• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri di Indonesia Karakteristik Penyakit Hawar Daun Bakteri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri di Indonesia Karakteristik Penyakit Hawar Daun Bakteri"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri di Indonesia

Hawar daun bakteri pertama kali dilaporkan di Jepang tahun 1884, dari Jepang menyebar secara luas di Asia seperi di Srilangka, Filipina, dan Pakistan (Yamasaki et al. 2006). Salah satu penyakit padi terpenting di banyak negara penghasil beras termasuk Indonesia. Di Indonesia, HDB pertama kali disebabkan oleh organisme Xanthomonas sp. (Zhang 2006). Namun hasil penelitian Goto (1998) menunjukkan bahwa patogen penyebab HDB di Indonesia sama seperti yang menyerang tanaman padi di Jepang, sehingga namanya diganti menjadi Xanthomonas oryzae. Pada tahun 1976, nama patogen ini menjadi Xanthomonas campestris pv. oryzae dan sejak tahun 1992 diganti menjadi Xanthomonas oryzae pv. oryzae.

Karakteristik Penyakit Hawar Daun Bakteri

Penyakit hawar daun bakteri disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Bakteri ini berbentuk batang dengan koloni berwarna kuning. Memiliki virulensi yang bervariasi tergantung kemampuannya untuk menginfeksi varietas padi yang mempunyai gen resistensi berbeda. Penyakit ini tidak hanya menyerang pada fase bibit, tetapi juga menyerang tanaman dewasa. Gejala yang ditimbulkan akibat serangan Xoo adalah infeksi sistemik dan nekrosis (Ratna 2000). Yamasaki et al. (2006) menyatakan ada dua tipe gejala, yaitu kresek dan hawar daun. Hawar daun (blight) ialah gejala yang timbul pada fase generatif, ditandai dengan munculnya garis pada ujung tepi daun. Garis tersebut semakin memanjang dan melebar, sehingga menyebabkan warna menjadi kuning sampai putih dan dapat menutup ujung daun. Akibatnya tanaman yang terinfeksi berat akan menghasilkan gabah hampa sehingga produksi rendah.

Pengendalian penyakit HDB pada tanaman padi masih sulit dilakukan, karena Xoo mempunyai daerah pencar yang luas serta mempunyai kemampuan untuk beradaptasi pada tumbuhan inang alternatif, seperti pada beberapa jenis gulma. Xoo dapat bertahan di dalam tanah selama satu sampai tiga bulan

(2)

tergantung pada kelembaban dan keasaman tanah, serta pada sisa-sisa jerami dan biji yang terinfeksi (Yamasaki et al. 2006).

Karakter iklim tropis menyebabkan semakin banyak galur patogen yang ditemukan di wilayah tropis. Di Indonesia hingga saat ini telah ditemukan sekitar 12 galur Xoo dengan tingkat virulensi yang berbeda. Galur IV dan VIII mendominasi serangan HDB pada tanaman padi di Indonesia (Suparyono et al. 2003). Isolat galur VIII tersebar paling luas dan mendominasi di lapangan, sedangkan galur IV kurang meluas, tetapi mempunyai virulensi tertinggi dan umumnya semua varietas padi peka terhadap kelompok isolat ini. Perkembangan penyakit sangat tergantung pada cuaca dan ketahanan tanaman (Goto 1998).

Keragaman komposisi galur Xoo dipengaruhi oleh stadium tumbuh tanaman padi. Dominasi kelompok galur yang ditemukan pada stadium anakan, berbunga, dan pemasakan berbeda. Fenomena ketahanan tanaman dewasa, mutasi, dan karakter heterogenisitas alamiah populasi mikroorganisme diperkirakan sebagai faktor yang mempengaruhi komposisi galur dengan stadium tumbuh tanaman padi (Suparyono et al. 2003).

Mekanisme Xanthomonas oryzae pv. oryzae dalam Menginfeksi Tanaman Bakteri Xoo menginfeksi tanaman melalui hidatoda atau luka. Penyebaran penyakit melalui kontak fisik antara daun yang terinfeksi dengan daun yang sehat, melalui aliran irigasi dari satu lahan ke lahan lainnya. Selain itu lingkungan yang lembab dan jarak tanam yang terlalu rapat juga mempermudah penularan penyakit ini (Khaeruni 2001).

Bakteri masuk ke dalam jaringan tanaman, lalu memperbanyak diri di dalam epidermis yang menghubungkan dengan pembuluh pengangkut, kemudian tersebar ke jaringan lainnya dan menimbulkan gejala. Infeksi yang terjadi pada pembibitan menyebabkan bibit menjadi kering. Bakteri menginfeksi masuk melalui sistem vaskular tanaman padi pada saat pindah tanam atau pada saat dicabut dari tempat pembibitan sehingga akarnya rusak, atau terjadi infeksi pada saat daun rusak (Suparyono et al. 2003).

Penyakit dapat terjadi pada semua stadia tanaman. Namun pada umumnya terjadi saat tanaman mulai mencapai anakan maksimum sampai fase berbunga.

(3)

Gejala penyakit disebut kresek pada stadia bibit, sedang gejala stadia tanaman yang lebih lanjut disebut hawar. Gejala diawali dengan bercak kelabu umumnya di bagian pinggir daun. Bercak berkembang terus pada varietas yang rentan dan akhirnya membentuk hawar. Ketika kondisi menjadi parah, tanaman terlihat kering seperti terbakar (Suparyono et al. 2003).

Pergeseran Patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae

Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) membentuk galur-galur baru di lapangan sejalan dengan perkembangan penggunaan varietas padi. Perbedaan virulensi antara Xoo yang dikumpulkan dari berbagai daerah merupakan dinamika interaksi antara inang dan patogen yang dapat dibedakan menjadi varietas diferensial dan kelompok di pihak patogen (Goto 1998).

Xanthomonas oryzae pv. oryzae dikatakan sebagai spesies kompleks. Hal ini didasari oleh penyebaran yang luas, keragaman genetik, filogenetik, dan molekuler dari galur-galur yang menyerang tanaman (Tsuyuma et al. 1996). Galur III mempunyai daerah sebaran yang paling luas, meliputi Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa, dan Bali. Perbedaan virulensi dari isolat Xoo dipengaruhi oleh gen virulensi yang dimilikinya. Bila terdapat gen virulensi patogen Xoo yang kompatibel dengan gen ketahanan inang (padi), maka patogen tersebut mampu menyerang inang. Berdasarkan pola virulensinya terhadap varietas uji (galur isogenik), isolat yang termasuk dalam kelompok galur IV diduga sekurang-kurangnya memiliki 8 gen virulen, yaitu v-1, v-2, v-3, v-8, v-10, v-11, v-12, dan v-14. Isolat yang termasuk ke dalam kelompok galur III hanya memiliki 7 gen virulen, yaitu v-1, v-4, v-8, v-10, v-11, v-12, dan v-14 (Yamasaki et al. 2006).

Tsuyuma et al. (1996) melaporkan bahwa interaksi antagonis antara dua galur tipe liar bakteri hawar daun yaitu Xoo dari Filipina dan Korea, ternyata galur liar Filipina dapat menghambat galur liar Korea bila galur ini dicampur dalam satu inokulasi. Selanjutnya mutan nonpatogenik galur Filipina mengendalikan antagonistik pada bakteri lain. Ternyata galur tipe liar Filipina dan mutan nonpatogenik dapat menghambat pertumbuhan galur Korea setelah dua hari diinfeksi dan lebih dahulu menyebabkan symptoms penyakit. Ketika

(4)

penggabungan dengan mutan nonpatogenik, 10-18 macam Xoo tipe liar tidak menyebabkan penyakit. Sebaliknya tiga dari galur nonpatogenik dapat menghambat tipe liar dan mutan galur Filipina.

Pertambahan kelompok galur Xoo maka pengendalian penyakit HDB menjadi semakin sulit. Oleh karena itu, pergeseran galur Xoo perlu terus dipantau untuk mengetahui kelompok galur Xoo yang akan digunakan dalam program pemuliaan padi dan untuk dijadikan acuan dalam menentukan varietas padi yang akan direkomendasikan untuk suatu wilayah (Suparyono et al. 2003).

Pencarian Sumber Ketahanan Tanaman Padi terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri

Varietas tahan merupakan komponen utama pengendalian HDB secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan tidak merusak lingkungan. Tetapi keefektifan varietas yang tahan ini dipengaruhi oleh interaksi antara gen pembawa sifat tahan yang dimilikinya dan gen virulensi pada populasi Xoo yang terdapat di suatu wilayah (Yamasaki et al. 2006).

Galur Xoo berbeda dari suatu daerah dengan daerah lain, dan dari suatu negara dengan negara lain. Varietas padi yang tahan terhadap galur Xoo asal Filipina belum dapat dipastikan akan bereaksi tahan terhadap galur asal Indonesia atau negara lain, sehingga perlu adanya pengujian ulang. Varietas dengan gen ketahanan xa-5 bereaksi tahan terhadap semua galur asal Filipina, sedangkan varietas dengan gen ketahanan xa-4 seperti yang dimiliki IR64 hanya tahan terhadap galur I asal Filipina (Yamasaki et al. 2006). Oleh karena itu gen ketahanan yang masih efektif di suatu wilayah perlu diidentifikasi dengan seksama.

Penggunaan bakteri isogenik yang nonpatogen melalui mutagenesis menggunakan transposon merupakan salah satu cara untuk mendapatkan varietas yang tahan terhadap HDB. Transposon akan menyisip ke dalam genom dan terutama sekuen DNA yang berperan dalam regulasi suatu proses fisiologi tertentu seperti sifat virulen, sehingga menyebabkan perubahan ekspresi gen. Selanjutnya akan dihasilkan mutan Xoo yang tidak menginduksi reaksi hipersensitif sehingga kehilangan atau berkurang sifat virulennya. Pemanfaatan mutan bakteri yang

(5)

berkurang sifat virulennya mampu mengurangi kerugian produksi padi akibat penyakit HDB. Mutan yang dihasilkan secara genetik sama dengan tipe liarnya disebut isogenik. Mutan isogenik yang nonpatogenik diharapkan mampu menekan pertumbuhan tipe liarnya dengan cara kompetisi. Penggunaan mutan isogenik tersebut lebih menguntungkan karena mutan akan berperilaku sama dengan tipe liarnya dalam merespon perubahan lingkungan sehingga memiliki kesintasan yang sama di alam (Nakayachi 1995).

Menurut Sugio et al. (2005) bahwa mutasi gen hrpF pada bakteri Xoo tidak menghilangkan patogenitasnya tetapi dapat mengurangi kemampuan bakteri untuk tumbuh pada padi dan juga mengurangi kemampuannya dalam menyebabkan gejala HDB. Hal ini disebabkan keterlibatan gen-gen lain yang menentukan sifat virulen Xoo. Beberapa gen yang diketahui berperan dalam menentukan virulensi Xoo antara lain gumG, xps, aroE, rpfF, pgi, purH, dan eglXoB, sehingga mutasi pada gen hrp Xoo tidak dapat secara langsung menghilangkan seluruh sifat patogenitasnya pada tanaman padi (Hu et al. 2007).

Pengendalian Hawar Daun Bakteri secara Kultur Teknis

Intensitas serangan HDB tidak hanya dipengaruhi oleh ketahanan varietas dan virulensi patogen, tetapi juga dipengaruhi oleh teknik bercocok tanam yang diterapkan oleh petani. Sama halnya dengan penyakit-penyakit padi lainnya, penyakit HDB mempunyai hubungan yang jelas dengan pemupukan, khususnya pemupukan nitrogen. Pemberian pupuk N dengan dosis tertentu untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan produktivitas. Sebaliknya pemupukan N dengan dosis yang tinggi akan meningkatkan kerusakan pada varietas dengan ketahanan, walaupun pada varietas yang resisten dampaknya relatif kecil. Oleh karena itu, pemupukan N yang berlebihan sebaiknya dihindarkan. Selain pemupukan sesuai dosis anjuran, pergiliran varietas dan tanaman, sanitasi dan eradikasi pada tanaman yang terserang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit HDB pada suatu daerah tertentu (Tsuyuma et al. 1996).

(6)

Pengendalian Hawar Daun Bakteri secara Hayati

Kondisi lingkungan yang cocok untuk perkembangan penyakit dapat mendorong penyakit berkembang lebih pesat. Arwiyanto et al. (2007) melaporkan bahwa petani belum melakukan pengelolaan penyakit secara benar misalnya masih menggunakan bibit padi yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri, membiarkan sisa-sisa tanaman sakit, dan tidak melakukan pemupukan sehingga dapat memacu perkembangan penyakit HDB. Pengendalian penyakit tanaman di Indonesia selama ini lebih banyak mengandalkan penggunaan pestisida, namun akibat efek samping yang ditimbulkan maka penggunaannya mulai dikurangi karena residu yang ditinggalkan dapat bersifat racun dan karsinogenik.

Pengendalian bakteri patogen lebih efektif bila dilakukan secara terpadu dengan mengkombinasikan berbagai teknik pengendalian, meliputi varietas tahan atau toleran, teknik budidaya (pergiliran tanaman, bahan organik, pemupukan), pengendalian menggunakan agen biokontrol, pestisida nabati dan membatasi penyebaran bakteri patogen termasuk pengaturan karantina (Arwiyanto et al. 2007).

Menurut Pal dan Gardener (2006) biokontrol telah digunakan dalam berbagai bidang biologi, terutama entomologi dan patologi tanaman. Bidang entomologi menggunakan predator serangga hidup, nematoda entomopatogen, atau mikrob patogen untuk menekan populasi hama serangga. Dalam patologi tanaman penggunaan berjangka mikrob antagonis untuk menekan penyakit serta penggunaan patogen inang spesifik untuk mengendalikan populasi patogen lainnya. Organisme yang menekan hama atau patogen disebut sebagai agen biokontrol. Agen biokontrol umumnya menghasilkan antibiotik dalam jumlah relatif kecil sehingga kosentrasi di alam relatif rendah, walaupun senyawa tersebut mempunyai spektrum yang luas namun tidak memberikan tekanan yang terlalu kuat terhadap patogen sehingga tidak menimbulkan resistensi (Nawangsih 2006).

Pengembangan agen biokontrol sebagai komponen pengendalian penyakit HDB pada tanaman padi secara terpadu yang ramah lingkungan perlu dikembangkan dan diharapkan menjadi alternatif pengendalian yang penting dalam era pertanian yang berkelanjutan. Keuntungan biokontrol antara lain lebih

(7)

aman, tidak terakumulasi dalam rantai makanan, adanya proses reproduksi sehingga dapat mengurangi pemakaian yang berulang-ulang dan dapat digunakan secara bersama-sama dengan pengendalian yang telah ada. Penggunaan agen biokontrol dalam skala luas di lapangan memerlukan beberapa kriteria antara lain formulasi agen biokontrol mudah diaplikasi di lapangan, pembiakan massal dan bahan formulasi yang murah dan mudah didapatkan, serta agen biokontrol mampu bertahan pada waktu yang relatif lama dalam bahan formulasinya di suhu ruang (Dirmawati 2005).

Sebagian besar pekerjaan di bidang biokontrol masih dalam taraf percobaan dan kajian kelayakan ekonomi, seperti halnya biokontrol penyakit HDB masih dalam taraf pengujian di laboratorium dan rumah kaca. Hasil penelitian Khaeruni (2001) menunjukkan bahwa terdapat sejumlah bakteri filosfer yang diisolasi dari daun padi berpotensi sebagai agen biokontrol penyakit HDB pada skala rumah kaca. Demikian pula Machmud dan Farida (1995) melaporkan bahwa bakteri filosfer Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. yang diisolasi dari daun dan batang tanaman padi berpotensi sebagai agen biokontrol penyakit HDB pada padi secara in vitro.

Kemampuan bakteri tanah bertahan hidup diduga sangat tergantung pada keberadaan tanaman inang. Bakteri patogen yang spesifik pada tanaman inang terdapat pada lahan tertentu. Hal tersebut berkaitan dengan faktor lingkungan, baik faktor abiotik, seperti suhu, tipe tanah, dan curah hujan maupun faktor biotik, sebagai contoh keberadaan nematoda dapat memperparah serangan penyakit HDB pada tanaman padi (Agustiansyah 2009). Tanaman merespon berbagai stimulus lingkungan, termasuk gravitasi, cahaya, suhu, stres fisik, air, dan ketersediaan hara. Tanaman juga menanggapi berbagai rangsangan kimia yang diproduksi oleh tanah dan tanaman yang berasosiasi dengan mikrob. Rangsangan tersebut dapat menginduksi pertahanan tanaman melalui perubahan biokimia yang meningkatkan perlawanan terhadap infeksi berbagai patogen. Induksi pertahanan inang dapat bersifat lokal atau sistemik di alam tergantung pada jenis, sumber, dan jumlah rangsangan. Terdapat beberapa jalur induksi resistensi yang dirangsang oleh agen biokontrol. Jalur pertama disebut ketahanan sistemik yang diterima atau systemic acquired resistance (SAR) yang diperantarai

(8)

oleh asam salisilat (SA) yaitu senyawa yang sering diproduksi oleh mikrob yang menginfeksi dan biasanya mengarah ke ekspresi protein terkait patogenesis (PR). Protein PR ini termasuk beberapa enzim yang beragam yang bertindak secara langsung untuk melisiskan sel yang menyerang, memperkuat batas-batas dinding sel untuk melawan infeksi, atau menginduksi kematian sel lokal. Jalur lainnya ialah resistensi sistemik terinduksi atau induced systemic resistance (ISR), diperantarai oleh asam jasmonat (JA) atau etilen yang dihasilkan oleh beberapa rhizobacteria nonpatogen (Pal & Gardener 2006).

Senyawa Antimikrob yang Dihasilkan oleh Pseudomonas sp.

Bakteri Pseudomonas sp. mampu mendegradasi sejumlah besar senyawa organik, berinteraksi dengan tanaman dan berasosiasi dalam rizosfer yang bersifat menguntungkan di bidang pertanian dan sebagian lainnya dapat sebagai agen biokontrol (West 2005). Bakteri ini banyak menguntungkan bagi tanaman secara langsung, yaitu melalui pemacuan pertumbuhan dan peningkatan kesehatan tanaman, atau secara tidak langsung melalui penghambatan, kompetisi dengan patogen atau parasit (Loccoz & Defago 2004).

Bakteri Pseudomonas sp. sebagai agen pemacu pertumbuhan tanaman menghasilkan fitohormon dalam jumlah besar khususnya indole acetic acid (IAA) untuk merangsang pertumbuhan yaitu giberelin, sitokinin, dan etilen serta melarutkan fosfat, kalium atau nutrien lain sehingga tersedia bagi tanaman (Astuti 2008). Pada beberapa galur Pseudomonas sp. dapat membantu tanaman menghadapi cekaman lingkungan seperti kekurangan air dan nutrien serta pencemaran senyawa toksin (Shen 1997).

Selain sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, Pseudomonas sp. juga mempunyai kemampuan sebagai agen biokontrol terhadap serangan fungi patogen tanaman. Mekanisme dalam menekan pertumbuhan fungi patogen tanaman antara lain karena bakteri ini mampu menghasilkan senyawa siderofor, β-1,3 glukanase, kitinase, antibiosis, dan sianida (Chermin & Chet 2002).

Senyawa antimikrob juga dapat dihasilkan oleh bakteri Pseudomonas sp. seperti bakteriosin, fenazin, pioluteorin, pirolniftril, 2,4 diasetil floroglusinol, dan fusarisidin (Beatty & Susan 2002; Dwivedi & Johri 2003). Senyawa fenazin yang

(9)

diproduksi oleh Pseudomonas fluorescens 2-79 mampu menghambat Gaeumannomyces graminis var. tritici ketika diperlakukan pada benih gandum (Weller 1988). Velusamy et al. (2006) melaporkan 2,4 diasetil floroglusinol yang diproduksi oleh Pseudomonas sp. dapat menghambat pertumbuhan Xanthomonas oryzae pv. oryzae yang menyebabkan penyakit HDB pada tanaman padi. Hasil penelitian lainnya melaporkan bahwa agen biokontrol seperti Pseudomonas fluorescens mampu menghasilkan asam sianida (HCN) yang mampu menekan penyakit Black root pada tembakau (Zhang 2006). Sedangkan menurut Loccoz & Defago (2004) agen biokontrol mampu bertindak sebagai parasit bagi patogen secara langsung dengan cara mensekresikan enzim ekstraseluler (kitinase, protease, selulase) yang dapat melisis atau mendegradasi dinding sel patogen sehingga perkembangan patogen menjadi terhambat. Pseudomonas fluorescens memproduksi pigmen fluoresen berwarna kuning hijau berfungsi sebagai siderofor (Weller 1988), juga menghasilkan 2,4-diasetilfloroglusinol (Raaijmakers et al. 1999) yang mampu mengendalikan berbagai penyakit tular tanah.

Senyawa Antimikrob yang Dihasilkan oleh Bacillus sp.

Bakteri Bacillus sp. mampu membentuk endospora pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan sehingga dapat bertahan hidup. Kemampuannya dalam membentuk endospora menjadikan Bacillus sp. banyak digunakan dalam industri secara komersil karena dapat bertahan lama dan beradaptasi dengan formula dan bahan-bahan kimia yang diaplikasikan dalam tanah pertanian (Bai et al. 2003). Bakteri ini tergolong dalam bakteri aerob dan anaerob fakultatif (Holt et al. 1994).

Bakteri Bacillus sp. mempunyai kemampuan sebagai biokontrol penyakit tanaman dengan memproduksi antibiotik yang disekresikan saat kultur memasuki fase stasioner dan memproduksi antibiotik metabolit sekunder seperti enzim kitinase, mycobacilin, basitrasin, dan zwittermicin (Madigan et al. 2000). Bakteriosin merupakan senyawa antimikrob polipeptida yang disintesis di ribosom dan biasanya hanya menghambat galur-galur bakteri yang berkerabat dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin tersebut (Jack et al. 1995). Isramilda (2007) menyatakan bahwa isolat Bacillus sp. galur LTS 40 dapat menghasilkan

(10)

metabolit aktif yaitu bakteriosin. Secara in vitro bakteriosin dapat diproduksi kemudian dipekatkan dengan berbagai metode pengendapan sebagaimana metode pengendapan protein. Berbagai pelarut organik seperti aseton, metanol dan etanol dapat digunakan untuk mengendapkan bakteriosin. Beberapa jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh Bacillus ialah subtilin (B. subtilis), megacin (B. megaterium), ericin (B. subtilis), licherin (B. licherniformis), coagulin (B. coagulans), cerein (B. cereus), dan thuricin (B. thuringiensis) (Jack et al.1995). Senyawa antibiotik zwittermicin A yang diproduksi oleh B. cereus dilaporkan oleh Weller (1988) mampu menghambat pertumbuhan koloni Phytophthora medicaginic.

Bakteri B. subtilis dan B. cereus positif menghasilkan senyawa siderofor, sehingga bakteri ini mampu berkompetisi dengan bakteri patogen dalam menggunakan Fe3+ yang kosentrasinya sangat terbatas dalam tanah. Pengambilan Fe3+ oleh bakteri tidak mengganggu kebutuhan tanaman karena tanaman hanya membutuhkan dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan mikroorganisme (Nawangsih 2006). B. cereus galur UW85 mampu menghasilkan zwittermicin dan kanosamine. Kemampuan menghasilkan beberapa antibiotik mampu menekan beragam mikrob pesaing sebagai patogen tanaman (Pal & Gardener 2006).

Senyawa Antimikrob yang Dihasilkan oleh Serratia marcescens

Beberapa galur S. marcescens dapat menghasilkan pigmen prodigiosin yang berwarna merah gelap hingga merah muda, tergantung pada usia koloni bakteri tersebut (Madigan et al. 2000). Bakteri ini termasuk Gram negatif yang dapat tumbuh pada kondisi nutrisi sederhana dan mudah mengkolonisasi pada filosfer tanaman (Carbonell et al. 2003). Bakteri ini memproduksi enzim kitinase, lipase, kloroperoksidase, dan protein ekstraseluler. Antibiotik yang umumnya digunakan untuk mengobati infeksi Serratia yaitu β-laktam, aminoglikosida, dan fluoroquinol (Hejazi & Falkiner 1997).

Penggunaan bakteri epifit Serratia marcescens galur Kgh1, Pseudomonas fluorescens galur E10, dan Pantoea agglomerans galur Abp2 mampu mengurangi gejala penyakit hawar api atau fire blight yang disebabkan oleh Erwinia amylovora pada tanaman pir di Iran sebesar 23-50,2%. Aplikasi S. marcescens

(11)

galur Kgh1 di lapangan sangat baik dalam menekan penyakit hawar api tersebut (Gerami et al. 2011).

Serratia marcescens galur 90-166 sebagai rhizobakteria mampu menginduksi resistensi sistemik (ISR) terhadap fungi patogen, bakteri, dan virus. Hal ini disebabkan S. marcescens galur 90-166 dapat memproduksi asam salisilat (SA) dengan menggunakan plasmid salicylateresponsif pUTK21. Bakteri ini mampu menekan penyakit yang diakibatkan oleh fungi patogen Colletotrichum orbiculare pada tanaman mentimun. Selain itu S. marcescens galur 90-166 menghasilkan salisilat hidroksilase yang dapat menekan penyakit yang disebabkan oleh Pseudomonas syringae pv. tabaci pada tembakau tipe liar Xanthi-nc dan tembakau transgenik NahG-10. Kenaikan kosentrasi besi secara in vitro ternyata dapat mengurangi produksi SA, dan meningkatnya kosentrasi besi di dalam tanaman mentimun yang diserap melalui akar ternyata mengurangi induksi ISR terhadap C. orbiculare (Press et al. 1997).

Referensi

Dokumen terkait

Secara tektonik mineralisasi kromit di daerah Dosay terjadi dan terbentuk dari mineralisasi batuan induk ultrabasa dari kelompok Ofiolit Pegunungan Cycloop, yang

Penelitian yang dilakukan oleh Jun Hyun pada 26 lansia yang memiliki riwayat jatuh dengan memberikan Ankle Strategy Exercise selama 3 kali dalam seminggu selama

Aspek teknis : Upaya pengolahan limbah padat medis dengan menggunakan insinerator RSUD Ponorogo untuk melayani limbah padat medis dari RSUD Ponorogo dan

Perbandingan nilai absorbansi untuk pita spektrum inframerah pada bilangan gelombang 1670,35 cm -1 pada spektrum kitin hasil ekstraksi dengan 1661,50 cm -1 pada

Konfigurasi tiang tipe 3 memiliki defleksi lateral dan gaya lateral yang paling kecil diantara dua tipe konfigurasi lainnya karena pada konfigurasi tiang tipe

Aktivitas politis tersebut dikatakan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut

16 NATALIA CHRISTINA STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA

Topik penelitian untuk tugas akhir lapangan ini adalah “Geologi, Studi Fasies, dan Karakterisasi Rekahan pada Batugamping di Daerah Gunung Kromong, Cirebon, Jawa