*) Diana Rozelin adalah Dosen pada Fakultas ADAB IAIN STS Jambi Oleh: Diana Rozelin*
Abstrak: Minangkabau is one of Indonesia's ethnic embracing philosophy of life “Adat Bersandi Syara‟, Syara‟ bersandi kitabullah” has the cultural values associated with the Minangkabau society way of thinking is metaphorical, where nature and natural features are metaphoricaled to the nature of human agents, thus giving birth expressions that are passed from generation to generation and contain an implicit meaning, as in working motivation, a sense of solidarity, imaging, ethics, morals and manners.
Key words: Nilai Budaya, ungkapan Minangkabau dan Antropologi
A.PENDAHULUAN
Tulisan ini merupakan
tanggapan penulis terhadap salah satu artikel yang di muat dalam
Jurnal Masyarakat Linguistik
Indonesia karya Oktavianus. Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di Minangkabau serta daerah rantau Minang. Daerah
rantau ini mencakup
wilayah-wilayah yang ada di Indonesia
dikarenakan masyarakat
Minangkabau adalah masyarakat
yang suka merantau. Salah satu pepatah masyarakat Minang yang terkenal adalah: labiah elok susah di nagari urang daripado susah di nagari surang, karena itulah
masyarakat Minang terkenal
dengan budaya merantaunya.
Berbeda dengan kebanyakan
budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan dan sebagainya.
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011
Produk budaya
Minangkabau yang cukup menonjol
ialah sikap demokratis pada
masyarakatnya. Sikap demokratis
pada masyarakat Minang
disebabkan karena sistem
pemerintahan Minangkabau terdiri
dari banyak nagari, dimana
pengambilan keputusan haruslah
berdasarkan pada musyawarah
mufakat. Selain itu tidak adanya jarak antara pemimpin dan rakyat,
menjadi faktor lain tumbuh
suburnya budaya demokratis
ditengah masyarakat Minang. Hal ini terdapat dalam pernyataan adat bahwa "pemimpin itu didahulukan
selangkah dan ditinggikan
seranting".
Jurnal ini mengupas tentang ungkapan yang terdapat pada empat wilayah di daerah Sumatera Barat tetapi tidak dijelaskan lebih rinci
nama wilayah tersebut.
Penggunaan ungkapan adalah
salah satu cara untuk mendidik anggota masyarakat serta sebagai
pengawas dalam melakukan
tindakan agar lebih arif dan bijak
dalam mengucapkannya atau
mengungkapkannya. Penutur
bahasa Minangkabau mengenal istilah kato nan ampek, „kata yang empat‟, yaitu: kata mendaki digunakan kepada mitra tutur yang lebih tua. Kata menurun digunakan kepada mitra tutur yang lebih muda atau lebih kecil. Kata melereng digunakan jika penutur dan mitra tutur memiliki hubungan kekerabatan, seperti: ipar-besan-menantu-mertua dan sebagainya. Kata mendatar digunakan untuk sesama besar atau seumuran.
Cara berfikir orang
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 maksudnya adalah sifat dan ciri
alam dimetaforikalkan ke sifat pelaku manusia. Kecermatan orang
Minangkabau dalam
mengabstraksikan alam tempat
tinggalnya memperkaya
pengetahuan mereka sehingga
melahirkan ungkapan-ungkapan
yang diwariskan secara turun
temurun.
B. CAKUPAN JURNAL
Jurnal ini memaparkan
budaya masyarat Minang melalui ungkapan. Ungkapan ini tidak hanya digunakan oleh kalangan tua tetapi juga digunakan di kalangan muda walaupun tidak sebanyak kalangan tua. Jurnal ini memaparkan Pertama, gambaran singkat tentang antropologi budaya sebagai arahan utama penelitain ini;
Antropologi Linguistik
dipelopori oleh Franz Boas. Subjek ini di Amerika dikenal dengan istilah Antropologi Linguistik, di
Eropa dikenal dengan istilah
Etnolinguistik dan di Indonesia dikenal dengan istilah Linguistik Budaya. Pada dasarnya ketiga istilah tersebut sama, mengkaji budaya dan bahasa. Franz Boas adalah salah seorang yang juga
memberikan kontribusi dalam
pengembangan antropologi
linguistic. Gagasannya sangat
berpengaruh terhadap Sapir dan Whorf, yang melahirkan konsep
„relativitas bahasa‟. Beliau
menyatakan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari fakta social budaya masyarakat pendukungnya.
Sapir mempertegas pernyataan
tersebut dengan menyatakan
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 suatu bahasa sangat penting untuk
menguak lingkungan fisik dan social di mana penutur suatu bahasa bermukim.
C. Nilai budaya dalam UM dari Persfektif Antropologi Linguistik.
Nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik dan buruk. Sistem nilai termasuk pada nilai budaya, yaitu pedoman yang dianut oleh setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap dan berprilaku dan juga menjadi patokan dalam menilai dan mencermati bagaimana individu
dan kelompok bertindak dan
berprilaku. Prilaku budaya
Minangkabau yang tercakup dalam tulisan ini terdiri atas: a) motivasi berusaha dan bekerja; b) rasa solidaritas; c) pencitraan; d) Etika, moral dan sopan santun. Dibawah ini akan memaparkan beberapa
contoh ungkapan yang digunakan oleh masyarakat Minang baik dalam situasi formal (pernikahan)
maupun situasi non formal
(komunikasi harian).
Pertama, motivasi berusaha dan bekerja. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia haruslah bekerja keras, tentunya bekerja
dengan memprioritaskan hasil
yang halal. Masyarakat Minang termasuk masyarakat yang giat
bekerja, khususnya dalam
perdagangan. Di setiap daerah di Indonesia maupun di Luar Negeri
(Malaysia) pastilah akan
ditemukan rumah makan Padang. Giatnya mereka bekerja tercermin pula dalam ungkapan seperti di bawah ini:
(1) Ari sahari diparampek „hari sehari diperempat‟
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 (2) Malam samalam dipatigo
„malam semalam
dipertiga‟
(3) Nak santan amia
karambia „ingin santan, peras kelapa‟
(4) Nak kuniang barilah
kunik „supaya kuning, berilah kunyit‟
(5) Nak lamak barilah santan ‘ingin enak, berilah santan‟
(6) Nak masin barilah garam „ingin asin berilah garam‟
Ungkapan (1) dan (2)
mencerminkan bahwa bagi orang Minangkabau tidak ada waktu yang terbuang. Semua waktu dialokasikan untuk bekerja dan mengabdi kepada
penciptanya. Ungkapan (3)-(6)
adalah motivasi untuk meningkatkan perekonomian. Santan pada (3) kuniang pada (4), lamak pada (5);
dan masin pada (6) adalah bentuk leksikal yang berhubungan dengan makanan dan masakan. Jika ingin
mendapatkan masakan atau
makanan yang enak seseorang harus bekerja keras mencari uang.
Tulisan ini juga
memaparkan ungkapan agar
seseorang tersebut giat bekerja dan jangan menjadi malas karena akan
menyangkut harga diri dan
prestise. Jadi, ada dua pilar yang diperlihatkan oleh penulis disini, yaitu positif dan negative. Positif untuk memperlihatkan sifat rajin dan motivasi untuk bekerja keras
dan tidak berpangku tangan,
sedangkan negative yaitu
ungkapan rasa kekesalan seseorang yang melihat orang lain malas bekerja.
Kedua, rasa solidaritas.
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 social yang didasarkan kepada
persamaan dan perbedaan. Integrasi
social dapat diartikan sebagai
kesetiakawanan, kebersamaan, dan
kekompakan dalam menghadapi
suka dan duka. Rasa solidaritas juga berujung kepada nasihat, kritik dan
ungkapan rasa kesal. Rasa
solidaritas dan nasihat ditujukan kepada orang yang mengalami kesusahan. Nasihat dimaksudkan agar orang tersebut sabar dalam
menghadapi permasalahan yang
muncul serta berhati-hati dalam
melakukan susuatu. Contoh
ungkapan:
(2) A: Iyo bagak urang. Ameh biniee diluruik. Angok malayang lo. “berani sekali orang. Emas istrinya dipreteli. Jiwa melayang pula.”
B: Kabaee lai lakie nan karajo. Itu lah basuo bana bak kecek urang.
Lah jatuah diimpok lo di janjang. Laki kaparek. “kabarnya suaminya yang melakukan. Itu benar-benar bak pepatah, sudah jatuh ditimpa tangga. Suami keparat.”
Penuturan diatas terjadi
atara dua orang yang
mengomentari perampasan
terhadap perhiasan seorang
wanita yang megakibatkan
kematian. Ungkapan Lah jatuah diimpok lo di janjang bermakna kesulitan ganda, yaitu jatuh dan pada saat yang sama dihimpit oleh jenjang. Dari konteks penuturan, ungkapan itu dikiaskan pada nasib yang dialami seseorang di mana perhiasan emas yang dimiliki dijarah dan dia dibunuh pula. Jatuah memiliki kesetaraan fitur semantic dengan emas yang dicuri, sedangkan kematian
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 memiliki kesetaraan fitur semantic
dengan diimpok janjang. Jadi jatuah dan diimpok janjang
menjadi lambing kias bagi
kesulitan dan penderitaan yang dialami. Secara implicit A dan B merasa prihatin terhadap orang yang mengalami penderitaan dan merasa kesal terhadap orang yang
menciptakan penderitaan itu.
Ungkapan rasa kesal diekspresikan lewat ujaran laki kaparek.
Pertama, pencitraan. Istilah citra mengandung pengertian kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, farase atau kalimat. Kesan mental
atau bayangan visual dapat
memberikan citra positif dan
negative. Citra positif diharapkan muncul dengan harapan mitra tutur tidak merasa dipermalukan. Seperti contoh dibawah ini:
(3) A: Iyo lah rumik awak maagak-agaki anak urang ko. “sulit kita menghadapinya”
B: Ndak baa rasonyo do. Masuki juolah. Tapi ati-ati. Bak maelo abuak dalam tapuang kato urangee. Abuak ndak putuih, tapuang ndak taserak. Tidak apa-apa rasanya. Nasehati jugalah. Tetapi hati-hati. Bak menghela rambut dalam tepung, seperti pepatah orang.
Ungkapan yang
menyatakan kehati-hatian pada ujaran di atas adalah bak maelo abuak dalam tapuang, „bak menghela rambut dalam tepung‟. Ungkapan ini biasanya memiliki tambahan abuak ndak putuih, tapuang ndak taserak. Jika tidak hati-hati akibatnya bisa tidak
menguntungkan. Jika rambut
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 tepung, jika tepung berserakan
karena menarik rambut, tepung tidak
bisa dikumpulkan kembali. B
menyarankan kepada A untuk
menyelesaikan persoalan tersebut dengan hati-hati seperti menarik rambut dalam tepung.
1. Etika, Moral dan Sopan Santun.
Etika adalah falsafah atau hukum yang membedakan hal yang baik dan yang buruk dalam tingkah laku manusia, sedangkan moral
adalah ukuran baik buruknya
tingkah laku yang menyangkut pengontrolan diri, keyakinan diri
dan kedisiplinan tindakan.
Penggunaan ungkapan yang
mengandung kias dengan alas an etika dan moral biasanya sring digunakan dalam acara pernikahan atau saat penyambutan mempelai pria di rumah wanita. Contohnya:
(4) Lamak samba di urang ka manguya, rancak pakaian di urang ka mamakaih
Enak sambal oleh orang yang akan memakan,
bagus pakaian oleh
orang yang memakai.
Ungkapan diatas
mengandung makna kiasan yang
mendeskripsikan kesesuaian
sesuatu pasangan tergantung
kepada orang yang akan menjalani hidup bersama.
D. KONOTASI
Tulisan ini terfokus pada
ungkapan masyarakat Minang
yang terkait dengan metaforikal dimana titik utamanya ada pada Antropology. Pada bagian ini akan difokuskan pada segi Linguistik khususnya pada konotasi. Sebelum
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 membahas tentang apa itu konotasi
ada baiknya mengkaji kembali makna dari ungkapan itu sendiri. Ungkapan adalah gabungan dua kata atau lebih yang maknanya dapat diturunkan dari makna kata-kata yang membentuknya, secara tidak
langsung dapat ditarik benang
merahnya bahwa ungkapan itu dapat dianalisis dari segi implicit meaning yang terkandung didalamnya.
Verhaar (2001:390)
menyatakan bahwa konotasi adalah arti yang dapat muncul pada penutur
akibat penilaian afektif atau
emotional. Sejalan dengan opini ini,
Kridalaksana (2001:117)
menyatakan bahwa konotasi adalah
aspek makna sebuah atau
sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang
timbul atau ditimbulkan pada
pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).
Kedua pandangan diatas juga sejalan dengan pandangan yang dipaparkan oleh Kreidler
(1999:45) yang menyatakan
bahwa: connotation is the affective or emotional associations it elicits, which clearly need not be the same for all people who know and use the word. Jadi, konotasi itu
mengacu pada makna aspek
pribadi atau pandangan pribadi
seseorang terhadap sesuatu,
kejadian ataupun pengalaman.
Contohnya:
(1) Ari sahari diparampek „hari sehari diperempat‟ Malam samalam dipatigo „malam semalam dipertiga‟
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 Nak santan ambia
karambia „ingin santan, peras kelapa‟
Nak kuniang barilah kunik „supaya kuning, berilah kunyit‟
Nak lamak barilah santan ‘ingin enak, berilah santan‟
Nak masin barilah garam „ingin asin berilah garam‟ Makna konotasi ungkapan diatas adalah: hidup itu harus punya perencanaan, jangan membuang-buang waktu dengan hal yang tidak berguna. Hal ini terlihat pada baris
pertama dan kedua yang
menggunakan istilah waktu. Bagi masyarakat Minang waktu itu sangat bergharga, hal ini tercermin dari segi perekonomian dimana sebagian besar orang Minang yang merantau adalah pedagang dan pengusaha.
Mereka memanfaatkan waktu
dengan bekerja keras, sehingga kebanyakan dari orang Minang yang meratau termasuk orang-orang yang sukses.
Kemudian, susah-senang
hidup ini tergantung bagaimana
manusianya berusaha untuk
memperbaiki dirinya, memperbaiki perekonomian keluarganya dan manusia itulah yang menentukan
warna kehidupan yang akan
dijalaninya. Hal ini terlihat dari
kata-kata Nak santan ambia
karambia; Nak kuniang barilah kunik; Nak lamak barilah santan; Nak masin barilah garam. Ungkapan ini menggunakan kata santan yang secara tidak langsung berkonotasi pada makanan-gulai, makanan ini termasuk salah satu makanan ciri khas orang Minang. Secara implicit kalimat tersebut
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 memaparkan bahwa apabila ingin
makan enak maka manusia harus berusaha mencari uang untuk hidup yang lebih baik.
Santan berasal dari buah
kelapa yang sangat banyak
manfaatnya, dari segi makna
konotasi kita melihat bahwa kelapa termasuk tumbuhan yang memiliki manfaat sangat besar pada manusia dari batang, daun, hingga buah. Batang dapat digunakan sebagai jembatan atau titian jalan, daunnya dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak atau untuk kegiatan lainnya,sedangkan lidinya untuk bahan pembuatan alat sapu. Selanjutnya,buah kelapa itu sendiri dari segi batok kelapanya dapat digunakan untuk bahan bakar atau zaman dahulu digunakan sebagai
pembakar untuk menyetrika
pakaian. Air kelapa dapat diminum
langsung atau untuk obat,
campuran adonan kue dan
kelapanya dapat dimanfaatkan
untuk memasak ataupun diperas untuk diambil santannya. Ampas kelapa itu sendiri masih bisa
dimanfaatkan untuk mengepel
lantai agar lantai menjadi lebih bersih.
Berdasarkan pemaparan
diatas, terlihat bahwa santan atau kelapa sangat besar manfaatnya bagi kehidupan umat manusia
sehingga masyarakat Minang
sendiri banyak yang menggunakan ungkapan (metaforikal) santan ke dalam percakapan atau pada saat upacara adat istiadat. Ungkapan ini
juga memiliki makna rasa
solidaritas, jika diamati dari
konotasinya maka yang akan muncul adalah:
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 (2) A: Iyo bagak urang. Ameh
biniee diluruik. Angok malayang lo. “berani sekali orang. Emas istrinya dipreteli. Jiwa melayang pula.” B: Kabaee lai lakie nan
karajo. Itu lah basuo bana bak kecek urang. Lah jatuah diimpok lo di janjang. Laki kaparek. “kabarnya
suaminya yang
melakukan. Itu
benar-benar bak pepatah,
sudah jatuh ditimpa
tangga. Suami
keparat.”
Wacana percakapan diatas terjadi antara 2 orang yang merasa tidak senang atau jengkel dengan kejadian yang meniimpa si C (orang
yang dibicarakan). Rasa empati yang muncul dikarenakan A dan B merasa adanya ketidakadilan yang dialami oleh C, hal ini terlihat pada frasa Laki kaparek, frasa ini memperlihatkan kejengkelan B, Laki kaparek adalah frasa yang kasar yang biasanya muncul disaat orang emosi atau tidak senang dengan orang lain.
Pada ranah pencitraan akan terkait pada citra positif dan citra negative. Pada wacana dibawah ini terlihat ketika citra negative yang dimunculkan oleh pembicara (A), maka B berusaha menenangkan dan memberikan opininya dengan cara yang sangat baik, sehingga si A tidak merasa tersudutkan atas
opininya sendiri yang telah
menyatakan bahwa orang yang A dan B bicarakan adalah anak yang
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011
susah untuk diatur. Contoh
ungkapannya adalah:
(3) A: Iyo lah rumik awak maagak-agaki anak urang
ko. “sulit kita
menghadapinya”
B: Ndak baa rasonyo do. Masuki juolah. Tapi ati-ati. Bak maelo abuak
dalam tapuang kato
urangee. Abuak ndak
putuih, tapuang ndak
taserak. Tidak apa-apa rasanya. Nasehati jugalah.
Tetapi hati-hati. Bak
menghela rambut dalam tepung, seperti pepatah orang.
Ungkapan yang muncul pada wacana percakapan diatas adalah Bak maelo abuak dalam tapuang, Abuak ndak putuih, tapuang ndak
taserak. Jika diamati dari segi konotasinya maka yang mncul
adalah pernyataan yang
mengharapkan si A untuk berhati-hati dalam menaseberhati-hati si C (orang yang dibicarakan oleh A dan B), menasehati dengan perlahan-lahan, dengan bahasa yang baik dan bijak agar si C tidak tersinggung. Usaha ini diperlihatkan pada ungkapan, seperti mau mengambil sehelai rambut dalam tepung, rambutnya tidak putus dan tepungnya tidak berhamburan. Gambaran ungkapan ini memperlihatkan bahwa B sangat berharap A tetap mau menasehati C tetapi tentunya dengan cara yang baik dan dalam situasi yang tepat.
(4) Lamak samba di urang ka manguya, rancak
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 pakaian di urang ka
mamakaih
Enak sambal oleh orang
yang akan memakan,
bagus pakaian oleh orang yang memakai.
Pada ranah sopan santun yang terlihat pada ungkapan nomor 4, baik buruknya sesuatu itu
tergantung dari orang yang
menggunakannya. Sebagai individu, kita tidak boleh terlalu mencampuri urusan orang lain, baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain. segala sesuatu itu ada batasnya. Ketika ungkapan diatas dilontarkan dalam upacara pernikahan, pihak keluarga memberikan keputusan sepenuhnya pada yang menikah, karena yang akan menjalani biduk rumah tangga itu adalah orang yang akan menikah. Pihak keluarga adalah orang luar yang hanya bisa
member saran atau nasehat
sekedarnya dan tidak bisa masuk terlalu dalam.
E. SIMPULAN
Tulisan ini selain
mengartikan ungkapan
Minangkabau kedalam bahasa
Indonesia juga menganalisis
maknanya secara umum, hanya
saja memang tidak terlalu
mendalam hal ini dikarenakan penekanannya pada Antropologi bukan pada linguistik. Sehingga, tulisan ini sebaiknya masuk ke dalam jurnal Antropologi dan bukan masuk ke jurnal Linguistik. Pada bagian ini penulis resensi telah menambahkan satu sub kajian konotasi yang mengarah pada liguistik, sehingga pembaca mempunyai dua wawasan , yaitu
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 Berdasarkan buku History and
Theory in Anthropology by Alan Barnard (2000:2): kata anthropology berasal dari Yunani anthropos ‘human‟; ‘logos‟-discourse or science; kata ini muncul pada awal abad ke 16.
Lebih jauh, Barnard juga memaparkan bahwa Antropologi adalah ilmu yang menggambarkan sifat atau lambang budaya dari
kelompok etnis yang berbeda.
Pandangan ini tidak sejalan dengan Winich (1975:28) yang menyatakan bahwa anthropology is The study of man. Maksud dari kata man tidak selalu bermakna manusia, itu sendiri sebagai satuan yang utuh tetapi juga termasuk tingkah laku dan bahasa yang mereka kuasai. Opini Barnard ini digunakan oleh peneliti dari Rusia dan Austria hingga akhir abad ke 18. Dengan kata lain, pada abad
18 hingga awal abad ke 19, para
ahli mulai cenderung
menggunakan „ethnology‟ untuk
penelitian. Di Amerika dan
Kanada, para peneliti membagi Antropologi kedalam 4 sub bagian, yaitu: 1) Biological anthropology, 2) archaeology, 3) anthropological Linguistics, 4) cultural anthropology.
Tulisan tentang antropologi ini sebaiknya difokuskan pada satu wilayah saja karena satu wilayah terdiri dari beberapa kabupaten, sehingga cakupannya sangat luas. Dialek Minang itu beragam dan
setiap daerah mempunyai
ungkapan tersendiri yang
terkadang tidak dimiliki oleh
daerah lain. Tentunya setiap
daerah memiliki budaya yang
berbeda, contohnya: budaya
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011
dengan budaya masyarakat
Manggopoh, padahal posisi
geogarafi daerahnya tidak
berjauhan, tetapi Kabupatennya
berbeda. Perbedaan budaya pastinya akan menghasilkan ungkapan yang berbeda. Berdasarkan data yang
ditampilkan oleh Oktavianus,
penulis resensi melihat bahwa tidak semua kata ungkapan tercover dengan baik, ada beberapa ungkapan dari daerah Manggopoh Kabupaten Agam yang tidak tertera disana, padahal ungkapan tersebut sudah
sangat lazim digunakan oleh
masyarakat tuturnya dalam
komunikasi sehari-hari, contohnya adalah: Talunjuk lurus, kalingkiang bakait atau Sakali tarucek, pantang manyuruik dan sebagainya.
Tulisan ini juga tidak
memaparkan pendekatan apa yang digunakannya dalam menjaring data
„ungkapan‟. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh
Oktavianus pendekatan yang
digunakannya mengacu pada
pendekatan etnografi. Berdasarkan pendekatan etnografi, pemakaian bahasa dipandang sebagai bagian dari ekspresi budaya, pernyataan yang terkait dengan pendekatan yang digunakan oleh Oktavianus
adalah: Observing a society as a
whole, to see how each element of that society fits together with, or is meaningful in terms of, other such elements.
Observing a society as a whole, maksudnya: mencoba untuk memahami bagaimana satu sama lainnya saling berhubungan, menganalisis masyarakat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak sebahagian. Tentunya, apabila ditarik benang merahnya
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 pendekatan ini tidak hanya terkait
pada manusianya saja tetapi juga internal dan eksternal yang terkait dengan manusia itu sendiri. Contoh hasil pendekatan data yang telah dianalisis oleh Oktavianus terkait
dengan external tadi dalah
keterkaitan antara ungkapan
Minangkabau yang berbentuk
metaforikal yang dikaitan dengan 1) motivasi berusaha dan bekerja; 2) rasa solidaritas; 3) pencitraan; 4) etika, moral dan sopan santun.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa manusia, bahasa dan budaya adalah satu kesatuan dalam ranah Linguistic Anthropology. Baik
bahasa maupun kebudayaan,
keduanya merupakan sistem tanda. Sistem tanda yang nantinya dapat dianalisis lebih jauh dengan payung semiotic. Di penghujung penelaahan akan terlihat bahwa bahasa tidak
hanya memaparkan tentang budaya saja tetapi dapat juga mampu untuk merefleksi cara berpikir masyarakat tuturnya.
Kemudian, tulisan ini tidak menjelaskan paradigma apa yang digunakan. Anthropology memiliki
3 paradigma: Diachronic,
synchronic and interactive
perspectives. Menurut pandangan penulis resensi paradigma yang
digunakan adalah paradigma
interactive perspectives, karena: this perspective or, more accurately, set of perspectives, has both diachronic and synchronic aspects. Interactive approaches have concentrated on the mechanism through which individuals seek to gain over other individuals, or simply the ways in which individuals define their social situation. Persfektif
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 interaksi ini menggabungkan dua
teori yaitu sinkronis dan diakronis, dimana penggunaan „ungkapan‟ ini telah lama digunakan sejak zaman kerajaan Pagaruyung dahulu kala hingga saat ini, sehingga pendekatan yang digunakan adalah interactive perspectives.
Selanjutnya, Oktavianus
dalam menganalisis „ungkapan‟ ini tidak memaparkan lebih lanjut
fungsi kegunaan dari setiap
ungkapan yang ditampilkan. Pada
dasarnya ungkapan tersebut
digunakan berdasarkan 4 fungsi koto nan ampek-mandaki, menurun, melereng,dan mendatar. Dengan kata lain, seharusnya jika jurnal ini tampil di jurnal Linguistik, maka sebaiknya dimunculkan ungkapan-ungkapan apa saja yang termasuk
pada koto nan ampek, serta
ungkapan-ungkapan apa saja yang
termasuk ke dalam kelompok menurun, melereng,dan mendatar. Tulisan ungkapan ini sejak awal telah menjelaskan bahwa
fokusnya pada Antropologi
Linguistik yang berarti penekanan utama penelitian ini adalah pada Antropologi, tetapi karena tulisan ini dimuat di MLI (Masyarakat
Linguistik Indonesia), berarti
Oktavianus-penulis harus
memasukkan aspek-aspek
linguistic di dalamnya. Sehingga memperlihatkan kaitan yang jelas antara isi tulisan denga tujuan tempat pemunculan dari jurnal tersebut.
Akhirnya, penulis resensi
melihat Oktavianus telah
memaparkan dan menganalisis
ungkapan-ungkapan masyarakat
Minangkabau dengan baik,
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011 yang jelas dan telah mencakup 4
aspek tujuan utama penelitian ini. Dari hasil resensi ini, diharapkan pembaca dapat melihat dari dua
kacamata yang berbeda, yaitu
antropologi dan linguistik.
Antropologi dan Linguistik adalah dua ranah yang berbeda tetapi dapat
menyatu dalam etnografi atau etnolinguitik atau dalam ranah Ilmu Linguistik terkenal dengan kajian cultural linguistics yang dalam ranah Ilmu Antropologi terkenal dengan sub kajian cultural anthropology.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard, Alan.2000. History and Theory in Anthropology. Australia: Cambridge University Press
Kridalaksana, Harimurti. 2006. Kamus linguistic. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Kreidler, Charles W. 1999. Introducing English Semantics. New York: Routledge
Oktavianus. 2010. Nilai Bdaya dalam Ungkapan Minangkabau: Sebuah Kajian dari Perspektif Antropologi Linguistik. Jurnal MLI (Masyarakat Linguistik Indonesia), Tahun ke-28, N0.2 Agustus. Atma Jaya, Jakarta
NAZHARAT VOL. X, NO21, AGUSTUS 2011
Verhaar. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Winick, Charles. 1975. Dictionary of Anthropology. New Jersey: Littlefield, Adams & Co.