• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemampuan untuk berkomunikasi dimiliki dan dibutuhkan oleh semua makhluk hidup di dunia, termasuk manusia. Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia. Menurut Kridalaksana (2008:24) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Sistem lambang bunyi ini sangat berguna karena tanpanya, seseorang tidak akan mampu mengekspresikan diri dan kemauannya kepada orang lain. Pengertian antara satu orang dengan orang lainnya akan menghilang tanpa kehadiran bahasa.

Penguasaan beberapa bahasa oleh manusia bukanlah hal yang asing lagi. Tuntutan globalisasi membuat orang berlomba-lomba mengasah kemampuannya termasuk dalam bidang bahasa. Kemajuan teknologi dan interaksi budaya antarbangsa di dunia memungkinkan terjadinya saling serap dan saling mempengaruhi antarbahasa yang digunakan. Manusia sebagai penyelenggara budaya selalu ingin mengekspresikan dirinya, dan penguasaan bahasa dapat membantu memperoleh hal tersebut. Bahasa-bahasa yang dikuasai itu dapat digunakan oleh pengguna bahasa secara bergantian. Hal inilah yang merupakan salah satu faktor percampuran bahasa.

(2)

Cabang ilmu yang mempelajari bahasa adalah linguistik seperti dikutip dari Chaer (2010:2), sedangkan disiplin ilmu yang berkaitan dengan kondisi masyarakat adalah sosiolinguistik. Berbeda dengan penempatan bahasa di dalam penelitian linguistik, sebagai objek kajian sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia (Chaer: 3). Saat berhubungan dengan komunitasnya, manusia memerlukan suatu jembatan, sebuah kode yang dimengerti kedua belah pihak. Jembatan atau kode itu dapat berupa bahasa. Pernyataan ini menunjukkan pentingnya bahasa dalam hubungan antarmanusia.

Satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain biasanya memiliki kode yang berbeda-beda. Komunitas ini bila berinteraksi satu sama lain akan menghasilkan suatu pertukaran. Korea adalah salah satu negara maju di Asia Timur. Pada kehidupan berbangsa dan bernegara Korea akan selalu memerlukan interaksi dengan negara luar. Secara alami, Korea pun juga mengalami interaksi sosial-budaya, termasuk juga interaksi bahasa dengan bangsa-bangsa lain. Dari interaksi tersebut Korea akan menyerap banyak bahasa asing. Salah satu bahasa yang sangat berpengaruh dan terserap secara aktif dalam interaksi sosial secara internasional oleh Korea adalah bahasa Inggris. Penyerapan bahasa ini menyebabkan Korea menghadapi peristiwa alih kode dan campur kode hampir setiap harinya. Fenomena ini terjadi melalui sarana media audio, visual, elektronik, media cetak dan bahkan pada saat sedang berkomunikasi sehari-hari. Hal ini merupakan suatu hal yang cukup menarik.

(3)

Salah satu bidang yang tersentuh fenomena alih dan campur kode adalah drama. Pada produk drama dapat dilihat secara jelas adanya fenomena alih kode dan campur kode, khususnya dalam penggunaan bahasa. Salah satu drama yang menunjukkan banyak fenomena bahasa, terutama alih kode dan campur kode adalah drama Cheongdam-dong Alice.

Penggunaan alih kode dan campur kode dalam drama yang ini ditayangkan di Stasiun TV SBS pada tahun 2012 tersebut dapat terlihat pada berbagai aspek. Beberapa diantaranya adalah pada dialog yang diucapkan oleh tokoh-tokohnya, lagu pengiring drama, dan lain-lain. Namun dalam penelitian ini hanya akan dipusatkan pada dialog tokoh-tokohnya. Alasannya adalah karena pemakaian alih kode dan campur kode paling banyak dan menonjol dalam drama ini. Perpindahan kode antara bahasa Korea dengan berbagai bahasa lainnya, antara lain bahasa Prancis, Inggris, bahasa Hindi, dan bahasa Jepang, banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh pada drama ini.

Penelitian alih kode dan campur kode sudah dilakukan oleh peneliti yang tersebar di seluruh dunia. Beberapa penelitian dengan objek alih kode dan atau campur kode juga telah dilakukan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Tetapi yang secara spesifik mengangkat alih kode dan campur kode dengan objek berupa drama, terutama dalam bahasa Korea belum pernah dilakukan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Menimbang hal-hal yang telah disebutkan diatas penelitian ini relevan untuk dilakukan.

(4)

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa sajakah jenis campur kode dan alih kode yang ada dalam drama Cheongdam-dong Alice yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya?

2. Apa sajakah penyebab munculnya campur kode dan alih kode dalam drama Cheongdam-dong Alice yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya?

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini masuk dalam lingkup kajian sosiolinguistik dengan memfokuskan hanya pada peristiwa campur kode dan alih kode jenis-jenisnya dan penyebab terjadinya dalam drama Cheongdam-dong Alice. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari drama Cheongdam-dong Alice yang ditayangkan di stasiun TV SBS pada tahun 2012 episode 1 sampai 10 saja. Pembatasan lingkup ini dilakukan agar penelitian dapat dilakukan dengan lebih mendalam dan detail.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan jenis campur kode dan alih kode dalam drama Cheongdam-dong Alice.

2. Mendeskripsikan penyebab adanya campur kode dan alih kode dalam drama Cheongdam-dong Alice.

(5)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis : diharapkan penelitian ini dapat memperkaya pengkajian tentang alih kode dan campur kode, khususnya dalam Bahasa Korea.

2. Secara praktis : penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru tentang fenomena penggunaan bahasa lain dalam Bahasa Korea.

1.6. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang campur kode dan atau alih kode telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Namun, tinjauan pustaka yang dilakukan dibatasi di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada saja. Ada beberapa penelitian yang memfokuskan pada alih kode dan campur kode, atau hanya memilih diantara campur kode dan alih kode saja. Beberapa tinjauan pustaka tersebut disebutkan dibawah.

Skripsi Siswanto (2013) yang berjudul Code Switching in Indonesian Songs meneliti topik alih kode. Pada lagu-lagu Indonesia yang disusun oleh komposer-komposer Indonesia, jenis alih kode dan apa alasan atau fungsi peralihan bahasa. Ada tiga jenis alih kode yang digunakan, yaitu intersentensial switching, tag (emblematic) switching, dan intra-sentensial switching. Ditemukan 6 (enam) alasan atau fungsi tindakan alih bahasa yaitu : berbicara topik tertentu, mempertegas sessuatu, memasukkan kalimat pengisi atau konektor kalimat, pengulangan yang digunakan untuk klarifikasi, mengklarifikasi isi pembicaraan

(6)

pada lawan bicara, dan mengekspresikan identitas kelompok. Alasan penting penggunaan alih kode adalah alasan pemasaran.

Febrianty (2007) dalam skripsi yang berjudul Analisis Campur Kode dalam Chicklit Cintapuccino membahas tentang bentuk-bentuk , jenis-jenis dan penyebab terjadinya campur kode pada Chicklit Cintapuccino. Bentuk campur kode yang muncul antara lain campur kode bentuk kata, bentuk dasar, bentuk turunan, berafiks, bentuk kata majemuk, bentuk frase dan bentuk klausa. Sedangkan jenis campur kode yang muncul antara lain campur kode ke dalam, dan campur kode keluar. Campur kode ke dalam meliputi campur kode bahasa Indonesia ragam informal dan bahasa Indonesia dialek Jakarta. Lalu campur kode ke luar meliputi campur kode bahasa Sunda, bahasa Inggris dan bahasa Jawa. Alih kode dan campur kode dalam chicklit Cintapuccino disebabkan oleh latar belakang penutur, hubungan antara penutur dengan lawan tutur dan pengaruh situasi tuturan.

Haryono (2010) dalam skripsinya yang berjudul Kode dan Alih Kode dalam Pertunjukan Wayang Kulit : Studi Kasus pada Lakon “Kresna Duta” oleh Ki Timbul Hadiprayitno membahas tentang bahasa, tingkat tutur, dan ragam bahasa yang terdapat pada pertunjukan wayang kulit lakon “Kresna Duta” oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno, ada beberapa tingkat tutur yang dijabarkan. Tingkat tutur ini merupakan tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Ragam bahasa yang dimaksudkan disini adalah ragam bahasa kedaerahan atau dialek.

(7)

Sanga (2013) membahas wujud, jenis dan alasan alih kode dan campur kode dalam lirik lagu Big Bang pada skripsinya yang berjudul Alih Kode dan Campur Kode dalam Lirik Lagu Big Bang. Jenis alih kode yang ditemukan pada lirik lagu Big Bang adalah eksternal. Alih kodenya berwujud antarkalimat (intersential switching) dan intrakalimat (ntrasentential switching). Alasan alih kode ada beberapa, antara lain menyesuaikan dengan kode bahasa yang dikuasai lawan tutur, ketidakmampuan menggunakan kode bahasa yang sedang dipakai untuk waktu yang lama secara terus menerus. Berubahnya lawan tutur, dan maksud-maksud tertentu penutur. Jenis campur kode yang terdapat dalam skripsi ini adalah keluar. Campur kodenya berupa penyisipan kata, prosa, klausa, dan pengulangan kata. Alasan dilakukannya campur kode adalah unsur bahasa yang disisipkan lebih umum digunakan, untuk memberi kesan berwibawa, untuk memperluas gaya bahasa, dan untuk menunjukkan kalau penulis dan penyanyi menguasai bahasa asing. Lalu selain itu alasannya adalah mengekspresikan perasaan distrust, mengekspresikan sebuah permohonan, mengekspresikan keterkejutan, menegaskan maksud kalimat, dan menyelaraskan bunyi dan irama.

1.7. Landasan Teori

Suatu bidang ilmu dapat dikaji dengan berbagai cara, begitu pula dengan bahasa yang merupakan alat komunikasi dan interaksi manusia. Bahasa, seperti dikutip dari Chaer (2010: 1) dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Internal memiliki arti pengkajian hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa

(8)

tersebut, yang hasilnya hanya akan berhubungan dengan bahasa tersebut. Berbeda dengan kajian internal, penelitian eksternal berhubungan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian bahasa tersebut di dalam kelompok sosial kemasyarakatan. Penelitian eksternal melibatkan dua atau lebih disiplin ilmu, atau antardisiplin.

Sosiolinguistik disebut sebagai ilmu antardisiplin, karena seperti disebutkan oleh Chaer (2010: 1) bersumber dari sosiologi dan linguistik. Kata sosiolinguistik sendiri berasal dari dua ilmu yang mendasarinya yaitu sosio- yang berarti masyarakat dan linguistik yang memiliki maksud kajian bahasa. Ilmu antardisiplin ini berurusan dengan manusia dan bahasa yang digunakannya, seperti disebutkan oleh berbagai ahli sosiolinguistik. Demi mendapatkan pemahaman atas arti sosioliguistik, kedua disiplin ilmu yang merupakan akarnya patut dijelaskan terlebih dahulu.

Swingewood (Faruk, 1994:1) dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Pendapat ini sejalan dengan Damono (1984: 6) yang menyatakan sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; tentang lembaga dan proses sosial. Menurut Kridalaksana (2008:24) bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dapat dilihat hubungan antara bahasa dan sosiologi disini. Bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk melakukan kegiatan sosial.

(9)

Wijana (2006: 7) menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa itu di dalam masyarakat. Seorang manusia tentu akan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Cara komunikasinya bisa berupa dengan berbicara langsung dengan seseorang, atau dengan cara tidak langsung. Cara tidak langsung maksudnya adalah melalui suatu sarana tertentu. Misalnya melalui sarana seni atau media, baik elektronik, cetak atau yang lainnya.

Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda, hal ini juga berlaku pada bahasa yang digunakan. Satu masyarakat tutur yang bersifat terbuka, bila berhubungan dengan masyarakat tutur yang lain akan mengalami kontak bahasa, seperti disampaikan oleh Chaer (2010: 84). Hal ini tidak akan terjadi bila masyarakat tutur tersebut bersifat tertutup. Akan terjadi peristiwa-peristiwa kebahasaan akibat terjadinya kontak bahasa. Beberapa peristiwa-peristiwa itu antara lain adalah bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi, dan pergeseran bahasa.

Kode biasa digunakan oleh orang-orang di berbagai kesempatan yang berbeda. Seperti diungkapkan oleh Kridalaksana (2008: 102) kode adalah lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, sistem bahasa dalam suatu masyarakat atau variasi tertentu dalam suatu bahasa. Kode atau bahasa dalam praktiknya dapat dipergunakan sendiri atau digabungkan dengan kode atau bahasa lain. Beberapa praktik penggabungan atau perpindahan kode yang akan dibahas disini adalah alih kode dan campur kode.

(10)

Dua dari beberapa masalah sosiolinguistik yang muncul di masyarakat multilingual adalah alih kode (code-switching), dan campur kode (code-mixing). Alih kode terjadi saat adanya tindakan peralihan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dalam satu ujaran atau percakapan. Campur kode (code-mixing) memiliki arti penyisipan unsur-unsur bahasa, dari satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam bahasa yang lain. Nababan (1984:32) menyatakan bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa yang terjadi bila orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur.

Appel (1976 :79 via Chaer) mendefinisikan alih kode sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Kridalaksana (2008: 7) setuju dengan pendapat ini dan menambahkan bahwa alih kode adalah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain. Seperti dinyatakan oleh Hymes (1974: 103) alih kode dapat terjadi tidak hanya antarbahasa, namun juga dapat dilakukan antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa, atau bahkan dalam gaya yang terdapat pada sauatu bahasa. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah terjadinya peralihan antarbahasa atau ragam dan gaya bahasa dalam satu ujaran atau percakapan yang disebabkan karena berubahnya situasi atau partisipasi lain.

Soewito (via Chaer 2010 : 114) membedakan dua jenis alih kode, yaitu alih kode intern (internal code switching) dan alih kode ekstern (external code switching). Suatu kode dikategorikan alih kode intern bila perubahan kode yang dilakukan masih dalam varian atau ragam dalam bahasa tersebut, termasuk dengan

(11)

penggunaan bahasa daerah. Bila perubahan terjadi dalam bahasa serumpun, alih kode juga termasuk dalam alih kode intern. Contohnya seseorang awalnya berbicara dengan bahasa Indonesia, namun pada kalimat selanjutnya ia melanjutkan dengan bahasa Jawa, maka alih kode yang digunakan termasuk alih kode intern. Bila alih kode yang digunakan menggunakan bahasa asing, atau bahasa diluar bahasa nasional dan daerah maka alih kode dikatakan sebagai alih kode eksternal. Seorang turis Indonesia yang mengunjungi Inggris dan kehilangan arah misalnya, bertanya menggunakan bahasa Inggris kepada polisi di Inggris. Sebelumnya turis tersebut berbicara dengan bahasa Indonesia dengan rekannya yang berasal dari Indonesia juga.

Berbagai kepustakaan linguistik, seperti disebutkan oleh Chaer (2010: 108), merumuskan penyebab alih kode umum menjadi (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan. Pertama, pembicara atau penutur menggunakan alih kode untuk mendapatkan keuntungan demi dirinya sendiri, adalah penyebab alih kode pertama. Penggunaan alih kode dirasa oleh penutur dapat memberikan nilai tambah yang tidak akan diraih hanya dengan menggunakan bahasa asli penutur. Hal ini kontras dengan faktor alih kode kedua yaitu lawan tutur. Pada faktor ini keuntungan dipusatkan kepada lawan bicara. Alih kode digunakan agar pendengar dapat mengerti suatu maksud penutur. Pembicara menggunakan bahasa yang sama-sama dikuasai olehnya dan lawan tutur untuk membantu pendengar.

(12)

Kedatangan pihak ketiga yang tidak menguasai kode yang dikuasai oleh pihak pertama dan kedua dapat menyebabkan alih kode juga. Sebelum pihak ketiga muncul, penutur dan pendengar berbicara dalam satu kode, namun dengan hadirnya pihak ketiga, terjadi alih kode. Hal ini dilakukan agar pihak ketiga dapat mengikuti percakapan yang terjadi. Kode yang dipilih adalah kode yang dikuasai ketiga pihak.

Faktor keempat atau perubahan dari formal ke informal dikarenakan situasi yang berbeda membuat orang merasa perlunya alih kode dilakukan. Hal ini dapat terjadi misalnya pada sebuah rapat kelas. Saat rapat dimulai situasinya formal, dan setelah rapat selesai situasinya kembali ke informal.

Selain keempat faktor diatas perubahan topik juga dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Disini alih kode menjadi tolak ukur sebuah topik baru. Hal ini dapat terjadi karena seseorang merasa perlu untuk berbicara dengan bahasa yang berbeda dari bahasa awalnya saat berbicara dengan sebuah topik yang spesifik. Berbagai alasan dapat melatar belakanginya, misalnya karena seseorang merasa lebih nyaman berbicara dengan bahasa tersebut, dan lain sebagainya.

Campur kode (code-mixing) terjadi bila seorang penutur menyisipkan unsur bahasa lain ke dalam tuturannya. Seperti disebutkan oleh Hoffman (1991 : 104), campur kode adalah perpindahan yang terjadi di dalam kalimat. Inovasi kebahasaan seperti campur kode, diungkapkan oleh Weinrich (1963: 56), disebabkan oleh kebutuhan manusia untuk menemukan suatu hal yang baru. Sebagaimana diungkapkan oleh Kridalaksana (1982:32), batasan campur kode

(13)

adalah sebagai penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lainnya untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, dan sebagainya.

Menurut Suwito dalam Sanga (2013 :14), ada dua jenis campur kode menurut asal bahasanya, yaitu campur kode ke luar (outer code-mixing) dan campur kode ke dalam (inner code-mixing). Campur kode ke luar artinya terjadi penyisipan unsur bahasa asing dalam suatu kalimat. Contohnya adalah kalimat bahasa Indonesia yang disisipi bahasa Inggris, atau kalimat bahasa Inggris yang disisipi bahasa Indonesia. Sedangkan campur kode ke dalam adalah perubahan kode yang terjadi dalam satu masyarakat, antardialek dalam satu bahasa daerah atau antar beberapa gaya dan ragam yang terdapat dalam satu daerah. Hal ini termasuk bahasa serumpun, seperti dalam kasus bahasa Cina, Korea dan Jepang. Jika seseorang berbicara dengan bahasa daerah namun disisipi dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya, itu berarti orang tersebut telah melakukan campur kode ke dalam. Konsep campur kode ke luar dan ke dalam mirip dengan konsep alih kode intern dan ekstern.

Seorang bilingualis dapat memilih untuk tetap menggunakan bahasa asing atau kembali ke bahasanya sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Sebagai contoh, seorang pembicara dapat terus menggunakan kode bahasa asing saat berbicara dengan lawan bicaranya yang memiliki latar belakang bahasa yang sama.

Penyebab campur kode diteliti dengan teori Weinrich (1963: 56-61) yang memfokuskan pada alasan internal. Faktor ini terdiri dari (1) low frequency or word (frekuensi penggunaan kata yang rendah) , (2) pernicious homonymy

(14)

(homonitas yang buruk), (3) need for synonym (kebutuhan akan sinonim), (4) perkembangan atau perkenalan dengan budaya baru, (5) feel that some of his semantic fields are insufficiently differentiated (perasaan bahwa beberapa bagian dari bidang semantik bahasanya kurang detail), lalu (6) social value (nilai sosial) dan yang terakhir adalah (7) oversight (kelalaian).

Faktor pertama, yaitu low frequency of word memiliki maksud kurangnya frekuensi suatu kata digunakan. Kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya daripada dalam bahasa asli. Hal ini dapat terjadi bila kata dalam bahasa asing lebih sering ditemukan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Alasan lainnya adalah bila kata dari bahasa asing tersebut merupakan kata yang biasa dipilih untuk menjelaskan suatu keadaan atau hal pada satu kesempatan atau situasi tertentu. Hal ini bisa juga terjadi bila pada suatu tempat terdapat berbagai dialek yang berbeda untuk menyatakan suatu hal khusus. Penggunaan kode bahasa asing akan memudahkan baik penutur dan pendengar untuk mengerti maksud pembicaraan.

Faktor kedua yaitu pernicious homonymy berhubungan dengan homonitas satu kata. Demi menghindari kebingungan karena adanya persamaan ejaan dengan kata lain dalam satu bahasa (homonim), maka campur kode dilakukan. Bila penutur menggunakan bahasa dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim. Homonim memiliki arti kata-kata yang memiliki pengejaan dan cara baca yang sama namun mempunyai arti yang berbeda.

(15)

Faktor selanjutnya adalah need for synonym atau kebutuhan untuk mendapatkan sinonim. Terkadang suatu kata tidak dapat memenuhi ekspresi yang diinginkan oleh pembicara. Jika seseorang ingin menyampaikan sesuatu tetapi tidak menemukan ujaran yang tepat dalam satu kode, ia dapat menggunakan kode asing yang dianggapnya lebih tepat. Sebuah bahasa terkadang memiliki berbagai kata untuk menjelaskan satu hal. Masalah ini mungkin merupakan hal yang tidak biasa di semua tempat.

Sebagai contoh, Korea memilki berbagai kata untuk menggambarkan kata “biru”. Ada biru navy (곤색), biru muda (물빛), 퍼런색 (biru tua), deep blue

(lebih muda daripada 퍼런색) atau 짙은 푸른 빛, 강철색 yang diterjemahkan

menjadi biru elektrik, 선명한 남빛 (royal blue), 광택있는 청색 yang berarti biru

merak, 엷은 물빛 yang dapat diterjemahkan menjadi baby blue, dan biru kobalt

(코발트 청색). Selain kata “biru”, Korea juga memiliki banyak istilah untuk

beberapa warna lainnya seperti “kuning” dan “coklat”. Contoh lainnya adalah suatu ujaran dalam satu bahasa mungkin terdengar kurang sopan, dan dengan menggunakan ujaran dalam bahasa lain, akan didapat rasa bahasa yang lebih sopan. Weinrich (1963: 59) mengambil contoh dari penelitian VENDRTES (Le langage, Paris, 1921) yang menyebutkan bahwa orang Prancis mengganti istilah vomir yang memiliki arti muntah dengan sinonim yang lebih elegan yaitu rejeter,

(16)

renc/re (….in French itself, the same requirement has since led to replacement of vomir by more elegant synonyms (rejeter, renc/re)).

Social value dapat diartikan dengan nilai sosial. Bahasa asal (source language) campur kode adalah hal yang penting karena dapat menunjukkan apakah penggunaan campur kode akan memberikan efek negatif atau positif. Bila sebuah bahasa dianggap bergengsi, akan berefek positif, begitu pula sebaliknya. Tidak ada orang yang ingin terlihat bodoh, tidak berpendidikan, dan tidak mengikuti jaman. Menggunakan campur kode dapat dianggap satu simbol bahwa seseorang adalah tokoh yang modern dan berpedidikan. Alasannya adalah karena jika seseorang banyak belajar atau membaca, informasi-informasi yang didapat tidak akan hanya muncul dari sumber domestik namun juga dari sumber luar. Dengan menyisipkan informasi beserta istilah dalam bahasa asing, seseorang mencitrakan dirinya sebagai orang yang berkelas dan pintar. Hal ini adalah salah satu efek positif yang dapat diberikan oleh penggunaan campur kode dan alih kode.

Faktor kelima perkembangan dan perkenalan dengan budaya baru. Bila seseorang berkenalan dengan budaya baru otomatis akan terjadi pertukaran budaya, dan juga bahasa. Hal ini menyebabkan seseorang secara sadar ataupun tidak sadar akan mencomot bahasa hasil perkenalannya dengan budaya baru. Misalnya seseorang yang bertani di Indonesia akan menggunakan istilah pertanian Indonesia, bila orang ini pindah ke Jepang, ia akan menggunakan istilah pertanian Jepang saat bertani. Ini dapat disebabkan karena adanya istilah khusus yang tidak ada pada bahasa asli penutur.

(17)

Selanjutnya adalah feel that some of his semantic fields are insufficiently differentiated atau perasaan bahwa beberapa bidang semantiknya kurang memiliki perbedaan. Seorang bilingualis adalah seseorang yang menguasai lebih dari dua bahasa. Oleh sebab itu ia secara sadar ia akan membandingkan bahasa-bahasa yang dikuasainya. Perbandingan antarbahasa tersebut membuatnya merasa bahwa beberapa bagian dari bidang semantik bahasa aslinya kurang dibedakan. Contohnya seperti diungkapkan oleh Jaberg (1939: 237, via: Weinrich), pembicara berdialek Ialia di Switzerland pada awalnya menggunakan kata corona, untuk menyatakan ‘wreath (rangkaian bunga berbentuk lingkaran)’ dan ‘crown (mahkota)’. Tetapi, sebagai hasil dari kontak bahasa dengan bahasa Jerman, mereka merasakan kebutuhan untuk membedakan istilah tersebut. Akhirnya digunakan ‘kranz’ untuk ‘wreath’ dan ‘corona’ dipakai untuk menjelaskan ‘crown’.

Faktor terakhir adalah oversight atau kelalaian. Oversight memiliki arti gagal menyadari atau melihat sesuatu secara tidak sengaja (unintentional failure to notice or do something). Seseorang tidak mengetahui bahwa ada kata yang dapat menjelaskan satu keadaan atau istilah. Hal ini misalnya adalah keterbatasan kata-kata yang dimiliki penutur pada saat interaksi terjadi, ada kemungkinan bahwa penutur mengetahui ada kata yang dapat menggantikan kata tersebut, namun ia lupa pada saat itu. Campur kode digunakan untuk mengisi kata dalam bahasa penutur.

Seperti dilihat pada penjelasan diatas yang dikutip dari berbagai ahli, campur kode dan alih kode memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan.

(18)

Persamaan yang dapat ditarik diantaranya adalah keduanya sama-sama menunjukkan penggunaan kode yang berbeda dari kode awal yang dilakukan oleh subjek. Penguasaan lebih dari satu bahasa memungkinkan hal ini untuk terjadi. Perubahan yang terjadi di dalam campur kode dan alih kode dapat berupa perubahan permanen dan non-permanen (sementara). Alasan penggunaan campur kode dan alih kode sama-sama berhubungan dengan manusia, dan situasi pada saat percakapan terjadi. Perbedaannya adalah jika dilihat dari sudut pandang gramatikal, seseorang dapat disebut melakukan campur kode bila ia memakai satu kata atau frase dari satu bahasa. Sedangkan alih kode terjadi bila satu klausa memiliki struktur gramatika bahasa lain (Fasold via Chaer 2010: 115). Seperti disampaikan oleh Chaer (2010 :114) , dalam alih kode setiap bentuk ragam bahasa memiliki fungsi otonomi masing-masing, tidak mengikuti kode dasar bahasa lain. Sedangkan dalam campur kode, ragam bahasa tersebut hanya berupa serpihan tanpa fungsi keotonomiannya sendiri.

(1) 문비소 : private한 비공식 파티로요.

(Mun Biso : privatehan bigongsik patiroyo.)

Sekertaris Mun : (dengan cara) pesta informal privat. (drama Cheongdam-dong Alice episode 5)

(2) Seo YunJu : L’effort est ma force.

Seo YunJu : upaya adalah kekuatanku. (drama Cheongdam-dong Alice episode 1)

Contoh pertama adalah campur kode, dapat dilihat bahwa kata bahasa asing mengikuti aturan gramatika bahasa Korea. Bila ia berdiri sendiri tentu ia tidak akan mendapat tambahan kata –하다 dibelakang dan mengikuti aturan gramatika

(19)

aturan gramatika bahasa Prancis meskipun yang berbicara orang Korea, hal ini disebut alih kode.

1.8. Sumber dan Metodologi Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah kalimat-kalimat yang diucapkan oleh tokoh-tokoh dalam drama Cheongdam-dong Alice. Hal ini termasuk juga narasi yang mengandung unsur campur kode dan alih kode dari episode satu sampai sepuluh. Narasi yang terdapat dalam drama diucapkan oleh salah satu tokohnya, maka itu dianggap sebagai kalimat yang diucapkan oleh tokoh.

Penelitian ini akan dilakukan dengan langkah-langkah yang berurutan. Pertama menentukan objek material, yaitu drama Cheongdam-dong Alice. Data yang digunakan sebagai sampel adalah episode 1 sampai 10. Materi didapatkan dari media internet. Setelah objek material ditemukan, ditentukan objek formal. Objek formal yang dipilih adalah alih kode dan campur kode yang terjadi dalam percakapan di drama Cheongdam-dong Alice. Setelah hal tersebut dilakukan, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan dan mengklasifikasikan data. Teknik pengumpulan menggunakan teknik catat. Data yang ditemukan dicatat dan dikelompokkan untuk dianalisis nantinya.

Setelah melihat data, ditentukan teori yang sesuai. Dipilih teori yang dirasa paling cocok untuk membahas data. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif. Setelah analisis dilakukan, akan ditarik kesimpulan. Hasil data diolah dan analisis data disajikan dengan menggunakan metode informal, yaitu dengan

(20)

kata-kata bermakna denotatif. Hasil analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan deskripsi verbal tanpa lambang-lambang atau simbol agar mudah dimengerti oleh pembaca.

1.9. Sistematika Penyajian

Skripsi ini akan disajikan dalam tiga bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, sumber dan metodologi penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II berisi analisis data rumusan masalah yaitu jenis, dan alasan munculnya campur kode dan alih kode dalam drama Cheongdam-dong Alice dengan teori pendekatan alih kode dan campur kode dalam bidang sosiolinguistik. Bab III berisi penutup yang berupa kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Gaya bahasa berdasarkan ketidak langsungan makna biasa disebut sebagai trope atau figure of speech, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau

Penulis berharap hasil penelitian ini berguna khususnya bagi pembelajar bahasa Jepang UPI Bandung semester lima dan enam, pada saat kesulitan dalam memahami arti, fungsi,

Untuk menjelaskan perbedaan antara hasil belajar yang diajar dengan pembelajaran menggunakan Modul dengan pembelajaran Klasik pada standar kompetensi pemeliharaan sistem

Perhitungan jarak yang dipakai untuk menentukan jarak antar-histogram adalah jarak Euclidean, yang akan menghitung jarak histogram warna dari citra tanah sebagai data uji

Dengan kata lain, nilai permainan adalah suatu pembayaran yang bersesuaian dengan strategi optimum yang dilakukan oleh kedua pemain tersebut.. Yang dimaksud dengan nilai

kelemahan perangkat pada uji coba I. Revisi terhadap RPP akan diarahkan agar pembelajaran dapat lebih meningkatkan kemampuan pemecahan masalah khususnya pada aspek memahami

Tingkat pengetahuan ibu hamil berdasarkan definisi kebudayaan, terutama pada pertanyaan tentang kehamilan merupakan proses alamiah sebagai kodratnya sebagai perempuan,