• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN DPD DAN DPR DALAM FUNGSI LEGISLASI MENURUT SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh Luse Lusmiaty ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN DPD DAN DPR DALAM FUNGSI LEGISLASI MENURUT SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh Luse Lusmiaty ABSTRAK"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 HUBUNGAN DPD DAN DPR DALAM FUNGSI LEGISLASI MENURUT SISTEM

KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh Luse Lusmiaty

ABSTRAK

DPD sebagai upper house memiliki fungsi yang sangat terbatas dalam bidang legislasi, selayaknya the second chumber DPD Seharusnya memiliki tugas, fungsi dan wewenang yang sama dengan DPR khususnya dalam bidang legislasi. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana hubungan DPD dan DPR di bidang legislasi menurut sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di bidang legislasi diperlukan. DPR dan DPD dari sisi filosofis merupakan penjelmaan dari keterwakilan seluruh rakyat atau keterwakilan daerah seluruh Indonesia ditingkat pusat, dari sisi yuridis DPR dan DPD merupakan lembaga negara yang diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 22D UUD 1945. Pola hubungan kerja antara DPR dan DPD terkait dengan fungsi legislasi adalah pola hubungan kerja yang bersifat fungsional, pola hubungan kerja DPR dan DPD dapat kita lihat dalam Undang-undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MD3.Kendala yang dihadapi oleh DPR dan DPD terkait dengan fungsi legislasi yaitu Kendala yang bersifat institusional dan konstitusional.

Latar Belakang

Sejalan dengan tuntutan reformasi dan semangat demokrasi guna meningkatkan rasa keadilan masyarakat daerah serta meningkatkan kapasitas partisipasi daerah di

dalam kehidupan bernegara serta bertujuan meningkatkan persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia maka dilakukan Pembaharuan Konstitusi, dengan pembentukan sebuah lembaga perwakilan baru yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). MPR RI

(2)

2 membentuk Dewan Perwakilan Daerah

(DPD) melakukan perubahan melalui perubahan ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) pada November 2001.

Sejak perubahan dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tersebut, dilakukan praktis sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem Unikmeral menjadi sistem Bikameral. Perubahan tersebut pun tidak serta merta terjadi begitu saja, namun melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI khususnya di panitia Ad Hoc saat itu. Karena perubahan dalam sistem ketatanegaraan sebuah negara harus memperhatikan tujuan politik dan masyarakat yang harus turut melakukan pengawasan dengan pandangan reformasi, serta perubahan sistem tersebut melibatkan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang berlaku khususnya di negara yang menganut Paham Demokrasi.

Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilatarbelakangi adanya keinginan mengakomodir dan mengakomodasi aspirasi daerah sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik terutama dalam hal-hal yang

prinsipal dan keputusan kepentinga daerah, serta berperan aktif dalam menjadi media lembaga penyeimbang antara pusat dan daerah. Pembentukan fungsi legislasi DPD pun dibentuk atas dasar indikasi yang nyata bahwa keputusan yang dilakukan selalu bersifat sentralistik, sehingga menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan.

Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga merupakan dua lembaga legislatif sebagaimana yang dimaksud dalam UUD Tahun 1945. Kedua lembaga DPR dan MPR berdasarkan UUD Tahun 1945 tersebut memang diakui sebagai parlemen Indonesia.1

Seperti yang dipaparkan Harun Alrasyid, dalam bukunya yang berjudul Naskah UUD Tahun 1945 Sudah Diubah Empat Kali, meyatakanbahwa badan-badan tersebut dibentuk para pembuat UUD Tahun 1945 sebagai transformasi dari aparatur negara zaman Belanda. MPR diciptakan untuk menggantikan kedudukan Raja/Ratu Belanda, yang memegangkedaulatan rakyat,

1

Reni Dwi Purnomo, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia,

(3)

3 dan kepadanyalah Presiden harus

memberikan pertanggungjawaban.2

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurut latar belakang pemikiran pembuat UUD, merupakan wadah wakil-wakil partai politik (parpol) dari hasil pemilu.Akan tetapi tidak semua orang masuk parpol sehingga DPR tidak mewakili “seluruh” rakyat. Oleh sebab itu, diadakanlah badan yang lebih besar lagi yaitu MPR, yang terdiri dari semua anggota DPR ditambah wakil rakyat nonparpol, yaitu para utusan daerah dan golongan.3

Identifikasi Masalah

Berkaitan dengan hubungan antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti yang digambarkan di latar belakang di atas, penulis menarik beberapa pokok yang dijadikan permasalahan, yaitu :

1. Hubungan antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam fungsi legislasi menurut sistem ketatanegaraan Republik Indonesia?

2Harun Alrasyid,Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, (Jakarta:UI Pers.2002), hlm.38.

3Ibid,.hal.39.

2. Apakah penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di bidang legislasi diperlukan?

Kedudukan dan Kewenangan DPD Berdasarkan Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

Dengan kehadiran DPD tersebut, dalam sistem perwakilan Indonesia, DPR didukung dan diperkuat oleh DPD.DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah.

Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah. Oleh Jimly Asshiddiqie, unsur anggota DPR didasarkan atas prosedur perwakilan politik (political representation), sedangkan anggota DPD yang merupakan cerminan dari prinsip regional representation dari tiap-tiap daerah provinsi.

Dalam pandangan MPR, pengaturan keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menurut UUD Tahun 1945, antara lain dimaksudkan untuk:

a. Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik

(4)

4 Indonesia dan memperteguh persatuan

kebangsaan seluruh daerah;

b. Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah;

c. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.

Keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara. Pasal 22C ayat (4) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan Pasal 22C ayat (4) inilah, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 (sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009) yang mengatur lebih jelas berkaitan dengan susunan dan kedudukan DPD. Selanjutnya dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Pasal 221 menegaskan bahwa “DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum”. Kemudian dalam Pasal

222 menegaskan bahwa “DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara”. Hal ini apabila dikaitkan dengan Pasal 67 dan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, maka DPD dan DPR memiliki kedudukan yang sama sebagai lembaga negara, sedangkan tingkat keterwakilan yang berbeda sebagai lembaga perwakilan, di mana DPD merupakan lembaga perwakilan daerah, sedangkan DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat. Kedudukan DPD sebagai lembaga negara berkaitan dengan makna kedudukan dari suatu lembaga negara. Oleh Philipus M. Hadjon yang dimaksudkan dengan kedudukan lembaga negara, pertama kedudukan diartikan sebagai posisi suatu lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara lain, dan aspek kedua dari pengertian kedudukan lembaga negara adalah posisi suatu lembaga negara didasarkan pada fungsi utamanya. Untuk itu, analisis dalam penulisan ini menyangkut kedudukan DPD sebagai lembaga negara, yang dikaitkan dengan pengertian lembaga negara baik dari aspek posisi DPD yang dibandingkan dengan lembaga negara lainnya, terutama MPR. Selain itu pula,

(5)

5 kedudukan DPD yang berkaitan dengan

fungsi utama dari DPD.

Kedudukan dan Kewenangan DPR Berdasarkan Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Dalam sistem parlemen yang berlaku di berbagai negara yang menganut sistem bikameral, Dewan Perwakilan Rakyat atau sering disebut House of Representative, atau disebut juga dengan majelis rendah atau kamar pertama, biasanya semua anggota dipilih dalam pemilihan umum; dianggap sebagai majelis yang terpenting. Biasanya masa jabatannya sudah ditentukan, tetapi sewaktu-waktu dapat dibubarkan atas ajuan perdana menteri. Wewenang majelis rendah biasanya lebih besar dari majelis kecil kecuali di Amerika.

DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.Dalam UUD Tahun 1945 jelas tergambar bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden

berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 5 ayat (1) ini sebelum Perubahan Pertama tahun 1999 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Kedua pasal tersebut setelah Perubahan Pertama tahun 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan pelaku kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentukan undang-undang itu dari tangan Presiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan dalam Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945 ditentukan pula, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Artinya, kekuasaan legislasi bahwa DPR sebagai pemegang kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting) membahas dan memberikan persetujuan atau atau tidak menyetujui terhadap RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden, dan kekuasaan pengawasan (control), melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan udang-undang dan APBN.

Menurut Pasal 20A ayat (2) UUD Tahun 1945, “Dalam melaksanakan

(6)

6 fungsinya, selain hak yang diatur dalam

pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Ayat (3)-nya menyatakan pula, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat, serta hak imunitas”.

Untuk menggambarkan kuat posisi konstitusional DPR berdasarkan UUD Tahun 1945, ditegaskan pula dalam Pasal 7C bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sebaliknya, dalam Pasal 7A ditentukan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Di samping itu, dalam rangka fungsinya sebagai pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan UUD Tahun 1945, Undang-undang dan peraturannya, Pasal 11 UUD Tahun 1945 menentukan pula:

(1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain;

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”;

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Analisis terhadap Hubungan DPD dan DPR dalam Fungsi Legislasi Menurut Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

UUD Tahun 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD Tahun 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD Tahun 1945

(7)

7 merupakan hukum tertinggi dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD Tahun 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD Tahun 1945 memuat cita-cita, dasar-dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara Indonesia dikenal dengan istilah Tujuan Nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD Tahun 1945, yaitu :

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 4

Konstitusi mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antar pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lainnya. Karena itu biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu :

4

Jimly Assihidiqie, Hubungan Lembaga Negara Pasca Perubahan KeempatUUD Tahun 1945,Makalah,2006, hal. 2.

1. Menentukan pembatasan organ-organ negara;

2. Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lainnya; dan

3. Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.

Dalam sistem ketatanegaraan di negara-negara demokrasi modern yang berdasarkan konstitusi, lazimnya memberikan peran, fungsi, dan kewenangan yang memadai pada lembaga-lembaga perwakilan sebagai kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam mekanisme saling mengawas dan mengimbangi (Checks and balances).

Adanya reformasi yang digulirkan tahun 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa telah berhasil mengubah UUD Tahun 1945 untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai ketatanegaraan yang lebih menjamin kedaulatan rakyat dan perkembangan demokrasi modern. Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah dibentuknya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Dibentuknya DPD RI itu dimaksudkan untuk memperkuat ikatan

(8)

8 daerah-daerah dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah. Untuk meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi serta kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah. Disamping itu untuk mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara serasi dan seimbang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sementara dasar pertimbangan teoritis dibentuknya DPD antara lain adalah untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (check and balances) antar cabang kekuasaan negara dan antar lembaga legislatif sendiri.5

Namun, dalam perjalanannya, sangat dirasakan bahwa fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 22D UUD Tahun 1945 setelah amandemen sulit mewujudkan maksud dan tujuan pembentukan DPD RI.Demikian juga sulit bagi anggota DPD RI untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada pemilih dan daerah pemilihannya. Pasal 22D tersebut juga tidak

5

http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2 012/05/makalah-dpd-ri.html, diakses pada 29 September 2012.

dapat mencerminkan prinsip checks and balances antara dua lembaga perwakilan (legislatif). Padahal, DPD RI sebagai lembaga negara memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebagai lembaga negara, tentunya DPD RI harus memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga negara lainnya, yang membedakannya adalah fungsi dan tugasnya. Karena mengalami keterbatasan itu, wajarlah apa yang dilakukan DPD RI untuk penguatan peran dan kewenangannya.6

Lembaga perwakilan dikatakan sistem dua kamar apabila kedua kamar itu mempunyai kedudukan, fungsi dan hak yang sama untuk membentuk Undang-undang sebagai lembaga legislatif. Akan tetapi sistem bikameral yang dianut Indonesia saat ini justru berbeda dengan artian sebenarnya. Seperti yang dikatakan pada Pasal 22D ayat (1) UUD Tahun 1945, secara implisit, kedudukan DPD RI di bawah DPR RI dan Presiden. DPD RI dapat mengajukan RUU kepada DPR RI yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

6

http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/1

(9)

9 daya alam dan pengolahan sumber daya

ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Lembaga perwakilan dikatakan sistem dua kamar apabila kedua kamar itu mempunyai kedudukan, fungsi dan hak yang sama untuk membentuk Undang-undang sebagai lembaga legislatif. Akan tetapi sistem bikameral yang dianut Indonesia saat ini justru berbeda dengan artian sebenarnya.Seperti yang dikatakan pada Pasal 22D ayat (1) UUD Tahun 1945, secara implisit, kedudukan DPD RI di bawah DPR RI dan Presiden. DPD RI dapat mengajukan RUU kepada DPR RI yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan pengolahan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Lalu pada Pasal 22D ayat (2) juga dinyatakan bahwa DPD RI ikut membahas sejumlah RUU yang diajukan, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Selain itu, dalam

Pasal 224 UU No. 27 Tahun 2009 dijelaskan bahwa fungsi legislasi DPD RI hanyalah sebatas turut serta melakukan pembahasan dengan fokus wewenangnya hanya terdapat RUU otonomi daerah, RUU pengolahan sumber daya alam dan ekonomi daerah, RUU pemekaran/pengabungan wilayah, RUU hubungan pusat dan daerah, RUU perimbangan keuangan pusat dan daerah. Padahal, sebetulnya semua RUU yang sangat strategis bagi kepentingan daerah hanya DPD RI lah yang seharusnya yang memiliki kewenangan lebih untuk melahirkan undang-undang tersebut.

Keterbatasan fungsi legislasi DPD RI juga nampak dalam Pasal 244 dan 225 UU No. 27 Tahun 2009, di mana kewenangan DPD RI dalam memberikan masukan dalam pertimbangan yang berkaitan dengan RUU, APBN, pajak, pendidikan dan agama, selain hanya memberikan masukan saja, juga bentuk masukan itu tidak dibahas dalam satu forum sidang, tapi cukup memberikan masukan kepada DPR RI dalam bentuk tertulis saja. Dari kajian fungsi legislatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa DPD RI mempunyai keterbatasan fungsi legislasi karena tidak mempunyai kekuasaan untuk membentuk undang-undang dan keberadaannya hanya sebagai “pembantu

(10)

10 khusus” DPR RI dan pemerintah, atau

dengan kata lain DPD RI hanyalah “weak chamber” di bawah DPR RI dan presiden dalam fungsi legislasi.

Aspirasi yang ada pada para anggota DPD RI yang dijaring dari penyerapan aspirasi rakyat/daerah hanya dijadikan bahan pertimbangan DPR RI dan pemerintahan dalam tugasnya melahirkan undang-undang.Apabila dalam UUD Tahun 1945 sebelum amandemen hanya ada dua badan perwakilan tingkat pusat yang terpisah, sekarang malahan menjadi tiga badan perwakilan.Pertama, walaupun ada perubahan, MPR RI tetap mempunyai anggota dan wewenangan sendiri, di luar wewenang DPR RI dan DPD RI.Kedua, DPD RI merupakan lingkungan jabatan yang mandiri, dan memiliki lingkungan wewenang sendiri. Tetapi memperhatikan beberapa ketentuan, DPD RI adalah badan komplementer DPR RI. Ketiga, DPD RI bukan merupakan badan legislatif penuh.DPD RI hanya berwenang mengajukan dan membahas undang-undang di bidang tertentu saja yang disebutkan secara anumeratif dalam UUD Tahun 1945.Dengan demikian, rumusan baru UUD Tahun 1945 tersebut tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan derah dalam

menyelangarakan seluruh praktik dalam pengolahan negara.

Dalam sistem bikameral murni (pure bicameralis atau strong bicameralism), DPR RI dan DPD RI sama-sama mempunyai fungsi setara dan setingkat di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan sistem perwakilan bikameral, sebagian atau seluruh rancangan perundangan-undangan memerlukan pembahasan dan persetujuan kedua lembaga perwakilan tersebut. Walaupun sistem bikameral sendiri bervariasi dalam negara federal dan negara kesatuan, tetapi prinsip-prinsip yang dianut relatif sama, yaitu DPR atau lower house bekerja sama konstituen nasional atau federal, sedangkan DPD atau upper house bekerja untuk konstituen daerah atau perwakilan daerah. Dalam sistem bikameral murni, DPD atau upper house bisa memveto atau menolak setiap undang-undang yang dihasilkan oleh DPR (lower house) walaupun veto atau penolakan itu bisa gugur apabila upper house bisa mencapai mayoritas minimum atau maksimum untuk diajukan kembali.

Analisis Prospek Penguatan Kewenangan DPD

(11)

11 Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia (DPD RI) terwujud dengan semangat terwujudnya keadilan pembangunan dan terakomodirnya aspirasi masyarakat di daerah. Hal tersebutpun ditekankan dalam UUD Tahun 1945. DPD dalam hal ini merupakan lembaga non parpol yang menjaring aspirasi masyarakat di daerah. DPD merupakan hasil dari sebuah sistem perwakilan yang disebut dengan sistem bikameral/Second Chamber, di mana di negara asalnya bikameral/second chamber (dua kamar) adalah sistem yang mampu dalam menyerap serta melegislasikan aspirasi masyarakat daerah.

Namun hal tersebut tampaknya tidak berjalan dengan semestinya, karena pada kenyataannya sistem keterwakilan di Indonesia bukanlah sistem bikameral murni. Hal tersebut tentu saja menjadi anomali sistem ketatanegaraan di Indonesia karena pembagian tugas dan kewenangan antara DPR dan DPD masih pada bayang-bayang ketidaksinkronan. Dalam hal ini tidak dipungkiri lemahnya peran DPD dikarenakan ketiadaan hak budgeting dan hak Interpelasi. Pada awalnya kedudukan DPD dengan DPR disejajarkan dengan fungsi DPR, tetapi pada perkembangannya terjadi evaluasi dan kurang mendapat

pengawalan dari para pakar/ahli pemerintahan, sehingga terjadi abrasi kewenangan yang dimiliki DPD.

Penguatan peran DPD sangat penting untuk kemajuan di daerah-daerah seluruh Tanah Air Indonesia. Amandemen konstitusi sebagai salah satu cara yang paling penting untuk mengubah pola pembuatan undang-undang (legislasi) di parlemen, hal itu dimaksudkan agar DPD mempunyai kekuatan hukum sehingga keberadaan DPD sama pengaruhnya dengan DPR, karena DPD adalah penyeimbang DPR dalam segala hal-hal yang menyangkut peraturan kedaerahan.

Untuk itu DPD berupaya mengusulkan perubahan UUD Tahun 1945 terutama dalam Pasal 22D, ini artinya diperlukan amandemen UUD Tahun 1945 . Kemungkinan perubahan itu dapat terjadi sebagaimana aturan yang ditetapkan dalam Pasal 37 ayat (1) UUD Tahun 1945, yang dilandasi pertimbangan sebagai berikut :

1. DPD RI memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, itu sudah seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi;

(12)

12 2. Usul pemberian kewenangan tersebut

DPD sebagai lembaga negara yang kedudukannya sama dengan lembaga negara lainnya;

3. Dengan kewenangan yang serba terbatas mustahil bagi DPD untuk memenuhi harapan masyarakat daerah serta mewujudkan maksud dan tujuan pembentukan DPD.

DPD sebagai lembaga yang independen, karena bukan merupakan konstituen partai politik, sangatlah diperlukan guna mewujudkan pembangunan yang adil dan merata di Negara Indonesia Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan diperlukan juga penyempurnaan tatanan sistem ketatanegaraan Indonesia demi terwujudnya pengawasan dan penyeimbang (checks and balances) antar lembaga negara.

Berdasar Pada Pasal 22D ayat (3) UUD Tahun 1945 DPD RI melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan

agama. Pengawasan yang dilakukan DPD RI dalam hal ini adalah:

1. Menerima dan membahas hasil-hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK sebagai bahan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu;

2. Meminta secara tertulis kepada pemerintah tentang pelaksanaan UU tertentu;

3. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UU tertentu;

4. Mengadakan kunjungan kerja ke daerah

untuk melakukan

monitoring/pemantauan atas pelaksanaan UU tertentu.

Dalam bidang pengawasan ini DPD RI dapat sewaktu-waktu menyerap aspirasi masyarakat dari daerah sebanyak-banyaknya untuk memfasilitasi daerah mengimplementasikan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD RI dalam persoalan ini akan signifikan jika mampu bersinergi

(13)

13 dengan masyarakat di daerah. Banyak

persoalan yang bergejolak di daerah membutuhkan pendampingan DPD RI dan ini masyarakat umum mengaku jarang mendengar apalagi melihat kiprah yang dilakukan oleh anggota DPD RI. Untuk itu DPD RI perlu memperkuat basis pengetahuan dan ketrampilan baik dalam komunitas politik maupun legislasi, serta memperluas jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain.

Tetapi mekanisme artikulasi aspirasi masyarakat yang telah ditampung melalui kunjungan-kunjungan ke daerah maupun laporan masyarakat yang dimasukkan ke DPD ini, ketika diangkat menjadi bahan pengawasan DPD untuk melakukan pengawasan pelaksanaan UU menjadi tidak berarti manakala aturan main yang mengatur tentang tata tertib pengawasan kurang jelas dan kurang tegas. Dalam Pasal 150 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPD RI dikatakan bahwa “Dalam hal DPR RI tidak menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD RI, DPD RI meminta penjelasan kepada DPR”.

Penjelasan dimaksud kemudian diberikan secara tertulis oleh Pimpinan DPR RI sesuai ayat (2) Pasal 150 Peraturan Tata Tertib DPD RI, namun tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana kriteria hasil pengawasan DPD RI tersebut sudah ditindaklanjuti atau belum. Oleh sebab itu fungsi pengawasan DPD RI ini perlu adanya ketegasan dalam aturan pengawasan tersebut, agar tidak menimbulkan seolah-olah DPR RI adalah lembaga pengawas DPR RI, yang mengawasi setiap pekerjaan DPR RI yang diterima dari DPD RI, seharusnya implementasi dari ketentuan ini secara tegas diatur ”bahwa DPR RI wajib mempertimbangkan dan meindaklanjuti hasil pengawasan DPD RI dan mengumumkan hasilnya secara terbuka.” Dengan demikian masyarakat bisa melakukan pengawasan terhadap kedua lembaga perwakilan ini.

Fungsi nominasi DPD RI adalah memberikan pertimbangan kepada DPR RI dalam pemilihan anggota BPK yang dilakukan oleh DPR. Menurut Pasal 22 UUD Tahun 1945 Jis Pasal 275 UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 140 Peraturan Tata Tertib DPD RI, diterangkan bahwa DPD RI dapat memberikan pertimbangan pemilihan anggota BPK RI secara tertulis kepada

(14)

14 Pimpinan DPR RI selambat-lambatnya

dalam tiga hari. Kata tiga hari yang dimaksud dalam pasal itu adalah setelah Pimpinan DPD RI menerima surat dari Pimpinan DPR RI mengenai pencalonan anggota BPK RI. Pada Tata tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD RI akan mengadakan sidang paripurna untuk menyampaikan mengenai calon anggota BPK RI tersebut, kemudian sidang paripurna DPD RI akan menugaskan panitia Ad hoc guna menyusun pertimbangan DPD RI, pertimbangan tersebut meliputi pengajuan nama calon, penelitian administrasi, penyampaian visi, misi dan penentuan urutan calon.

Waktu yang dimiliki DPD RI untuk memberikan pertimbangan kepada DPR RI mengenai calon anggota BPK RI terlalu sempit, yaitu tiga hari setelah Pimpinan DPD RI mendapatkan surat dari Pimpinan DPR RI, untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi anggota/panitia Ad hoc DPD RI. Waktu tiga hari yang diberikan oleh DPR RI kepada DPD RI untuk memberikan tanggapan tentang calon anggota BPK ini terasa terlalu singkat dan tidak efektif. Sebaiknya waktu yang efektif dan tepat untuk memberikan pertimbangan calon anggota BPK adalah selama 14 (empat

belas hari) atau dua minggu, yaitu satu minggu dipergunakan untuk menjaring masukan dari masyarakat dan satu minggu berikutnya dipergunakan untuk membahas dan memberikan pertimbangan calon anggota BPK.

Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945 amandemen pertama, tegas-tegas menyatakan bahwa ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan menbentuk undang-undang”, jadi DPR adalah lembaga yang berwenang membentuk UU. Sedangkan DPD hanya akan terlibat pembahasan RUU dalam persidangan intern DPR, sebelum DPR membahasanya bersama Presiden. Pasal 20 ayat (2) menyatakan, ”Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”, Tidak ada pasal yang mengatur pembahasan RUU bersama-sama DPR, DPD dan Presiden. Apalagi mensyaratkan persetujuan DPD artinya’ ketidak bersetujuan’ DPD mungkin tidak menghalangi sahnya pembentukan undang-undang.

Demikian pula dalam ketentuan pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) amandemen ke III, di mana DPD memiliki kewenangan

(15)

15 yang sangat terbatas untuk memberikan

pertimbangan, mengajukan usul saran kepada DPR dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu.

Kritik yang sering ditujukan kepada perubahan ketiga UUD Tahun 1945 adalah lemahnya wewenang DPD. Oleh sebab itu, konsep bikameral yang dianut oleh Indonesia tersebut sering dibahasakan sebagai “weak bicameral” atau “soft bicameral”. Istilah ini muncul dalam sistem parlemen di Indonesia, karena DPD mempunyai wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan.

Dalam konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya “dapat” mengajukan RUU, “ikut membahas” RUU dan “dapat” melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah (Pasal 22D UUD Tahun 1945).

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada Bab-bab sebelumnya maka dapatlah dibuat beberapa kesimpulan

sebagai jawaban atas identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan UUD Tahun 1945, kini MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, anggota DPR untuk mewakili rakyat sedangkan anggota DPD untuk mewakili daerah.

Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif, maka pada Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945 ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden, dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, secara otomatis sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Dalam hubungan DPR dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu. DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

(16)

16 ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Lihat Pasal 22D UUD Tahun 1945).

2. Disamping itu untuk mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara serasi dan seimbang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dibentuk DPD.Adapun dasar pertimbangan teoritis dibentuknya DPD antara lain adalah untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (check and balances) antar cabang kekuasaan negara dan antar lembaga legislatif sendiri.

Namun, dalam perjalanannya, sangat dirasakan bahwa fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 22D UUD Tahun 1945 setelah amandemen sulit mewujudkan maksud dan tujuan pembentukan DPD RI.Demikian juga sulit bagi anggota

DPD RI untuk

mempertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada pemilih dan daerah pemilihannya. Pasal 22D tersebut juga tidak dapat mencerminkan prinsip checks and balances antara dua lembaga perwakilan (legislatif). Padahal, DPD RI sebagai lembaga negara memiliki

legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat.

Sebagai lembaga Negara parlemen, tentunya DPD RI harus memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga negara DPR, termasuk tugas dan fungsinya harus berimbang. Oleh sebab itu, penguatan kapasitas DPD melalui perubahan UUD Tahun 1945

merupakan sesuatu yang

niscaya.Kewenangan DPD dalam pembahasan RUU juga dinilai masih jauh dari kehendak konstitusi. Pembahasan RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD seringkali tidak melibatkan DPD.

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia.Undang-undang Dasar Tahun 1945 Amandemen Keempat.

________________.Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, Dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009. Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5043.

(17)

17 Dwi Purnomo, Reni.2005.Implementasi

Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia.Jakarta: Rajawali Pers.

Alrasyid, Harun.2002.Naskah UUD 1945 Sesudah Tiga Kali Diubah oleh MPR. Jakarta: UI Pers.

MD, Moh.Mahmud.2001.Dasar struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: PT.Rineka Cipta.

Jimly Asshaddiqie.2005.Format

Kelembagaan Negara dan

PergeseranKekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Cet.

Kedua, Yogyakarta.

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Panduan

PemsyarakatanUndang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.Jakarta: Sekjen MPR RI.2011

Black, Henry Campbell. 1991. Black’slaw Dictionary; Definition of the

Terms and Phrases and English Jurisprudence, Anciet and Modern, ed. VI, Minnesota: West Group.

Lewis, Patricia A.1984. The Guide To American Law, Minnesota: West Publishing Co.

Bogdanor,.Vernon.1991. The Blackwell Encyclopedia of political Science, Massachusetts: T.J. Press Ltd.

Miriam Budiardjo.2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan keduapuluh tujuh, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Tambunan, A.S.S.2001.Hukum Tata Negara Perbandingan, Jakarta: Puporis Publishers.

Hadjon, Philipus M. 1992.Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut Undang-undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Surabaya: PT. Bina Ilmu.

(18)

18 Iqbal, Muhammad., Fiqh

Siayasah.2001.Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Referensi

Dokumen terkait

“Langkah-langkah yang dilakukan oleh agen dan perusahaan dalam menangani pendaftaran peserta baru adalah sesuai prosedur dan SOP yang diberlakukan yaitu peserta

Tussen stelse (tempatnya antara recidive umum dan recidive khusus) Yang dimaksud dengan tussen stelsel adalah apabila seseorang melakukan perbuatan pidana dan

Kepuasan mahasiswa terhadap penggunaan SIAKAD dapat diukur dari teori yang telah disampaikan DeLone and McLean (2003) dalam The Update D&M IS Success Model

Aliran panas tersubstitusi oleh aliran fluida dari gangguan sehingga pada bagian kiri model terisi oleh fluida yang bersuhu rendah dikarenakan kecepatan dan tekanan

Mulai mengomunikasikan kepada pimpinan atau rekan-rekan kerja tentang masa cuti yang akan diambil dan rencana menyusui saat bekerja sehingga ibu membutuhkan waktu dan

Sedangkan sebagian besar responden (45,26%) berpendapat positif bahwa Sesudah perubahan alih guna kawasan hutan menjadi kawasan tambang batubara,

Evaluasi diartikan sebagai kemampuan seseorang melakukan suatu penilaian terhadap suatu usaha yang dijalankan. Seperti halnya yang dijelaskan pada QS. dan apabila

Noviand Collection lebih sering menerapkan metode B2C (Bussines To Customer) atau kostumer datang ke toko dan melakukan transaksi di toko. Di masa pandemi seperti