• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta dalam Mempersiapkan Tenaga Keperawatan di Era Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta dalam Mempersiapkan Tenaga Keperawatan di Era Masyarakat"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan penelitian ini membahas mengenai alasan yang melatarbelakangi penulisan penelitian, apa yang ingin diketahui peneliti dalam penelitian ini yang kemudian menjadi rumusan masalah penelitian serta tujuan dari penulisan penelitian ini.

1.1 Latar Belakang

Skripsi ini berjudul “Strategi Institusi Pendidikan Kesehatan di Yogyakarta dalam Mempersiapkan Tenaga Keperawatan di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN: Studi Kasus Prodi Ilmu Keperawatan UGM dan Universitas „Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta”. Alasan yang melatarbelakangi penulisan penelitian ini adalah tenaga keperawatan merupakan tenaga kesehatan dengan porsi terbesar mempunyai peranan besar dalam sistem pelayanan kesehatan. Dengan ditandatanganinya MRA on Nursing Services maka akan mempermudah tenaga keperawatan untuk masuk dan bekerja di negara-negara ASEAN. Hal inilah yang selain memberi peluang kepada tenaga keperawatan Indonesia untuk bekerja di luar negeri, juga member tantangan kepada tenaga keperawatan untuk dapat bersaing dengan tenaga keperawatan dari negara ASEAN lainnya.

(2)

2 Adanya perdagangan bebas barang dan jasa yang terjadi tak terlepas dari adanya globalisasi ekonomi. Organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) dibentuk pada 1 Januari 1995, namun sistem perdagangan itu sendiri berdiri sejak tahun 1948 yang bernama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Salah satu tujuan utama pembentukan WTO adalah mendorong arus perdagangan antar negara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat menganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Untuk mendukung tujuan utama dari pembentukan WTO maka para negara anggota membuka akses pasar bagi arus perdagangan barang jasa di negaranya. Berbeda dengan GATT yang memuat perdagangan barang, The General Agreement on Trade in Service (GATS) adalah peraturan yang menyangkup perdagangan internasional dalam sektor jasa (Oemar, dkk, 2005).

Dalam membahas perdagangan bebas barang dan jasa, di wilayah regional ASEAN terdapat Komunitas ASEAN atau ASEAN Community. Komunitas ASEAN adalah sistem integrasi wilayah di negara-negara ASEAN yang tidak hanya membahas permasalahan perdagangan ekonomi namun pula masalah keamanan politik dan budaya sosial. Komunitas ASEAN pada awalnya digagas pada saat Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN Ke-9 pada tahun 2003 yang diselenggarakan di Bali, Indonesia atau yang disebut dengan Bali Concord II. ASEAN Community itu sendiri menjunjung tiga pilar utama, yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Political Security Community, dan ASEAN SocioCultural Community yang mana dalam penelitian ini lebih memberikan fokus pada ASEAN Economic Community. KTT ASEAN Ke-9 yang dihadari oleh

(3)

3 para kepala negara-negara ASEAN menyepakati adanya integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada ASEAN Economic Community blueprint. (Depdagri, TT)

Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Keliat, dkk (2013:9) disebutkan pengertian dari ASEAN Economic Community yang ada di dalam Bali Concord II, yaitu “The ASEAN Economic Community is the realization of the end-goal of economic integration as outlined in the ASEAN Vision 2020, to create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic region in which there is a free flow of goods, services, investment and a freer flow of capital, equitable economic development and reduced poverty and socio-economic disparities in year 2020.”

Di dalam publikasi dari terjemahan buku “ASEAN Economic Community” oleh Kementerian Perdagangan (2011:7-9) disebutkan bahwa MEA mempunyai empat karakteristik utama yaitu sebagai berikut:

a. pasar tunggal dan basis produksi yang terdiri dari atas lima elemen inti: (i) arus barang yang bebas; (ii) arus jasa yang bebas; (iii) arus investasi yang bebas; (iv) arus modal yang lebih bebas; dan (v) arus tenaga kerja terampil yang bebas.

b. wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi memiliki enam elemen inti yaitu (i) kebijakan persaingan; (ii) perlindungan konsumen; (iii) Hak Kekayaan Intelektual (HKI); (iv) pembangunan infrastruktur; (v) perpajakan; dan (vi) e-commerce.

(4)

4 c. wilayah pembangunan ekonomi yang merata memiliki dua karakteristik utama yaitu (i) pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM); dan (ii) inisiatif untuk integrasi ASEAN.

d. integrasi perekonomian kawasan dengan perekonomian global memiliki dua pendekatan yang ditempuh dalam berpartisipasi dalam proses integrasi dengan perekonomian dunia yaitu (i) pendekatan koheren menuju hubungan ekonomi eksternal melalui Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Area/FTA) dan kemitraan ekonomi yang lebih erat (Closer Economic Partnership/CEP), dan (ii) partisipasi yang lebih kuat dalam jejaring pasokan global.

Keempat karakteristik tersebut tercantum dalam cetak biru MEA yang dihasilkan dalam Pertemuan Ke-38 ASEAN Economic Ministers (AEM) di Kuala Lumpur, Malaysia pada Agustus tahun 2006. Di dalam cetak biru MEA tersebut sudah tercantum sasaran dan kerangka waktu yang jelas dalam mengimplementasikan berbagai langkah serta fleksibilitas yang telah disepakati sebelumnya guna mengakomodasi kepentingan seluruh negara-negara anggota ASEAN. Maka dari itu untuk mengetahui perkembangan dari pencapaian MEA telah disusun suatu mekanisme pengukuran pencapaian yang dinamakan AEC Scorecard. Di tingkat nasional, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2011 yang bertujuan untuk memantau pelaksanaan dari cetak biru MEA. (Dirjen Kerjasama ASEAN dan Kemenlu RI, 2012:31)

(5)

5 Pencapaian dari pelaksanaan MEA itu sendiri dilakukan melalui kerja sama yang dilakukan di berbagai bidang, salah satunya adalah Mutual Recognition Arrangements (MRA) di bidang jasa. Dalam konteks kerjasama MEA, MRA adalah kesepakatan untuk mengakui kualifikasi pendidikan, kualifikasi professional, dan pengalaman. MRA ini bertujuan untuk memudahkan perpindahan tenaga professional antar negara-negara ASEAN. Kesepakatan itu pun digunakan sebagai pertukaran informasi mengenai best-practices dalam standar dan kualifikasi. Dengan tercapainya MRA, negara-negara anggota ASEAN akan memperoleh manfaat, seperti adanya pengurangan biaya, kepastian akses pasar, peningkatan daya saing, dan aliran perdagangan yang lebih leluasa. Hingga pada saat ini, terdapat delapan bidang jasa yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN, tiga dari delapan sektor yang disepakati adalah sektor jasa kesehatan, salah satunya adalah jasa keperawatan (MRA on Nursing Services) (Dirjen Kerjasama ASEAN dan Kemenlu RI, 2012:41). Hal inilah yang menjadikan tenaga kerja keperawatan penting dalam MEA karena sektor kesehatan adalah salah satu sektor yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan liberalisasi jasa. Tenaga perawat itu sendiri memiliki porsi terbesar dalam presentase tenaga kerja kesehatan tidak hanya di Indonesia namun juga secara global.

Di Indonesia, jumlah rekapitulasi tenaga kerja perawat di seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 237.181 orang yang kemudian diikuti oleh bidan dengan jumlah tenaga kerja sebesar 124.948 orang (Kemkes RI, 2015). Sebagai tenaga kesehatan yang paling besar jumlahnya, tentu tenaga keperawatan

(6)

6 sangat diperlukan dan sangat dibutuhkan dalam proses pelayanan kesehatan. Di era MEA, tenaga keperawatan sangat dibutuhkan untuk mengisi kekurangan tenaga keperawatan di negara-negara ASEAN dengan mendatangkan tenaga keperawatan dari negara lain. Kekurangan tenaga keperawatan di Indonesia menjadikan peluang yang besar bagi tenaga keperawatan dari negara lain yang memiliki kualitas lebih baik. Hal ini menjadikan ancaman bagi tenaga keperawatan Indonesia apabila tenaga perawat Indonesia tidak memiliki kualitas dan kemampuan yang lebih baik dari tenaga perawat dari luar negeri. Inilah yang menjadi tantangan bagi tenaga perawat Indonesia untuk meningkatkan kualitasnya demi dapat bersaing di era MEA.

Adapun dalam pasal 2 MRA on Nursing Services (ASEAN Member Countries, 2006:3), perawat dalam MRA tersebut didefinisikan sebagai berikut “Nurse refers to a natural person who has completed the required professional training and conferred the professional nursing qualification; and has been assessed by the Nursing Regulatory Authority of the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake professional nursing practice; and is registered and/or licensed as a professional nurse by the Nursing Regulatory Authority of the Country of Origin. This definition shall not apply to a technical level nurse.”

Dalam definisi tersebut terkandung makna secara jelas bahwa perawat yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki keahlian di bidang jasa keperawatan yang didapatkan secara formal dan secara administratif telah

(7)

7 mendapatkan pengakuan dan lisensi dari otoritas yang ditunjuk oleh negaranya masing-masing. Dengan demikian tergambarkan secara jelas bahwa hanya perawat-perawat yang mempunyai daya saing tinggi yang memiliki kesempatan untuk ikut dan mendapatkan keuntungan dalam “pasar” jasa perawat. Selain itu, peran negara menjadi poin penting terutama dalam menentukan dan meningkatkan kualifikasi tenaga-tenaga perawat untuk dapat memanfaatkan secara optimal implementasi liberalisasi jasa perawat di level ASEAN (ASEAN Member Countries, 2006:3). Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam memasuki pasar MEA, perawat harus memiliki kompetensi yang diakui secara internasional.

Konsekuensi yang muncul dengan adanya MEA terhadap pasar tenaga kerja kesehatan sudah jelas bahwa pasar tenaga kerja kesehatan menjadi semakin kompetitif. Tenaga kerja kesehatan handal dari negara lain akan membanjiri pasar tenaga kerja di Indonesia. Semakin kompetitifnya pasar tenaga kerja menuntut tenaga keperawatan Indonesia untuk mempunyai kualitas yang baik agar dapat bersaing dengan tenaga keperawatan dari negara ASEAN lain yang datang ke Indonesia.

Kondisi tenaga keperawatan Indonesia saat ini masih memiliki daya saing yang cukup rendah. Terbukti dengan banyaknya tenaga perawat Indonesia yang dipulangkan dari Jepang. Mereka dipulangkan kembali ke Indonesia karena gagal memenuhi standar kompetensi sebagaimana diharapkan pihak penyedia jasa kesehatan yang mempekerjakan mereka di Jepang. Padahal peluang kerja sebagai tenaga perawat di Jepang sangat tinggi. Kedutaan Besar RI untuk Jepang

(8)

8 mengungkapkan, banyak perawat Indonesia yang baru bekerja selama satu tahun, lalu dinilai gagal menjalani masa magang untuk menjadi perawat profesional di negara itu. Sejak tahun 2008 sampai 2014, jumlah perawat Indonesia yang diberangkatkan ke Jepang ada 1.273 orang, tetapi yang dinyatakan memenuhi kualifikasi hanya 165 orang. (Rachmawati dan Sinombor, 2015)

Permasalahan lain yang ditemui pada sektor tenaga keperawatan di Indonesia adalah jumlah tenaga keperawatan yang tidak sebanding dengan jumlah masyarakat Indonesia serta persebarannya pun tidak merata. Tenaga keperawatan cenderung lebih berpusat di Pulau Jawa karena kurangnya kemauan dari tenaga perawat tersebut untuk bekerja di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia, sehingga di daerah tersebut masih kekurangan tenaga perawat yang handal. Permasalahan sertifikasi internasional professional bidang keperawatan pun menjadi hambatan dalam karir tenaga keperawatan Indonesia dalam menghadapi era MEA. Saat ini tenaga keperawatan Indonesia masih kesulitan dalam mendapatkan sertifikasi internasional professional bidang keperawatan. Seperti pada hasil pra-survey yang telah peneliti lakukan dengan narasumber di Prodi Ilmu Keperawatan Universitas „Aisyiyah Yogyakarta (Unisa Yogyakarta). Sekretaris Prodi Ilmu Keperawatan Unisa Yogyakarta Yogyakarta, Ibu Suratini, mengatakan bahwa tingkat keberhasilan tenaga keperawatan dalam pelaksanaan uji kompetensi sertifikasi internasional NCLEX RN (National Council Licensure Examination for Registered Nurses) di Unisa Yogyakarta Yogyakarta masih sekitar 30 persen. Menurutnya, hal ini karena test NCLEX RN memiliki tingkat

(9)

9 kesulitan yang tinggi dan sampai saat ini masih diusahakan untuk mencapai nilai yang ideal.

Permasalahan-permasalahan yang ada pada tenaga keperawatan Indonesia kemudian ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1.

Pemetaan Daya Saing Tenaga Terampil Indonesia di Bidang Kesehatan: Sektor Keperawatan

SDM Tata Kelola Infrastruktur

1.Kekurangan dari sisi kuantitas 2.Kekurangan dari sisi kualitas 3.Kekurangan dalam aspek bahasa.

1. Banyak tumpang tindih peraturan.

2. Tidak adanya kategorisasi atau nomenklatur profesi perawat. 3. Koordinasi antar lembaga

kurang baik (Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Tenaga Kerja). 1. Terbatas, masih terpusat di Pulau Jawa. Sumber: Keliat, dkk (2013:106)

Berdasarkan tabel tersebut, tenaga kerja perawat di Indonesia masih kurang dalam hal kuantitas dan kualitas sehingga perlu adanya perbaikan. Kemudian masalah lain adalah mengenai tidak adanya kategorisasi perawat. Kategorisasi perawat erat hubungannya dengan perawat profesi level mana yang akan diliberalkan dan yang akan diserap. Hal ini pun erat kaitannya dengan pendefinisian perawat yang masih belum memiliki standar baku. (Keliat, dkk, 2013:45)

(10)

10 Mengenai permasalahan kurangnya tenaga keperawatan di Indonesia maka MRA dapat menjadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan tenaga perawat yang masih belum merata persebarannya di seluruh wilayah Indonesia. Maka salah satu dampak dari MRA ini adalah tersingkirnya tenaga perawat domestik oleh tenaga perawat yang datang dari luar negeri akibat adanya keterbukaan pasar yang terlalu luas (Keliat, dkk, 2013:45).

Dalam hal tata kelola, sektor keperawatan memiliki peraturan yang tumpang tindih. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan aturan yang ada dalam hal sertifikasi memunculkan kebingungan, Menurut Kepala Disnakertrans Jabar, Hening Widiyatmoko bahwa belum sinergisnya antar lembaga-lembaga di sektor kesehatan dalam membuat sertifikasi profesi di sektor kesehatan ini terjadi karena belum ada kesepakatan antara menteri kesehatan, menteri pendidikan dan lainnya. Hening pun khawatir belum sinerginya antara lembaga kesehatan akan membuat persaingan kalah dengan SDM luar negeri yang akan datang ke tanah air (Permana, 2014).

Kemudian mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yaitu Wardiman Djojonegoro mengimbau pemerintah agar segera mematangkan persiapan pendidikan Indonesia menjelang MEA. Menurutnya, pemerintah sudah perlu melakukan evaluasi persiapan pendidikan di Indonesia. Evaluasi pendidikan ini sudah patut dipercepat untuk mendapat gambaran terkait dengan ketertinggalan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Ketertinggalan tersebut harus segera dimatangkan agar era MEA tidak berbalik menjadi ancaman bagi pelajar dan

(11)

11 lulusan Indonesia. Mereka tidak dapat bersaing dengan lulusan negara lain yang telah terlebih dahulu didukung pendidikan dengan kualitas baik di negaranya. (Putra, 2015)

Wardiman berucap bahwa upah minimum regional di Indonesia tercatat lebih besar daripada Vietnam sehingga hal ini membuat negara kita akan banyak didatangi pekerja mereka. Hal itulah yang menjadi salah satu potensi ancaman bagi masyarakat dalam negeri karena mutu pendidikan Vietnam berada di atas Indonesia (Putra, 2015).

Seperti yang telah disebutkan diatas, kualitas tenaga keperawatan di Indonesia yang masih kurang akan kalah dengan perawat dari luar negeri yang lebih berkualitas. Persoalan sertifikasi internasional perawat di Indonesia pun memberikan batu sandungan yang besar bagi karir perawat Indonesia. Hal ini karena perawat Indonesia membutuhkan sertifikat professional keperawatan yang berstandar internasional agar sesuai dengan standar yang ada di negara yang dituju dan dapat bekerja di negara tersebut. Persoalan-persoalan yang ada dalam dunia keperawatan Indonesia saat ini membutuhkan penanganan. Salah satu penanganan yang ada adalah melalui lembaga pendidikan kesehatan yang nantinya mencetak tenaga-tenaga keperawatan. Peran lembaga pendidikan kesehatan ini sangat besar dalam upaya mempersiapkan tenaga keperawatan agar siap berkompetisi di era MEA dan mencetak tenaga keperawatan yang berkualitas sesuai dengan standar internasional. Melalui institusi pendidikan kesehatan tersebut, strategi-strategi dalam mempersiapkan para calon tenaga keperawatan dijalankan. Maka dari itu,

(12)

12 penting untuk menyusun strategi dalam mempersiapkan tenaga keperawatan yang dilakukan oleh institusi pendidikan kesehatan demi mencapai tujuan terciptanya tenaga keperawatan yang berkualitas untuk berkompetisi di era MEA

Penelitian ini kemudian menyoroti pada lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja kesehatan, khususnya Ilmu Keperawatan. Dalam proses meningkatkan kualitas pendidikan dan juga merupakan salah satu reaksi dalam menanggapi adanya globalisasi, institusi pendidikan kini sudah melakukan proses internasionalisasi. Mahar Nirmala (2013) dalam tulisannya yang berjudul “Strategi Nakasone Dalam Menghadapi Tantangan Internasionalisasi Pendidikan Tinggi di Jepang” berpendapat bahwa meluasnya pasar pendidikan internasional dan meningkatnya kompetensi antar negara dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan negara-negara dituntut untuk dapat menginternasionalisasikan dan meliberalisasikan pendidikan tingginya sesuai dengan standar internasional. Untuk mewujudkan sistem pendidikan tinggi yang terinternasionalisasi, harus ada sebuah sistem universal yang dapat memudahkan terjadinya pertukaran pelajar dan informasi. Sistem-sistem yang universal tersebut adalah semua aspek yang terdapat dalam sistem pendidikan yang meliputi tahun ajaran, kurikulum, serta peralatan dan fasilitas standar yang digunakan dalam perkuliahan. (Hood, 2001:5)

Proses internasionalisasi dalam rangka merespon adanya globalisasi, liberalisasi, ataupun MEA yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting. Institusi pendidikan kesehatan inilah yang

(13)

13 membimbing dan mencetak perawat-perawat di sektor kesehatan demi mendukung pelayanan kesehatan yang memadai bagi seluruh rakyat Indonesia. Adanya MEA, maka persaingan tenaga kerja pun semakin meningkat, begitu pula di sektor kesehatan. Institusi pendidikan kesehatan yang memegang peranan sebagai pencetak tenaga kerja keperawatan ini pun harus mempersiapkan tenaga kerja kesehatan yang siap bersaing di „arena‟ MEA.

Namun ternyata berdasarkan pada laporan penelitian DIKTI bahwa walaupun institusi pendidikan keperawatan tumbuh pesat hal ini belum mampu menjamin ketersediaan tenaga perawat karena adanya dua alasan. Alasan pertama yaitu banyak lulusan keperawatan yang tidak bekerja di bidangnya. Kemudian alasan kedua yaitu banyaknya institusi keperawatan yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dari institusi yang berkorelasi secara langsung atau tidak langsung terhadap lulusan tenaga keperawatan dari suatu institusi keperawatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas tenaga perawat yang rendah menjadi bagian dari persoalan ketersediaan tenaga perawat yang kompeten (Keliat, dkk 2013:44). Padahal, sudah seharusnya institusi pendidikan keparawatan dapat menangkap peluang adanya liberalisasi barang dan jasa untuk mempersiapkan tenaga keperawatan berkualitas agar dapat mempu bersaing secara internasional.

Penelitian ini mempunyai lokus di dua institusi yang menyelenggarakan program studi ilmu keperawatan di Yogyakarta, yaitu Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas „Aisyiyah (Unisa Yogyakarta) Yogyakarta. Alasan pemilihan UGM sebagai salah satu

(14)

14 subjek penelitian karena UGM sebagai salah satu universitas terbaik yang ada di Indonesia (Webometics, 2015) dan sudah semestinya mempersiapkan diri dalam menghadapi MEA yang sudah mulai berjalan ini. Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM adalah salah satu jurusan yang nantinya mencetak tenaga kerja keperawatan yang penting menurut MRA dalam era MEA.

Fakultas Kedokteran UGM itu sendiri memiliki tiga program studi dalam program S1, yaitu Prodi Pendidikan Dokter, Prodi Ilmu Keperawatan dan Prodi Gizi dan Kesehatan. Menurut hasil pra-survey penelitian yang telah peneliti lakukan di PSIK FK UGM didapatkan bahwa isu MEA sudah diinformasikan dan disosialisasikan sehingga civitas akademika PSIK FK UGM sudah mengetahui mengenai isu MEA tersebut. Beberapa program pun diakui oleh Ketua Prodi PSIK FK UGM Periode Tahun 2013-2016, Totok Harjanto, telah dilaksanakan demi mempersiapkan mahasiswa yang nantinya menjadi tenaga keperawatan.

Kemudian Unisa Yogyakarta Yogyakarta sebagai salah satu institusi pendidikan kesehatan yang terbaik di Yogyakarta juga menjadi salah satu faktor penulis dalam memilih Unisa Yogyakarta Yogyakarta sebagai subjek penelitiannya. Unisa Yogyakarta memiliki website institusi yang lebih lengkap dan informatif dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan kesehatan swasta lainnya di Yogyakarta. Unisa Yogyakarta yang dulunya merupakan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan telah mencapai visinya yang lalu dan menjadi yang pertama atau terbaik pada jajaran Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Indonesia. Keputusan tersebut didasarkan pada keputusan Menristek Dikti Nomor

(15)

15 492.a/M/Kp/VIII/2015 tentang klasifikasi dan pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia tahun 2015 bahwa STIKES „Aisyiyah Yogyakarta masuk dalam peringkat 72 dari 3.320 (tiga ribu tiga ratus dua puluh) perguruan tinggi di Indonesia. Klasifikasi dan pemeringkatan perguruan tinggi tersebut disusun berdasarkan 4 kriteria yaitu kualitas sumber daya manusia, kualitas manajemen, kualitas kegiatan kemahasiswaan, kualitas penelitian dan publikasi ilmiah (Jogja Tribun News, 2016). FIKES Unisa Yogyakarta merupakan salah satu institusi pendidikan kesehatan yang menghasilkan tenaga kesehatan professional di bidang keperawatan dengan akreditasi B menurut BAN-PT. FIKES Unisa Yogyakarta mempunyai dua prodi S1 yaitu Ilmu Keperawatan dan Fisioterapi, sedangkan Diploma III terdapat Prodi Kebidanan serta Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi. Kemudian program Diploma IV terdapat Prodi Bidan Pendidik dan Analis Kesehatan, dan program Pascasarjana terdapat S2 Kebidanan.

Hasil Pra-survey penelitian di Unisa Yogyakarta menunjukkan bahwa menurut Ketua PSIK FIKES Unisa Yogyakarta Eri Kusnal bahwa di Unisa Yogyakarta ini sudah lama mencanangkan program khusus untuk menghasilkan lulusan yang siap di era global. Dan walaupun mereka tidak secara mendetail mengetahui apa itu MEA, namun mereka sejak lama mengetahui mengenai di era global ini semua harus berkompetisi, bahwa pasar tenaga kerja akan semakin bebas yang berarti tenaga asing bisa masuk ke pasar tenaga kerja dalam negeri, kemudian produk barang dan jasa juga bebas masuk. Kemudian Sekretaris PSIK FIKES Unisa Yogyakarta, Suratini pun menambahkan bahwa memang institusi telah melakukan beberapa langkah dalam mempersiapkan tenaga keperawatannya

(16)

16 di era MEA demi meningkatkan kualitas tenaga keperawatan lulusan dari Unisa Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada apa yang telah dijabarkan di dalam latar belakang, pertanyaan penelitian yang muncul adalah :

“Bagaimanakah strategi institusi pendidikan kesehatan di Yogyakarta dalam mempersiapkan tenaga keperawatan Prodi Ilmu Keperawatan UGM dan Universitas „Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta di era masyarakat ekonomi ASEAN?”

Dalam penelitian ini selanjutnya juga menjawab permasalahan sebagai berikut.

1. Apa saja strategi yang dilakukan oleh institusi pendidikan kesehatan yaitu Prodi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM dan Universitas „Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta dalam mempersiapkan tenaga keperawatan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN?

2. Seberapa besar kesenjangan yang terjadi antara strategi yang disusun oleh institusi dengan pelaksanaan yang dilakukan?

3. Apa saja faktor-faktor pendukung berjalannya strategi serta faktor yang menyebabkan adanya hambatan dalam pelaksanaannya?

(17)

17 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah, penelitian yang berjudul “Strategi Institusi Pendidikan Kesehatan di Yogyakarta dalam Mempersiapkan Tenaga Keperawatan di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN: Studi Kasus Prodi Ilmu Keperawatan UGM dan Universitas „Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta” mempunyai tujuan sebagai berikut

1. menganalisis strategi yang dilakukan oleh institusi pendidikan kesehatan yaitu Prodi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM dan Universitas „Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta dalam mempersiapkan tenaga keperawatan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN.

2. menganalisis faktor-faktor penentu berjalannya strategi serta faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam pelaksanaannya.

3. menganalisis seberapa besar kesenjangan yang terjadi antara strategi yang disusun oleh institusi dengan pelaksanaan yang dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

ikatan kepentingan keuangan, pemberian jasa lain, audit tenure , persaingan kantor akuntan publik, dan audit fee terhadap independensi penampilan auditor.. Skala

Pangkalan Data Sekolah dan Siswa Daftar Login siswa

Masalah-masalah yang disebutkan diatas juga didapati didalam masyarakat yang ada di Desa Tolotoyon KeCamatan Pinolosian Kabupaten Bolaang Mongondow dimana masih

Implementation on the server using the PHP programming language, while the implementation of the smartphone using PhoneGap [1] and jQuery Mobile framework

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta Inayah-Nya dan memberikan kemudahan bagi penulis sehingga penulis

Berdasarkan latar belakang tersebut serta didukung masih kurangnya penelitian tentang laba-laba yang ada di Kota Padang, maka dilakukanlah penelitian tentang

Kalium Nitrat merupakan zat kimia yang digunakan dalam proses produksi sebagai stabilisator untuk menjaga suhu bahan baku pada saat dipanaskan, dan dilebur sebelum

Kesimpulan yaitu terdapat hubungan dukungan sosial dan motivasi dengan perawatan mandiri pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Mokopido