• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaum Islamis, Revolusi Indonesia, & Mimpi Negara Islam 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kaum Islamis, Revolusi Indonesia, & Mimpi Negara Islam 1"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Kaum Islamis, Revolusi Indonesia, & Mimpi Negara Islam1 Oleh Muhammad Iqbal2

Pada tahun terakhir Perang Dunia II, kaum Islamis3 Indonesia terlibat serangkaian inisiatif untuk persiapan kemerdekaan yang tampaknya sudah di depan mata – walau bukan lagi berdasarkan janji manis Jepang, melainkan akibat perubahan situasi medan laga Pasifik dan Asia Tenggara yang membuat kekalahan Jepang tak terelakkan. Salah satu inisiatif adalah Panitia 62 atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di mana wakil-wakil Masyumi ikut serta “untuk menyiapkan umat muslim untuk memerdekaan negara dan agama” (lihat Post dkk 2009).

Penyebutan agama penting, karena bagi para politikus muslim, kemerdekaan Indonesia tetap berkelindan erat dengan pendirian negara Islam, meski kelompok nasionalis sekuler (yang juga mencakup para politikus berlatar belakang Islam) mengampanyekan negara kesatuan di mana agama tidak terlibat dalam proses politik. Menurut Carool Kersten, sementara kaum nasionalis sekuler sering mengambil contoh dari perkembangan di Turki, sambil menunjukkan perbedaan budaya dan demografi antara dunia Arab dan Indonesia, para pemimpin muslim mengambil contoh dari perkembangan di India Inggris dan kelahiran Pakistan. Peristiwa “Pidato Pancasila” Soekarno pada 1 Juni 1945 pun tidak menjadi pertanda yogia bagi cita-cita Islamis di Indonesia (Kersten 2017: 253).

Dalam Pidato Pancasila yang terkenal ini, Bung Karno mendedahkan Pancasila, menggunakan nama yang yang berasal dari bahasa Sansekerta, bukan nama Arab berkonotasi Islam. Pancasila dalam pidato itu terdiri atas kebangsaan, perikemanusiaan, permusyawaratan, kesejahteraan, dan ketuhanan yang maha esa. Sambil menghindari menyebut “Allah”, Bung Karno mencoba meyakinkan umat muslim, bahwa prinsip demokrasi di sila ketiga (permusyawaratan) menjadi pengaman yang memadai:

Untuk pihak muslim, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama [...] Dari hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan, di dalam Badan Perwakilan Rakyat ... inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. [...] Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat ini, hukum Islam pula. (Boland 1971: 22-23).

Hal ihwal itu tidak meyakinkan Partai Masyumi. Akibatnya, dalam keterlibatan mereka di panitia kecil yang bertugas merancang undang-undang dasar, wakil Masyumi seperti Kiai Wahid Hasyim dari Nadhlatul Ulama (NU) dan pemimpin Muhammadiyah yang baru, Ki Bagus Hadikusumo mengampanyekan pengakuan tersurat atas Islam dan hukum Islam dalam kerangka negara Indonesia merdeka – Ki Bagus Hadikusumo telah menggantikan Mas Mansur pada 1944. Pasca Jepang kalah, Mas Mansur ditangkap atas tuduhan berkolaborasi. Dalam penjara kesehatannya memburuk, dan Mas Mansur pun wafat pada 1946 (Madinier 2015: 57). Titimangsa Juni 1945 akhirnya tercapai “gentlemen’s agreement” di pembukaan undang-undang dasar yang masyhur sebagai “Piagam Jakarta”. Sembilan orang yang menandatangani dokumen itu terdiri

1 Makalah ini dipersentasikan untuk Seminar “The Role of Islam in the Indonesian Revolution”, pada

Selasa, 08 Oktober 2019 di Aula Zafry Zamzam, Rektorat lantai 3, diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, di Banjarmasin.

2 Sejarawan Prodi Sejarah Peradaban Islam (SPI), Jurusan Adab, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah

(FUAD), IAIN Palangka Raya. Editor tetap Penerbit Marjin Kiri, Serpong, Tangerang Selatan. Bukunya yang telah terbit berjudul, Tahun-Tahun yang Menentukan Wajar Timur, cetakan kedua (Yogyakarta: EA Books, Oktober 2019).

3 Istilah “Islamis” yang saya gunakan dalam tulisan ini merujuk kepada penjelasan Bassam Tibi. Menurut

Tibi, ada perbedaan antara istilah Islam dan Islamisme: “Islam”, meski di dalamnya mengandung ajaran dasar seputar tatanan bermasyarakat, adalah sebuah agama yang jauh lebih luas tinimbang Islamisme yang sempit. Sedangkan “Islamisme” merupakan sebentuk ideologi yang totalitarian dalam praktik politik. “Islamis” ialah kelompok yang mengusung ideologi Islamisme tersebut (lihat Tibi 2012).

(2)

atas empat nasionalis sekuler dan lima politikus muslim. Mengingat terkenalnya para peserta perundingan yang sensitif itu, tak mengherankan bahwa “kalau dilihat dalam kilas balik, pembahasan sesudahnya mengenai Negara dan Islam di Indonesia banyak ditentukan oleh beberapa kata di Piagam Jakarta” (Boland 1971: 25).

Sila Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa ditambahi tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta. Sepanjang tujuh puluh tahun sejarah Indonesia sebagai negara merdeka berpenduduk mayoritas muslim, Piagam Jakarta terus menjadi sumber perselisihan, karena pada saat-saat terakhir tujuh kata itu dihapus dari proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945. Akibatnya, tujuh kata yang dianggap bagian terpenting dalam keseluruhan dokumen itu lenyap dan tak disebut-sebut di Pembukaan Undang-undang Dasar. Di tengah cepatnya peristiwa silih berganti pada Agustus 1945, Boland menyimpulkan bahwa “Indonesia anyar pun muncul bukan sebagai negara Islam berdasarkan konsep Islam ortodoks, juga bukan negara sekuler yang bakal menganggap agama itu urusan pribadi” (Boland 1971: 38), sementara Madinier mengusulkan bahwa, setidaknya untuk sementara prospek “negara yang bisa dijadikan negara Islam” yang ditawarkan Pidato Pancasila Bung Karno tetap hayat (Madinier 2015: 66).

Akan tetapi, saat itu tidak ada kesempatan membahas perkara Piagam Jakarta berlarut-larut, karena Republik Indonesia (RI) yang baru diproklamasikan kemerdekaannya langsung menghadapi Netherlands Indies Civil Administration (NICA). NICA, yang dibantu para politikus Indonesia pro-Belanda dan didukung penduduk di beberapa daerah (terutama yang banyak dihuni orang Kristen), berusaha menegakkan kembali kekuasaan kolonial Belanda dengan bergerak cerkas mendirikan beberapa negara bagian federal. Terjadilah hampir empat tahun “revolusi fisik” – perjuangan bersenjata di mana republik muda harus menghadapi dua upaya militer untuk memulihkan otoritas Belanda lewat kekerasan pada Juli 1947 dan Desember 1948 (Belanda masih menyebutnya “politionele acties”, Aksi Polisional). Alhasil, RI menjadi terkucil dan terbatas di Jawa dan sebagian Sumatra, pemerintahnya terpaksa menyingkir dari Jakarta dan menjadikan Yogyakarta ibu kota sementara. Selain ancaman Belanda, RI juga harus menghadapi perpecahan politis: sesudah proklamasi kemerdekaan, tidak kurang daripada empat puluh partai berdiri, enam belas di antaranya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), parlemen sementara yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno (lihat Noer 2005).

Skizofrenia politik Masyumi

Semula, anggota-anggota Masyumi semasa Perang Dunia II enggan membentuk partai politik karena mereka khawatir pengaruh partai yang terang-terangan Islam kepada kesatuan nasional yang dianggap vital bagi kelangsungan Republik dan pemerintahnya yang baru berdiri. Belakangan, setelah kemerdekaan dipastikan, dan menghadapi penurunan pengaruh akibat perpecahan internal, upaya daerah melepaskan diri, dan hasil Pemilu 1955 yang membuat masygul, barulah Masyumi bergeser ke garis Islamis yang lebih tegas, bersikap lebih keras menghadapi manuver politik Presiden Soekarno yang mencoba mengubah Indonesia dari sistem parlementer yang meniru demokrasi Barat ke Demokrasi Terpimpin yang dikuasainya sendiri (lihat Noer 1987).

Dengan hanya memakai singkatan nama organisasi induknya dari masa Perang Dunia II, Masyumi “menambahkan ‘Partai Politik Oemmat Islam Indonesia’ ke namanya” dalam kongres pendiriannya pada November 1945 (Madinier 2015: 75). Struktur organisasinya, yang terdiri atas Dewan Pimpinan dan Majelis Syura, dibayangkan akan inklusif, tapi kenyataannya komposisi kedua badan itu lebih banyak diisi bekas anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Meski organisasi masyarakat (ormas) muslim juga terwakili – Muhammadiyah menempatkan delapan orang, sementara NU hanya empat –ketua Muhammadiyah dan NU bukan bagian eksekutif, melainkan ditempatkan di Majelis Syuro. Resminya, Kiai Hasyim Asy’ari dari NU adalah ketua Majelis Syura, dibantu putranya Wahid Hasyim, sementara Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Djamil Djambek, reformis Sumatra yang sudah berumur delapan puluhan, menjadi wakil-wakil ketua. Perbedaan antara posisi

(3)

eksekutif dan konsultatif juga mencerminkan perbedaan antara peran politik dan agama, yang sudah tampak sejak sebelum Perang Dunia II. Akan tetapi, perbedaan itu makin menonjol selagi dua ketua umum dewan pimpinan partai Masyumi yang perdana, Sukiman Wiryosanjoyo dan Mohammad Natsir, juga seorang lagi yang kelak menjadi menteri, Sjafruddin Prawiranegara, mulai terkenal sebagai politikus jempolan yang makin pragmatis. Bagi mereka, agama menyediakan “kumpulan kaidah umum yang penerapannya dapat disesuaikan dengan zaman kiwari,” berbeda dengan para fungsionaris di Majelis Syuro, yang menganggapnya sebagai “kebenaran mutlak yang mesti tetap tak berubah” (Madinier 2015: 295).

Masyumi terbuka bagi individu maupun organisasi. Pada awalnya, perhatian utama Masyumi adalah pembentukan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), yang akan digunakan dalam perjuangan melawan Belanda. Selebihnya, visi politik Masyumi paling awal tetap berbasis komunitas. Dengan menggunakan sebutan “Keluarga Masyumi”, menurut Madinier, “ketidakjelasan program” Masyumi diimbangi “kendali langsung atas berbagai organisasi yang bertugas menyediakan infrastruktur sosial bagi masyarakat muslim” (Madinier 2015: 348). Masyumi yang memegang jejaring luas bisa mengendalikan milisi Hizbullah, dan mendirikan organisasi pertahanan sipil bernama Barisan Sabilillah. Hizbullah dan Barisan Sabilillah menjadi penting selama revolusi fisik antara 1945 dan 1950. Dukungan legal dan inspiratif bagi perjuangan bersenjata itu diberikan Kongres Partai Masyumi dan satu fatwa Hasyim Asy’ari yang menyeru umat muslim untuk “berjihad fisabilillah”, dan memberitahu umat muslim bahwa dalam keadaan seperti saat itu, perang sabil adalah fardhu ‘ain, kewajiban semua muslim (Boland 1971: 43; Formichi 2012: 85). Meski dewan pimpinan Masyumi, yang didominasi modernis pragmatis, enggan menyetujui fatwa sang pemimpin NU, mereka merasa harus mengulangi dedikasi Masyumi terhadap pendirian negara Islam. Sambil menggunakan istilah yang Hasyim Asy’ari gunakan dalam fatwanya –bahwa wilayah RI adalah Darul Islam –kongres juga berjanji akan melakukan langkah menuju ke sana melalui musyawarah di parlemen, sehingga sepakat kepada Pancasila.

Perbedaan sikap antara para realis politik dan idealis agama di Masyumi terrepresentasi dalam fakta bahwa “dalam kasus Masyumi, gagasan negara Islam berubah-ubah antara slogan, mitos, program, dan realitas, kadang beberapa di antaranya bersamaan”; kebingungan itu makin besar karena ambiguitas istilah “negara” dalam bahasa Indonesia, yang “bisa dimafhumi merujuk ke state, country, atau dalam kasus tertentu, nation” (Madinier 2015: 285-6). Akibatnya, evolusi ideologi politik Masyumi terjadi dengan silang selimpat dan kadang bahkan kontradiktif. Bersama-sama pertarungan politis internal pada tahun-tahun pembentukan organisasi-organisasi politik Islam selama 1920-an dan 1930-an yang berlanjut pada era pascakolonial, perbedaan ideologis internal itu menyebabkan PSII (yang berdiri lagi) keluar pada 1947, lantas gerakan Darul Islam (DI) Kartosuwiryo juga keluar pada 1948, dan empat tahun sesudahnya NU juga angkat kaki dari Masyumi. Karena pihak Jepang yang lebih suka ulama desa, posisi para modernis yang berwawasan kosmopolitan, yang kebanyakan berasal dari Sumatra, melemah. Tahun-tahun pertama kehidupan Masyumi penuh kekacauan. Anggota-anggotanya bergabung di beberapa kabinet pada tahun-tahun pertama kemerdekaan secara pribadi, bukan sebagai wakil resmi partai; Masyumi praktis terbelah menjadi kelompok idealis yang memperjuangkan negara Islam dan lebih suka berperan sebagai oposisi, dan kelompok realis yang menganggap keikutsertaan dalam pemerintah lebih bermanfaat, bahkan bila itu berarti harus berkompromi. Madinier menautkan “skizofrenia politik” itu dengan keragaman asal-usul geografis, latar belakang sosial, dan haluan politik para pemimpin Masyumi (Madinier 2015: 61).

Ada dua perkembangan selama perjuangan kemerdekaan yang penting bagi pematangan Masyumi sebagai partai dan pembentukan identitas politiknya. Yang pertama ialah pemberontakan komunis, yang segera dibabat oleh Divisi Siliwangi TNI pada September 1948, Peristiwa Madiun. Insiden itu membuat tentara dan Masyumi berhadapan dengan PKI. Merle Ricklefs memparalelkan konfrontasi PKI-Masyumi dengan perbedaan antara abangan-santri, dan sependapat dengan Madinier, bahwa pembunuhan banyak anggota Masyumi oleh para pemberontak adalah awal sikap antikomunis Masyumi dan akar pembantaian orang-orang yang diduga kiri pada pertengahan 1960-an (Ricklefs 2012: 71-8; Madinier 2015: 147-54).

(4)

Perkembangan yang satunya lagi adalah keluarnya DI Kartosuwiryo pada awal 1948, dan proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) pada Agustus 1949. Relevansinya di sini adalah: bahwa radikalisme Islamis simplistik DI mendorong Masyumi ke aliran tengah politik. Itu memungkinkan Masyumi ikut dalam berbagai pemerintah koalisi, tetapi juga menimbulkan tantangan dalam menampilkan citra Islam yang jelas dan tegas.

Di tengah tumbuhnya sentimen nasionalis dan simpati internasional terhadap kemerdekan Indonesia akibat kebrutalan Belanda selama aksi militernya pada 1947-8, peristiwa-peristiwa dramatis di tahap akhir perjuangan itu memberi tiga politikus Masyumi kesempatan menampilkan diri sebagai negarawan masa depan: sesudah ditangkapnya kabinet Soekarno-Hatta dalam serbuan Belanda ke Yogyakarta, satu-satunya menteri yang berhasil melarikan diri, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara, memproklamasikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, ibu kota Republik di Minangkabau. Dengan menjaga kelangsungan cita-cita revolusi, telatah Sjafruddin Prawiranegara menambah harum nama Masyumi. Sementara itu, sesudah dibebaskan, Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem menjadi juru runding dalam kesepakatan terakhir Belanda-Indonesia untuk menyerahkan kedaulatan ke Republik. Arkian, Mohammad Natsir membuktikan diri dengan meyakinkan Sjafruddin Prawiranegara untuk menerima Perjanjian Roem-Royen, yang dikritik Sjafruddin karena memberi terlalu banyak kepada Belanda, serta mengembalikan kekuasaan eksekutif dari PDRI ke pemerintahan Soekarno-Hatta (lihat Zed 1997). Telatah-telatah itu mengangkat nama mereka bertiga dari pendukung kebijakan realis yang kurang dikenal menjadi tokoh-tokoh politik besar, membuat posisi mereka kuat untuk mengambil kekuasaan di Masyumi pada hari sebelum pengakuan resmi Belanda atas kemerdekaan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. RIS, bentukan politik yang terdiri atas RI yang menguasai Jawa dan Sumatra serta sejumlah negara bentukan NICA, tidak bertahan lama. Dalam beberapa bulan, RIS bubar dan digantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bung Karno tetap sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden; ketua umum dewan pimpinan Masyumi yang anyar, Mohammad Natsir, menjadi perdana menteri pertama negara kesatuan yang kembali disebut Republik Indonesia itu.

Darul Islam (DI) dan pergolakan daerah

Selain karena beroposisi terhadap Demokrasi Terpimpin dan terlibat pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Masyumi juga dibubarkan sebagai konsekuensi kecurigaan terus-menerus akan sikapnya terhadap Darul Islam (DI) yang dinahkodai oleh Sekar Maridjan Kartosuwiryo, yang berlangsung dari 1948 sampai 1962. Pemberontakan DI terdiri atas lima pemberontakan daerah yang mengaku terinspirasi ideologi politik Islam, yang dihadapi Indonesia sejak akhir 1940-an. Selama 1950-an, dua kelompok pemberontak di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan mulai berkolaborasi dengan DI Kartosuwiryo. Tahun 1953, masalah juga muncul di Aceh, tapi gerakan perlawanan yang dipimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) terhadap pemerintah pusat di Jakarta tidak bersekutu secara resmi dengan Kartosuwiryo. Kalakian, ada tiga gerakan gerilya yang aktif di Jawa Tengah yang mengaku mendukung DI Kartosuwiryo, tapi pupus membentuk front bersatu (lihat Formichi 2015).

Dasar kekalahan DI mulai terbentuk antara 1953 dan 1955, ketika NU mengambil alih tempat Masyumi di pemerintahan dan posisi Bung Karno makin kuat melalui persahabatan pribadinya dengan pemimpin NU Wahab Chasbullah, yang – menentang sikap organisasinya sendiri – mendukung rencana sang presiden untuk Demokrasi Terpimpin: Sejak itu, “Kartosuwiryo dan Darul Islam-nya disebut sebagai ‘musuh negara’” (Formichi 2012: 160). Namun, perihal itu tidak mencegah beberapa pemimpin Masyumi dan NU menyuarakan pendapat menentang:

Mohammad Roem berargumen bahwal DI, TII, dan Daud Beureu’eh adalah sekutu-sekutu partai [Masyumi] dalam perjuangan mendirikan negara Islam di Indonesia. Pada pertengahan 1950-an, Isa Anshary (Persis) menyatakan bahwa “Umat muslim seharusnya tak mendukung pemerintah yang bukan NII, dan Kiai Chalid Hasjim dari NU menfatwakan bahwa muslim yang tak berjuang demi NII adalah munafik yang hidup pada zaman jahiliyah (Formichi 2012: 163).

(5)

Revolusi di Kalimantan Selatan4

Setelah mengetahui berita tentang peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dari Jawa, rakyat Kalimantan Selatan (Kalsel) segera tancap gas membentuk berbagai gerakan perjuangan anti-Belanda. Gerakan anti-Belanda ini dibagi menjadi dua jenis gerakan perjuangan. Perjuangan secara legal berbentuk partai-partai politik, yaitu: Sarekat Kerakyatan Indonesia (SKI), Sarekat Muslim Indonesia (SERMI) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI); sedangkan gerakan yang illegal berbentuk organisasi-organisasi gerilya seperti: Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK), Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka (GERPINDAM) di Amuntai, Tentara Kebangsaan Indonesia (TRI) di Ampah dan Kelua, Gerakan Rakyat Memertahankan Republik Indonesia (GERMERI) di Kandangan, Laskar Syaifullah di Haruyan yang dipimpin oleh Hassan Basry, Benteng Indonesia di Kandangan, Penolong Tentara Indonesia Republik (PETIR) di Negara dan Benteng Borneo di Rantau.

Organisasi ini kemudian dihimpun menjadi suatu kegiatan dan diberi nama Batalion Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan. Divisi ini merupakan bagian dari ALRI Divisi IV yang bermarkas di Mojekerto, Jawa Timur. ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dipimpin oleh Hassan Basry yang berkedudukan di Kandangan. Ketilka Belanda melancarkan Agresi Militer II ke Yogyakarta pada 1948 dan melakukan penangkapan-penangkapan para pemimpin RI. Belanda saat itu beranggapan bahwa RI sudah bubar. Dalam operasi militernya, ALRI Divisi IV ALRI telah berhasil membuat Pemerintah Kolonial Belanda dan kolabolatornya merasa terancam keberadaannya di Kalimantan Selatan. ALRI Divisi IV selain menguasai daerah pedalaman Meratus, pengaruhnya juga terasa di Banjarmasin, sehingga Belanda terpaku dan sangat sukar membuka hubungan ke Lapangan Udara Ulin. Menilik keberhasilan ALRI Divisi IV, tidak dapat dipisahkan oleh keberadaan tokohnya-tokohnya seperti: Hassan Basry, Gusti Aman, P. Aria, H. Aberani Sulaiman, dan Budhi Gawis. Selain itu, masih terdapat nama-nama seperti Martinus, H. Damanhuri, Daeng Lajida, Abdurrahman, dan Ibnu Hadjar. Mereka ini adalah para komandan pasukan penggempur dari ALRI Divisi IV.

Dalam ALRI Divisi IV ini terdapat sub divisi lain, yang menyebut-nyebut nama Ibnu Hadjar sebagai salah seorang dari dua komandan di wilayah Hulu Sungai Selatan. Pada hari yang sama ketika dibentuk ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan, para wakil dua organisasi gerilya lain di Kalimantan Selatan, M.N. 1001 dan Mandau Telabang Kalimantan Indonesia (MTKI) setuju–setidak-tidaknya secara lisan–bergabung dalam kesatuan yang baru itu. Walaupun ada janji-janji mereka, Hassan Basry mula-mula tidak berhasil menciptakan persatuan di kalangan gerilyawan Kalimantan Selatan. Suatu pertemuan yang dilakukan pada awal Desember dengan maksud meyakinkan pemimpin-pemimpin gerilya yang lain untuk masuk organisasi ini ternyata gagal. Di samping itu, Daeng Ladjida dipaksa melucuti pasukan MTKI. Pemerintah Militer Kalimantan Selatan Republik diumumkan Hassan Basry, tanggal 17 Mei 1949, lebih seminggu sesudah penandatanganan persetujuan Van Royen-Roem. Dengan demikian, proklamasinya merupakan protes terhadap pengakuan–yang tampaknya menjadi kenyataan dengan ditandatanganinya persetujuan ini–Daerah-daerah Otonom Kalimantan Tenggara dan Banjar (yang akhir ini terdiri dari Hulu Sungai dan Banjarmasin) yang telah diciptakan pada tahun-tahun sebelumnya.

Pada akhir 1948, ALRI Divisi IV telah tumbuh menjadi apa yang dilukiskan Residen Kalimantan Selatan sebagai suatu tentara modern yang lengkap persenjataannya. Pada tahun berikutnya mereka berhasil menegakkan kekuasaannya atau bagian terbesar daerah-daerah pedalaman Kalimantan Selatan. Sesudah aksi militer Belanda kedua, Desember 1948, dan terutama sesudah proklamasi Hassan Basry tentang pembentukan pemerintah militernya, Mei 1949, ALRI Divisi IV menjadikan hidup sulit sekali bagi Belanda dan para “kolaborator”

4 Bagian tulisan ini adalah versi ringkas dari tesis saya, “Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT):

Pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, 1950-1963”, Universitas Indonesia, Depok: Januari 2014, hlm. 42-61.

(6)

Indonesianya. Divisi ini tidak hanya menguasai daerah-daerah pedalaman, secara harafiah maupun kiasan, tetapi pengaruhnya terasa pula di pusat pemerintahan Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Belanda hanyalah mungkin melakukan perjalanan di pedalaman dalam konvoi dan dengan pengawasan bersenjata. Di Banjarmasin sendiri mereka harus waspada terhadap serangan-serangan gerilyawan sewaktu-waktu. Di samping itu, Belanda terus kesulitan untuk membuka jalan dari Banjarmasin ke Bandara Udara Ulin, suatu jarak yang meliputi kira-kira dua puluh lima kilometer.

Berangsur-angsur pada 1949 kemungkinan tercapainya persetujuan akhir antara Pemerintah Republik dan Pemerintah Belanda makin bertambah besar. Ketika menjadi jelas bahwa bersamaan dengan itu Kalimantan Selatan tidak akan menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia–tetapi malahan merupakan bagian dari Daerah-daerah Otonom Banjar dan Kalimantan Tenggara, dua negara anggota Republik Indonesia Serikat yang direncanakan– Hassan Basry memperhebat aksi-aksinya. Benar-benar dia merongrong pemerintahan Daerah Otonom Banjar yang didalangi Belanda dan menuntut ALRI Divisi IV harus diminta pendapat tentang cara-cara menetapkan genjatan senjata yang disepakati Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda. ALRI Divisi IV mempunyai struktur pemerintahannya sendiri di pedalaman Daerah Otonom Banjar. Keenam gubernur daerah dari Pemerintah Militer bersama-sama mengepalai Komisi Umum, yang bertanggung jawab mengenai urusan sipil dan militer. Demikianlah mereka mengangkat kepala desa, yang disebut pembakal, di desa-desa. Beberapa pembakal ini adalah kepala desa lama, yang sama-sama berjuang dengan gerilyawan. Yang lainnya, mereka melaksanakan jabatan mereka berdampingan dengan kepala desa, yang terus menduduki jabatan dalam Pemerintahan Belanda. Tetapi dalam hal yang terakhir ini pembakal-lah sebenarnya yang menjalankan urusan desa; kepala-kepala desa lama hanya diperkenankan karena sebab-musabab praktis. Karena bila seorang penduduk desa oleh suatu sebab harus berhubungan dengan Pemerintahan Daerah Otonom Banjar di kota–atau memerlukan pas jalan dari Belanda atau paspor sebagai warga Belanda–dia membutuhkan surat-surat resmi yang dikeluarkan kepala desa lama.

Dalam menguasai daerah-daerah pedesaan, ALRI Divisi IV secara tidak langsung menguasai pula daerah-daerah perkotaan. Bahkan di Banjarmasin terdapat petugas-petugas polisi ALRI Divisi IV yang menjaga semua tempat masuk dengan maksud menghentikan pangan dan kebutuhan sehari-hari yang lain dibawa masuk ke dalam kota. Orang yang kedapatan menyeludupkan barang-barang ke dalam kota bisa disita barang-barangnya. Pada mulanya ALRI Divisi IV juga melarang menyadap karet di Kalimantan Selatan dengan alasan, karet hanyalah digunakan Belanda agar mendapat uang lebih banyak untuk membeli senjata. Ketika ternyata kebijaksanaan ini merugikan rakyat sendiri, larangan ini diperlonggar. Rakyat diizinkan menyadap pohon karet lagi dengan syarat, semua pekerja yang terlibat dalam proses menyadap sampai mengasap adalah anggota perkumpulan-perkumpulan koperasi ini. Pembentukan perkumpulan-perkumpulan koperasi merupakan bagian dari rencana ALRI Divisi IV untuk membentuk tatanan ekonomi baru. Segi lain dari rencana yang sama menyangkut pengangkatan pejabat-pejabat khusus untuk membeli padi dari para petani dan menjualnya ke kota. Tetapi dalam hal yang terakhir, dan khususnya di Banjarmasin, terdapat banyak keluhan, orang-orang perantara ini memanfaatkan kedudukan monopolinya untuk membeli padi dengan harga murah dari para petani dan menjualnya dengan harga tinggi kepada para konsumen kota. Untuk memperbesar penghasilannya, di samping itu ALRI Divisi IV memungut pajak atas penjualan lateks dan atas kegiatan pasar pada umumnya. Juga diusahakannya memungut pajak pendapatan. ALRI tidak hanya memungut pajak dan menguasai arus barang dan rakyat.

Sesudah pernyataan pembentukan Pemerintah Militer 17 Mei 1949, timbul perbedaan pendapat dalam hubungan ini, antara Hassan Basry di satu pihak dan Pemerintah Republik serta Pemerintah Belanda di pihak lain. Pertentangan terjadi karena genjatan senjata yang disetujui antara Pemerintah Republik dan Pemerintah Belanda yang akan mulai berlaku pada 1 Agustus, sebagai pelaksanaan lanjutan dari Persetujuan Van Royen-Roem. Baik persetujuan ini maupun genjatan senjata pada hakikatnya adalah persetujuan Republik Indonesia, dengan wilayahnya di bagian-bagian Jawa dan Sumatera, dengan Belanda. Walaupun negara-negara lain dan

(7)

daerah-daerah Otonomi yang akan merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat diwakili melalui suatu badan khusus yang mereka bentuk, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), atau Pertemuan Permusyawaratan Federal, persetujuan-persetujuan itu hanya menyangkut Jawa dan Sumatera. Genjatan senjata 1 Agustus menghendaki “Perintah penghentian permusuhan agar dikeluarkan bersamaan waktunya oleh kedua belah pihak pada 3 Agustus dan akan berlaku di Jawa sejak tengah malam 10/11 Agustus 1949 dan di Sumatera sejak tengah malam 14-15 Agustus”.

Tidak banyak disebut tentang keadaan di negara-negara dan daerah-daerah Otonom BFO. Suatu dewan bersama pusat yang dibentuk untuk mengikuti dengan seksama genjatan senjata, dan terdiri dari wakil-wakil Republik Indonesia, Belanda, BFO dan Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI), mempunyai tigabelas panitia bersama setempat. Tetapi lagi-lagi, panitia-panitia setempat ini dibentuk hanya untuk Jawa dan Sumatera, dan tidak untuk daerah-daerah Indonesia lainnya. Meskipun kenyataannya persetujuan-persetujuan hanyalah menyangkut Jawa dan Sumatera, ada implikasi kuat untuk pulau-pulau lain. Hal-hal ini menyangkut pengakuan hak hidup negara-negara dan daerah-daerah otonom oleh Republik Indonesia, setidak-tidaknya di atas kertas. Di samping itu, karena di sana pun semua permusuhan harus berhenti, Pemerintah dan Tentara Republik juga harus memberikan perintah kepada semua gerilyawan setempat atas nama Republik. Hassan Basry di Kalimantan, menolak kekuasaan Republik. Karena dia menguasai sebagian besar daerah, dia merasa, Kalimantan Selatan harus diperlakukan sama dengan wilayah Republik di Jawa dan Sumatera. Walaupun ALRI Divisi IV berjanji akan mematuhi perintah Pemerintah Republik dan markas besar Tentara di Jawa, perilaku yang sesungguhnya bertentangan dengan ini. Hassan Basry mendesak agar genjatan senjata untuk Kalimantan dicapai melalui perantaraan Central Joint Board (Pimpinan Bersama Pusat). Selama badan yang demikian tidak terbentuk, seperti dirumuskan Gusti Aman pada 17 Agustus, ALRI Divisi IV akan, “terus bertindak sesuai dengan garis revolusi”.

Menurut laporan pada 3 dan 4 September 1949, kira-kira tiga puluh ribu orang yang berdiam dalam radius tiga kilometer dari pusat kota meninggalkan kota, hingga menimbulkan masalah-masalah berat karena desa-desa yang berdekatan terlalu dipadati dan beberapa rumah didiami banyak sekali orang. Imbauan residen dan komandan tentara Belanda kepada penduduk ini untuk kembali ke Kandangan tidak berhasil. Orang baru pulang kembali setelah diperintahkan berbuat demikian oleh ALRI Divisi IV pada pertengahan bulan yang sama itu. Tetapi ketika itu pun orang-orang ragu karena suatu organisasi gerilya lain, Divisi Tengkorak Putih, memperingatkan mereka jangan kembali. Kandangan sudah menjadi gelanggang pertempuran selama beberapa minggu sebelum terjadinya pengungsian. Tembakan-tembakan terdengar di luar kota hampir setiap hari, dan juga di tengah malam, bila gerilyawan masuk menyusup. Banjarmasin diserang, seperti yang kita lihat, pada 15 Agustus malam dan dini hari 16 Agustus. Salah satu sasaran utamanya adalah tangsi KNIL. Seminggu kemudian 23 Agustus tangsi-tangsi ini diserang lagi ketika tangsi-tangsi Polisi Militer juga ditembaki.

Akibat kegiatan gerilya yang meningkat ini ialah diperlukannya campur tangan dan bantuan Pemerintah Republik. Pemerintah ini telah mengumumkan melalui juru bicaranya Mayor Jenderal R. Suhardjo Hardjowardojo, seorang perwira senior Kementerian Pertahanan, pada awal Agustus sesudah persetujuan genjatan senjata, yang di mana pun juga di luar Jawa dan Sumatera ternyata tak dapat dicapai penghentian tembak-menembak. Pemerintah akan mengirimkan perwira-perwira untuk menengahi. Kini tiba waktunya memenuhi janji ini. Namun baru sesudah banyak tekanan dari Belanda dan daerah-daerah Otonom Kalimantan Tenggara dan Banjar, Pemerintah Republik Indonesia memutuskan R. Suhardjo Harjowardojo mengunjungi Kalimantan Selatan untuk bicara dengan wakil-wakil ALRI Divisi IV. Kedatangan R. Suhardjo Hardjowardojo direncanakan pada 24 Agustus. Sebelum ia dapat berangkat ke Kalimantan, sejumlah rintangan resmi masih tetap harus disingkirkan. Belanda dan Republik pada mulanya tidak bisa sepakat tentang status R. Suhardjo Harjowardojo. Republik Indonesia menuntut, misi ini harus diberi status resmi dan harus berlangsung dengan perlindungan UNCI, tetapi hal ini ditolak oleh daerah-daerah Otonom. Kemudian, tatkala R. Suhardjo Harjowardojo tiba akhirnya, dia bukan saja disertai dua perwira Tentara Republik, tetapi juga Kolonel Neals, seorang pengamat militer Australia dari UNCI. Hal ini diprotes oleh Residen Belanda, A. G. Deelman.

(8)

Yang belakangan ini mengeluarkan pernyataan kehadiran Kolonel Neals dapat menimbulkan kesan yang tidak benar, dan dinyatakannya lagi, kunjungan R. Suhardjo Harjowardojo adalah kunjungan tak resmi dengan tujuan mengusahakan pemulihan keamanan dan ketertiban.

Di pihak lain, R. Suhardjo Harjowardojo menegaskan, resminya ia mendapat perintah dari Panglima Tertinggi Tentara Republik, Jenderal Sudirman. Sehari kemudian diakui dalam suatu pernyataan bersama oleh R. Suhardjo Harjowardojo sendiri, residen dan panglima pasukan Belanda di Kalimantan Selatan dan Timur, sesungguhnya R. Suhardjo Harjowardojo datang dengan perintah pemerintahannya. Hubungan dilakukan pada 31 Agustus antara R. Suhardjo Harjowardojo dan Hassan Basry melalui kurir-kurir, dan pada 2 September keduanya bertatap muka di Munggu Raya. Pertemuan disaksikan oleh Kolonel Neals, pejabat militer dan sipil senior Belanda, termasuk oleh Asisten Residen (dari NICA) A. R. Holmann dan anggota-anggota Dewan Banjar. Hassan Basry disertai delapan anggota staf militernya. Dikatakannya kepada R. Suharjo Harjowardojo, ada 30.000 orang di bawah pimpinannya. Status resmi ALRI Divisi IV secara formal dikukuhkan di Munggu Raya, demikian juga pangkat militer perwira-perwiranya. Sekali lagi, kepada Hassan Basry dipercayakan tanggung jawab untuk semua kelompok gerilya bersenjata di daerah ini dan harus mengusahakan semua permusuhan berakhir dalam waktu dua minggu, sebelum tanggal 16 September. Selanjutnya dia diundang untuk memilih seorang wakil guna berunding dengan pejabat-pejabat setempat. Diserahinya P. Arya melaksanakan tugas ini. Di pihak Belanda, asisten-asisten Holmann diangkat sebagai perunding kepala.

Namun, barulah beberapa waktu kemudian para gerilyawan benar-benar bersedia bekerja sama. Semula malahan nampaknya mereka akan menolak memulai perundingan. Para perwira ALRI Divisi IV berpendapat, karena mereka menerima perintah resmi untuk mengakhiri permusuhan, maka cara melaksanakan genjatan senjata pun seharusnya juga dilakukan secara resmi. Guna tujuan ini harus dibentuk Central Joint Boards untuk Kalimantan, bersama dengan Local Joint Boards. Untuk lebih menguatkan alasan-alasan mereka, mereka menuduh Pasukan Belanda berusaha menduduki posisi-posisi yang sebelum 2 September dikuasai ALRI Divisi IV. Pada 12 September, Panglima Belanda untuk Kalimantan Selatan dan Timur, H. J. Veenendaal, menyatakan kekecewaannya akan kenyataan, hingga kini tidak muncul perundingan-perundingan ALRI Divisi IV. Diperingatkannya dengan agak angkuh, bila mereka terus tidak juga muncul, maka Hassan Basry melanggar perintah 2 September dan dengan demikian menjadikan dirinya pelanggar hukum. Residen Deelman pun sama sekali tidak senang dengan sambutan pihak gerilyawan. Apa yang khususnya membingungkan mereka adalah, meskipun ALRI Divisi IV telah menghentikan semua kegiatan militernya, mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda kesediaan untuk melepaskan kekuasaan mereka. ALRI Divisi IV terus juga bertindak bagaikan merekalah yang merupakan Pemerintah Kalimantan Selatan yang sah dan mengabaikan daerah-daerah Otonom.

Baik Deelman maupun Veenendaal mengemukakan berkali-kali, Pemerintah Indonesia pada 2 September hanyalah mengukuhkan status Hassan Basry sebagai panglima ALRI Divisi IV dan tidak sebagai Gubernur Militer Kalimantan Selatan. Selanjutnya mereka tekankan, meskipun Hassan Basry mungkin telah mematuhi perintah menghentikan tembak-menembak, pasti dia tidak menghentikan semua tindakan permusuhan; antara dua konsep ini, menurut mereka, jauh sekali perbedaannya. Mereka menyesalkan sikap pihak gerilya yang terus juga melaksanakan pemerintahan de facto di daerah-daerah yang di bawah kekuasaannya, bila tidak di daerah-daerah lain juga, bila mungkin. Demikianlah ketika Hassan Basry, yang disertai para pembantunya Gusti Aman dan Subandi akhirnya, pada 14 September, berunding dengan Deelman dan Veenendaal, masalah pokok yang menjadi pembicaraan mereka adalah tafsiran istilah “tindakan permusuhan”. Disimpulkan, istilah ini tidak hanya berarti “tembak-menembak”, tetapi meliputi banyak lagi yang lainnya.

Sesudah tercapai konsensus tentang penafsiran “tindakan permusuhan”, dengan hasil yang terpenting bahwa janji ALRI Divisi IV sendiri untuk mengakhiri pemogokan dan menghentikan pemungutan segala macam pajak, perundingan dapat dimulai dengan bersungguh-sungguh. Pimpinan perunding ALRI Divisi IV ialah P. Arya dan Gusti Aman, yang dibantu dalam

(9)

soal-soal yang mengenai urusan bukan militer oleh Burhanuddin dan dr. Gambiro. Pada perundingan ini disetujui akan dibentuk Panitia Penyelenggara Keamanan, dengan sejumlah subkomisi setempat di berbagai kota seperti Banjarmasin, Amuntai, dan Kandangan. Kedua pihak telah bersepakat bahwa panitia-panitia ini tidak ada wakil UNCI yang duduk di dalamnya, dan panitia ini hanya terdiri dari wakil-wakil ALRI Divisi IV, Republik Indonesia, dan Belanda. Namun pada waktu yang bersamaan, dikemukakan bahwa kekuasaan para panitia di Kalimantan sesungguhnya lebih luas, karena kepada mereka juga dikuasakan untuk membicarakan soal-soal politik. Dengan selesainya perundingan yang berhasil, suasana Kalimantan Selatan menjadi sangat membaik. Bagi ALRI Divisi IV, persetujuan ini berarti awal dari akhir. Berangsur-angsur posisi militernya yang kuat dan pengaruhnya di kalangan rakyat merosot. Proses ini telah mulai pada saat Mayor Jenderal Suhardjo Harjowardojo dikirim ke Banjarmasin oleh Pemerintah Republik. Tujuan misinya bukanlah untuk membantu ALRI Divisi IV mencapai persetujuan yang menguntungkan dengan Belanda, tetapi untuk membantu Belanda, yang tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengan ALRI Divisi IV. Barangkali juga ada perintah padanya untuk meratakan jalan untuk mengambil alih pimpinan di Kalimantan Selatan oleh perwira-perwira dari Jawa, dan untuk memudahkan mereka menegakkan kekuasaan Tentara Republik yang kukuh atas pasukan-pasukan yang–dalam hati kecil mereka–mereka curigai.

Suharjo Harjowardojo, yang meninggalkan Kalimantan Selatan sesudah pengakuan resmi atas ALRI Divisi IV, kembali ke Kalsel, pada 21 September. Kali ini dibawanya serta dari Jawa, bukan dua melainkan tigabelas perwira sebagai anggota apa yang disebut delegasi militer, yang diketuai oleh Letnan Kolonel K. Sukanda Bratamenggala, yang segera menjadi Panglima Kalimantan. Suhardjo Harjowardojo membantu menyusun persetujuan akhir antara ALRI Divisi IV dan Belanda dan berusaha–dengan sia-sia–mengakhiri pemogokan. Para pemogok baru kembali bekerja atas perintah ALRI Divisi IV. Suharjo Harjowardojo meninggalkan Kalimantan lagi, pada 27 September, dengan membawa serta ke Jawa P. Arya, yang kemudian menjadi petugas penghubung di Yogyakarta. Dengan demikian, Hassan Basry kehilangan salah seorang pembantu dan penasihatnya yang paling terpercaya. Sesudah Suharjo Harjowardojo berangkat, tentara di Kalimantan Selatan berada di bawah pimpinan Sukanda Bratamenggala. Sukanda Bratamenggala melakukan perjalanan bersama dengan Hassan Basry untuk melihat agar segala jenis persoalan yang berhubungan dengan persetujuan-persetujuan yang tercapai alam perundingan dengan pihak Belanda dapat diselesaikan. Di samping itu, Hassan Basry mengirimkan perintah kepada semua perwiranya untuk mengendalikan para gerilyawan setempat, dan menyusun perintah yang dimaksudkan untuk mengakhiri citra bebas yang sejauh ini ditonjolkan oleh ALRI Divisi IV. Titimangsa 4 Oktober ALRI Divisi IV mengumumkan, sejak saat itu cap mereka tidak lagi mempunyai kekuatan yang sah, dan Sukanda Bratamenggala membuat pernyataan yang kira-kira isinya ALRI Divisi IV telah menyetujui, semua perintah lisan dan surat edaran yang dikeluarkan pada masa lalu dinyatakan tidak berlaku lagi.

Langkah berikutnya menyusul, 11 Oktober ketika Panitia Pembantu Tentara Nasional Indonesia (PPTNI), dibentuk di Kalimantan Selatan dengan tujuan mengumpulkan sumbangan dari rakyat untuk membiayai kesatuan-kesatuan gerilya. Ini menambah uang yang sudah dijanjikan Tentara Belanda pada persetujuannya dengan ALRI Divisi IV. Sukanda Bratamenggala–yang mengumumkan pembentukan panitia yang baru–menegaskan, uang yang dikumpulkan oleh PPTNI bersama dengan sumbangan yang dijanjikan Belanda sejak saat itu akan merupakan satu-satunya pendapatan tentara. ALRI Divisi IV dilarang mengumpulkan sumbangan langsung dari rakyat lagi, katanya. Ini berarti berakhirnya pemerintahan militer yang dibentuk ALRI Divisi IV dan kegiatan-kegiatan memungut pajaknya atas nama revolusi. Di samping itu pada 27 Oktober, para pejabat republik dari Jawa mulai mengadakan pemeriksaan kesehatan dari para gerilyawan ALRI Divisi IV. Di bawah pengawasan dr. Suharsono, mereka diperiksa untuk dilihat siapa yang fisik cukup kuat untuk tetap dalam tentara republik, dan siapa yang harus didemobilisasikan dan “dikembalikan” ke “masyarakat”. Para gerilyawan yang sial tergolong dalam kategori kedua, demikian dijanjikan, akan diberhentikan dengan hormat. Seperti di tempat-tempat lain di Indonesia, ujian-ujian ini dan dikenakannya aturan-aturan militer yang ketat menimbulkan perasaan dendam di kalangan anggota organisasi gerilya. Bukan hanya

(10)

prajurit-prajurit biasa ALRI Divisi IV, tetapi juga perwira-perwira mereka harus tunduk kepada disiplin dan norma-norma yang dikenakan para pejabat dari Jawa. Demikianlah para komandan ALRI Divisi IV diperintahkan mengikuti kursus pendidikan yang diadakan perwira-perwira orang Jawa.

Para prajurit tetap Tentara Republik sendiri memandang rekan-rekannya dari Kalimantan dengan cemooh dan merendahkan. Mereka cenderung berpendapat, ALRI Divisi IV terbentuk pada masa revolusi, ketika ukuran-ukuran dan peraturan-peraturan yang menentukan pembentukan dan berfungsinya tentara dibuat agak ringan. Kini setelah pertempuran berakhir, kiranya tiba waktunya bagi ALRI Divisi IV untuk diubah secepat mungkin menjadi kesatuan tentara yang efisien dan teratur dengan baik, demikian alasan yang dikemukakan. Akhir yang menentukan bagi ALRI Divisi IV tiba, 10 November 1949, hari peringatan Pertempuran Surabaya, atau Hari Pahlawan, ketika ia diubah menjadi Divisi Lambung Mangkurat dalam suatu upacara singkat di Kandangan. Hassan Basry tetap komandannya. Ia tidak menjadi panglima untuk seluruh Kalimantan, seperti yang diharapkannya. Pada 22 Desember, Sultan Yogyakarta Letnan Jenderal Hamengkubowono IX, ketika itu Menteri Pertahanan, mengunjungi Banjarmasin dalam kedudukannya selaku Koordinator Keamanan, lalu mengangkat Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala, ketika itu masih Ketua Delegasi Militer, dalam jabatan itu, dengan gelar Panglima Tentara dan Territorium (TT) VI. Hassan Basry dijadikan komandan salahsatu dari empat subwilayah yang dibentuk ketika itu, yaitu subwilayah III yang meliputi Banjar. Ketika keadaan darurat perang masih berlaku, pemerintahan sipil tunduk kepada pemerintahan militer. Dalam urusan sipil, Hassan Basry dibantu Moh. Hanafiah, demikian diumumkan. Demikianlah Divisi Lambung Mangkurat dijadikan bertanggung jawab untuk keamanan dan ketertiban di Daerah Banjar. Walaupun keadaan darurat perang, soal-soal rutin sehubungan dengan pemeliharaan hukum dan ketertiban diserahkan kepada Polisi, yang sejak 25 November berada di bawah yurisdiksi Dewan Banjar. Kewajiban pokok Divisi Lambung Mangkurat adalah mengambil alih dan melanjutkan pelbagai tugas Tentara Belanda dan Pasukan KNIL, yang berangsur-angsur meninggalkan daerah ini sejak 26 November, mulai dengan Barabai, untuk ditempatkan di daerah-daerah khusus.

Mungkin sekali para pejabat Republik–dengan berpegang pada kenyataan, kemerdekaan Indonesia dicapai penuh–ingin mengembalikan pasukan Tentara ke tangsi dan menyerahkan kepada Polisi tugas ketertiban umum. Tetapi hipotesa ini tidak bisa menjelaskan adanya keadaan yang membingungkan selama bulan-bulan pengujung 1949. ALRI Divisi IV, kini Divisi Lambung Mangkurat, sebagai suatu divisi barangkali dapat diletakkan di bawah pengendalian pemimpin-pemimpin Tentara Republik. Namun anggota-anggotanya perorangan, dan para anggota organisasi-organisasi gerilya lainnya–baik mereka yang setidak-tidaknya dalam nama telah tergabung dalam Divisi Lambung Mangkurat maupun mereka yang telah menolak berbuat demikian–jauh lebih sulit dikendalikan. Sesungguhnya keadaan kini begitu gawat, sehingga sebelum tahun berakhir, Hassan Basry dalam kedudukannya sebagai Panglima Divisi Lambung Mangkurat dua kali harus mengeluarkan peringatan, Divisi-nya akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang mengganggu ketenteraman atau terus berlaku sewenang-wenang. Jadi, keadaan dirinya mirip sekali dengan keadaan Belanda beberapa bulan sebelumnya, ketika mereka harus menghadapi Pemerintah Militer ALRI Divisi IV. Kini gilirannya dia yang harus mengambil tindakan terhadap orang-orang yang tidak mau mengakui Daerah Otonom Banjar.

Dalam suatu pengumuman yang dilakukan pada akhir November, dilancarkannya kecaman terhadap kelompok-kelompok tertentu yang berusaha menambah pengaruh mereka dalam masyarakat dengan menggunakan nama ALRI Divisi IV atau Divisi Lambung Mangkurat. Pada akhir Desember secara tegas dinyatakannya, Lambung Mangkurat adalah alat setia Daerah Otonom Banjar. Sesuai dengan ini Divisi akan mengambil langkah-langkah tegas terhadap setiap orang yang meresahkan masyarakat, demikian diperingatkannya, termasuk orang-orang yang berbuat demikian sebagai prajurit atau atas nama tentara atau perjuangan kemerdekaan. Sebagai contoh kegiatan yang dimaksudkannya ia menyebut ada orang yang berpura-pura meminjam mobil guna tujuan militer, mengancam agar orang meminjamkan atau menjual barang-barangnya, memungut sumbangan dari warga perorangan atau perusahaan-perusahaan, dikenakannya pajak

(11)

atas penjualan lateks. Bersamaan dengan itu dengan sangat dimintanya kepada rakyat agar tidak menafsirkan tindakan tegas demikian yang dilakukan oleh Tentara atau Polisi terhadap unsur-unsur yang bersangkutan sebagai suatu usaha penindasan umum. Rakyat harus menyadari, Tentara berusaha memberikan isi pada cita-cita kemerdekaan dan keamanan, maupun untuk mendorong kemajuan masyarakat.

Kelompok-kelompok yang dianggap Tentara Republik harus dikendalikan pada akhir 1949 dan awal 1950 banyak jumlahnya. Maka Tentara harus mengendalikan pelbagai satuan gerilya setempat, besar dan kecil. Keadaam selanjutnya disulitkan oleh pertempuran yang sebentar-sebentar terjadi dengan Pasukan KNIL. Di seluruh Kalimantan Selatan–tidak hanya di Banjar, tapi juga di bagian timur dan barat daerah itu–maupun di Kalimantan Tengah dan Tenggara, Divisi Lambung Mangkurat-lah yang menghadapi satuan-satuan gerilya liar. Dalam yang akhir ini termasuk musuh lamanya, Divisi Tengkorak Putih, yang mengedarkan pamflet dengan peringatan “Awas, Tengkorak Putih datang” di seluruh Kalimantan Tenggara. Juga terjadi kesulitan dengan Brigade XVI Warouw dan Kahar Muzakkar, yang terdiri dari orang-orang dari luar Jawa dan Sumatera, maka di dalamnya juga terdapat pemuda dari Kalimantan yang berjuang di daerah asal maupun di Jawa. Yang terdahulu ini membentuk apa yang disebut Komando Grup Kalimantan Brigade XVI dan Batalyon Kinibalu atau Panglima Batur. Ada tanda-tanda, para gerilyawan Brigade XVI di Kalimantan ternyata sulit dikendalikan sudah sejak September 1949, ketika pimpinan Tentara bermaksud mengirimkan salah seorang komandan Brigade, Kamaruddin Noor, ke daerah itu. Selanjutnya, awal Desember, empat perwira Brigade XVI dikirimkan ke Kalimantan untuk mengusahakan penggabungan seksi Kalimantan dari Brigade ini dengan Divisi Lambung Mangkurat. Ketika gagal dalam upaya ini, berangkat pula seorang perwira lain, Firmansjah, ke Kalimantan untuk menyelesaikan masalah para gerilyawan Brigade XVI.

Persoalan-persoalan dengan gerilyawan Brigade XVI kian bertambah, ketika sesudah pengakuan resmi kemerdekaan, para perwira dan prajurit Brigade ini yang ditempatkan di Jawa kembali ke Kalimantan, terutama sesudah pembubaran Brigade. Seperti juga halnya dengan satuan-satuan gerilya yang lain, para prajurit yang kembali pun diperintahkan untuk melapor kepada penguasa dan dilarang bertindak sendiri-sendiri atau atas nama Brigade. Tetapi perintah ini tidak mencapai hasil yang diinginkan. Maka Pimpinan Tentara di Kalimantan terpaksa menghubungi Gubernur Militer Jawa Timur, daerah ditempatkannya pasukan ini sebelumnya, dan memintanya agar dapat dihentikan apa yang disebut “penyeludupan”, yaitu masuknya secara tidak sah prajurit-prajurit Brigade XVI ke Kalimantan. Penggunaan kata “penyeludupan” sekali lagi menunjukkan ketidaksenangan atau bahkan celaan yang merupakan perasaan hati prajurit profesional tetap Tentara Republik terhadap bekas pejuang gerilya liar. Hal ini, dihubungkan dengan usaha-usaha Pimpinan Tentara pusat untuk menyempurnakan Divisi Lambung Mangkurat menjadi kesatuan tentara yang modern dengan disertai proses demobilisasi yang tak terhindarkan, hanyalah menambah ketegangan ketika itu. Perasaan pasukan-pasukan yang selama bertahun-tahun telah bertempur sendiri-sendiri dan demi tujuan yang adil. Kini bukan saja mereka harus mematuhi perintah-perintah Pimpinan Pemerintah dan Tentara pusat dan wakil-wakilnya di Kalimantan, tetapi yang yang lebih celaka lagi mereka–yang dalam pandangan gerilyawan ini telah bekerja sama dengan Belanda–atau diberikan kepada orang-orang dari luar daerah. Banyak gerilyawan tidak memafhumi, dan Hassan Basry terpaksa membuat pengumuman yang isinya, bahwa para pegawai negeri dan anggota kepolisian yang dulu bekerja untuk Belanda tetap menduduki jabatannya yang demikian, tetapi kini telah menjadi pegawai Republik Indonesia Serikat.

Beberapa bulan setelah pengakuan resmi terhadap ALRI Divisi IV, dan hanya beberapa minggu sesudah kemerdekaan Indonesia, diakui Belanda bahwa situasi menjadi tak terkendalikan. Dalam Divisi Lambung Mangkurat sendiri, sejumlah prajurit dan perwira melakukan pembangkangan. Pada 14 Januari 1950, Letnan H. Damanhuri ditangkap karena dituduh memeras barang dan uang guna membangun dan membina tentaranya sendiri di Daerah Barabai. Pada hari yang sama seorang tokoh yang lebih penting, Achmad Zakaria, bekas Komandan ALRI Divisi IV, ditangkap. Ia dituduh menghasut terhadap Republik Indonesia Serikat dengan mengucapkan khotbah yang menghasut di masjid-masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam

(12)

dan berusaha mengajak bekas gerilyawan memberontak. Pada mulanya, para penguasa Republik berbuat seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Kalimantan. Namun, mereka mengakui ada pertempuran, dan pemerintah telah memutuskan untuk memindahkan bekas satuan-satuan KNIL dari daerah itu dan untuk mencegah terjadi kesulitan selanjutnya. Namun, pada waktu yang bersamaan, mereka mengecilkan persoalannya dengan mengatakan tidak ada hal yang gawat. Baik Hassan Basry maupun Sukanda Bratamenggala umpanya menyatakan, ketika ditanyai perihal kegiatan-kegiatan Divisi Tengkorak Putih, hanyalah sebagian kecil dari divisi ini yang terus bertempur. Kegiatan-kegiatannya, kata mereka menegaskan, tidak merupakan ancaman bagi ketenteraman dan ketertiban daerah itu. Divisi Tengkorak Putih yang “sesungguhnya” telah diintegrasikan ke dalam Tentara.

Sebenarnya karena keadaan begitu gawat, penduduk Kalimantan Selatan membentuk Panitia Penyelenggara Persatuan Pencegah Perpecahan (P5) pada Januari 1950. Panitia ini kemudian mengirim delegasi ke Jakarta untuk berusaha meyakinkan Presiden Soekarno, cara yang terbaik untuk mengakhiri kekacauan di Kalimantan adalah untuk memberikan pimpinan bagian Kalimantan dari Tentara Republik kepada Hassan Basry dan Firmasjah. Untuk menguatkan alasan, mereka menyatakan, panitia mendapat dukungan dari 10.000 prajurit. Saran-saran panitia diikuti. Sebaliknya, markas besar Tentara berpegang kepada kebijaksanaannya untuk menghancurkan kepribadian khusus ALRI Divisi IV. Komposisi Divisi Lambung Mangkurat adalah sedemikian rupa, hingga ia tidak hanya terdiri dari bekas prajurit ALRI Divisi IV belaka, tetapi juga anggota satuan-satuan gerilya lain dan bekas serdadu KNIL, yang telah menyatakan keinginan untuk masuk Tentara Republik. Khususnya golongan yang akhir ini , dipandang dengan kecurigaan oleh gerilyawan ALRI Divisi IV. Bekas prajurit ALRI Divisi IV dan bekas serdadu KNIL yang pada masa lalu bermusuhan, kini, sejak akhir 1949 diam dalam tempat tinggal yang sama, sekaligus.

Tambahan lagi, sesudah dibentuk Tentara dan Territorium Kalimantan dan subdivisinya, nama Divisi Lambung Mangkurat berangsur-angsur kurang dipakai, akhirnya hilang sama sekali, dan sebagian anggotanya ditempatkan di kawasan-kawasan lain di Indonesia. Karena itu, pasukan pimpinan Hassan Basry hanya disebut sebagai Pasukan Subwilayah Tiga saja. Satuan-satuannya yang terdiri dari bekas gerilyawan ALRI Divisi IV dikirim ke Kalimantan Timur, Tenggara, dan Barat. Yang lainnya dikirim ke Jawa Barat untuk membantu penumpasan Gerakan Darul Islam di sana. Kemudian divisi ini banyak kehilangan perwiranya, ketika empatpuluh sampai limapuluh orang dari mereka ini dikirim ke Yogyakarta untuk mengikuti kursus khusus bagi para perwira di Akademi Militer Nasional. Barangkali karena kesalahan komunikasi–bukan terutama karena maksud buruk–para perwira ini tiba di Yogyakarta hanya untuk mengetahui, bahwa Akademi Militer Nasional telah ditutup lebih dari setahun. Sudah sejak didudukinya kota itu oleh Pasukan Belanda sejak “aksi militer” kedua. Sejumlah dari mereka itu lalu terus berangkat ke Surabaya; memang di sini terdapat pusat pendidikan militer. Hanya satu orang dari mereka itu yang akhirnya dapat menyelesaikan pendidikannya. Yang lainnya kembali pulang ke Kalimantan; tak lama kemudian mereka yang menolak masuk Tentara Republik atau tidak mau didemobilisasikan, turut bersama dengan gerilyawan masuk hutan. Namun kali ini mereka masuk hutan untuk menentang Tentara Republik.

Titimangsa 10 November 1949, atas kebijakan pusat, Divisi IV ALRI (A) dirubah namanya menjadi Divisi Lambung Mangkurat dalam sebuah upacara yang sederhana di Kandangan. Hassan Basry kembali ditahbiskan sebagai komandannya. Namun demikian, perubahan nama Divisi IV ALRI (A) menjadi Lambung Mangkurat membuat posisi Hassan Basry mengalami posisi mobilitas vertikal yang menurun. Hassan Basry–walaupun masih tetap menjadi komandan–ia sekarang tidak menjadi panglima untuk seluruh Kalimantan seperti yang diinginkannya. Adapun yang menjadi panglima tentara dan teritorium (VI), dijabat oleh orang pusat bernama Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, sedangkan Hassan Basry hanya dijadikan komandan subwilayah III yang meliputi wilayah Banjar.

Arkian, Divisi Lambung Mangkurat mulai hilang, laiknya embun yang disinari matahari. Sekembalinya Hassan Basry dari misi militer Republik Indonesia-nya, ia tidak lagi memegang

(13)

komando Divisi dan akhirnya dikirim ke Mesir untuk tugas belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Hassan Basry meninggalkan para anak buahnya, ibarat anak ayam kehilangan induknya. Divisi Lambung Mangkurat akhirnya dipimpin oleh Kolonel Soekanda Bratamenggala. Mayor H. Aberani Sulaiman sendiri memilih untuk dibebastugaskan yang kemudian diikuti oleh beberapa perwira lainnya. Sementara itu setelah penyerahan kedaulatan, Divisi Lambung Mangkurat dimasuki oleh bekas KNIL dan eks-pendukung Belanda lainnya. “Perjuangan di Kalimantan, ibarat permainan sandiwara, yang setelah selesai pertunjukkan dan layar diturunkan, para pemainnya kembali ke asalnya.” Mereka berasal dari pemuda-pemuda desa, banyak yang tidak berpendidikan dan berpengetahuan, yang hanya bersenjatakan parang riwas. Ada yang masygul, sehingga “yang asalnya maling, kembali menjadi maling, asal rampok jadi rampok” .

Penutup

Sesudah Bung Karno mengumumkan Demokrasi Terpimpin, pernyataan keadaan darurat, dan pemberlakuan hukum militer, dilaksanakanlah “Operasi Penumpasan”, operasi yang makin gencar sesudah hijrahnya Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap ke wilayah PRRI di Sumatra (lihat Kahin 2005). Sementara itu, di Aceh, dibuatlah kesepakatan untuk membentuk “daerah istimewa” yang dipimpin seorang pemimpin PUSA, Prof. Dr. Ali Hasjmy. Pada 1962, tentara berhasil membabat habis pemberontakan PRRI dan menangkap para pemimpin Masyumi. Sementara Daud Beureu’eh diberi amnesti tetapi menjadi tahanan rumah, Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga berhasil menangkap Kartosuwiryo di Jawa Tengah dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan (lihat Formichi 2015; Iqbal 2014). Mereka berdua diadili, dihukum mati, dan dikubur di lokasi yang tak sabit. Hanya Kahar Muzakkar yang berhasil melarikan diri dan menghindari pasukan TNI sampai 1965, tatkala dia ditembak mati dekat Lawali di Sulawesi Tenggara. Akhirnya, tidak banyak perdebatan mengenai kegagalan politik kelompok Islamis di Indonesia selama dua dasawarsa pertama kemerdekaan. Akan tetapi, di segi intelektual ada beberapa prestasi penting yang tercapai, di bidang-bidang seperti pendidikan Islam dan teori hukum Islam. Perkembangan itulah, bukan politik partai Islam, yang terus berpengaruh besar ke wujud Islam Indonesia kiwari. Kerangka kelembagaan dan administatif untuk kegiatan-kegiatan itu difasilitasi oleh Kementerian Agama (lihat Fogg 2012; Feener 2007).

Dalam konteks pasca revolusi di Kalimantan Selatan, penghidupan ekonomi yang tidak stabil setelah kemerdekaan RI di Kalsel, seperti kelangkaan beras, ketidakstabilan harga barang kebutuhan pokok masyarakat mengakibatkan banyak masyarakat krisis pangan, bahkan mengalami wabah kelaparan. Setelah munculnya Pemberontakan Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT) yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar pada 1950-1963, keadaan ini diperparah dengan kondisi sosial yang halai-balai dan ketidakamanan masyarakat, karena teror dari para pemberontak mengakibatkan banyak penduduk harus mengungsi dari tempat tinggalnya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Lahan pertanian, perkebunan serta peternakan yang menjadi tunjuan roda ekonomi masyarakat pun menjadi lumpuh, karena mereka lebih memilih menyelamatkan diri dan keluarganya. Trauma yang berkepanjangan yang dialami oleh masyarakat selama pergolakan daerah akibat konfrontasi antara KRjT dengan pemerintah ini, mencerminkan bagaimana kiranya KRjT bukanlah manifestasi mutlak dari satu bentuk perlawanan rakyat, melainkan satu elemen dalam politik persekongkolan antara para barisan sakit hati.

Politik identitas etnis (kekerabatan) lebih mencolok terlihat dibanding semangat jihad keislaman dalam tubuh KRjT. Klaim bahwa pemberontakan ini sebagai simbol perjuangan bagi rakyat yang tertindas, senyatanya dalam praktik malah melakukan aksi-aksi yang merugikan masyarakat akar rumput, seperti yang dialami oleh etnis Dayak Meratus, Mandar dan juga etnis Banjar sendiri. Situasi chaos akibat pertikaian panjang antara KRjT dan pemerintah/TNI juga mengakibatkan terpolarisasinya masyarakat Kalsel akibat saling curiga dan tidak percaya satu sama lainnya. Akibat pemberonkan ini, rakyat kecillah (massa akar rumput) yang menjadi objek penderita. Mereka menjadi korban yang paling mengalami kerugian dan penderitaan, akibat peperangan. Terlepas telah terjadi polarisasi dalam masyarakat Kalsel–menempatkan diri mereka dalam pertikaian bersenjata tersebut (baik pro dan kontra terhadap kelompok Ibnu Hadjar)–hal

(14)

ini juga membuktikan bahwa proses “menjadi Indonesia”-nya rakyat Kalsel, tidaklah berjalan dengan mulus, tetapi penuh dengan pengorbanan dan penderitaan.

Makalah ini saya tutup dengan mengutip tesis yang cerkas dari Hamid Dabashi yang mengonseptualisasikan puncak keislaman sebagai perlawanan tanpa henti terhadap kekerasan yang bersumber dari kekuasaan. Dabashi meneroka bahwa secara prinsipil, Islam dengan sandaran tauhidnya adalah sebuah agama pergerakan dan perlawanan. Perihal ini berarti, bahwa Islam mencapai potensi maksimalnya ketika ia menjadi bagian dari perlawanan melawan kuasa, dan ia berada pada titik terendahnya ketika Islam digunakan untuk mempertahankan kuasa (lihat Dabashi 2008). Lukisan telatah kaum Islamis dalam pergulatan di era Revolusi Indonesia dan sesudahnya – meminjam pisau analisa Dabashi ini – terasa reflektif dan tajam untuk kacamata kita dalam melihat telatah kubu Islamis di Indonesia, dulu, kiwari, dan akan datang.

Senarai Pustaka

Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia (Martinus Nijhoff, 1971). Dabashi, Hamid, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (Routledge, 2008).

Feener, Michael, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia (Cambridge University Press, 2007). Fogg, Kevin William, “The Fate of Muslim Nationalism in Independent Indonesia” (Disertasi Universitas Yale, Amerika Serikat, Desember 2012).

Formichi, Chiara, Islam and the Making of the Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in 20th Century Indonesia (KITLV Press, 2012).

Iqbal, Muhammad, “Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT): Pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, 1950-1963” (Tesis Universitas Indonesia, Depok: Januari 2014).

Kersten, Carool, A History of Islam in Indonesia (Edinburgh University Press, 2017).

Madinier, Remy, Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism, terj. Jeremy Desmond (National University of Singapore Press, 2015).

Noer, Deliar dan Akbarsyah, KNIP, Komite Nasional Indonesia Pusat: Parlemen Indonesia, 1945-1950 (Yayasan Risalah, 2005).

Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Grafiti Press, 1987).

Post, Peter, et. all. (eds.), The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War: In cooperation with the Netherlands Institute for War Documentation (Brill, 2009).

Ricklefs, Merle Calvin, Islamisation and its Opponents in Java: c. 1930 to the Present (National University of Singapore Press, 2012).

Tibi, Bassam, Islam and Islamism (Yale University Press, 2012).

Zed, Mestika, Somewhere in the Jungle: PDRI Sebuah Mata Rantai yang Terlupakan (Grafiti Press, 1997).

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan sini akan membahas secara lebih lanjut tahapan radikalisme politik kelas menengah Muslim yang terjadi di Indonesia mulai dari munculnya godly nationalism, konteks

Dalam rangka mencapai tujuan penulisan, pembahasan dalam tulisan ini dibagi dalam empat bagian yaitu (i) mengidentifikasi kriteria siapa yang disebut sebagai ahli; (ii)

Hasil uji t terhadap variabel lingkungan kerja (X3) menunjukkan nilai thitung lebih besar dari t tabel maka dapat disimpulkan bahwa, lingkungan kerja secara parsial

Di sini lembaga Enough Project Amerika mengabaikan upaya Pemerintah Sudan untuk mewujudkan stabilitas keamanan di Sudan, dan tidak pernah mengkritisi atau mengangkat

Berdasarkan hasil analisis IFAS dan EFAS atau faktor internal dan eksternal bahwa diketahui ada banyak macam kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.

Pada sistem PLTA Kaskade PT Vale Indonesia yang terdiri dari 3(tiga) unit pembangkit dan 3(reservoir) maka skenario water balance ialah: Besar nilai total Q (m

Dengan memilih judul pola komunikasi mahasiswa UKM Radio Mercubuana Jakarta melalui media sosial path, peneliti memilih rujukan komunikasi organisasi sebagai garis

Jika dilihat dari praktek yang ada maka BMT Surya Kencana ini juga tidak sesuai dengan syarat yang ada pada teori pembiayaan mura>bahah karena jika dikaitkan