• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan dan Agenda Masa Depan Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tantangan dan Agenda Masa Depan Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pembangunan Sistem dan Usaha

Agribisnis Indonesia

Dr. Rachmat Pambudy dan Frans BM Dabukke

Pendahuluan

Sebagai suatu paradigma pembangunan ekonomi nasional, maka paradigma pembangunan sistem dan usaha agribisnis harus mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh perekonomian nasional dan mampu mencapai tujuan pembangunan ekonomi itu sendiri. Tujuan pembangunan nasional baik dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya secara mendasar tetap dan hampir sama nilainya secara global, yaitu untuk mencapai kedaulatan, keadilan, kemajuan, dan kemakmuran masyarakat, bangsa, dan negara. Hanya saja, permasalahan yang harus dipecahkan dalam perekonomian nasional berkembang dan bersifat dinamis sesuai dengan perubahan lingkungan baik domestik, internasional maupun global. Disinilah letak tantangan mendasar dari suatu paradigma pembangunan, termasuk paradigma pembangunan sistem dan usaha agribisnis, bagaimana tetap mampu mencapai tujuan masyarakat yang berdaulat, adil, dan makmur serta bangsa dan negara yang juga berdaulat serta maju dibandingkan dengan bangsa dan negara lainnya di dunia ini.

Secara mendasar dan universal, pembangunan ekonomi bersama-sama dengan pembangunan di bidang lainnya, ditujukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkesinambungan, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan. Itulah ukuran dan indikator kemakmuran (welfare) yang paling pokok dan abadi. Secara ekonomi, itu berarti bahwa masyarakat suatu bangsa atau negara, yang diukur dalam ukuran per penduduk (kapita), menikmati hasil pembangunan itu bila pendapatan riilnya dapat meningkat dari tahun ke tahun secara berkesinambungan (kontinyu dan terus-menerus serta tidak fl uktuatif), relatif merata bila dibandingkan antar kelompok pendapatan (rendah vs tinggi, desa vs kota, petani vs pengusaha), dan bersifat ramah lingkungan (enviromental-friendly) serta ramah juga terhadap lingkungan sosial seperti hak asasi manusia dan sensitif gender. Ukuran atau indikator ini secara umum tetap, tetapi tantangan untuk mencapai hal ini yang selalu berubah seiring dengan perubahan atau dinamika lingkungan strategis baik domestik, internasional, dan global. Sehingga pertanyaan

(2)

mendasar bagi paradigma pembangunan seperti pembangunan sistem dan usaha agribisnis adalah bagaimana dan seberapa besar peranan dan kontribusi agribisnis sebagai suatu sistem dan usaha dalam mencapai tujuan mendasar pembangunan ekonomi nasional di atas. Tantangan apa yang dihadapi oleh sistem dan usaha agribisnis saat ini dan dimasa mendatang dalam mencapai peranan dan kontribusi yang diharapkan. Apa agenda pembangunan pokok dan utama/prioritas yang perlu dilaksanakan agar peranan dan kontribusi tersebut dapat dengan efektif dicapai. Isu-isu tersebut akan diangkat dan digambarkan dalam bagian berikut tulisan ini.

Kinerja dan Tantangan Pertanian Ke Depan

Salah satu indikator utama dalam melihat kontribusi atau peranan pembangunan pertanian adalah variabel pertumbuhan nilai tambah (yang diukur dari nilai produk domestik bruto) sektoral, karena pertumbuhan nilai tambah sektor pertanian berkorelasi positif dan signifikan terhadap laju peningkatan pendapatan, laju penambahan kesempatan kerja (pengurangan pengangguran), pengurangan kemiskinan, dan ketahanan pangan. Pada lima tahun masa akhir pemerintahan Orde Baru (1993-1997/8) rata-rata pertumbuhan pertanian hanya 1,57 persen kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,83 persen dalam tiga tahun terakhir ini (2000-2003) dan tahun akhir tahun 2004 pertumbuhan pertanian diperkirakan di atas 2,5 persen. Sementara itu untuk meminimalkan angka kemiskinan, tingkat pengangguran dan menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan, laju pertumbuhan pertanian harus diupayakan agar mencapai 3 sampai 5 persen.

Dewasa ini sektor Pertanian kita telah mulai terlepas dari “perangkap spiral pertumbuhan rendah” yang berlangsung selama periode tahun 1998-1999. Walaupun dengan pertumbuhan 1,83 persen selama periode 2000-2003 sektor pertanian telah melewati fase pertumbuhan rendah (1998-1999), dan kini (2004) tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Apabila momentum pertumbuhan ini dapat dipertahankan dan terus dikembangkan, maka pertumbuhan pertanian 3 sampai 5 persen akan dicapai dalam lima tahun mendatang. Pertumbuhan pertanian antara 3 sampai 5 persen dalam lima hingga 10 tahun kedepan diperkirakan akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi lagi sekaligus akan menciptakan lapangan kerja baru, memeratakan pertumbuhan pada masyarakat berpenghasilan rendah serta mengurangi jumlah orang-orang miskin secara bersamaan.

(3)

Berbekal keyakinan dan fakta statistik di atas, maka pembangunan pertanian yang ditempuh melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang sudah dirintis dan secara kokoh diletakkan fondasinya selama tiga tahun terakhir ini sudah berada pada jalur yang benar (on the right track), hingga perlu ditingkatkankan dan terus disempurnakan. Tentu saja masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam implementasi dan operasionalisasi dari kebijakan mendasar tersebut. Hal tersebutlah yang harusnya menjadi perhatian untuk menjadi agenda pembangunan pertanian oleh pemerintah pada masa yang akan datang.

Bermodalkan fondasi bangunan sistem dan usaha agribisnis yang telah dipersiapkan tersebut, maka ke depan kita bisa lebih memfokuskan diri untuk mengembangkan, menyempurnakan, dan memodifikasi bentuk (model) bangunan dari paradigma sistem dan usaha agribisnis agar mampu mempercepat pencapaian target pertumbuhan 3-5 persen secara konsisten dan berkesinambungan, di mana dengan tingkat pertumbuhan tersebut merupakan prasyarat untuk bisa mengoptimalkan upaya perwujudan kesejahteraan masyarakat petani dan ketahanan pangan nasional.

Tingkat pertumbuhan pertanian yang kita inginkan tidak hanya tinggi, tapi juga berkualitas. Kita tidak ingin memiliki pertumbuhan yang tiba-tiba tinggi tapi rentan terhadap berbagai terpaan hingga cenderung tidak kontinyu. Ke depan, pengalaman krisis pahit multi-dimensi 1997-1998 memberikan pelajaran berharga betapa pentingnya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Pertumbuhan berkualitas hanya akan terjadi apabila dihela oleh sinergi dan kreatifitas masyarakat termasuk pengusaha dan aparat pemerintah dalam suatu pemikiran yang sudah dilaksanakan dan dengan hasil yang baik.

Pertumbuhan yang tercermin pada PDB yang dihela oleh sinergi dan kreatifitas masyarakat pelaku agribisnis melalui kepemimpinan pemerintah yang tepat merupakan fondasi yang kuat untuk berkembang lebih lanjut ke depan. Karena itu, memperkuat dan merangsang makin intensifnya kreatifitas masyarakat (dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat) harus terus ditumbuhkan khususnya dalam rangka menyongsong pembangunan yang lebih berorientasi kerakyatan melalui kepemimpinan pemerintahan yang pintar, kuat, bersih, adil, dan transparan.

Sampai pada akhir tahun 2004, dengan prestasi dan kinerja di atas maka dapat dikatakan bahwa hal yang paling pokok sudah berhasil dicapai yaitu meletakkan pondasi yang kokoh bagi pertumbuhan sektor pertanian yang

(4)

lebih tinggi dan berkesinambungan di tahun-tahun selanjutnya (take-off). Kinerja ini bisa dicapai karena, telah berhasil di atasinya persoalan-persoalan krisis ekonomi (rescue) dan dipulihkan (recovery) secara menyeluruh dari kondisi krisis ekonomi. Pernyataan ini dapat dilihat dan dibuktikan dari statistik dan informasi berikut ini.

Sektor pertanian dapat bertumbuh dan menyumbang produk domestik bruto (PDB) secara berkesinambungan sejak tahun 2005-2009 dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 2,72 %; 3,36 %; 3,43 %; 4,77 % dan diperkirakan 4,91 %. Produksi pangan utama nasional juga mampu bertumbuh positif dan relatif tinggi selama 5 tahun terakhir. Secara konsisten produksi padi nasional mampu bertumbuh dari 54,09 juta ton di tahun 2004 menjadi 54,15 juta ton di tahun 2005 lalu meningkat menjadi 54,56 juta ton di tahun 2006 lalu meningkat tajam menjadi 57,16 juta ton pada tahun 2007 serta mencapai 60,33 juta ton pada tahun 2008. Pada tahun 2008 Indonesia kembali mampu mencapai swasembada beras kembali setelah tahun 2004. Bahkan diperkirakan pada tahun 2009, produksi padi nasional dapat mencapai 62,56 juta ton. Produksi komoditas pangan lainnya juga secara umum bertumbuh secara berkesinambungan, walau komoditas peternakan masih ada yang stagnan bahkan menurun produksinya.

Kinerja kontribusi dan peranan sektor pertanian secara makro lainnya juga relatif tinggi, baik bila dilihat dari indikator tingkat inflasi, neraca perdagangan, investasi luar negeri, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan. Kontribusi dan peranan secara makro ini dapat dicapai karena adanya prestasi dan kinerja yang baik dalam level mikro yaitu melalui peningkatan produksi, peningkatan ekspor, peningkatan daya saing, dan dukungan kebijakan pemerintah yang efektif.

Walaupun demikian, masih terdapat beberapa persoalan pokok dan tantangan mendasar baik pada level makro maupun mikro yang masih harus ditangani yang berkaitan dengan sektor pertanian, dan juga dalam sistem dan usaha agribisnis. Persoalan pokok dan tantangan dalam level makro antara lain seperti: masih relatif rendahnya nilai tukar petani (NTP) dan dalam jangka menengah serta panjang masalah ini belum meningkat secara mendasar; neraca perdagangan internasional yang masih timpang dalam pengertian bahwa hampir sebagian besar komoditas utama kita seperti pangan, peternakan, dan hortikultura masih net impor (defisit neraca perdagangan) walaupun secara keseluruhan defisit neraca perdagangan tersebut mampu ditutupi oleh komoditas atau subsektor perkebunan (yang hanya terdiri dari

(5)

beberapa komoditas ekspor bernilai tinggi seperti minyak kelapa sawit, karet, kakao, dan teh); pertumbuhan lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha sektor pertanian yang masih relatif rendah dan stagnan dalam pengertian pertumbuhan lapangan pekerjaan dan usaha baru yang mampu diciptakan tiap tahun, yang berkisar hanya antara 250 ribu - 1 juta lapangan pekerjaan baru, pasti tidak akan mampu menampung dan memberi pendapatan bagi sekitar 45 juta orang yang bekerja di sektor pertanian plus penambahannya tiap tahun; dan kondisi ini lalu berkaitan langsung dengan kejadian kemiskinan di sektor pertanian yang juga akhirnya tetap tinggi dalam angka absolut walaupun dalam persentase mungkin mampu dikurangi; dan lainnya.

Sementara dalam level yang lebih mikro, persoalan pokok yang dihadapi lebih bersifat struktural dan sistemik, seperti : stagnansi produktifitas komoditas pangan utama kita yang berkaitan erat dengan rendahnya pengembangan dan penerapan inovasi dan teknologi tepat-guna (memang sudah banyak penemuan dan teknologi yang dihasilkan dan ‘dipublikasikan’, tapi kalau soal teknologi dan inovasi, pertanyaan mendasarnya adalah penerapannya bukan penemuannya); stagnansi pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur dasar pertanian seperti irigasi (baik teknis dan non-teknis), jalan, sarana pengolahan, dan lainnya; stagnansi pendalaman dan perluasan struktur baik industri maupun produk pertanian sehingga nilai tambah dan penetrasi pasar baru relatif rendah; sumberdaya manusia (dalam pengertian entepreneurship/kewirausahaan) masih relatif rendah dan kurang mendapat perhatian mendasar dan serius ditambah dengan lemahnya organisasi dan kepemimpinan kelembagaan petani (termasuk pengusaha-tani).

Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian Mendatang

Dalam rangka melaksanakan pembangunan pertanian melalui paradigma pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Maka ada beberapa kebijakan mendasar yang bersifat makro perlu ditempuh. Kebijakan makro yang dimaksudkan di sini adalah upaya untuk menciptakan iklim ekonomi yang kondusif bagi pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Kebijaksanaan dapat ditempuh melalui instrumen makro ekonomi, baik moneter maupun fiskal.

Instrumen moneter seperti suku bunga, uang beredar dan nilai tukar dapat dijadikan alat kebijakan dalam merangsang berkembangnya sistem dan usaha agribisnis. Dengan menetapkan suku bunga yang relatif rendah serta perlakuan kredit khusus bagi investasi dan atau modal kerja unit usaha yang bergerak dalam bidang agribisnis, maka pertumbuhan unit usaha sektor

(6)

agribinis diharapkan makin cepat sehingga pertumbuhan bergandanya pun dapat diharapkan lebih cepat. Untuk itu harus dirancang kebijaksanaan moneter agar memudahkan tersedianya modal bagi usaha-usaha agribisnis.

Instrumen penting kebijakan fiskal yang dapat dilakukan pemerintah adalah alokasi pengeluaran pemerintah untuk pembangunan dan perlakuan pajak. Pembelanjaan anggaran pembangunan (investasi pemerintah) harus memberikan bobot yang lebih besar terhadap pembangunan sektor riil yang terkait langsung dengan pembangunan sistem dan usaha agribisnis.

Sementara itu penerapan pajak dalam rangka perolehan dana pembangunan harus dilakukan secara bijak agar mampu merangsang dunia usaha yang bergerak dalam sektor agribisnis. Kebijaksanaan perpajakan perlu diarahkan untuk mempercepat transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Kebijakan pajak yang terencana dengan baik juga dapat diarahkan untuk mempercepat laju peningkatan dan perlambatan produksi pertanian tertentu. Instrumen perpajakan juga dapat dimanfaatkan untuk mengatur laju konversi lahan pertanian.

Strategi Pembangunan Pertanian Mendatang

Strategi dasar yang perlu diterapkan untuk mempercepat pertumbuhan pertanian melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis ini adalah proteksi dan promosi. Prinsip kebijakan ini adalah menerapkan kebijakan pembangunan pertanian secara nasional yang terdesentralisasi, seraya melindungi dari praktek unfair-trade (dumping) dari negara lain, kita tumbuh-kembangkan dan tingkatkan daya saing agribisnis dalam negeri dengan fasilitasi dan dukungan proteksi pemerintah.

Kita setuju dengan semangat free trade yang diprakarsai WTO tapi harus fair trade (perdagangan yang adil). Kalau negara lain masih melakukan perlindungan pada agribisnisnya, maka wajar kita juga berhak melindungi agribisnis kita sesuai dengan prinsip-prinsip asas kesetaraan dan timbal balik WTO.

Proteksi dapat dilakukan melalui mekanisme tarif atau bea masuk, perlakuan karantina serta pengaturan pasar/tataniaga. Tentu saja kebijakan dengan strategi proteksi ini harus disosialisasikan dan diyakinkan kepada negara lain dalam forum-forum bilateral, multilateral serta forum internasional yang lebih luas dan melalui diplomasi internasional yang bijaksana.

Promosi pembangunan agribisnis dapat dilaksanakan baik melalui instrumen budgeter maupun non-budgeter. Instrumen budgeter dilakukan

(7)

antara lain melalui alokasi anggaran pembangunan dekonsentrasi. Saat ini APBN Departemen Pertanian langsung disalurkan ke provinsi dan kabupaten/ kota, bantuan langsung ke kelompok tani, rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur pertanian-pedesaan, bantuan barang-barang modal, subsidi pupuk dan benih, bantuan pembinaan SDM dan penyuluhan, dan lain-lain.

Sedangkan instrumen non-budgeter kita lakukan antara lain melalui deregulasi pupuk, deregulasi pestisida dan alat mesin pertanian, penghapusan PPN komoditas pertanian, penyediaan skim perkreditan bersubsidi seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dan dana talangan bagi Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) serta asistensi kepada pemerintah daerah dan pelaku agribisnis.

Agenda dan Program Pokok Pembangunan Pertanian

Lima Tahun Ke Depan

Dengan dipayungi oleh kebijakan makro dan strategi dasar nasional maka pengembangan paradigma sistem dan usaha agribisnis, selanjutnya dibuat program-program untuk mengisi kekuarangan selama lima tahun terakhir dan melanjutkan keberhasilan peningkatan produksi, pengurangan jumlah petani miskin dan meningkatkan nilai tukar petani atas produk produk primernya melalui program pokok industrialisasi berbasis pertanian. Program-program pokok itu secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut:

A. Pengembangan Ketahanan pangan

Ketahanan pangan merupakan salah satu isu paling strategis dalam pembangunan suatu negara, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang berpenduduk besar. Perhatian terhadap peningkatan ketahanan pangan (food security) mutlak diperlukan karena terkait erat dengan ketahanan sosial (social security), stabilitas ekonomi makro, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional (national security).

Ketahanan pangan juga sangat terkait dengan aspek kemiskinan. Kemiskinan mempunyai dimensi yang luas, namun yang utama adalah ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar pangan bagi kehidupan yang layak, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu langkah strategis yang harus tetap diprogramkan.

Program peningkatan ketahanan pangan diarahkan untuk mencapai ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan kebersinambungan

(8)

produk-produk pangan utama penduduk yang dibarengi dengan peningkatan daya beli, pendapatan, dan lapangan usaha serta pengurangan penduduk miskin kurang pangan. Program ketahanan pangan yang dilaksanakan seharusnya juga mampu memberikan peningkatan pendapatan dan daya beli serta kemakmuran kepada petani produsen tanaman pangan pokok, dan tidak lagi hanya menjadi subjek dari peningkatan produksi semata. Seperti selama ini, peningkatan produksi pangan utama nasional kurang berkorelasi langsung dengan peningkatan pendapatan dan daya beli produsen produk pangan itu sendiri, dalam arti petani. Dengan demikian, maka peningkatan produksi pangan (yang berkorelasi langsung dengan tingkat inflasi dan stabilitas makroekonomi) sekaligus juga menyumbang bagi pertumbuhan ekonomi nasional karena adanya peningkatan pendapatan dan daya beli sebagian besar penduduk melalui peningkatan komponen konsumsi privat (consumption) nasional. Paradigma dan cara pandang ini harus terus diperjuangkan dalam konteks peningkatan ketahanan pangan.

B. Pengembangan SDM Pertanian

Pengembangan sumberdaya manusia (SDM) merupakan hal pokok yang strategis dan prioritas yang perlu diperhatikan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan, SDM tidak hanya sekedar faktor produksi melainkan yang lebih penting lagi adalah pelaku langsung dalam sistem dan usaha agribisnis. Sumberdaya manusia sistem dan usaha agribisnis lah yang merencanakan, melaksanakan, dan menikmati proses produksi. Mereka jugalah yang menanggung resiko dan akibat yang timbul dari seluruh proses produksi yang dikerjakan. Mereka jugalah yang berusaha dan mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menunda penerapan suatu inovasi dan teknologi dan berbarengan dengan itu mereka jugalah yang menangkap dan menciptakan nilai tambah dari dinamika pasar baik saprodi maupun produk yang mereka hasilkan. Jadi merekalah yang harus menjadi target, objek, dan penikmat dari seluruh upaya pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

SDM pertanian yang dimaksud mencakup: A. Para petani dan pengusaha-tani (wirausahatani-agribisnis) yang jumlahnya puluhan juta; yang tiap hari berkutat dan menjalankann proses produksi; B. Para pengusaha (pelaku usaha) di bidang pertanian dan agribisnis yang mengusahakan dan menjalankan bisnis pengadaan dan pemasaran baik sarana produksi yang diperlukan maupun produk yang dihasilkan petani; C. Aparat pemerintah yang membuat dan mengembangkan kebijakan seperti membuat Undang

(9)

Undang dan peraturan serta mengawasi yang pelaksanaan atas peraturan-peraturan tersebut serta memfasilitasi proses produksi petani.

Dalam era persaingan sekarang ini, yang bersaing sebenarnya bukan komoditas pertaniannya tetapi adalah orang orang yang berada dibalik produk itu. Orang-orang yang terlibat dalam menghasilkan komoditi itu, baik langsung maupun tak langsung. Orang-orang itu mulai dari Presiden, Menteri, maupun pejabat lainnya. Orang-orang inilah yang bersaing dengan rekan-rekannya di negara lain. Kalau komoditas kita kalah bersaing, sebenarnya merekalah yang kalah. Selanjutnya SDM atau kelompok orang yang paling penting dalam kancah persaingan perdagangan produk pertanian adalah petaninya, pedagangnya, serta pengusahanya. Dengan kata lain, yang bersaing adalah wirausahanya.

Kesejahteraan rakyat suatu negara berkorelasi erat dengan jumlah dan kualitas wirausahanya. Makin banyak dan makin kuat (mampu menghasilkan barang dan jasa yang dapat menerobos pasar di luar negeri) wirausahawan yang dimiliki suatu negara, makin sejahtera rakyatnya. Dalam konteks seperti itu salah satu tugas pemerintah yang penting adalah bagaimana menumbuhkan, membina, dan mengembangkan wirausahawan; bagaimana menciptakan iklim yang baik dan kondusif bagi wirausahawan agar bertambah banyak dan kuat, agar pertumbuhan mereka dapat mempunyai implikasi bagi pertumbuhan ekonomi nasional serta mampu meningkatkan tabungan nasional secara lebih merata dan berkesinambungan. Pertanyaan selanjutnya di sektor mana wirausaha itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan relatif lebih cepat (Pambudy 2003).

Agribisnis dalam kaitan ini mencakup kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan, peternakan, pariwisata (agro and eco tourism) yang seluas-luasnya (hulu - on farm - hilir dan jasa-jasa penunjangnya). Dengan demikian, pengembangan wirausahawan dapat diarahkan paling tidak dalam lima kelompok besar (subsistem) pengembangan yaitu :

Pertama : Mengembangkan wirausahawan dan perusahaan keluarga/ kecil/menengah dan besar yang bergerak dalam lingkup subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yakni industri yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian (arti luas) yakn industri perbenihan/pembibitan tumbuhan dan hewan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, dan obat/vaksin ternak) dan industri agro-otomotif (mesin dan peralatan pertanian) serta industri pendukungnya.

(10)

Kedua : Mengembangkan wirausahawan dan perusahaan keluarga/ kecil/ menengah dan besar yang bergerak dalam subsistem usahatani (on-farm agribusiness) yakni kegiatan yang menggunakan barang-barang modal dan sumberdaya alam untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Termasuk dalam hal ini adalah usahatani tanaman pangan dan hortikultura, tanaman obat-obatan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.

Ketiga : Mengembangkan wirausahawan dan perusahaan keluarga/kecil/ menengah dan besar yang bergerak dalam subsistem pengolahan (down-stream agribusiness) yakni industri yang mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri) menjadi produk antara (intermediate product) maupun produk akhir (finish product). Termasuk di dalamnya industri makanan, minuman, industri barang-barang serat alam (karet, plywood, pulp, kertas, bahan-bahan bangunan terbuat dari kayu, rayon, benang dari kapas/sutra, barang-barang kulit, tali, dan karung goni), industri biofarma, agrowisata, dan estetika.

Keempat : Mengembangkan wirausahawan dan perusahaan keluarga/ kecil/menengah dan besar yang bergerak dalam subsistem pemasaran yakni kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas pertanian, baik segar maupun olahan di dalam dan luar negeri. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan distribusi komoditi dari sentra produksi ke konsumen, promosi, informasi pasar, serta intelejen pasar (market intelligence).

Kelima : Mengembangkan wirausahawan dan perusahaan keluarga/kecil/ menengah dan besar yang bergerak dalam subsistem jasa yang menyediakan jasa bagi subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir. Termasuk dalam subsistem ini adalah jasa perkreditan dan asuransi, transportasi, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, sistem informasi.

C. Pengembangan Kelembagaan

Unsur kelembagaan (orang, nilai, norma, aturan, struktur, organisasi, dan lainnya) merupakan unsur dasar dalam pengembangan baik itu sumberdaya manusia maupun pengembangan faktor fisik usaha di bidang pertanian dan sistem agribisnis. Usaha dan manusia (SDM) tidak bisa dilepaskan dari unsur kelembagaanya. Untuk itu maka pengembangan kelembagaan harus melekat dan sinergis dalam setiap program pembangunan yang akan dilaksanakan, baik itu kelembagaan sosial dan politik petani, kelembagaan ekonomi, bahkan kelembagaan budayanya sekalipun. Pembangunan agribisnis dengan slogan dasar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat di setiap daerah memerlukan pengembangan kelembagaan dan organisasi ekonomi

(11)

sesuai kebijakan lokal (local wisdom). Paradigma pembangunan di masa lalu yang memusatkan dan memaksakan unsur-unsur kelembagaan terpusat dan seragam menyebabkan banyak kelembagaan tradisional/lokal yang sebelumnya bagian dari perekonomian lokal menjadi rusak bahkan hilang. Oleh sebab itu, kelembagaan tradisional/lokal perlu dibangkitkan kembali dan didayagunakan untuk pembangunan agribisnis.

Misalnya, kebutuhan permodalan dalam agribisnis akan selalu berlangsung sesuai perkembangan usaha. Program penyediaan modal (credit program) yang sifatnya langsung berupa bantuan modal saja dapat menyebabkan ketergantungan para pelaku agribisnis terhadap uluran tangan pemerintah. Oleh karena itu, fokus program mendatang perlu lebih ditujukan pada pengembangan lembaga keuangan untuk menjadi sumber permodalan bagi usaha-usaha agribisnis. Khusus bagi petani sebagai pelaku agribisnis perlu diupayakan penyediaan kredit dengan prosedur sesederhana mungkin, suku bunga kondusif serta sistem agunan yang dapat dipenuhi petani dan begitu juga dengan program-program pembangunan lainnya, harus memasukkan unsur kelembagaan ini sejak dari awal sampai tahap evaluasi dan monitoring program.

Kelembagaan dan organisasi petani yang mampu menghimpun petani dalam memperjuang kepentingannya (sosial, politik pertanian, dan ekonomi petani) harus terus ditumbuhkan sebagai mitra strategis untuk memperjuangkan kepentingan petani sendiri. Selama ini telah tumbuh organisasi-organisasi yang mengakar dan besar serta disegani di kalangan petani seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan Nasional), APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), BK-APTRI (Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), serta Lembaga Masyarakat yang Mandiri dan Mengakar (LM3) yang selama ini telah tumbuh dan ditumbuhkan untuk memperjuangkan petani dan masyarakat perdesaan. Tantangan masih tetap bagaimana kelembagaan dan organisasi ini makin meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam memperjuangkan dan memperoleh posisi tawar yang kuat dan efektif untuk setinggi-tinggi dan sebesar-besarnya kemakmuran petani dan keluarga serta organisasinya.

D. Pengembangan Infrastruktur Pertanian

Keberadaan infrastruktur tidak hanya dibutuhkan untuk mendukung usaha agribisnis yang sudah ada, tapi juga merangsang tumbuhnya usaha-usaha baru yang dibutuhkan dalam pembangunan agribisnis. Infrastruktur

(12)

yang diperlukan untuk memacu pembangunan pertanian dan perdesaan antara lain; (1) jalan desa, jalan akses antar kota, kabupaten dan antar propinsi, (2) fasilitas penampung air (dam, waduk, dan bendungan) dan saluran irigasi sampai ke lahan petani, (3) jaringan listrik yang bisa diakses dan terjangkau bagi petani dan penduduk desa, (4) jaringan air bersih yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh petani, dan (5) jaringan telekomunikasi perdesaan yang mampu menjangkau dan dapat diakses oleh petani dan penduduk perdesaan.

Dalam lebih sepuluh tahun terakhir ini terutama sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998, pengembangan infrastruktur pertanian dapat dikatakan terabaikan (ignored) atau dikesampingkan (neglected) oleh pemerintah. Paling tidak, bila diperhitungkan dari kebutuhan pembangunan infrastruktur yang seharusnya dengan program pembangunan yang telah dijalankan, proporsinya sangat tidak berarti atau tidak signifikan. Dalam kondisi seperti ini, sektor pertanian masih mampu menunjukkan kinerja yang membanggakan, maka kalau dukungan pengembangan infrastruktur ini dilaksanakan oleh pemerintah maka prestasi dan kinerja sektor pertanian akan jauh semakin baik.

E. Pengembangan Kebijakan Penelitian Dan Pengembangan

Dengan bergesernya peranan pemerintah dalam proses pembangunan di masa mendatang, maka fungsi pemerintah dalam menghasilkan teknologi dan berbagai model kelembagaan agribisnis akan semakin strategis dalam mendorong pembangunan agribisnis. Penelitian di bidang perbenihan, budidaya hingga pasca panen yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani harus menjadi perhatian pemerintah.

Di masa mendatang, dengan terbatasnya sumberdaya penelitian yang dimiliki pemerintah, keterlibatan penelitian oleh pihak swasta, organisasi profesi, LSM, dan organisasi petani sangat dibutuhkan dan perlu digerakkan secara lebih intensif. Perlu dikembangkan sistem dan jaringan kemitraan pengembangan dan penerapan inovasi dan teknologi antara seluruh pemangku kepentingan berbasis komoditas dan produk. Dalam sistem dan jaringan ini, pemerintah bersama dengan pihak swasta saling bersinergis dan saling memperkuat kapasitas dan kapabilitas pengembangan dan penerapan inovasi dan teknologinya agar petani dapat dengan efektif dan tepat guna menerapkan inovasi dan teknologi yang dikembangkan.

(13)

F. Pengembangan Industri Pengolahan

Pembangunan sektor industri seyogyanya lebih ditujukan untuk menjadikan sektor industri sebagai tulang punggung kegiatan agribinis, khususnya untuk memperkuat bagian hulu dan hilir dari sistem agribinis. Dalam kaitan ini, pembangunan sektor industri harus lebih diarahkan untuk pengembangan agroindustri yang menunjang pengembangan komoditas pertanian andalan utama sebagian besar petani dan mampu memenuhi standar mutu permintaan pasar.

Kebijakan untuk memfokuskan pilihan pembangunan sektor industri terhadap agroindustri merupakan kebijakan mendasar yang membutuhkan kearifan dari para penentu kebijaksanaan demi sinkronisasi pembangunan secara nasional. Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Departemen Pertanian adalah mengembangkan kebijakan dan mendorong tumbuhnya industri primer pertanian melalui, Institusi Badan Litbang, Badan SDM serta instusi pokok Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hasil Pertanian. Selanjutnya, untuk kebijakan industri yang lebih hilir kewenangannya ada di Departemen Perindustrian.

G. Pengembangan Perdagangan/Pemasaran dan

Kerjasama Internasional

Posisi Indonesia dalam perdagangan global haruslah tetap ditempatkan dalam kerangka pembangunan ekonomi Indonesia. Instrumen-instrumen perdagangan seperti bea masuk, pajak ekspor, dan hambatan non-tarif harus dirancang dalam kerangka memperkuat struktur industri termasuk agroindustri dan merangsang tumbuhnya usaha-usaha agribisnis nasional. Harus ada kebijakan proteksi yang bersifat sementara untuk memberikan perlindungan yang wajar bagi produk-produk agribisnis lokal.

Arah kebijakan perdagangan yang pro petani dan pro pembangunan pertanian adalah syarat mutlak dalam membangun pertanian dan menyejahterakan petani Indonesia. Kalau negara negara lain masih melakukan perlindungan (proteksi) pada petani dan produk pertaniannya melalui kebijakan perdagangan negaranya, maka adalah suatu kewajaran bagi Indonesia melalui Departemen Perdagangan RI, melakukan perlindungan bagi petani dan produk pertaniannya sesuai prinsip dan asas kesetaraan serta timbal balik dari ketentuan WTO.

Selama periode 2000-2004, diplomasi perdagangan yang dilakukan Dubes Indonesia untuk WTO di Geneva dengan dukungan dari Departemen

(14)

Perdagangan dan Perindustrian serta Departemen Pertanian RI, telah berhasil memperjuangkan perlakuan khusus bagi empat komoditas pangan strategis, yang mencakup beras, gula, jagung, dan kedelai. Dengan keberhasilan diplomasi itu maka pemerintah Indonesia berhak melindungi komoditi yang dihasilkan petaninya dengan perlakuan tarif bea masuk khusus. Dalam rangka memperjuangkan komoditas strategisnya, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan dan didukung 33 negara didunia yang mempunyai kepentingan yang sama.

H. Pengembangan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Pembangunan agribisnis yang mendayagunakan keragaman sumberdaya alam (hayati) tidak akan sustainable bila sumberdaya air, lahan dan keragaman hayati tidak dilestarikan. Oleh karena itu, upaya pelestarian sumberdaya air, lahan, dan keragaman hayati mau tidak mau harus ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan agribisnis. Contoh konkrit adalah menyangkut sumberdaya air dan lahan. Saat ini, krisis air dan banjir menjadi bagian dari persoalan pertanian yang tidak mudah dikendalikan, pelestarian air melalui konservasi lahan dan hutan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan pertanian dalam jangka menengah dan panjang.

Penutup

Sebagian besar penduduk Indonesia berada di wilayah perdesaan dan mereka hidupnya tergantung pada sektor pertanian serta sebagian besar dari mereka juga masih berada dalam cengkeraman kemiskinan. Dengan demikian, sektor pertanian amat strategis dalam rangka membebaskan penduduk di perdesaan dari kemiskinan, meningkatkan taraf hidup sebagian besar penduduk perdesaan, dan penyediaan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian kita ke depan harus dipandang sebagai pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan, dengan sasaran utama peningkatan kesejahteraan masyarakat petani dan pemantapan ketahanan pangan nasional.

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sektor pertanian adalah terbatasnya kemampuan sektor pertanian dalam menyediakan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan bagi petani karena terbatasnya akses petani terhadap infrastruktur, sumberdaya pertanian, utamanya akses pada sumberdaya lahan, kredit, teknologi, dan pasar bagi hasil usaha primernya. Hal ini mengisyaratkan perlunya pembangunan pertanian

(15)

untuk dilakukan secara komprehensif dan terpadu dengan pengembangan sektor komplemennya (agroindustri, penyediaan kredit, teknologi melalui penyuluhan, dan pasar), sehingga diperoleh sumber nilai tambah di luar lahan dan upah tenaga fisiknya.

Dengan pemikiran yang demikian, maka strategi pembangunan pertanian harus diletakkan dalam perspektif pembangunan nasional yang secara utuh meliputi sektor primer, sektor sekunder (sektor industri agro) dan sektor tersier (jasa-jasa layanan penunjang). Inilah sebenarnya makna hakiki dari strategi pembangunan sektor pertanian dengan pendekatan paradigma sistem dan usaha agribisnis.

Dengan pendekatan sistem dan usaha agribisnis tersebut, maka pembangunan pertanian jelas berbasis pada rakyat dan keberlanjutannya akan terjamin dengan sendirinya karena pengembangannya berbasis pada sumberdaya lokal. Pendekatan pembangunan yang berasal dari rakyat dilaksanakan oleh rakyat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan keadilan seluruh rakyat Indonesia merupakan tantangan yang berpeluang menang dalam menghadapi persaingan global yang makin ketat dan tajam.

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini penulis membuat sebuah prototipe ajungan tunai mandiri untuk melakukan switching antar bank, media yang digunakan adalah website dimana

Motivasi tersebut harus diberikan sehingga minat atau kemauan siswa untuk mempelajari matematika muncul, sehingga pada proses belajarnya mereka akan fokus dan dapat menerima dengan

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik angket yaitu, daftar pertanyaan yang diajukan kepada guru Penjasorkes yang

Gejala klinis dari ikan lele sampel adalah luka kemerahan/borok ( ulcer ) pada permukaan tubuh, perut kembung, sirip gripis yang disertai luka kemerahan pada sirip

Proses bimbingan sekolah untuk praktikan secara langsung maupun tidak langung dilakukan oleh guru pamong, koordinator guru pamong, kepala sekolah, dosen pembimbing, dan

Dari argumen-argumen tersebut diasumsikan bahwa keberadaan wanita memiliki kelebihan dari pada jika semua anggota dewan laki-laki, wanita mampu menciptakan kondisi yang

penyuluhan dan pemicuan terhadap perubahan sikap Kepala Keluarga tentang Stop BABS di Desa Bumiharjo Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur (p<0,05)

Mungkin kurikulum tidak berkesesuaian dengan kondisi lingkungan dan sarana prasarana tidak memadai akan menghasilkan pendidikan dengan out put (hasil) yang