• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. tahun 2012 dengan judul penelitian Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Militer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. tahun 2012 dengan judul penelitian Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Militer"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang bahasa khususnya kajian tindak tutur direktif sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Hendryx Luandhow Yudhokusumo nim 0701040095 tahun 2012 dengan judul penelitian “Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Militer TNI-AD di Korem 071 Wijayakusuma Sokaraja Banyumas”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan makna tindak tutur direktif dalam bahasa militer di Korem 071 Wijayakusuma Sokaraja Banyumas. Data penelitian ini adalah tuturan yang digunakan oleh anggota TNI-AD yang berada di jajaran Korem 071 Wijayakusuma Sokaraja Banyumas yang mengandung tuturan direktif dalam bahasa militer. Sumber datanya adalah anggota TNI-AD yang berada di jajaran Korem 071 Wijayakusuma Sokaraja Banyumas. Tahap pengumpulan data menggunakan metode simak dan teknik yang digunakan dalam rangka melaksanakan metode tersebut adalah teknik sadap, teknik rekam sebagai teknik dasar, teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC), dan teknik catat sebagai teknik lanjutan. Tahap analisis data menggunakan metode kontekstual dengan menggunakan model analisis interaktif. Analisis tersebut terdiri dari tiga alur kegiatan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk tuturan direktif dalam bahasa militer terdapat enam wujud yaitu: (1) tuturan requestives (meminta dan memohon), (2) tuturan question (bertanya), (3) tuturan requirements (memerintah dan mengatur), (4) tuturan prohibitive (melarang, membatasi), dan (5) tuturan permissives (membolehkan, mengizinkan), dan (f)

(2)

tuturan advisories (menasihati, memperingatkan), sedangkan makna tuturan ada dua yaitu tuturan direktif sebagai ilokusi dimaksudkan agar mitra tutur melakukan suatu tindakan dan tuturan direktif sebagai perlokusi dimaksudkan agar orang lain mengerti efek atau pengaruh dari tuturan tersebut.

Selain itu, penelitian serupa juga dilakukan oleh Dyan Agustin Embriani nim 0701040095 tahun 2011 dengan judul penelitiannya “Tindak Tutur Direktif dalam Wacana Novel Cinta Menyapa dalam Badai Karya Mira .W”. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur direktif dalam wacana novel Cinta Menyapa dalam Badai Karya Mira W. Data penelitian ini adalah tuturan yang digunakan dalam novel Cinta Menyapa dalam Badai Karya Mira .W yang mengandung tuturan direktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukannya tindak tutur direktif pada wacana novel Cinta Menyapa dalam Badai Karya Mira .W meliputi (1) tindak tutur direktif memaksa, (2) tindak tutur direktif mengajak, (3) tindak tutur direktif meminta, (4) tindak tutur direktif mendesak, (5) tindak tutur direktif menyuruh, (6) tindak tutur direktif memohon, (7) tindak tutur direktif menyarankan. Dalam novel Cinta Menyapa dalam Badai Karya Mira W juga ditemukan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.

Dengan demikian, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini berjudul “Tindak Tutur Direktif dalam Wacana Stiker Sepeda Motor di Wilayah Purbalingga dan Purwokerto Maret-April 2014” yang bertujuan untuk mendeskripsikan jenis tindak tutur direktif yang terdapat dalam wacana stiker sepeda motor. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian sebelumnya yaitu meneliti tentang tindak tutur direktif, tetapi berbeda datanya. Data yang digunakan pada penelitian Hendryx Luandhow Yudhokusumo adalah tuturan

(3)

yang mengandung tindak tutur direktif dalam bahasa militer TNI-AD di Korem 071 Wijayakusuma Sokaraja Banyumas. Tuturan yang digunakan dalam bahasa militer TNI-AD di Korem 071 Wijayakusuma Sokaraja Banyumas adalah tuturan yang hanya dikenal atau dipakai oleh kalangan militer. Tuturan tersebut sangat singkat dan diakronimkan, sehingga anggota TNI harus menguasai bahasa yang digunakan di kalangan militer dan berbicara sesuai dengan konteksnya agar tidak terjadi salah paham. Selain itu, pada tuturan ini tanggapan dari mitra tutur diberikan secara langsung, sedangkan data penelitian Dyan Agustin Embriani adalah tuturan yang mengandung tindak tutur direktif dalam wacana novel Cinta Menyapa dalam Badai karya Mira .W. Tuturan pada wacana novel cukup panjang dan biasanya tergambar unsur konteks seperti waktu, tempat, dan orang yang terlibat dalam pembicaraan, serta mitra tutur juga memberikan tanggapan secara langsung, sehingga lebih memudahkan dalam pemahaman makna dan informasi yang disampaikan. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah tuturan yang mengandung tindak tutur direktif dalam wacana stiker sepeda motor. Tuturan yang digunakan dalam stiker sepeda motor ini cukup singkat dan untuk memahami maksudnya, konteks harus dipahami dan dianalisis secara mutlak. Selain itu, mitra tutur tidak langsung memberikan tanggapan percakapan tetapi hanya perilaku.

B. Fungsi Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam suatu masyarakat yang berupa sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan konvensional. Senada dengan pendapat Kridalaksana (2011:24) bahasa adalah sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama,

(4)

berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan manusia, terutama fungsi komunikatif. Dalam peristiwa komunikasi, bahasa dapat menampilkan fungsi secara bervariatif. Secara umum, bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan emosi, menginformasikan suatu fakta, mempengaruhi orang lain, bercerita dan sebagainya. Hal ini senada dengan fungsi bahasa menurut Vestergaard dan Schroder (dalam Rani, 2004:20-23) dibagi menjadi tujuh, yaitu:

1. Fungsi Ekspresif

Fungsi ekspresif bahasa mengarah pada penyampai pesan. Artinya, bahasa didaya-gunakan untuk menyampaikan ekspresi penyampai pesan (komunikator). Fungsi bahasa tersebut biasanya digunakan untuk mengekspresikan emosi, keinginan, atau perasaan penyampai pesan. Bentuk bahasa yang digunakan untuk menyampaikan ekspresi penyampai pesan misalnya meminta maaf, memohon, mengungkapkan rasa gembira, dan sejenisnya. Jadi, fungsi bahasa secara ekspresif digunakan untuk mengungkapkan ekspresi seorang penutur kepada lawan tutur.

Contoh:

(1) Aduh..kepalaku sakit!

(2) Oh… bahagianya rasa hatiku!

Kalimat (1) dan (2) di atas merupakan contoh pemakaian fungsi ekspresif. Kalimat-kalimat tersebut digunakan untuk mengekspresikan emosi, keinginan dan perasaan penutur. Kalimat (1) disampaikan oleh penutur dengan maksud mengeluhkan rasa sakit pada kepalanya. Kalimat (2) adalah contoh ungkapan rasa bahagia. Jadi, ungkapan-ungkapan ini muncul sebagai ekspresi penutur.

(5)

2. Fungsi Direktif

Fungsi direktif berorientasi pada penerima pesan. Dalam hal ini bahasa dapat digunakan untuk mempengaruhi orang lain, baik emosinya, perasaannya, maupun tingkah lakunya. Selain itu, bahasa juga dapat digunakan untuk memberi keterangan, mengundang, memerintah, memesan, mengingatkan, mengancam, dan lain-lain termasuk tindak tutur direktif. Dalam hal ini fungsi direktif berorientasi pada lawan tutur yang mendapatkan pengaruh, baik secara emosi, perasaan, maupun tingkah lakunya. Jadi, bahasa digunakan untuk mempengaruhi orang lain supaya melakukan sesuatu yang diminta melalui tuturan meminta, memerintah, dan sebagainya.

Contoh:

(3) Hapuslah air matamu yang membasahi pipi itu. (4) Silakan, minum!

Contoh kalimat (3) dan (4) merupakan contoh penggunaan fungsi direktif. Fungsi direktif pada contoh diatas tercermin pada kata kerja yang memiliki makna perintah. Pada kalimat (3) kata hapuslah mencerminkan kata kerja yang memiliki makna perintah. Penutur memerintah lawan tutur menghapus air matanya yang membasahi pipi. Kemudian, pada contoh kalimat (4) kata silakan merupakan kata kerja yang memberikan izin kepada lawan tutur untuk minum.

3. Fungsi Informasional

Fungsi informasional bahasa berfokus pada makna. Fungsi bahasa tersebut digunakan untuk menginformasikan sesuatu. Bahasa disampaikan dengan mengandung makna tertentu. Makna ini terkandung dalam suatu informasi yang ingin

(6)

disampaikan oleh penutur. Fungsi informasional digunakan untuk melaporkan, mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengonfirmasikan sesuatu. Contoh:

(5) Kata atau kosakata merupakan unsur bahasa yang sangat penting dalam sebuah naskah atau tulisan. Dalam kosa kata itulah terkandung makna dan gagasan yang diungkapkan penulis.

Contoh di atas merupakan penggunaan fungsi informasional. Pada contoh itu, informasi atau ide yang dipentingkan. Makna kalimat-kalimat di dalam wacana itu menjadi fokus dalam wacana tersebut. Jadi, pada contoh di atas fungsi informasional digunakan untuk menginformasikan atau menjelaskan tentang kata atau kosa kata yang merupakan unsur bahasa yang penting dalam sebuah naskah atau tulisan. Selain itu, dalam kosakata juga mengandung makna dan gagasan yang disampaikan penulis.

4. Fungsi Metalingual

Fungsi metalingual bahasa berfokus pada kode. Dalam fungsi tersebut, bahasa digunakan untuk menyatakan sesuatu tentang bahasa. Jadi, kode bahasa dipilih untuk menyatakan sesuatu tentang bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan untuk melambangkan kode yang lain. Berikut contoh penggunaan fungsi metalingual bahasa:

(6) Bahan bakar fosil (misalnya minyak bumi, gas alam, batu bara) bila dibakar menghasilkan SO2 dan NOx sebagai penyebab utama keasaman air hujan. Penghasilan SO2 dan NOx terbesar adalah pembangkit listrik dan industri yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar SO2 dan NOx itu juga dilepaskan oleh kendaraan di jalan.

Pada contoh di atas mengandung unsur lambang dari lambang bahasa yaitu SO2 dan NOx. Lambang SO2 berarti sulfur oksida dan NOx berarti nitrogen oksida. Kedua lambang itu mengacu pada zat yang banyak dihasilkan dalam pembakaran. Ini berarti kode bahasa dapat digunakan untuk melambangkan kode yang lain. Jadi,

(7)

fungsi metalingual bahasa berfokus pada kode yang digunakan untuk menyatakan sesuatu tentang bahasa.

5. Fungsi Interaksional

Fungsi interaksional bahasa berfokus pada saluran. Fungsi interaksional bahasa digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan dan mengakhiri suatu kontak komunikasi antara penyampain pesan dan penerima pesan. Fungsi bahasa ini menekankan/mementingkan interaksi antarpenutur. Fungsi interaksional bahasa tampak dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi tersebut lebih ditekankan pada komunikasi yang tidak berhadapan langsung (tatap muka), misalnya percakapan dalam telepon berikut ini:

(7) Deni : “Mas, bukunya sudah saya kirim, sudah sampai atau belum?” Doni : “Oh ya, sudah Den. Terimakasih ya.”

Deni :” Sama-sama Mas.”

Fungsi interaksional merupakan penggunaan bahasa yang memiliki hubungan timbal-balik atau interaksi antara penyapa dan yang disapa. Fungsi bahasa tersebut menekankan atau mementingkan interaksi antarpenutur. Fungsi bahasa secara interaksional tampak pada contoh percakapan melalui telepon di atas. Contoh di atas termasuk contoh penggunaan fungsi interaksional bahasa. Dalam percakapan di atas terjadi interaksi (timbal balik) antara Deni dan Doni, sehingga percakapan tersebut termasuk penggunaan bahasa yang berfungsi interaksional.

6. Fungsi Kontekstual

Fungsi kontekstual bahasa berfokus pada konteks pemakaian bahasa. Fungsi tersebut berpedoman bahwa suatu ujaran harus dipahami dengan mempertimbangkan

(8)

konteksnya. Dengan alasan bahwa suatu ujaran yang sama akan berbeda maknanya apabila benda dalam konteks yang berbeda. Salah satu alat bantu untuk menafsirkan berdasarkan konteks adalah dengan mempertimbangkan penanda-penanda kohesi dan acuan (reference) yang digunakan dalam suatu situasi komunikasi. Jadi, makna suatu ujaran dapat diketahui dengan memahami konteks dan acuan yang digunakan.

Contoh : (8) Ini apa?

Contoh di atas merupakan penggunaan fungsi bahasa kontekstual. Acuan kata ini pada contoh di atas sangat tergantung pada konteks. Makna kata ini tergantung pada objek yang ditunjuk pada saat orang tersebut berkata. Acuan yang digunakan misalnya kata ini menunjuk rumah maka kata ini pada kalimat tersebut mengacu pada sebuah tempat yakni rumah. Jadi, apabila yang ditunjuk oleh kata ini pada sebuah kalimat itu berbeda, maka makna kalimat juga akan menyesuaikan dengan hal yang ditunjuk.

7. Fungsi Puitik

Fungsi puitik bahasa berorientasi pada kode dan makna secara simultan. Maksudnya, kode kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat mewadahi makna yang hendak disampaikan oleh sumber pesan. Unsur-unsur seni, misalnya ritme, rima, dan metafora merupakan bentuk dari fungsi puitik bahasa. Contoh kalimat: (9) Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi. Kalimat tersebut merupakan contoh penggunaan fungsi puitik. Bentuk ujaran ini lebih menekankan kode kebahasaan dan makna sekaligus. Setiap penutur bahasa Indonesia yang mempunyai kemampuan yang

(9)

memadai akan memahami arti ujaran itu meskipun makna ujaran itu tidak berhubungan sama sekali dengan bentuk ujarannya. Kata-kata yang dipilih pada contoh itu hanya mempertimbangkan “persamaan bunyi” (rima) semata-mata, bukan pada makna kata-katanya.

Berdasarkan uraian tentang fungsi bahasa di atas, penelitian ini menggunakan fungsi direktif. Penelitian tentang tindak tutur direktif dalam wacana stiker sepeda motor ini termasuk penggunaan bahasa yang berfungsi direktif karena berorientasi pada penerima pesan. Bahasa itu digunakan untuk mempengaruhi orang lain, baik emosi, perasaan, maupun tingkah lakunya. Fungsi bahasa dalam hal ini adalah bahasa yang tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan sesuai dengan yang diinginkan atau yang diminta oleh pembicara. Jadi, fungsi bahasa yang digunakan adalah fungsi direktif yang dinyatakan dalam tindak tutur.

C. Pragmatik

Pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu (Arikunto, 2010:2). Menurut Yule (2006:5) pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakaian bentuk-bentuk itu. Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi tertentu terutama dalam memusatkan perhatian pada ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial performansi bahasa yang dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi. Selain itu, Wijana (1996:1) menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajarai bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi.

(10)

Sementara itu, Leech (1993:5) menyatakan bahwa pragmatik menyelidiki makna dalam konteks penggunaan bahasa. Jadi, berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan ilmu tentang penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai dengan konteks dan keadaan pembicaraan.

1. Pengertian Tindak Tutur

Menurut Yule (2006:82) tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Tindak tutur digunakan karena pada dasarnya seseorang dalam mengucapkan ekspresi itu, ia tidak hanya berekspresi tetapi ia juga mengucapkan sesuatu. Searle (dalam Rohmadi, 2004: 29) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu yang dapat berwujud pertanyaan, pernyataan, perintah, atau yang lainnya. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Setiap tindak tutur yang diucapkan oleh seseorang mempunyai makna tertentu yang dapat berupa permintaan, permohonan, keluhan, pujian, undangan atau janji. Jadi, tindak tutur adalah tindakan yang yang ditampilkan lewat tuturan.

Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Tindak tutur ini lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Misalnya kalimat Di sini panas sekali! dapat memiliki bermacam arti di berbagai situasi berbeda. Bisa jadi, si penutur hanya menyatakan fakta keadaan udara saat itu, meminta orang lain membukakan jendela atau menyalakan AC, atau bahkan keluhan. Jadi, tindak tutur dapat digunakan untuk

(11)

menyatakan sesuatu, melakukan sesuatu, atau bahkan memberikan efek atau pengaruh terhadap lawan tutur.

2. Bentuk-Bentuk Tindak Tutur

Searle (dalam Wijana, 1996:17-21) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur. Tindakan itu yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindakan untuk menyatakan sesuatu. Tindak ilokusi digunakan tidak hanya untuk menyatakan sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu. Kemudian, tindak perlokusi merupakan tindakan yang mempunyai daya pengaruh atau efek bagi lawan tutur.

a. Tindak Lokusi

Lokusi adalah bentuk ujaran untuk menyatakan sesuatu. Tindak lokusi yang mengaitkan suatu topik dengan keterangan dalam suatu ungkapan (Austin dalam Tarigan, 2009:100). Tindak tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something. Menurut Searle (dalam Wijana,1996:17-18) tindak lokusi ialah tuturan yang dianggap paling mudah untuk didefinisikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan dalam situasi tutur. Contoh :

(10) Ikan paus adalah binatang menyusui (11) Jari tangan jumlahnya lima

Kalimat (10) dan (11) merupakan contoh tindak lokusi. Kalimat-kalimat tersebut diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diutarakan pada kalimat (10) adalah termasuk jenis binatang apa ikan

(12)

paus itu. Pada kalimat (11) informasi yang diutarakan adalah berapa jumlah jari tangan. Berdasarkan kalimat tersebut informasi yang diperoleh bahwa ikan paus adalah binatang menyusui dan jari tangan jumlahnya lima.

b. Tindak Ilokusi

Ilokusi adalah suatu bentuk ujaran yang tidak hanya berfungsi untuk mengungkapkan informasi tentang sesuatu, namun juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu (Tarigan, 2009:100). Menurut Searle (dalam Wijana, 1996:18-19) sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga berfungsi untuk melakukan sesuatu. Jika hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Tindak lokusi sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.

Contoh:

(12) Ada anjing gila (13) Ujian sudah dekat

Tuturan pada kalimat (12) tidak hanya menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya dipertimbangkan. Kalimat di atas biasa ditemui dipintu pagar atau di bagian depan rumah pemilik anjing tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan informasi, tetapi untuk memberi peringatan. Tuturan itu jika ditujukan kepada pencuri,tuturan itu mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti. Kalimat (13) bila diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, mungkin bermaksud untuk memberi peringatan lawan tutur (murid) mempersiapkan diri. Bila diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya kalimat tersebut dimaksudkan untuk

(13)

menasihati agar lawan tutur tidak hanya bepergian menghabiskan waktu secara sia-sia.

c. Tindak Perlokusi

Perlokusi adalah suatu bentuk ujaran yang pengungkapannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan bicara. Dalam hal ini, suatu ujaran yang diungkapkan oleh seseorang sering mempunyai daya pengaruh atau efek bagi lawan bicaranya. Tindak tutur ini disebut The Act of Affecting Someone. Menurut Searle (dalam Wijana, 1996:19-20) sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh, atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Contoh:

(14) Kemarin saya sangat sibuk.

Kalimat di atas merupakan contoh tindak perlokusi. Tindakan ini apabila disampaikan akan memiliki daya pengaruh tertentu kepada lawan tutur. Bila kalimat tersebut diutarakan oleh seseorang tidak dapat menghadiri pertemuan atau undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf. Penutur memohon maaf kepada lawan tutur karena tidak bisa menghadiri undangannya. Perlokusi (efek) yang diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya.

3. Jenis-Jenis Tindak Tutur

Menurut Searle (dalam Yule, 2006:92-94) tindak tutur dibagi menjadi lima jenis yaitu:

(14)

a. Representatif

Representatif ialah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan dan menyebutkan. Menurut Yule (2006:92) representatif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Jadi, tindak tutur representatif ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya pemberian saran, pemberian pernyataan, pelaporan, pengeluhan dan sebagainya. Contoh tindak tutur representatif adalah:

(15) Gubernur Jateng meresmikan gedung baru ini.

Tuturan tersebut termasuk tindak tutur representatif sebab mengandung maksud untuk menyampaikan informasi yang penuturannya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan. Contoh di atas disampaikan oleh penutur dengan memegang tanggung jawab atas kebenaran dari ucapannya. Dalam hal ini penutur menyampaikan kepada lawan tutur bahwa Gubernur Jateng telah meresmikan gedung baru. Jadi, tuturan tersebut dapat dibuktikan tentang benar atau tidaknya bahwa Gubernur Jateng telah meresmikan gedung baru.

b. Direktif

Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur (Yule, 2006:93). Ibrahim (1993:27) menjelaskan tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh

(15)

mitra tutur. Tindak tutur ini meliputi perintah, meminta, melarang, menyarankan, menasihati, membolehkan, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian menurut para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur direktif ialah tindak tutur yang dimaksudkan oleh penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu.

Contoh:

(16) Jangan sentuh buku ini! (17) Pergi!

Contoh (16) termasuk ke dalam jenis tindak tutur direktif sebab tuturan itu berfungsi melarang. Kalimat tersebut termasuk tuturan direktif larangan yang ditandai dengan penggunaan kata jangan. Tuturan itu dimaksudkan penuturnya agar lawan tutur melakukan tindakan yang disampaikan penutur yakni jangan menyentuh buku. Jadi, penutur melarang lawan tutur untuk tidak menyentuh buku yang ditunjuk oleh penutur. Pada kalimat (17) merupakan tuturan direktif memerintah. Dalam hal ini penutur menyuruh lawan tutur pergi.

Menurut Ibrahim (1993:28-33) tindak tutur direktif dibagi menjadi: 1) Requestives

Tindak tutur direktif requestives mengekspresikan keinginan penutur sehingga mitra tutur melakukan sesuatu. Di samping itu, requestives mengekspresikan maksud penutur sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan (bagian dari alasan) untuk bertindak. Tuturan yang termasuk dalam tindak tutur direktif requestives yaitu tuturan meminta, mengemis, memohon, menekan, mengundang, mendoa, mengajak, dan mendorong. Berikut ini contoh tindak tutur requestives:

(16)

(19) Saya minta di antar ke pasar. (20) Mohon sabar menunggu giliran. (21) Ayo lari pagi.

Kalimat-kalimat tersebut merupakan bentuk tuturan requestives. Pada contoh kalimat (18) merupakan contoh tuturan meminta. Tuturan meminta tersebut ditandai dengan penggunaan kata tolong yang menyatakan tindakan permintaan. Apabila tuturan tersebut disampaikan oleh seorang atasan kepada bawahannya, maka penutur bermaksud meminta lawan tutur untuk datang kerumahnya. Kalimat (19) termasuk tuturan meminta yang dilakukan oleh seorang penutur secara langsung kepada lawan tutur. Apabila tuturan itu disampaikan oleh seorang penumpang kepada tukang becak maka penutur bermaksud meminta lawan tutur mengantarkannya ke suatu tempat yaitu pasar. Pada kalimat (20) diidentifikasi sebagai tuturan memohon yang secara langsung disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur. Jika tuturan tersebut disampaikan oleh panitia pembagian sembako kepada masyarakat maka penutur memohon lawan tutur untuk sabar menunggu giliran. Pada tuturan memohon biasanya lazim juga ditandai dengan penggunaan partikel –lah pada tuntutan, seperti bersabarlah, sedangkan kalimat (21) termasuk tuturan mengajak yang ditandai dengan penggunaan kata ayo. Apabila tuturan tersebut disampaikan oleh seseorang kepada temannya untuk mengajak lari pagi.

2) Question

Tindak tutur direktif question (pertanyaan) merupakan request (permohonan) dalam kasus khusus, khusus dalam pengertian bahwa apa yang dimohon adalah mitra tutur memberikan kepada penutur informasi tertentu, misalnya tuturan bertanya. Pada tuturan bertanya ini penutur meminta informasi kepada lawan tutur. Dengan

(17)

perkataan lain, penutur menanyakan sesuatu kepada lawan tutur mengenai suatu hal. Jadi, dalam tuturan ini lawan tutur dituntut untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penutur. Contoh tindak tutur question:

(22) Guru : “Siapa yang tidak masuk hari ini?” Siswa : “Tono, Pak!”

(23) Apakah kamu sudah makan?

Contoh di atas termasuk bentuk tuturan question bertanya. Pada contoh (22) adalah percakapan antara guru dengan murid. Contoh tuturan bertanya ini ditandai dengan kata tanya siapa. Tuturan tersebut disampaikan oleh seorang guru yang menanyakan kepada muridnya siapa yang tidak berangkat sekolah pada hari itu. Kemudian, tuturan pada contoh (23) juga termasuk tuturan question bertanya yang ditandai dengan penggunaan kata tanya apakah. Apabila tuturan tersebut disampaikan oleh seorang ibu kepada anaknya maka penutur bermaksud menanyakan pada lawan tutur apakah sudah makan atau belum. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda perhatian orang tua kepada anaknya.

3) Requirements

Requirements (perintah) adalah tindakan penutur mengekspresikan maksudnya sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang diekspresikan oleh penutur sebagai alasan untuk bertindak, dengan demikian ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak. Tuturan yang termasuk tuturan requirements adalah tuturan memerintah, mensyaratkan, mendikte, dan sebagainya. Tuturan memerintah ini digunakan untuk menyuruh lawan tutur melakukan sesuatu. Biasanya tuturan memerintah ditandai dengan penggunaan kata atau ungkapan yang bermakna perintah. Dalam tuturan perintah dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung menggunakan tuturan deklaratif maupun introgatif (Rahardi,2005:94).

(18)

Contoh:

(24) Jagalah Kebersihan!

(25) Coba matikan komputernya!

(26) Saya akan membelikanmu sepatu asalkan nilai ujianmu bagus.

Contoh-contoh di atas termasuk tuturan requirements memerintah. Kalimat (24) diidentifikasi sebagai tuturan memerintah yang ditandai dengan kata jagalah yang bermakna perintah. Jika kalimat tersebut disampaikan oleh penjaga kantin kepada pengunjung maka penutur bermaksud memerintah lawan tutur untuk menjaga kebersihan. Pada kalimat (25) juga merupakan contoh tuturan memerintah. Kalimat (25) disampaikan penutur dengan menggunakan penanda kesantunan coba. Penutur menyampaikan kalimat tersebut dengan maksud memerintah lawan tutur mematikan computer, sedangkan kalimat (26) merupakan tuturan mensyaratkan. Apabila disampaikan oleh seorang ayah berarti tuturan tersebut berfungsi mensyaratkan anaknya harus mendapatkan nilai ujian yang bagus jika ingin dibelikan sepatu.

4) Prohibitives

Prohibitives (larangan) adalah tindakan penutur melarang mitra tutur malakukan sesuatu, misalnya tuturan melarang atau membatasi. Tuturan melarang disampaikan supaya orang lain tidak mengerjakan sesuatu. Tuturan larangan ini biasanya ditandai dengan penggunaan kata atau ungkapan yang bermakna melarang. Dalam hal ini kata yang sering digunakan adalah kata jangan yang menyatakan tindakan melarang (Rahardi, 2005:109). Contoh tuturan direktif melarang yaitu: (27) Warning! Dilarang kentut sembarangan.

Kalimat (27) termasuk contoh tuturan prohibitives melarang. Tuturan tersebut disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur untuk tidak melakukan tindakan seperti

(19)

yang diujarkan oleh penutur. Tuturan Dilarang kentut sembarangan termasuk tuturan melarang yang ditandai dengan kata dilarang. Apabila tuturan itu disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur dengan maksud untuk melarang lawan tutur kentut sembarangan. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga sopan santun dalam bergaul dengan sesama. Tindakan kentut sembarangan termasuk tindakan yang tidak sopan dan melanggar norma kesopanan.

5) Permissives

Permissives (pemberian izin) adalah mengekpresikan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga mitra tutur percaya bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi mitra tutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu. Alasan yang jelas untuk menghasilkan permissives adalah dengan mengabulkan permintaan izin atau melonggarkan pembatasan yang sebelumnya dibuat terhadap tindakan tertentu. Tuturan yang termasuk tuturan permissives adalah tuturan membolehkan, menyetujui, atau membiarkan. Tuturan mengizinkan biasanya ditandai dengan pemakain kata silakan. Contoh tuturan direktif mengizinkan adalah:

(28) Saya perbolehkan kalian pergi. (29) Silakan diminum kopinya!

Tuturan (27) adalah contoh bentuk tuturan membolehkan. Tuturan membolehkan tersebut disampaikan secara langsung oleh penutur untuk membolehkan lawan tutur. Bila kalimat itu dituturkan seorang ayah kepada anak-anaknya yang akan pergi main, maka maksud tuturan tersebut disampaikan seorang ayah untuk membolehkan anak-anaknya pergi main. Pada contoh kalimat (28) juga merupakan tuturan memberikan izin yang ditandai dengan kata silakan yang berarti

(20)

mengizinkan. Kalimat tersebut jika disampaikan oleh seseorang kepada tamu yang dating kerumahnya, maka penutur bermaksud memberikan izin kepada lawan tutur untuk meminum kopi yang sudah disuguhkan.

6) Advisor

Advisor ialah apa yang diekspresikan penutur bukanlah keinginan bahwa mitra tutur melakukan tindakan tertentu tetapi kepercayaan bahwa melakukan sesuatu merupakan hal yang baik untuk kepentingan mitra tutur. Tuturan yang termasuk dalam tindak tutur direktif advisor misalnya, tuturan menasihati atau menyarankan, memperingatkan. Pada tuturan advisor mengimplikasikan adanya alasan khusus sehingga tindakan yang disarankan merupakan gagasan yang baik. Dalam tuturan memperingatkan petutur mempresumsi adanya suatu sumber bahaya atau kesulitan bagi mitra tutur. Contoh tuturan direktif advisor sebagai berikut.

(30) Beni belajar yang rajin, agar menjadi orang pintar. (31) Kamu sebaiknya jangan mudah emosi.

(32) Ingat!!! Tuhan maha tau.

Kalimat (30) dan (31) merupakan contoh tindak tutur direktif advisor menasihatkan. Kalimat (30) bila dituturkan oleh seorang ayah kepada anaknya pada saat belajar di rumah berarti ayah sedang menasihati anaknya supaya belajar dengan rajin agar menjadi orang yang pintar. Pada kalimat (31) disampaikan oleh penutur dengan maksud menasihati lawan tutur untuk bisa menahan emosinya dalam menghadapi masalah, sedangkan pada kalimat (32) merupakan contoh tuturan memperingatkan yang disampaikan secara langsung. Tuturan memperingatkan ini ditandai dengan kata peringatan ingat. Kalimat tersebut disampaikan oleh penutur

(21)

dengan maksud memperingatkan lawan tutur supaya ingat dengan semua perbuatan yang dilakukan karena tuhan maha tau.

c. Komisif

Komisif ialah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya. Dalam tuturan komisif seseorang tersebut mengekspresikan maksud untuk melakukan sesuatu dan mengekspresikan kepercayaan bahwa ujaran seseorang bias melibatkan seseorang untuk melakukannya, paling tidak dalam kondisi yang dispesifikan atau dipercayai secara mutual bahwa tindakan tersebut relevan. Menurut Yule (2006:94) komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini misalnya: berjanji, bersumpah, atau mengancam. Contoh tindak tutur komisif adalah:

(33) Awas! Senggol bacok

Tuturan tersebut termasuk tindak tutur komisif yang berupa ancaman. Penutur mengancam lawan tutur untuk tidak melakukan kegiatan yang disebutkan oleh penutur. Tuturan Awas! Senggol bacok merupakan tuturan komisif mengancam yang ditandai dengan kata peringatan awas dan ancaman bacok jika menyenggol. Dalam hal ini penutur mengancam lawan tutur untuk tidak menyenggol, karena akan ada akibat apabila menyenggol yaitu dibacok. Jadi, lawan tutur harus berhati-hati agar tidak menyenggol.

d. Ekspresif

Ekspresif menurut Yule (2006:93) ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan

(22)

pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan-pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Tindak tutur ekspresif misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat. Jadi, tindak tutur ekspresif merupakan tindakan yang mengekspresikan emosi, perasaan, dan tingkah laku penyampai pesan. Contoh tindak tutur ekspresif adalah:

(34) Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga.

Tuturan (34) merupakan contoh tuturan ekspresif. Tuturan di atas digunakan untuk mengungkapkan ekspresi penutur. Apabila tuturan itu disampaikan oleh seorang suami kepada istrinya, tuturan tersebut dapat diartikan sebagai bentuk evaluasi terhadap hal yang telah mereka lakukan yaitu sudah bekerja keras tapi hasil yang mereka harapkan untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarga tidak terwujud. Tuturan tersebut berupa keluhan seseorang mengenai usaha yang telah dilakukannya tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan. Jadi, tuturan itu termasuk tindak tutur ekspresif mengeluh.

e. Deklaratif

Deklaratif ialah jenis tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan minta maaf. Contoh:

(35) Jangan main di dekat sumur!

Tuturan ini disampaikan oleh seorang ibu kepada anaknya yang sedang bermain di belakang rumah. Tuturan tersebut termasuk jenis tindak tutur deklarasi, karena

(23)

melalui tuturan tersebut penutur menciptakan suatu keadaan yang baru yaitu berupa larangan bagi anaknya untuk bermain di dekat sumur. Sementara sebelum tuturan ini dituturkan oleh ibu, si anak boleh bermain di mana saja. Adanya perubahan status atau keadaan merupakan ciri dari tindak tutur deklarasi. Jadi, tuturan tersebut termasuk tindak tutur deklarasi larangan.

Jadi, tindak tutur terbagi menjadi lima jenis. Tindak tutur itu antara lain tindak tutur representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Dari lima jenis tindak tutur tersebut, tindak tutur yang diteliti dalam penelitian ini adalah tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Peneliti akan meneliti tentang jenis tindak tutur direktif yang terdapat dalam wacana stiker sepeda motor di wilayah Purbalingga dan Purwokerto.

D. Wacana

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan tertinggi atau terbesar (Chaer, 2007:267). Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun. Wacana terdiri dari kalimat atau kalimat- kalimat yang gramatikal. Jadi, wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya dalam kesatuan makna. Selain itu, Tarigan (dalam Mulyana, 2005:6) mengemukakan bahwa wacana adalah sataun bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang

(24)

jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis. Jadi suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya suatu kalimat disebut sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya.

Chaer (2007:272) membagi bentuk wacana berdasarkan sarananya yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan melalui bahasa tulis, sedangkan wacana lisan adalah wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan. Kemudian ada wacana prosa dan wacana puisi dilihat dari penggunaan bahasa, apakah dalam bentuk uraian ataukah bentuk puitik. Selanjutnya wacana prosa dilihat dari penyampaian isinya dibedakan lagi menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi, wacana argumentasi. Wacana narasi bersifat menceritakan sesuatu topik atau hal, wacana eksposisi bersifat memaparkan topik atau fakta, wacana persuasi bersifat mengajak, menganjurkan atau melarang, dan wacana argumentasi bersifat memberi argumen atau alasan terhadap suatu hal.

1. Unsur-Unsur Internal Wacana a. Kata dan Kalimat

Kata merupakan bagian dari kalimat. Sebagaimana dipahami selama ini, kalimat selalu diandaikan sebagai susunan yang terdiri dari beberapa kata yang bergabung menjadi satu pengertian dengan intonasi sempurna (final). Pada kenyataannya kalimat dapat juga terdiri dari satu kata. “Kalimat satu kata” adalah bentuk ungkapan atau tuturan terpendek yang harus memiliki esensi sebagai kalimat (Mulyana, 2005:8). Dalam konteks wacana, kata atau kalimat yang berposisi sebagai wacana disyaratkan memiliki kelengkapan makna, informasi, dan konteks tuturan

(25)

yang jelas dan mendukung. Contoh (36) membuktikan bahwa orang cenderung bertanya jawab dengan kalimat pendek satu kata dalam suatu dialog atau percakapannya,yaitu:

(36) Anto :Kuliah? Santi :Enggak. (37) Dia memang pintar.

Berdasarkan kaidah sintaksis dan semantik, kalimat (37) merupakan kalimat yang benar dan jelas maknanya. Namun, berdasarkan pandangan kewacanaan, masih banyak persoalan yang perlu diungkapkan, misalnya siapakah yang dimaksud dengan Dia, siapa pula yang mengucapkan kalimat itu, dalam konteks apa kalimat itu muncul, dan sebagainya. Munculnya beberapa pertanyaan tersebut jelas menunjukkan bahwa kalimat di atas belum menunjukkan adanya kelengkapan makna dan informasi. Sebab pada dasarnya kalimat itu muncul (diucapkan) karena ada kondisi yang melatarbelakanginya. Jadi ada unsur lain yang melingkupinya.

b. Teks dan Koteks

Teks adalah esensi wujud bahasa. Dengan kata lain, teks direalisasikan (diucapkan) dalam bentuk „wacana‟. Berkaitan dengan teks, didapati pula istilah koteks (co-text), yaitu teks yang bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks yang satu memiliki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi). Contoh:

(38) Terima kasih.

(39) Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.

Wacana (38) adalah tulisan yang digantungkan di lorong akhir suatu jalan kampung. Wacana tersebut jelas merupakan wacana potongan. Masih ada teks atau wacana lain

(26)

yang sebelumnya tergantung di lorong masuk jalan kampung tersebut, yaitu wacana (39). Wacana tersebut merupakan peringatan bagi orang yang akan melewati lorong kampung jalan itu. Apabila masyarakatyang melewati lorong telah menaatinya, misalnya dengan memperlambat laju kendaraannya, maka wacana (“terima kasih”) adalah suatu ucapan yang diberikan masyarakat kepada para pengguna jalan (lorong) tersebut. Salah satu teks itu berkedudukan sebagai koteks (teks penjelas).

2. Unsur-Unsur Eksternal Wacana a. Implikatur

Menurut Grice (dalam Mulyana, 2005:11) implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu „yang berbeda‟ tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan perkataan lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi. Dalam lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara „yang diucapkan‟ dengan „yang diimplikasikan‟. Jadi, suatu dialog yang mengandung implikatur akan selalu melibatkan penafsiran yang tidak langsung. Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya sudah diketahui oleh para pembicara, dan karenanya tidak perlu diungkapkan secara eksplisit. Dengan berbagai alasan, implikatur disembunyikan agar hal yang diimplikasikan tidak nampak terlalu mencolok. Contoh:

(40) Bapak datang, jangan menangis!

Tuturan (40) diucapkan oleh seorang penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari tempat

(27)

tertentu. Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia masih terus menangis. Dengan perkataan lain, tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang sangat keras dan kejam, serta sering marah-marah pada anaknya yang sedang menangis.

b. Praanggapan

Semua pernyataan memiliki praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan inilah yang menyebabkan suatu ungkapan wacana dapat diterima atau dimengerti oleh lawan bicara, yang pada gilirannya komunikasi tersebut akan dapat berlangsung dengan lancar. „Rujukan‟ itulah yang dimaksud dengan „praanggapan‟, yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar/pembaca. Praanggapan membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan makna atau pesan yang ingin dimaksudkan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan kalimat, baik yang bersifat positif maupun negatif, tetap mengandung anggapan dasar sebagai isi dan substansi dari kalimat tersebut. Contoh: (41) Kuliah Analisis Wacana diberikan di semester v. Pada kalimat ini mengandung praanggapan. Praanggapan untuk pernyataan itu adalah ada kuliah Analisis Wacana dan ada semester v.

c. Referensi

Referensi adalah hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis.

(28)

Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya. Pendengar atau pembaca hanya dapat menerka hal yang dimaksud (direferensikan) oleh pembicara dalam ujarannya itu. Terkaan itu bersifat relatif, bisa benar, bisa pula salah (Lubis, 1993:29). Dengan perkataan lain, tugas pendengar atau pembaca dalam memahami ujaran adalah mengidentifikasikan sesuatu atau seseorang yang ditunjuk atau dimaksud dalam ujaran tersebut. Kemampuan mengidentifikasi atau menerka rujukan itu seringkali berbeda dengan yang dimaksud pembicara. Perbedaan terkaan itu disebabkan oleh perbedaan representasi atau pemahaman dunia antara pembicara dengan pendengar (Soeseno dalam Mulyana, 2005:16). Oleh karena itu, dalam memahami atau menganalisis wacana referensial, diperlukan pengetahuan dan pengalaman tentang dunia (knoledge of world), setidaknya pengetahuan tentang „dunia‟ atau isi yang terdapat dalam wacana tersebut.

Dilihat dari acuannya, referensi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) referensi exophora (eksopora, situasional), dan (2) referensi endophora (endopora, tekstual). Referensi eksofora adalah penunjukan atau interpretasi terhadap kata yang relasinya terletak dan tergantung pada konteks situasional. Bila interpretasi itu terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu dinamakan referensi endofora. Contoh: (41) Itu rumah. Kata „itu‟ menunjuk pada „sesuatu‟, yaitu rumah. Rumah yang dimaksud, „tempatnya‟, tidak terdapat dalam teks, melainkan berada di luar teks. Jadi, referensi eksofora itu mengkaitkan langsung antara teks dengan sesuatu yang ditunjuk di luar teks tersebut.

(29)

Referensi endopora dapat dipilah lagi menjadi dua jenis yaitu referensi anafora dan referensi katafora (Halliday dalam Lubis, 1993:30). Referensi endofora anafora adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dalam teks. Hubungan ini menunjukkan pada sesuatu atau anteseden yang telah disebutkan sebelumnya. Teks berikut adalah contoh adanya referensi endofora yang anaforis. Contoh:

(42) Anto menulis buku lagi. Dia memang produktif.

Kata „dia‟ pada kalimat kedua mengacu pada Anto, yaitu nama yang disebut sebelumnya (pada kalimat pertama). Pola pengacuan masih merujuk pada sesuatu/seseorang yang berada dalam teks. Jadi, tidak perlu dicari nama Anto yang mana. Sementara itu, referensi endofora katafora bersifat sebaliknya, yaitu mengacu kepada anteseden yang akan disebutkan sesudahnya, referensi endofora yang kataforis dapat ditemukan pada contoh (43) Buku pewayangan sangat terkenal. Ramayana. Kata „buku‟ pada kalimat pertama mengacu pada anteseden yang disebut sesudahnya, yaitu „Ramayan‟. Penunjukan itu sekaligus menjadi jawaban. Gejala referensi katafora semacam ini sangat jarang ditemukan dalam bahasa yang berpola D-M (diterangkan-menerangkan).

d. Inferensi

Inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan (Echols dalam Mulyana, 2005:19). Dalam bidang wacana, istilah itu berarti sebagai proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis (Moeliono dalam Mulyana, 2005:19). Pembaca harus dapat mengambil pengertian, pemahaman, atau

(30)

penafsiran suatu makna tertentu. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengambil kesimpulan sendiri, meskipun makna itu tidak terungkap secara eksplisit. Inferensi sangat diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap alur percakapan yang terkait, akan tetapi kurang jelas hubungannya. Contoh: (44) Santi: “Wah, sudah masuk kota. Kita cari gudeg dulu.”

Andi : “Langsung ke Parangtritis saja!”

Kota yang dimaksud dalam percakapan tersebut adalah Yogyakarta. Penjelasan itu dipastikan benar, karena secara kultural Yogyakarta dikenal sebagai kota gudeg. Lebih jelas lagi, jawaban „Andi‟ yang menekankan lokasi wisata Parangtritis, yang memang berada di Yogyakarta. Proses inferensi inilah yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas.

e. Konteks Wacana

Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikasi, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa ini selalu mengandaikan terjadi secara dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpretasikan, dan memahami konteks terjadinya wacana. Pemahaman terhadap konteks wacana, diperlukan dalam proses menganalisis wacana secara utuh, sedangkan konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Pada hakikatnya, wacana adalah wujud nyata komunikasi verbal manusia. Oleh karena itu, wacana selalu mengandaikan adanya orang pertama atau biasa disebut pembicara, penulis, penyapa, atau penutur dan orang kedua sebagai pasangan bicara atau pendengar, pembaca, petutur.

(31)

Hymes (dalam Lubis,1993:84) mencatat tentang ciri-ciri konteks yang relevan yaitu:

1) Pembicara

Mengetahui si pembicara dalam situasi akan memudahkan untuk menginterpretasikan pembicaraannya. Makna wacana tertentu akan mempunyai makna yang berbeda jika dituturkan oleh penutur yang berbeda latar belakang, minat, dan perhatiannya. Misalnya ada seseorang yang mengatakan:

(45) “Operasi harus dilaksanakan”.

Apabila kalimat tersebut dituturkan oleh seorang dokter tentu kita akan paham bahwa yang dimaksudkannya dengan operasi itu adalah operasi terhadap manusia atau hewan. Tetapi bila diucapkan oleh seorang ahli ekonomi, maka operasi itu bukan lagi operasi terhadap manusia ataupun hewan, melainkan operasi dalam bidang ekonomi seperti mendrop ke pasar beras dari pemerintah untuk menstabilkan harga. Sebuah kalimat yang begitu pendek mempunyai inferensi yang begitu banyak berdasarkan pembicaraannya. Lain pembicaraan akan lain pula artinya. Jadi, sudah jelas betapa pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsirkan pembicaraannya.

2) Pendengar

Mengetahui siapa pendengar dalam sebuah pembicaraan sangatlah penting. Pendengar juga perlu diperhatikan latar belakang (sosial, budaya, dan lain-lain). Kepentingan mengetahui siapa pendengar ujaran itu ditujukan akan memperjelas makna ujaran itu. Setiap ujaran akan memiliki makna berbeda sesuai dengan penutur yang berbeda latar belakang. Selain itu, berbeda penerima ujaran akan berbeda pula tafsirannya apa yang didengarnya itu. Contoh:

(32)

(46) Luruskan dan siapkan. (47) Kulitmu halus sekali!

Jika kita mengetahui bahwa kalimat (46) itu ditujukan kepada siswa-siswa, maka kita akan tahu bahwa perintah itu adalah dalam hal baris-berbaris. Kalimat (47) bila diucapkan kepada anak perempuan berumur lima tahun atau perempuan muda berumur dua puluh tahun atau seorang nenek yang berumur tujuh puluh tahun, akan mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Kepada anak berumur lima tahun atau gadis dua puluh tahun, ujaran tersebut ditafsirkan sebagai pujian sedangkan jika pendengarnya nenek berumur tujuh puluh tahun maka akan ditafsirkan sebagai penghinaan.

3) Topik Pembicaraan

Pengetahuan tentang topik pembicaraan akan memudahkan seseorang pendengar atau pembaca untuk memahami pembicaraan atau tulisan. Contoh kata „banting‟ mempunyai makna yang berbeda dalam bidang ekonomi dan bidang olahraga. Jawabannya tentu berdasarkan bidangnya atau topik pembicaraan. Kalau orang membicarakan tentang ekonomi tentu artinya adalah memurahkan harga, dan kalau artinya orang sedang membicarakan judo tentulah baanting berarti mengangkat seseorang dan menjatuhkannya dengan cepat. Jadi, partisipan tutur akan menangkap dan memahami makna wacana berdasarkan topik yang sedang dibicarakan.

4) Setting (Waktu, Tempat)

Setting adalah waktu dan tempat pembicaraan dilakukan. Termasuk juga hubungan antara pembicara dan pendengar, gerak-gerik tubuhnya, roman muka, dan lainnya. Dengan mengetahui mukanya merah karena marah, atau pucat karena takut,

(33)

waktunya ketika jauh malam, atau pagi benar akan menadikan bagi seseorang akan memahami makna pembicaraan. Contoh:

(48) “Ini kan sudah jam satu. Masak begitu saja tidak siap.

Sebentar lagi lonceng berbunyi. Apa kita harus menunggu di sini?”

Kalau kita ketahui settingnya, seperti dimuka kelas, jam telah menunjukkan pukul 13.00 dan yang berbicara itu marah, hubunganya antara guru dan murid, tentulah dapat kita terka bahwa yang dibicarakan itu soal kerja siswa-siswa yang diberi waktu cukup tapi tidak juga selesai.

5) Channel (Penghubungnya bahasa tulisan, lisan, dan sebagainya)

Seorang pembicara dalam memberikan informasi kepada lawan pembicara dapat menggunakan berbagai cara, bisa dengan lisan, tertulis, telegram, dan lainnya. Inilah yang dinamakan channel. Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan topik tutur. Untuk menyampaikan informasi, seoran penutur dapat mempergunakan penghubung dengan bahasa lisan maupun tulis lengkap dengan paralinguistiknya. Ujaran lisan dapat dibedakan berdasarkan sifat hubungan partisipan tutur, yaitu langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung terjadi pada dialog tanpa perantara sedangkan tidak langsung terjadi dengan perantara (misalnya telepon, teleks, dan radiogram). Di samping itu, ujaran lisan dapat pula dibedakan menjadi ragam resmi sehingga terdapat ragam lisan resmi di satu pihak dan ragam lisan tidak resmi di pihak lain. Ujaran lisan merupakan sarana komunikasi dengan menggunakan tulisan sebagai perantara. Jenis sarana seperti itu mungkin berwujud surat, pengumuman, edaran, undangan, telegram, dan sebagainya (Hymes dalam Rani, 2005:193). Jadi, pemilihan penghubung itu sangat bergantunga pada beberapa faktor, yaitu kepada siapa ia berbicara, dalam situasi bagaimana (dekat atau jauh). Kalau dekat tentu dapat secara lisan, tetapi kalau jauh tentulah harus dengan tulisan atau telegram.

(34)

6) Code (Dialeknya, Stailnya)

Kalau penghubungnya lisan, kodenya dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada. Kodenya bisa juga dengan memakai salah satu register yang paling tepat untuk hal itu. Pemilihan kode bahasa yang tidak tepat sangat berpengaruh pada efektivitas komunikasi. Kalau efektivitas komunikasi terganggu, kemungkinan timbul kesalahpahaman komunikasi. Misalnya, jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-menawar di pasar, maka akan kurang tepat. Begitu juga dengan ragam nonbaku dipakai untuk berkhotbah di masjid, maka akan terasa aneh.

7) Massage From (Debat, Diskusi, Seremoni Agama)

Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai pada pendengar karena bentuk pesannya tidak sesuai dengan si pendengar dan situasinya. Kalau pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan maka haruslah dipilih bentuk pesan yang bersifat umum, sebaliknya jika pendengarnya kelompok yang bersifat khusus atau hanya dari satu lapisan masyarakat tertentu bentuk pesan haruslah juga bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi yang disampaikan akan susah dicerna pendengar. Misalnya dalam menyampaikan informasi tentang ilmu pasti, misalnya, haruslah berbeda dengan menyampaikan uraian tentang ilmu sejarah atau ilmu bahasa.

8) Event (Kejadian)

Peristiwa tutur adalah peristiwa tutur tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur, misalnya pidato, percakapan, seminar, dan sebagainya. Peristiwa tutur tentunya bermacam-macam pula, ditentukan oleh tujuan pembicaraan. Setiap

(35)

peristiwa akan berbeda cara penuturnya karena setiap peristiwa menghendaki tutur yang tertentu. Peristiwa tutur seperti wawancara akan berbeda dengan peristiwa tutur ceramah atau akan berbeda lagi dengan peristiwa tutur di pengadilan antara hakim dengan terdakwa atau saksi. Hymes (dalam Rani, 2005:195) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Sesuai dengan konteks situasinya, suatu peristiwa mungkin akan lebih tepat diantarkan dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok diantarkan dengan bahasa yang lain. Peristiwa tutur tersebut dapat menentukan bentuk dan isi wacana yang (akan) dihasilkan. Wacana yang dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan isinya akan berbeda dengan wacana dalam konferensi.

E. Wacana Stiker Sepeda Motor

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:1091) stiker merupakan lembaran kecil kertas atau plastik yang ditempelkan. Stiker banyak digemari oleh masyarakat khususnya kalangan remaja untuk ditempel pada sepeda motornya. Penempelan stiker ini selain karena hobi juga bertujuan agar sepeda motor lebih terlihat menarik. Pada umumnya, stiker yang ditempelkan memiliki keunikan tersendiri, yaitu selain terdapat gambar-gambar lucu, tulisan pada stiker sepeda motor memberikan rasa percaya diri bagi si pengendara karena biasanya pemilihan kata-kata pada stiker yang dipilih untuk mewakili ungkapan hati pengendara sebagai penutur. Selain itu, stiker itu dipilih karena memiliki maksud tertentu yang ditujukan kepada pembaca sebagai lawan tuturnya.

Sepeda motor adalah kendaraan beroda dua yang digerakkan oleh sebuah mesin. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:1043) sepeda motor adalah

(36)

sepeda besar yang dijalankan dengan motor. Penggunaan sepeda motor di Indonesia kini sangat populer. Hal ini dapat terlihat dari jumlah sepeda motor yang semakin meningkat di jalanan. Peminat sepeda motor semakin banyak mungkin karena harganya yang relatif murah, terjangkau, dan irit bahan bakar. Pengguna sepeda motor terdiri dari berbagai usia dari usia muda sampai usia tua, serta dari kalangan anak sekolah sampai pejabat. Jadi, sepeda motor kini mungkin menjadi salah satu alat transportasi yang paling diminati di dunia khususnya di Indonesia di berbagai kalangan masyarakat. Dengan demikian, wacana stiker sepeda motor adalah satuan bahasa yang tertulis pada stiker dan tertempel di sepeda motor.

(37)

Bahasa dan Fungsinya Pragmatik Wacana

Tindak Tutur Bentuk Tindak Tutur Jenis Wacana Unsur Wacana

Lokusi Ilokusi Perlokusi Lisan Tulis Internal Eksternal

Representatif Direktif Komisif Ekspresif Deklaratif

Tuturan Direktif pada Wacana Stiker

Sepeda Motor Wacana Stiker Sepeda Motor

1. Kata dan Kalimat 2. Teks dan Koteks

1. Implikatur 2. Praanggapan 3. Referensi 4. Inferensi 5. Konteks Wacana 1. Requestives (meminta, mengajak, memohon)

2. Question (bertanya)

3. Requirements (memerintah, mensyaratkan) 4. Prohibitives (melarang)

5. Permissives (membolehkan)

6. Advisories(menasihatkan dan memperingatkan)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel struktur aset memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur modal, sedangkan profitabilitas, ukuran

Dari hasil analisa Chi-square yang telah dilakukan, bahwa secara keseluruhan tidak ada hubungan yang signifikan antara keterlibatan anggota keluarga dalam usaha mikro dan

Ada dua cara untuk menentukantitik impasyaitu dengan pendekatan teknik persamaan dan pendekatan grafik.. Secara teoritis, suatu usaha dikatakan impas jika jumlah pendapatan

Kalau guru mengatur kondisi belajar secara optimal,maka proses pembelajaran akan berlangsung optimal juga.” Jadi seorang guru wajib untuk melaksanakan pengelolaan

Hasil dari penelitian ini adalah Sistem Informasi Kegiatan Sekolah telah memenuhi standar ISO 25010 pada karakteristik functional suitability dengan nilai 100% (sangat

Hasil penelitian pada UKM di Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa variabel hubungan pelanggan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan

Gardenia Raya Blok BA I No.. Noer

Hasonlóképpen, mivel az aktívabb hitelezési tevékenység normál gazdasági körül- mények között magasabb jövedelmezőséget jelent, ezért azzal a hipotézissel élünk, hogy