Dimensi intrapersonal ini sendiri memiliki sembilan aspek yang mempengaruhi student well-being, sembilan aspek tersebut adalah otonomi, regulasi emosi, resiliensi, efikasi diri, harga diri, spiritualitas, rasa ingin tahu, keterlibatan, dan orientasi pada kemampuan. Dimensi interpersonal juga memi-liki beberapa aspek yakni communicative efficacy, empati, penerimaan, dan keterhubungan. Bentuk operasional student well-being ditunjukkan dari jumlah skor total yang diperoleh individu atas re-spon yang diberikan terhadap pernyataan dalam kuesioner. Untuk melihat perbedaan student well-being, maka tingkat student well-being akan dikategorisasikan menjadi 3 yakni tinggi, sedang, rendah dengan bantuan program IBM SPSS Sta-tistics 22.0. Student well-being merupakan tema strategis yang memungkinkan untuk memahami skema kehidupan siswa ketika menjalani proses belajarnya di sekolah. Upaya untuk memahami

(4)

student well-being siswa SMA pada penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil sudut pandang persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru.

Persepsi terhadap perilaku interpersonal guru adalah penilaian siswa terhadap perilaku in-terpersonal guru, dimana perilaku inin-terpersonal guru dibatasi pada pengertian tingkat kontrol atas proses komunikasi serta kerjasama yang ditun-jukkan oleh guru sebagai komunikator (Wubbels, 1985). Wubbels, Creton dan Hooymayers (1985, dalam Fisher, Fraser & Cresswell, 1995) mengkaji perilaku guru di kelas dan mengembangkan

se-buah model untuk melihat perilaku interpersonal guru. Berdasarkan model ini, maka dirancanglah Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) untuk mengumpulkan persepsi siswa maupun persepsi guru mengenai perilaku interpersonal guru. QTI digambarkan memiliki dua garis ordinat yang terdiri atas dua dimensi yakni: Influence (Domi-nance–Submission) dan Proximity (Opposition– Cooperation). Influence menunjukkan tingkat kontrol dan dominansi guru terhadap siswa, se-dangkan Proximity menunjukkan tingkat kooper-atif atau kerjasama dan perilaku bersahabat yang dilakukan guru. (lihat gambar 1).

Gambar 1

Model Perilaku Interpersonal Guru (Wubbels, 1985) Sektor-sektor dalam model tersebut

mendeskripsikan 8 bentuk perilaku interpersonal yang berbeda-beda. Kedelapan bentuk perilaku interpersonal yang berbeda-beda itu adalah Leadership, Helpful/Friendly, Understanding, Student Responsibilty/freedom, Uncertain, Dis-satisfied, Admonishing dan Strict. Persepsi siswa terhadap interpersonal guru dalam penelitian ini ditunjukkan oleh skor sektor yang paling tinggi. Misalnya, jika dalam delapan sektor, subjek me-miliki skor tertinggi pada sektor leadership, maka subjek tersebut memiliki persepsi bahwa guru di sekolah tersebut memiliki kemampuan dominan dalam hal kepemimpinan.

Subjek yang turut berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 219 siswa kelas XII SMAN 16 Surabaya dari rentang usia 15 – 18 tahun. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggu-nakan kuesioner yang terdiri atas 2 bagian yaitu kuesioner mengenai student well-being dan kue-sioner mengenai persepsi terhadap perilaku in-terpersonal guru. Pada penelitian ini, kuesioner student well-being disusun berdasarkan dimensi dari Fraillon (2004) dimana setiap dimensi terse-but memiliki aspek-aspek nya masing-masing. Sedangkan kuesioner persepsi terhadap perilaku interpersonal guru mengacu pada The Question-naire on Teacher Interaction (QTI) yang

(5)

dikem-bangkan oleh Soerjaningsih, Fraser dan Aldridge (2001) dan telah disusun dalam Bahasa Indonesia dengan 48 aitem. Subjek penelitian diminta un-tuk mengisi kuesioner yang mengukur persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru saat mengajar di kelas dan tidak direkomendasikan merefleksikan guru berdasarkan frekuensi pem-berian tugas individual atau kelompok, karena perilaku interpersonal guru terbentuk ketika guru sedang mengajar di depan kelas (Tartwijk, dkk., 1998).

Data yang didapat kemudian dianalisis menggunakan teknik statistik parametrik karena semua data berdisitribusi normal dan data pene-litian bersifat homogen sehingga teknik analisis statistik uji perbedaan nya menggunakan One-way between-groups ANOVA dengan bantuan program IBM SPSS Statistics 22.0. Untuk menge-tahui perilaku interpersonal guru manakah yang memberikan tingkat student well-being paling tinggi ataupun paling rendah dibutuhkan analisa data tambahan menggunakan teknik crosstabs. Analisis crosstabs adalah suatu metode analisis berbentuk tabel, dimana menampilkan tabulasi silang atau tabel kontingensi yang digunakan un-tuk mengidentifikasi dan mengetahui apakah ada korelasi atau hubungan antara satu variabel den-gan variabel yang lain (Field, 2009). Crosstabs ini mudah dipahami karena menyilangkan dua varia-bel dalam satu tavaria-bel.

HASIL DAN BAHASAN

Analisis statistik inferensial dilakukan menggunakan teknik analisis parametrik One-way between-groups ANOVA dengan hasil F sebesar 3,109 dengan nilai signifikansinya adalah 0,004 yang berarti lebih kecil dari 0,05. Dengan

demikian hipotesis null (Ho) ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa “terdapat perbedaan tingkat student well-being (X) ditinjau dari persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru (Y)”.

Dari keseluruhan subjek penelitian yang berjumlah 219 siswa, dilakukan kategorisasi sub-jek berdasarkan norma. Norma yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan penormaan yang dibagi menjadi 3 kategori dengan bantuan program IBM SPSS Statistics 22.0. Hasil kategori-sasi subjek berdasarkan norma terlihat hampir seimbang antara tinggi, sedang maupun rendah. Sebanyak 78 siswa (35,7 %) tergolong memiliki student well-being yang tinggi, subjek dengan student well-being sedang sebanyak 70 siswa (31,9 %), dan subjek dengan student well-being rendah sebanyak 71 siswa (32,4 %).

Berdasarkan skor total perilaku interper-sonal guru dari masing-masing subjek, maka dapat diketahui dari masing-masing perilaku interpersonal yang dipersepsi oleh siswanya. Setelah mengetahui bahwa persepsi siswa ter-hadap perilaku interpersonal guru memberikan perbedaan kepada tingkat student well-being, selanjutnya penulis ingin mengetahui perilaku interpersonal guru manakah yang memberikan tingkat student well-being paling tinggi ataupun paling rendah. Dengan bantuan IBM SPSS Sta-tistics 22.0, analisa data menggunakan teknik crosstabs. Analisis crosstabs adalah suatu metode analisis berbentuk tabel, dimana menampilkan tabulasi silang atau tabel kontingensi yang digu-nakan untuk mengidentifikasi dan mengetahui apakah ada korelasi atau hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain (Field, 2009). Crosstabs ini mudah dipahami karena meny-ilangkan dua variabel dalam satu tabel.

Tabel 1

(6)

Perilaku Student Well-being Persentase (%) Interpersonal Frekuensi

Guru Rendah Sedang Tinggi ( %)

Leadership 35,0 43,3 100 60 Helpful/friendly 30,0 53,3 100 30 Understanding 32,3 35,5 100 62 Student Responsibility/ 60,0 20,0 100 5 Freedom Uncertain 40,0 0,0 100 5 Dissatisfied 30,0 20,0 100 10 Admonishing 31,0 20,7 100 29 Strict 22,2 27,8 100 18

Dari hasil tabulasi silang diatas dapat diketahui bahwa tingkat student well-being yang tinggi lebih dipengaruhi oleh perilaku in-terpersonal guru Helpful/friendly dengan nilai 53,3 %, kemudian disusul oleh perilaku Leader-ship dengan 43,3 % dan perilaku Understand-ing dengan nilai 35,5 %. Sedangkan perilaku interpersonal guru yang lain seperti Uncertain, Dissatisfied, Strict dan Admonishing memiliki pengaruh ke tingkat student well-being yang rendah dengan nilai berturut-turut 60%, 50%,

50% dan 48,3 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan student well-being ditinjau dari persepsi siswa terhadap perilaku interper-sonal guru, hipotesis kerja dalam penelitian ini diterima. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan-temuan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan (Opdenakker & Van Damme, 2000; Van Petegem, Aelterman, Van Keer, & Ros-seel, 2007; Van Petegem, Creemers, Aelterman, & Rosseel, 2008).

(7)

Mengapa terdapat perbedaan tingkat stu-dent well-being ketika ditinjau dari persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru? Beberapa penjelasan yang mungkin diajukan untuk per-tanyaan tersebut adalah mengenai efek persepsi positif mengenai perilaku interpersonal guru ter-hadap ketertarikan terter-hadap mata pelajaran yang sedang dipelajari. Persepsi yang positif terhadap perilaku interpersonal guru, menyebabkan siswa memiliki antusiasme dan ketertarikan terhadap mata pelajaran yang diampu oleh guru tersebut (den Brok, Fisher, & Koul, 2005; den Brok, Fischer & Scott, 2005). den Brok, Fisher dan Koul (2005) menjelaskan bahwa siswa yang mempersepsi perilaku interpersonal guru secara positif, cen-derung merasakan kesenangan (pleasure) dan kebermanfaatan (relevance) dari mata pelajaran yang sedang dipelajari. Selain itu kepercayaan diri siswa (confidence) dan usaha siswa dalam belajar akan meningkat. Siswa yang merasa senang dan merasakan kebermanfaatan saat belajar men-jadi percaya diri dan memiliki efikasi diri dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dialami ke-tika belajar.

Melihat hasil kategorisasi persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru di SMAN 16 Surabaya berdasarkan frekuensi, tampak ter-lihat bahwa perilaku understanding merupakan perilaku interpersonal guru yang paling banyak dipersepsi oleh siswa. Sebanyak 62 siswa mem-persepsi guru yang paling berkesan adalah guru dengan perilaku interpersonal understanding. Menurut siswa-siswi tersebut, guru yang memi-liki kesan mendalam adalah guru dengan perilaku interpersonal yang lebih bersifat positif seperti understanding, leadership, dan helpful/friendly. Apabila melihat hasil pengkategorian subjek ber-dasarkan norma, terlihat bahwa siswa dengan well-being tinggi mendapat peringkat paling atas. Sebanyak 78 dari 219 siswa memiliki well-being

yang tinggi, hal ini terjadi dikarenakan banyaknya siswa yang mempersepsi guru mereka dengan perilaku-perilaku interpersonal yang bersifat me-nyenangkan.

Adapun perilaku yang cenderung bersifat negatif seperti uncertain, dissatisfied, admon-ishing, dan strict tidak terlalu banyak muncul dalam persepsi siswa. Dari keempat perilaku tersebut, hanya perilaku admonishing yang me-miliki frekuensi paling banyak. Sebanyak 29 siswa mempersepsi guru mereka yang paling berkesan adalah guru dengan perilaku yang suka menun-jukkan kemarahan, suka menegur, dan menghu-kum siswa.

Hasil penghitungan dengan teknik cross-tabs dapat dilihat bahwa 53,3 % dari total 30 siswa yang mempersepsi gurunya sebagai help-ful/friendly memiliki tingkat student well-being yang tinggi. Perilaku leadership juga memberikan keterkaitan yang positif dengan well-being dilihat dari persentase sebesar 43,3 % dari total 60 siswa. Hal ini mendukung penelitan Van Petegem, dkk. (2008), dimana siswa yang mempersepsi perilaku interpersonal di wilayah dominant-cooperative (DC) yakni leadership dan helpful/friendly akan mengalami peningkatan student well-being. Siswa yang mempersepsi gurunya sebagai seorang yang helpful memiliki well-being tinggi karena persepsi positif tersebut dapat membentuk siswa memiliki kepercayaan diri akan kemampuannya. Dengan begitu siswa akan lebih mudah dalam mengha-dapi masalah-masalah di sekolah, memiliki per-asaan yang positif sehingga performa akademik mereka akan turut meningkat (Kahneman, Die-ner & Schwarz, 1999).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(8)

Berdasarkan penelitian yang telah di-lakukan, dapat disimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan tingkat student well-being ditinjau dari persepsi siwa terhadap perilaku interpersonal guru. Me-lihat dari hasil tabulasi silang, masing-masing perilaku interpersonal guru memiliki keterkai-tan terhadap tingkat student well-being. Tingkat student well-being yang tinggi paling banyak dis-umbangkan oleh persepsi siswa terhadap perilaku Helpful/friendly, sedangkan perilaku yang memi-liki pengaruh terhadap student well-being rendah yaitu Uncertain.

Saran

Terdapat beberapa saran untuk penelitian-penelitian dengan tema atau metode serupa, diantaranya: pertama landasan teori mengenai student well-being di penelitian ini menyebutkan bahwa terdapat dua dimensi yakni dimensi inter-personal dan intrainter-personal, kedepannya diharap-kan dapat lebih mengkaji mengenai dua dimensi

tersebut apakah dapat dipisahkan menjadi dua konstrak yang berbeda. Serta diharapkan dapat mengembangkan psikometris pengukuran stu-dent well-being dengan teknik pengukuran yang lebih valid dan reliable. Kedua, memperluas popu-lasi dan memperbanyak sampel sehingga gamba-ran mengenai perilaku interpersonal lebih bera-gam. Dan lebih memperhatikan cara pengambilan sampel dari sebuah populasi, agar mendapat-kan kesesuaian antara populasi dan sampel. Ke-tiga, perhatikan variabel-variabel lain yang dapat berkontribusi pada persepsi siswa pada perilaku interpersonal gurunya. Karena menurut Levy, dkk. (2003) terdapat beberapa variabel yang mem-pengaruhi perbedaan siswa dalam mempersepsi seperti jenis kelamin, latar belakang etnis guru, mata pelajaran, pengalaman dan lama mengajar guru, serta tingkatan kelas. Keempat, persepsi / self report dari guru itu sendiri dapat membantu menggambarkan bentuk perilaku interpersonal. Untuk penelitian selanjutnya dapat menambah-kan data-data wawancara / self report dari guru sebagai pihak yang dipersepsi oleh siswa.

PUSTAKA ACUAN

Casas, F., González, M., Figuer, C., & Coenders, G. (2004). Subjective Well-Being, Values and Goal Achievement. In Quality-of-Life Research on Children and Adolescents (pp. 123-141). Springer Netherlands.

De Fraine, B., Van Landeghem, G., Van Damme, J., Onghena, P. (2005). An analysis of wellbeing in sec-ondary school with multilevel growth curve models and multilevel multivariate models. Quality and Quantity, 39 (3), 297-316.

den Brok, P., Fisher, D., & Koul, R. (2005). The importance of teacher interpersonal behaviour for sec-ondary science students’ attitudes in Kashmir. Journal of Classroom Interaction, 40, 5-19.

den Brok, P., Fisher, D., & Scott, R. (2005). The importance of teacher interpersonal behaviour for stu-dent attitudes in Brunei primary science classes.International Journal of Science Education, 27 (7), 765-779.

Estika, R. (2014). Penyusunan alat ukur student well-being untuk siswa sekolah menengah. Tesis. Fakultas Psikologi UGM: Yogyakarta.

(9)

Field, A. (2009). Discovering Statistics Using SPSS. Third Edition. Sage Publications. [e-book]

Fisher, D., Fraser, B., & Cresswell, J. (1995). Using the” Questionnaire on Teacher Interaction” in the Pro-fessional Development of Teachers. Australian Journal of Teacher Education, 20 (1), 2.

Fraillon, J. (2004). Measuring student well-being in the context of Australian schooling: Discussion pa-per. The Australian Council for Educational Research, 1-54.

Frymier, A. B., & Houser, M. L. (2000). The teacher-student relationship as an interpersonal relation-ship. Communication Education, 49 (3), 207-219.

Gross, E., Juvonen, J., & Gable, S. (2002). Internet Use and Well-Being in Adolescence. Journal of Social Issues, 58 (1), 75-90.

Kahneman, D., Diener, E., & Schwarz, N. (Ed.). (1999). Well-being: Foundations of hedonic psychology. Russell Sage Foundation.

Karyani, U. (2013). Keluarga sebagai ranah utama kesejahteraan siswa. Prosiding Seminar Nasional Par-enting. Surakarta, 206-213.

Opdenakker, M. C., & Van Damme, J. (2000). Effects of schools, teaching staff and classes on achieve-ment and well-being in secondary education: Similarities and differences between school out-comes. School Effectiveness and School Improvement, 11 (2), 165-196.

Reis, H. T., Sheldon, K. M., Gable, S. L., Roscoe, J., & Ryan, R. M. (2000). Daily well-being: The role of au-tonomy, competence, and relatedness. Personality and social psychology bulletin, 26 (4), 419-435. Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas. Jakarta: Erlangga.

Simons-Morton, B. G., Crump, A. D., Haynie, D. L., & Saylor, K. E. (1999). Student–school bonding and adolescent problem behavior. Health education research, 14 (1), 99-107.

Soerjaningsih, W., Fraser, B. J., & Aldridge, J. M. (2001). Teacher-student interpersonal behaviour and student outcomes among university students in Indonesia. In annual conference of the Australian Association for Research in Education, Fremantle, Australia.

Tartwijk, J. V., Brekelmans, M., Wubbels, T., Fisher, D. L., & Fraser, B. J. (1998). Students’ perceptions of teacher interpersonal style: The front of the classroom as the teacher’s stage. Teaching and Teacher Education, 14 (6), 607-617.

Taufik, M. (2014, Mei). Bolos Sekolah, 829 Pelajar Digaruk Satpol PP. [on-line]. Diakses pada 9 Juli 2015 dari http://www.merdeka.com/peristiwa/bolos-sekolah-829-pelajar-surabaya-digaruk-satpol-pp-di-warnet.html

Van Petegem, K., Creemers, B., Aelterman, A., & Rosseel, Y. (2008). The importance of pre-measure-ments of wellbeing and achievement for students’ current wellbeing. South African Journal of

(10)

Education, 28 (4), 451-468.

Van Petegem, K., Aelterman, A., Van Keer, H., & Rosseel, Y. (2008). The influence of student character-istics and interpersonal teacher behaviour in the classroom on student’s wellbeing. Social Indica-tors Research, 85 (2), 279-291.

Van Petegem, K., Aelterman, A., Rosseel, Y., & Creemers, B. (2007). Student perception as moderator for student wellbeing. Social Indicators Research, 83 (3), 447-463.

Wubbels, T. (1985). Discipline Problems of Beginning Teachers, Interactional Teacher Behaviour Mapped Out.

Wubbels, T., & Brekelmans, M. (2005). Two decades of research on teacher– student relationships in class. International Journal of Educational Research, 43 (1), 6-24.

Referensi

Dokumen terkait

proporsional, lama kelamaan menggambar orang secara proporsional dan lengkap yaitu kepala, badan, tangan dan jarinya, kaki dan jarinya, serta indranya. Ukuran kertas gambar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) peran kepala sekolah sebagai supervisor dalam meningkatkan kompetensi profesi guru di SMP Swasta se- Kecamatan Gondokusuman adalah

AXIAAT PUTUSAN PAILIT BACI HARTA KEKAYAAN DEBITUR MENURUT UNDANG - UNDANG NO.. 4/ Prp / TAHUN

This study was conducted to reveal any sign of communication both verbal and non-verbal as well as the interpretation of the signs of the form of communication in the

Dengan adanya kenyataan tersebut maka timbul pemikiran untuk menganalisa faktor-faktor penerapan SMK3 yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, berkat, dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang

 Pada menu daftar artikel terdapat List artikel yang nantinya bisa dipilih per kategori atau dicari,  List artikel hanya menampilkan Judul artikel, jumlah view, jumlah

Berdasarkan Kedekatan Kelompok Kabupaten dan Kota di Jawa Barat dengan variabel yang dianalisis, kelompok 1 yaitu kota Bandung , kota Bekasi, Kota Depok, kota Cimahi