Modul ke:
Fakultas
Program Studi
Modul Perkuliahan XIV
Ekonomi Politik Media
Ekonomi Industri Periklanan
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
14
PASCA SARJANA Magister Ilmu Komunikasi
Judul Sub Bahasan
1. Sejarah singkat industry periklanan 2. Pasar industry periklanan
3. Kompetisi industry periklanan 4. Regulasi industry periklanan 5. Masa depan industry periklanan
Sejarah Singkat
• Bentuk paling awal dari iklan termasuk tanda-tanda (sign) sederhana
yang diletakkan oleh para di atas pintu toko mereka untuk
menginformasikan kepada publik tentang apa yang dijual di dalam.
Poster, pamflet, dan selebaran mulai muncul di Inggris setelah
penemuan tipe bergerak di Jerman sekitar tahun 1450. Iklan
menjadi bagian dari surat kabar ketika mereka pertama kali muncul
di Inggris pada abad ketujuh belas dan di Amerika pada awal abad
kedelapan belas. Iklan majalah mengikuti pada awal abad
kesembilan belas.
• Perbaikan dalam teknologi pencetakan dan filosofi iklan baru
menyebabkan kemajuan di periklanan AS di kota-kota besar selama
1820-an dan 1830-an. Koran “Penny Press” New York mulai
membuat iklan mereka lebih dimengerti dan dapat diakses oleh
pembaca umum. Akhirnya pada tahun 1848 “New York Herald”
mulai mengubah iklan surat kabar harian. Perluasan ini menciptakan
kebutuhan untuk biro iklan.
• Biro iklan mulai muncul di Amerika Serikat pada tahun 1840-an. Mereka menjual ruang di koran dan majalah untuk mendapatkan komisi. Sistem komisi memungkinkan lembaga untuk mengumpulkan biaya untuk menempatkan iklan di koran tertentu atau jurnal. Ini menjadi mapan bahwa lembaga yang dikompensasi oleh klien mereka, yaitu, lembaga diwakili surat kabar dan majalah di mana iklan tersebut muncul.
• Iklan sebagai industri mulai terbentuk secara formal pada akhir abad ke-19, ketika banyak agensi iklan berdiri. Sejak itu, iklan memainkan peran yang amat penting dalam industri media. Banyak industri media yang tergantung pada iklan.
• Di Indonesia sejarah periklanan bisa dibagi menjadi sejumlah tahap: awal periklanan Indonesia (1744-1930-an), melewati masa depresi ekonomi (1930-1942), iklan propadanda (1942-1945), masa kemerdekaan (1945-1949), uang dan iklan memburu barang (1950-1972), periklanan Indonesia modern (1966-1972), dan masa ketika Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia terbentuk (setelah 1972).
Pasar Iklan
• Iklan merupakan industri pendukung dalam ekonomi media.
Industri periklanan bekerja dalam pasar dengan struktur kompetisi
monopolistik. Ada banyak perusahaan atau agensi iklan tetapi
mereka berbeda dalam hal reputasi, tingkat pelayanan, lokasi,
kapabilitas, dan ukuran. Ada perbedaan tarif atau harga, meski
struktur tarif atau harga itu relatif sama dengan industri lain ketika
dibandingkan antara industri sejenis.
• Tak seperti bisnis lain, struktur harga yang berlaku dalam industri
periklanan didasarkan pada sistem komisi. Klien biasanya
membayar komisi 15% untuk setiap media yang dipasangi iklan
produk mereka. Jadi, makin besar klien dan makin ambisius rencana
dan penempatan iklan, makin besar uang yang harus dibayar.
• Iklan punya dua terget mendasar. Pertama, adalah khalayak
konsumen (consumer audience) yang menjadi sasaran iklan melalui
berbagai tipe media. Kedua, perusahaan barang dan jasa yang
menggunakan iklan untuk menjalin komunikasi dengan konsumen
yang mengunsumsi barang dan jasa mereka serta konsumen yang
potensial akan mengonsumsi barang dan jasa mereka.
Pengiklan
Berdasarkan data dari eMarketer yang dirilis pada bulan maret 2011, diperkirakan di Amerika, pada kurun waktu 2009-2015, pengiklan menghabiskan lebih dari 100 miliar dolar AS untuk menjangkau publik. Jumlah tersebut tidak termasuk miliaran dolar untuk perencanaan, produksi, dan distribusi iklan dan off-air radio serta media digital.
Table 1. Daftar Belanja Iklan di Amerika Serikat Berdasarkan Media, Tahun 2009 -2015
•
• Di
Indonesia, laporan dari perusahaan periset pasar, Nielsen tahun
2013 menyebutkan, belanja iklan media pada semester pertama
tahun ini di Indonesia telah meningkat sekitar Rp 10,3 triliun. Dari Rp
40,9 triliun menjadi Rp 51,2 triliun atau meningkat 25 persen
dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
• Beberapa kategori besar yang memperlihatkan pertumbuhan cukup
besar di seluruh bentuk media (TV, surat kabar, dan majalah), di
antaranya iklan kopi dan teh. Dua produk itu mengalami
pertumbuhan belanja iklan sebesar 136 persen menjadi Rp 1,6
triliun. Lalu diikuti iklan mie instan 66 persen menjadi Rp 1 triliun
dan iklan partai politik serta pemerintah turut naik 56 persen
menjadi Rp 2,7 triliun.
• Sebaliknya, persentase belanja iklan di surat kabar dan majalah
malah berkurang, masing-masing menjadi 30 persen dan 2 persen.
Adapun kategori produk yang mengurangi belanja iklannya di media
cetak, di antaranya produk ibu dan bayi, turun 39 persen menjadi Rp
1,3 milyar di surat kabar dan 34 persen menjadi Rp 6,7 miliar di
majalah atau tabloid. Seiring dengan berkurangnya belanja iklan
kategori tersebut di media cetak, belanja iklannya di TV malah
bertambah 52 persen menjadi Rp 549 miliar.
• Kendati porsi belanja iklan beberapa produk tertentu di surat kabar
berkurang, tetapi secara keseluruhan malah naik 15 persen dari
periode sama tahun lalu sebesar 15 persen menjadi Rp 15,5 triliun.
Seperti halnya media televisi, belanja iklan untuk kategori
pemerintah dan partai politik di surat kabar turut mendominasi
dengan pertumbuhan 72 persen menjadi Rp 2 milyar
• Khalayak
• Apakah khalayak mengonsumsi iklan. Di televisi, misalnya, ketika break iklan, rating merosot. Apalagi, khalayak acap memandang iklan sebagai pemicu perilaku konsumtif. Khalayak lain menganggap iklan tidak menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang suatu produk.
• Pengiklan berpendapat iklan penting sebagai informasi bagi khalayak. Khalayak menggunakan iklan untuk mengumpulkan informasi sebelum memutuskan membeli produk, barang, atau jasa. Oleh karena itu, biro iklan dituntut membuat iklan semenarik mungkin untuk memancing khalayak menonton, membaca, atau melihat iklan sehingga pada gilirannya khalayak membeli produk yang diiklankan.
• Khalayak mengonsumsi iklan melalui media. Hubungan khalayak, media dan iklan bisa dilihat secara teoretis-kuantitatif dan praktis-kualitatif.
Secara teoretis-kuantitatif, hubungan khalayak, media, dan iklan bisa dirumuskan sebagai berikut:
• Makin besar khalayak suatu media, makin banyak iklan dipasang di media itu.
• Makin murah harga berlangganan media, makin banyak khalayak, dan makin banyak iklan.
• Jika suatu media bisa dikonsumsi secara gratis, TV siaran misalnya, maka makin besar khalayak, dan makin besar pula iklan.
• Untuk media cetak, penurunan harga langganan, membuat tarif iklan makin mahal. Sebagai contoh The Times: penurunan harga berlangganan dari 45p menjadi 30p menyebabkan kenaikan 10% tarif iklan untuk media tersebut.
Secara praktis-kualitatif, hubungan khalayak, media, dan iklan bisa dirumuskan sebagai berikut:
• Pemasang iklan mulai memperhitungkan image media.
• Pemasang iklan mulai mempertimbangkan kualitas khalayak: tingkat pendidikan, pendapatan, status sosial-ekonomi.
Iklan dan Media
• Tidak semua industri media tergantung pada iklan. Film, musik, dan buku merupakan industri media yang tak tergantung pada iklan. Koran bisa hidup tanpa iklan selama dua hingga tiga abad, demikian pula majalah. Majalah Reader’s Digest sejak pertama terbit tahun 1922 hingga 1955 hidup tanpa iklan, dan hanya mengandalkan pelanggan. TV publik, seperti BBC, tidak menayangkan iklan.
• Di sisi lain, pengiklan seringkali mempengaruhi isi media. Pengiklan tak jarang mengancam akan menarik iklan dari satu media jika media tersebut memberitakan hal-hal buruk tentang pengiklan. Survey yang dilakukan oleh Soley dan Craig (1992) terhadap para editor suratkabar AS menemukan bahwa 90% mengalami tekanan dari pengiklan untuk mengubah laporan atau editorial mereka.
• Tetapi kenyataannya, banyak media yang tidak bisa hidup tanpa iklan. Televisi siaran di Indonesia, misalnya, sepenuhnya dibiayai iklan. Di Indonesia, 60 persen penghasilan suratkabar diperoleh dari iklan.
• Pengiklan menganggap media punya pengaruh yang berneda-beda terhadap efektivitas iklan. Suatu survei di Amerika menunjukkan 82 persen pengiklan menganggap televisi sebagai media paling berpengaruh, 67 persen menyebut surat kabar sebagai media paling persuasif, 49 persen menilai majalah sebagai media paling otoritatif, dan 80 persen menilai internet sebagai media paling menyenangkan (Baran, 2008).
• Di Indonesia, televisi juga menjadi media favorit beriklan. Bahkan alokasi belanja iklan untuk televisi meningkat dari tahun ke tahun.
Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika, Direktorat Jenderal penyelenggaraan Pos dan Informatika, Direktorat Penyiaran. Data Statistik Bidang Penyiaran.
Agensi Iklan
• Dunia periklanan melahirkan agensi atau biro iklan. Pengiklan
memasang iklan di media melalui agensi atau biro iklan
profesional. Di Amerika terdapat sekitar 6.000 agensi iklan
yang mempekerjakan sekitar 500 ribu orang. Sejumlah agensi
memperoleh keuntungan 1 juta dolar AS setiap tahun.
• Banyak agensi yang memproduksi iklan serta membeli ruang
atau slot iklan di berbagai media. Agensi memperoleh ongkos
produksi iklan dari pengiklan. Agensi biasanya memperoleh
konpensasi berupa komisi, biasanya sebesar 15 persen, dari
media tempat agensi membeli ruang atau slot iklan.
• Perusahaan Periklanan semakin banyak ditemui di Indonesia
seiring berkembangnya teknologi dan era globalisasi yang sangat
padat akan perputaran bisnis. Perusahaan periklanan dituntut
untuk berfikir cepat, pintar, inovatif, dan kreatif agar klien yang
sedang ditangani merasa puas dan agency akan mendapat
berbagai keuntungan dari karya-karya-nya. Inilah 5 advertising
agency terbesar di Indonesia: (fortuneindo.com, 8 Juni 2014)
1.
Lowe Indonesia
2.
PT Fortune Indonesia Tbk
3.
Leo Burnett Group Indonesia
4.
McCann Worldwide Indonesia
5.
Grey Worldwide Indonesia
Regulasi
• Regulasi dalam industri periklanan antara lain diberlakukan untuk
menghindari dampak negatif iklan. Di Indonesia, misalnya, ada
regulasi yang membolehkan penayangan iklan rokok di televisi
mulai pukul 21.30 untuk menghindari pengaruh iklan rokok tersebut
pada anak-anak. Regulasi seperti ini diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sensor juga
berlaku pada iklan yang akan ditayangkan di televisi.
• Di Amerika regulator yang mengatur periklanan adalah federal
Trade Commission (FTC). FTC memutuskan apakah suatu iklan
menipu, berbohong, atau curang. Pada gerakan deregulasi tahun
1980, FTC mengubah peran dari lembaga yang memutuskan apakah
suatu iklan menipu atau tidak menjadi lembaga yang mengatur dan
menindak keluhan terhadap iklan yang menipu.
Masa Depan
• Di masa mendatang masyarakat makin kritis terhadap iklan. Industri periklanan dituntut makin kreatif dalam mengemas iklan. Industri periklanan harus menjalin hubungan dengan konsumen secara intensif. Industri periklanan juga tak boleh lagi hanya mempertimbangkan sisi kuantitatif (jumlah penonton atau pembaca) dalam memasang iklan di media, melainkan juga sisi kualitatif (citra media, karakteristik khalayak). • Regulasi di masa depan kadang menganggu kreativitas orang iklan. Di
Indonesia, misalnya, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 25/PER/M.KOMINFO/5/2007 yang mengharuskan penggunaan sumber daya dalam negeri untuk produk iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran.
• Industri periklanan juga harus mengantisipasi perkembangan teknologi. Internet atau media online serta konvergensinya menjadi saranan yang ampuh untuk beriklan.
Referensi
• Albarian, Alan B, Media Economics: Understanding Markets, Industries, and
Concept, Iowa: Iowa State University Press, 1996.
• Alexander, Alison et.al (ed), Media Economics: Theories and Practice, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1998.
• Boediono. Ekonomi Makro, BPFE:Yogyakarta, 1984 • Deliarnov, Ekonomi Politik. Erlangga; Jakarta, 2006.
• Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik. Ghalia Indonesia: Bogor, 2006.
• Kansong, Usman. Ekonomi Media : Pengantar Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2009.