15
Tinggi lutut sebagai prediktor dari tinggi badan
pada lanjut usia
Oktavianus Ch. Salim, Rina K. Kusumaratna, Novia I. Sudharma dan Adi Hidayat
a Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas TrisaktiABSTRAK
Pada tahun 2025, Indonesia termasuk negara kelima yang akan memiliki populasi lanjut usia (lansia/berusia 60 tahun ke atas) yang tinggi setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan Meksiko. Tinggi dan berat badan digunakan untuk menentukan status gizi seseorang. Namun, tinggi badan pada lansia seringkali bias akibat kompresi tulang belakang. Para peneliti telah berusaha mencari parameter lain yang dapat menggantikan tinggi badan. Tinggi lutut direkomendasi oleh World Health Organization untuk digunakan sebagai prediktor dari tinggi badan pada lansia. Chumlea et al telah merumuskan sebuah persamaan untuk estimasi tinggi badan pada subjek lansia Kaukasoid dengan menggunakan tinggi lutut. Namun kemampuan persamaan tersebut untuk memprediksi tinggi badan lansia pada etnik lain masih perlu dipertanyakan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi model persamaan untuk memprediksi tinggi badan menggunakan tinggi lutut yang dirumuskan berdasarkan ras Kaukasoid pada lansia. Di samping itu penelitian juga bertujuan merumuskan suatu model persamaan untuk memprediksi tinggi badan lansia berdasarkan tinggi lutut. Untuk lansia di Indonesia Studi potong silang dilakukan dengan mengikut sertakan 116 lansia perempuan dan 34 laki-laki untuk validasi penggunaan model berdasarkan ras Kaukasoid. Seratus sembilanpuluhdua lansia perempuan dan 84 laki-laki diikut sertakan untuk merumuskan persamaan baru untuk lansia di satu kecamatan di Jakarta Selatan. Hasil penelitian menunjukkan tinggi badan lansia perempuan yang diukur langsung berbeda dengan prediksi tinggi badan berdasarkan ras Kaukasoid, tetapi pada lansia laki-laki tidak berbeda. Model regresi baru telah dirumuskan untuk prediksi tinggi badan lansia menggunakan tinggi lutut.
Kata kunci : Tinggi badan, tinggi lutut, jenis kelamin, validasi, lanjut usia
Knee height as a predictor for stature in the elderly
ABSTRACTIn the year of 2025, Indonesia will be the one of the five countries with the highest number of the elderly people in the world after China, India, USA and Mexico. Height and body weight are two anthropometric measures frequently used to determine nutritional status. Height of an elderly person is not always obtained; it may be systematically biased due to skeletal compression. Knee height has been recommended by the World Health of Organization to estimate the stature in the elderly. Chumlea et al had developed equations to estimate the stature of elderly Caucasian subjects using knee height. However, the ability of such equations to successfully predict stature in other ethnic groups seems questionable. The purpose of this study was to validate the use of the Caucasian equations in predicting stature and to develop ethnic-specific regression models for stature in Indonesian elderly. A cross sectional study was conducted with 116 elderly women and 34 men to validate the use of Caucasian model equations. One hundred ninety two elderly women and 84 men were included to formulate ethnicity specific equations in one sub-district in South Jakarta. This study showed that the measured of stature predicted by the Caucasian-based equation were significantly different in elderly women but not in men. New regression models are being developed to predict the stature of elderly using knee height.
Keywords: Stature, knee height, gender, validation, elderly
Korespondensi : aAdi Hidayat
Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti Jl. Kyai Tapa No.260, Grogol Jakarta 11440
PENDAHULUAN
Di seluruh dunia, populasi penduduk lanjut usia (lansia) yang berusia 60 tahun ke atas meningkat lebih cepat dibandingkan kelompok usia lainnya. Pada tahun 2002, populasi lansia jumlahnya sekitar 600 juta dan pada tahun 2025 akan meningkat dua kali lipat.(1) Pada tahun
2 0 2 5 , s e k i t a r 8 0 % d a r i p o p u l a s i l a n s i a bertempat tingal di negara berkembang termasuk Indonesia.(2) Indonesia termasuk negara kelima
yang akan memiliki populasi lansia yang tinggi setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan Meksiko. Proses ini merupakan tantangan bagi para perencana program kesehatan, karena pola penyakit akan bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif dan nutrisi.
Tinggi dan berat badan digunakan untuk mengukur indeks massa tubuh (IMT) yang diukur berdasarkan rasio berat badan (dalam kilogram) dan kuadrat tinggi badan (dalam meter). IMT merupakan ukuran antropometri yang seringkali digunakan untuk menentukan status gizi seseorang. Namun, tinggi badan pada lansia seringkali bias akibat kompresi tulang belakang. Para peneliti telah berusaha mencari parameter lain yang dapat menggantikan tinggi b a d a n . P a r a m e t e r t e r s e b u t h a r u s m u d a h dikumpulkan dan tidak banyak menyimpang dari tinggi badan.(3) Metode yang digunakan untuk
memprediksi tinggi badan harus mencakup ukuran tubuh yang secara aktual merupakan bagian dari tinggi badan. Beberapa metode yang dikenal untuk memprediksi tinggi badan antara lain mengunakan rentang lengan (arm span), dan tinggi lutut.(4) Rentang lengan seringkali tidak
menghasilkan prediksi tinggi badan yang akurat akibat sendi di daerah lengan yang kaku pada lansia. Tinggi lutut direkomendasi oleh World
Health Organization untuk digunakan sebagai
prediktor dari tinggi badan pada seseorang yang b e r u s i a
≥
6 0 t a h u n ( l a n s i a ) .( 5 ) P r o s e sbertambahnya usia tidak berpengaruh terhadap
tulang yang panjang seperti lengan dan tungkai, tetapi sangat berpengaruh terhadap tulang belakang.(6) Prediksi tinggi badan menggunakan
tinggi lutut pertama kali dilakukan pada sampel kecil lansia non-Hispanic kulit putih di Ohio, Amerika Serikat.(7) Kemudian Chumlea et al
melakukan penelitian yang lebih baru dengan menggunakan sampel yang lebih besar dari
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III). Model persamaan yang
dirumuskan hanya spesifik untuk kelompok kulit putih non-Hispanic, kulit hitam non-Hispanic dan Meksiko Amerika.(3) Kemampuan model
tersebut untuk memprediksi tinggi badan lansia pada etnik lain masih dipertanyakan. Meyer et
al(8) menunjukkan bahwa model persamaan yang
dirumuskan oleh Chumlea et al(7) menghasilkan
k e s a l a h a n p e n g u k u r a n t i n g g i b a d a n b i l a diaplikasikan pada lansia Jepang Amerika. The
World Health Organization Expert Committee on Physical Status menekankan perlunya model
r e f e r e n s i l o k a l d i s e t i a p n e g a r a u n t u k memprediksi tinggi badan lansia berdasarkan gender dan usia.(9) Di Indonesia, sampai saat ini
belum diperoleh informasi adanya model persamaan untuk memprediksi tinggi badan lansia berdasarkan tinggi lutut.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi model persamaan untuk memprediksi tinggi badan menggunakan tinggi lutut yang dirumuskan oleh Chumlea et al berdasarkan ras Kaukasoid pada lansia di Jakarta, Indonesia. Di s a m p i n g i t u p e n e l i t i a n j u g a b e r t u j u a n merumuskan suatu model persamaan untuk memprediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut pada lansia di Indonesia.
METODE
Rancangan penelitian
Untuk menjawab masalah dan mencapai tujuan penelitian digunakan rancangan potong silang (cross sectional).
Sampel penelitian
S u b j e k p e n e l t i a n a d a l a h l a n s i a y a n g berusia ≥60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: i) tidak menderita kifosis; ii) mampu berjalan (mobil); dan iii) bersedia ikut serta dalam penelitian. Lansia yang mengalami gangguan fisik dan tidak dapat berdiri tegak tidak diikut sertakan dalam penelitian. Penelitian dilakukan di satu Pusat Kesehatan Masyarakat di Jakarta Selatan. Sebanyak 116 lansia wanita dan 34 lansia laki-laki direkrut untuk validasi model persamaan yang diperoleh dari ras Kaukasiod. Sedangkan 192 lansia wanita dan 84 lansia laki-laki dipilih untuk menyusun model persamaan regresi prediksi tinggi badan berdasarkan usia dan tinggi lutut. Sebelum pemeriksaan kepada subyek dijelaskan mengenai tujuan penelitian d a n d i m i n t a k a n p e r s e t u j u a n n y a d e n g a n menanda-tangani formulir persetujuan (inform
consent).
Gambar 1. Alat pengukur tinggi lutut
Pengumpulan data
P e n g u k u r a n a n t r o p o m e t r i k y a n g digunakan adalah tinggi badan dan tinggi lutut. Tinggi badan diukur menggunakan microtois dalam cm dengan ketelitian sebesar 0,1 cm dan subjek berdiri tegak tidak menggunakan alas kaki. Sedangkan tinggi lutut diukur pada saat lansia dalam posisi duduk menggunakan alat terbuat dari kayu berdasarkan pedoman WHO(8)
(Gambar 1).Batang kayu diletakkan paralel dari tibia sebelah kiri, dan lempeng kayu sebelah atas diletakkan di atas patela (Gambar 2). Pengukuran dicatat dalam cm dengan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran antropometri dilakukan sebanyak dua kali dan hasilnya merupakan rata-rata dari kedua pengukuran tersebut. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret dan April 2005.
Gambar 2. Cara mengukur tinggi lutut pada lansia
Tabel 1. Karakteristik umur, tinggi badan dan tinggi lutut lansia
Tabel 2. Korelasi Pearson (r) antara tinggi badan, tinggi lutut dan usia pada lansia laki-laki serta perempuan
*p < 0,01
Analisis data
Data disajikan dalam mean dan standar deviasi. Tinggi badan lansia yang diprediksi berdasarkan model persamaan regesi dari Chumlea et al(7) dibandingkan dengan hasil
pengukuran tinggi badan menggunakan uji-t pasangan. Model regresi untuk prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut dan usia pada setiap jenis kelamin adalah:(7)
Laki-laki :
Tinggi badan (cm) = 64,19 + 2,03 x {Tinggi lutut (cm)} – {0,04 x Umur (th)}
Perempuan :
Tinggi badan (cm) = 84,88 + 1,83 x {Tinggi lutut (cm)} – {0,24 x Umur (th)}
Analisis regresi ganda digunakan untuk menyusun model persamaan prediksi tinggi
b a d a n b e r d a s a r k a n u s i a d a n t i n g g i l u t u t sebagai variabel bebas. Model persaman regresi untuk lansia di Jakarta adalah sebagai berikut :
Tinggi badan (cm) = a + b1 (Usia ) + b2 (Tinggi lutut)
a = intercept, b1 dan b2 = koefisien regresi
S e m u a a n a l i s i s s t a t i s t i k d i l a k u k a n menggunakan program SPSS versi 12,0 pada tingkat kemaknaaan sebesar 0,05.
HASIL
Subjek penelitian berumur antara 60-80 tahun dan karateristik subjek penelitian baik untuk validasi maupun pembuatan model regresi disajikan pada Tabel 1.
Ti n g g i b a d a n d a n d a n t i n g g i l u t u t menunjukkan hubungan yang positif dan baik secara bermakna pada lansia laki-laki dan perempuan (masing-masing r = 0,71 dan r = 0,66). Usia berhubungan secara negatif dengan tinggi badan dan tinggi lutut pada lansia laki-l a k i y a n g t i d a k b e r m a k n a . P a d a laki-l a n s i a perempuan usia berhubungan secara positif dengan tinggi lutut dan negatif dengan tinggi badan, tetapi hubungan ini tidak bermakna secara statistik.
Penggunaan model regresi dari Chumlea
et al (1985) untuk prediksi tinggi badan pada
kelompok validasi baik pada lansia laki-laki maupun perempuan menunjukkan adanya e s t i m a s i y a n g l e b i h t i n g g i . P a d a l a n s i a perempuan menunjukkan perbedaan tinggi b a d a n y a n g b e r m a k n a s e b e s a r 0 , 9 c m (p=0,002). Sedangkan pada lansia laki-laki perbedaan tinggi badan besarnya 0,3 cm yang tidak bermakna secara statistik (p = 0,302). (Tabel 3).
Hasil Tabel 3 di atas menunjukkan model regresi berdasarkan ras Kaukasoid tidak dapat diaplikasikan pada lansia di Jakarta, maka diperlukan membentuk model prediksi tinggi badan yang baru untuk lansia tersebut. Seratus sembilanpuluh dua lansia perempuan dan 84 lansia pria digunakan untuk merumuskan model prediksi tinggi badan. Analisis regresi ganda dilakukan dengan variabel tinggi badan (cm) sebagai variabel tergantung dan tinggi lutut (cm) serta usia (th) sebagai variabel bebas. (Tabel 4)
Ti n g g i l u t u t d a n u s i a p a d a l a n s i a perempuan menunjukkan model yang bermakna untuk menjelaskan variasi tinggi badan sebesar 45% (R2 = 0,45). Tinggi lutut berpengaruh
lebih besar terhadap prediksi tinggi badan l a n s i a p e r e m p u a n d i b a n d i n g k a n u s i a . Sedangkan pada lansia laki-laki hanya tinggi lutut mampu menjelaskan variasi tinggi badan sebesar 51% (R2 = 0,51). Usia lansia laki-laki
tidak berpengaruh secara bermakna terhadap tinggi badan (p = 0,323).
Tabel 3. Estimasi tinggi badan lansia laki-laki dan perempuan berdasarkan model Chumlea et al (7)
* Bermakna p = 0,002
* B = koefisien regresi; ** P = tingkat kemaknaan
PEMBAHASAN
Studi ini menunjukan pada sampel untuk validasi, model regresi untuk prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut dan usia pada ras Kaukasoid tidak dapat diaplikasikan pada lansia di Jakarta. Model dari ras Kaukasoid memprediksi tinggi badan lansia perempuan 0,9 cm lebih tinggi secara bermakna. (Tabel 3) Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan p e n e l i t i a n y a n g d i l a k u k a n p a d a l a n s i a p e r e m p u a n C i n a d i H o n g K o n g , y a n g m e n u n j u k k a n m o d e l p r e d i k s i d a r i r a s Kaukasoid memprediksi tinggi badan 1,7 cm lebih tinggi secara bermakna.(10) Meyer et al(9)
mendapatkan hasil yang sama, model regresi dari ras Kaukasoid memprediksi tinggi badan perempuan Jepang-Amerika dewasa lebih tinggi s e b e s a r 1 , 7 c m . M o d e l r e g r e s i d a r i r a s Kakasoid juga tidak dapat diaplikasikan pada lansia Meksiko, karena prediksi tinggi badan menjadi lebih tinggi.(11) Namun studi pada
lansia yang dirawat di rumah sakit di Perancis menunjukkan hasil yang berbeda, ternyata model regresi dari Chumlea berdasarkan ras Kaukasoid dapat digunakan untuk prediksi tinggi badan lansia.(12) Pada studi di Perancis
ini lansia merupakan penderita yang dirawat di rumah sakit, berbeda dengan studi–studi lainnya yang menggunakan sampel lansia yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan studi sebelumnya yang menunjukkan tinggi lutut merupakan faktor prediktor tinggi badan terbaik pada lansia laki-laki dan perempuan. S e d a n g k a n u s i a j u g a m e r u p a k a n f a k t o r p r e d i k t o r t i n g g i b a d a n p a d a l a n s i a p e r e m p u a n .( 1 2 - 1 4 ) K o e f i s i e n r e g r e s i f a k t o r
p r e d i k t o r u s i a y a n g n e g a t i f p a d a l a n s i a perempuan konsisten dengan studi sebelumnya. Hal ini menunjukkan semakin bertambahnya usia lansia perempuan menyebabkan tinggi
badan semakin berkurang. Menurunnya tinggi badan berkaitan dengan bertambahnya usia lansia telah diteliti menggunakan rancangan studi longitudinal. Hasil studi ini secara konsisten menunjukkan penurunan tinggi badan p a d a l a n s i a p e r e m p u a n l e b i h b e s a r dibandingkan lansia laki-laki.(15-18) Korelasi
positif yang bermakna antara tinggi lutut dan t i n g g i b a d a n p a d a l a n s i a l a k i - l a k i d a n perempuan juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti lainnya.(8,11,13) Tinggi lutut merupakan
ukuran yang reliabel karena mudah diukur baik pada posisi tidur maupun duduk, dan tidak tergantung pada mobilitas seseorang. Tinggi lutut tidak berkorelasi secara bermakna dengan usia, hasil penelitian ini konsisten dengan penelitan yang dilakukan pada lansia di Itali.(19)
Model regresi yang dihasilkan studi ini menunjukkan pada lansia laki-laki hanya tinggi lutut yang merupakan faktor prediktor tinggi badan. Sedangkan pada lansia perempuan model regresi untuk prediksi tinggi badan menunjukkan tinggi lutut dan usia merupakan faktor prediktor tinggi badan. Perbedaan model regresi antarta lansia laki-laki dan perempuan konsisten dengan model-model regresi yag d i t e m u k a n p a d a l a n s i a d i C i n a ,( 1 0 ) l a n s i a
Hispanic di Timur Laut Amerika Serikat,(13) dan
lansia di Meksiko.(14)
Model regresi yang didapatkan Chumlea
et al(3) menunjukkan tinggi lutut dan usia
sebagai faktor prediktor tinggi badan lansia laki-laki dan perempuan pada penduduk di Amerika Serikat kelompok non-Hispanic kulit putih, non-Hipanic kulit hitam dan
Mexican-American. Prediktor yang paling penting
adalah jenis kelamin. Perbedaan yang kontras antara model regresi untuk lansia laki-laki dan p e r e m p u a n s a n g a t s e r a g a m p a d a s e m u a penelitian. Jadi setiap model regresi yang dibangun harus membedakan prediksi untuk tinggi badan lansia laki-laki dan perempuan.
KESIMPULAN
Model regresi untuk prediksi tinggi badan lansia laki-laki dan perempuan yang diperoleh dari ras Kaukasoid menunjukkan tinggi lutut berhubungan dengan tinggi badan lansia laki-laki dan perempuan. Usia juga merupakan faktor prediktor tinggi badan lansia perempuan tetapi tidak untuk lansia laki. Lansia laki-laki dan perempuan yang mobil di Jakarta harus m e n g g u n a k a n m o d e l r e g r e s i y a n g b a r u dirumuskan untuk prediksi tinggi badan. Model regresi untuk prediksi tinggi badan lansia yang dirumuskan studi ini perlu diuji lebih lanjut pada lansia di berbagai wilayah di Indonesia dengan sampel yang berbeda untuk menentukan model regresi ini dapat diaplikasikan pada semua lansia di Indonesia.
Daftar Pustaka
1. United Nations Population Division. World
population prospects: the 2002 revision. United Nations: New York; 2003.
2. World Health Organization. Active aging: a policy
framework. WHO: Geneva; 2002.
3. Chumlea WMC, Guo SS, Wholihan K, Cockram
D, Kuczmarski RJ, Johnson CL. Stature prediction equations for elderly Hispanic white, non-Hispanic black, and Mexican-American persons developed from NHANES III data. J Am Diet Assoc 1998; 98: 137-42.
4. Reeves SL, Varakim C, Henry CJ. The relationship
between arm-span measurement and height with special reference to gender and ethnicity. Eur J Clin Nutri 1997; 50; 398-400.
5. World Health Organization. Physical status: the
use and interpretation of anthropometri. Report of WHO Expert Committee. Geneva: World Health Organization, 1995; 854. World Health Organization Technical Report Series No 854.
6. Hurley RS, Bartlett BJ, Witt DD, Thomas A, Taylor
EZ. Comparative evaluation of body composition in medically stable elderly. J Am Diet Assoc 1997; 97: 1105-9.
7. Chumlea WC, Roche AF, Steinbaugh MI.
Estimation of stature from knee height for persons
60 to 90 years of age. J Am Geriatr Soc 1985; 33: 116-20.
8. Meyers SA, Takiguchi S, Yu M. Stature estimated
from knee height in elderly Japanese Americans. J Am Geriatr Soc 1994; 42: 157-60.
9. De Onis M, Habicht JP. Anthropometric reference
data for international use: recommendation from the World Health Organization Expert Committee. Am J Clin Nutr 1996; 64: 650-8.
10. Li ETS, Yang EKY, Wong CYM, Lui SSH, Chan
VYN, Dai DLK. Predicting stature from knee height in Chinese elderly subjects. Asia Pacific J Clin Nutr 2000; 9: 252-5.
11. Nunez VMM, Rodriguez MAZ, Sandoval AC,
Munoz EC, Guadarama LAV. Equations for predicting height for elderly Mexican Americans are not applicable for elderly Mexicans. Am J Hum Biol 2002; 14: 351-5.
12. Ritz P. Validity of measuring knee-height as an
estimate of height in diseased French elderly persons. J Nutr Health Aging 2004; 8: 386-8.
13. Bermidez OI, Becker EK, Tucker KL.
Development of sex-specific equations for estimating stature of frail elderly Hispanic living in the northeaster United States. Am J Clin Nutr 1999; 69: 992-8.
14. Palloni A, Guend A. Stature prediction equations
for elderly Hispanics in Latin American countries by sex and ethnic background. J Gerontol 2005; 60A: 804-11.
15. SENECA Investigators. Longitudinal changes in
anthropometric characteristics of elderly Europeans. Eur J Clin Nutr 1996; 50 (Suppl): S9-15.
16. Pini R, Tonon E, Cavallini MC, Bencini F, Di Bari
M, Giuli M, et al. Accuracy of equations for predicting stature from knee height, and assessment of statural loss in older Italian population. J Gerontol 2001; 56: B3-B7
17. Dey DK, Rothenberg E, Sundh V, Busacus I, Steen
B. Height and body weight in the elderly: a 25-year longitudinal study of population aged 70 to 95 years. Eur J Clin Nutr 1999; 53: 905-14.
18. Meadows JL, Jantz RL. Secular change in long
bone length and proportion in the United States, 1800 -1970. Am J Physic Anthropol 1999; 110: 57-67.
19. Perissinotto E, Pisent C, Sergi G, Grigoletto F, Enzi
G for the ILSA Working Group. Anthropometric measurements in the elderly: age and gender differences. Br J Nutr 2002; 87: 177-86.