• Tidak ada hasil yang ditemukan

JEJAK Journal of Economics and Policy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JEJAK Journal of Economics and Policy"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

JEJAK

Journal of Economics and Policy http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jejak

KETEGARAN UPAH NOMINAL

PEKERJA NON-PRODUKSI DI SEKTOR INDUSTRI

Bambang Sulistiyono1, Joko Susanto2, Astuti Rahayu3

Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi, UPN “Veteran” Yogyakarta, Indonesia

Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6166 Received: Juli 2015; Accepted: Agustus 2015; Published: September 2015

Abstract

Excess supply of labor leads to low the levels of nominal wages received by workers. The amount of minimum wage rate exceeds the market wage rate. The determination of minimum wage is a factor manifested in the institutional and regulatory Provincial Minimum Wage or a District Minimum Wage. Unfortunately, it has made nominal wages difficult to drop below the minimum wage level. High or low level of nominal wages are associated with worker productivity. Further, nominal wages are rigid to go down. If they have increased, they can not be dropped in the future even though the company's performance is declined. Knowing that condition, in designing the remuneration system, an employer should pay attention to the rigidity of nominal wages, so that when company's performance declines, the company will not be interfered because of the wages burden. Furthermore, unions and government should consider the rigidity impact of nominal wages that go down. Thus, when macroeconomic conditions deteriorate and company's performance drops, the company will not go bankrupt due to high labor costs. If the company goes bankrupt, the workers will loose their jobs as a result of employment termination, while the government will face the unemployment problem.

Keywords: Rigidity of nominal wages, non-production workers

Abstrak

Kelebihan pasokan tenaga kerja menyebabkan rendahnya tingkat upah nominal yang diterima pekerja. Tingkat upah minimum ini besarnya melebihi tingkat upah pasar. Ketentuan upah minimum merupakan faktor kelembagaan dan diujudkan dalam peraturan Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK). Ketentuan upah minimum mengakibatkan upah nominal yang terjadi sulit untuk turun di bawah tingkat upah minimum. Tinggi rendahnya tingkat upah nominal berkaitan dengan produktivitas pekerja. Upah tinggi yang menjadikan pekerja sejahtera hanya dapat dipenuhi apabila ada peningkatan produktivitas yang memadai sesuai dengan harapan pengusaha. Upah nominal tegar untuk turun. Apabila upah nominal telah mengalami kenaikan maka upah tersebut tidak dapat turun di masa mendatang walaupun pada saat itu kinerja perusahaan mengalami penurunan. Dalam mendesain sistem pengupahan, maka pengusaha perlu memperhatikan aspek ketegaran upah nominal untuk turun sehingga saat kinerja perusahaan menurun, maka perusahaan tidak menanggung biaya upah yang terlalu besar. Selanjutnya serikat pekerja dan pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak ketegaran upah nominal untuk turun. Dengan demikian pada saat kondisi makro ekonomi memburuk dan kinerja perusahaan menurun, maka perusahaan tidak mengalami kebangkrutan akibat biaya tenaga kerja yang terlalu besar. Apabila perusahaan bangkrut maka pekerja kehilangan pekerjaannya akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK), sedangkan pemerintah menghadapi masalah pengangguran.

Kata Kunci: Ketegaran upah nominal, pekerja non produksi

How to Cite: Sulistiyono, B., Susanto, J., & Rahayu, A. (2016). KETEGARAN UPAH NOMINAL PEKERJA NON-PRODUKSI DI SEKTOR INDUSTRI. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 8(2), 139-150.

doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6166

© 2015 Semarang State University. All rights reserved

Corresponding author :

Address: Jl. SWK 104 (Lingkar Utara), Condongcatur, Kec. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

E-mail: jejak_fe@yahoo.com

(2)

PENDAHULUAN

Penentuan tingkat upah bersifat dilematis. Bagi pengusaha upah merupakan komponen biaya sedangkan bagi pekerja upah merupakan pendapatan. Pengusaha berusaha meminimumkan biaya agar dapat memperoleh laba maksimum. Sementara itu, pekerja ingin mendapatkan upah yang tinggi agar utilitasnya meningkat. Tuntutan kenaikan upah sering kali menyebabkan timbulnya perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Perselisihan antara

pekerja dan pengusaha menyebabkan

kegiatan perusahaan terganggu. Pengusaha akan merugi karena proses produksi tidak berjalan sehingga tidak ada penerimaan, sedangkan pekerja akan merugi karena tidak

dapat bekerja sehingga tidak ada

pendapatan.

Pemerintah berupaya mengatasi

masalah perselisihan ini dengan

pemberlakuan ketentuan upah minimum guna meningkatkan kesejahteraan pekerja (Suryahadi et al, 2003: 31). Sebagian besar masalah pengupahan terjadi pada sektor industri manufaktur. Kelompok industri manufaktur yang rentan terhadap perubahan pada sisi makro ekonomi seperti inflasi dan perubahan nilai tukar adalah industri manufaktur yang memiliki kandungan bahan baku impor (import content) tinggi. Adanya inflasi dan perubahan nilai tukar berdampak biaya bahan baku. Bagi industri manufaktur, biaya bahan baku merupakan komponen biaya terbesar. Selanjutnya inflasi dan perubahan nilai tukar juga berdampak pada penurunan skala produksi dan produktivitas pekerja.

Produktivitas pekerja berkaitan dengan erat dengan tingkat upah. Bagi pengusaha upah merupakan biaya. Biaya tenaga kerja senantiasa mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan Upah Minimum Propinsi

(UMP). Apabila biaya tenaga kerja tidak dapat dikendalikan, maka akan menurunkan efisiensi dan selanjutnya berdampak pada

penurunan kinerja (laba) industri

bersangkutan.

Banyaknya industri di suatu wilayah merupakan suatu potensi yang dapat digunakan sebagai sarana peningkatan perekonomian daerah. Industri merupakan sektor yang memiliki banyak kaitan dengan sektor lain (Fafurida 2012). Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah pekerja yang digunakan dalam industri tersebut.

Pekerja industri manufaktur terdiri dari pekerja yang berada di pabrik (pekerja produksi) maupun pekerja yang tidak berada di pabrik (pekerja non-produksi). Dari sisi jumlah pekerja maka sebagian pekerja pada industri manufaktur merupakan pekerja produksi. Sebagian besar penelitian tentang pengupahan yang dilakukan membahas upah pekerja produksi.

Masih sedikit penelitian yang

membahas upah pekerja non-produksi, sedangkan keberadaan pekerja non-produksi sangat menentukan bagi perkembangan industri manufaktur. Pekerja non-produksi sangat berperan dalam pengorganisasian kegiatan perusahaan dan menentukan maju mundurnya perusahaan. Keberadaan mereka tetap diperlukan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kinerja perusahaan.

Salah satu indikator kinerja perusahaan adalah produktivitas pekerja (Pernia dan Salas, 2006). Tinggi rendahnya tingkat upah nominal berkaitan dengan produktivitas

pekerja (Manning, 2000). Apabila

produktivitas pekerja mengalami penurunan, maka hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam penentuan tingkat upah nominal. Tingkat upah nominal ditentukan antara lain

berdasar produktivitas pekerja yang

mencerminkan kemampuan pekerja untuk menghasilkan output dalam waktu tertentu.

(3)

Penurunan produktivitas pekerja

menunjukkan penurunan sumbangan

(kontribusi) pekerja dalam proses produksi. Penurunan produktivitas pekerja akan menjadi alasan bagi pengusaha untuk menurunkan upah. Orbaiceta (2013).

Bagi pekerja, termasuk pekerja non-produksi, upah merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan

keluarganya secara langsung. Tinggi

rendahnya upah berpengaruh langsung pada kesejahteraan hidup pekerja. Penurunan tingkat upah nominal akan menurunkan tingkat konsumsi pekerja. Jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli pekerja berkurang sehingga utilitas pekerja dan keluarganya turun. Pekerja pada industri manufaktur akan melakukan berbagai upaya agar pada saat produktivitas pekerja mengalami penurunan, upah nominal yang diterimanya tidak turun.

Sementara itu, adanya inflasi

menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga harga output juga mengalami

kenaikan. Kenaikan harga output

menunjukkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga permintaan tenaga kerja juga mengalami kenaikan. Selanjutnya

kenaikan permintaan tenaga kerja

menyebabkan kenaikan upah. Dengan

demikian kenaikan harga output industri manufaktur akan menghalangi keinginan pengusaha untuk menurunkan upah. Di samping itu, pekerja non-produksi sangat

berperan terhadap maju mundurnya

perusahaan. Perusahaan akan berupaya memenuhi tuntutan pekerjanya sehingga upah nominal pekerja non-produksi tegar untuk turun.

Berdasar latar belakang di atas maka permasalahan dalam penulisan ini adalah bahwa upah nominal pekerja non-produksi

pada industri manufaktur tegar untuk turun artinya kenaikan produktivitas pekerja diikuti kenaikan upah nominal, tetapi penurunan produktivitas pekerja tidak diikuti penurunan upah nominal.

Adapun tujuan penulisan ini

dimaksudkan untuk menganalisis ketegaran upah nominal pekerja non-produksi untuk

turun sehingga sistem pengupahan

memungkinkan adanya pengurangan biaya pekerja pada saat produktivitas pekerja turun agar biaya produksi menjadi terkendali pada industri manufaktur di Indonesia.

Penentuan upah di Indonesia berbeda dengan penentuan upah di negara-negara Barat. Di Indonesia tidak dikenal tunjangan sosial bagi penganggur / unemployment

benefit (Islam, 2001; 320). Apabila terjadi

kegagalan tawar menawar upah antara pekerja dengan pengusaha maka pekerja akan menganggur. Pekerja tersebut tidak memiliki pendapatan sama sekali, sedangkan pekerja di negara Barat masih mendapatkan tunjangan sosial bagi penganggur. Hal ini

berpengaruh terhadap kekuatan tawar

pekerja dalam penentuan tingkat upah nominal. Dengan demikian ketegaran upah nominal untuk turun di Indonesia berbeda dengan ketegaran upah nominal di negara barat.

Holden dan Wulfsberg (2007)

Kenaikan intensitas serikat pekerja

menyebabkan upah nominal semakin tegar untuk turun. Keberadaan undang-undang tenaga kerja menyebabkan upah nominal semakin tegar untuk turun. Sementara itu,

kenaikan tingkat pengangguran

memperlemah ketegaran upah nominal untuk turun. Susanto (2009) Adanya ketegaran upah nominal untuk turun baik untuk upah pekerja produksi maupun

(4)

produktivitas pekerja tidak mengakibatkan penurunan upah nominal pekerja produksi. Penurunan upah akan menurunkan moral pekerja dan berdampak negatif pada kinerja. Mekanisme pasar tenaga kerja melalui interaksi antara permintaan dan penawaran tenaga kerja akan menentukan tingkat upah dan tingkat pengerjaan (employment) (McConnell, et al., 2003: 169). Keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai ketika kurva permintaan tenaga kerja DL berpotongan dengan kurva penawaran tenaga kerja SL.

Jumlah tenaga kerja yang diminta sama dengan jumlah tenaga kerja yang bersedia bekerja.

Keseimbangan pasar tenaga kerja terjadi di titik E dengan tingkat upah

nominal setinggi OWE dan tingkat

employment sebesar OLE. Tingkat upah setinggi OWE ini dikenal sebagai tingkat upah pasar. Apabila tidak ada campur tangan (intervensi) dari luar, maka tidak terdapat

kecenderungan tingkat upah dan

employment untuk berubah (lihat Gambar 1.

di bawah ini).

Gambar 1. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja Baik pekerja maupun pengusaha,

keduanya berkepentingan dengan

kelangsungan hidup perusahaan. Tetapi

dalam beberapa hal mereka berbeda

kepentingan. Pengusaha ingin

memaksimumkan laba, sedangkan pekerja ingin memaksimumkan utilitas. Hal tersebut menyebabkan terjadinya masalah keagenan (principal agent problem). Pekerja sebagai

agent mungkin melakukan tindakan berbeda

dengan yang diinginkan pengusaha

(principal) (Nicholson, 1995 : 433). Pekerja mungkin saja meningkatkan leisure dengan cara malas bekerja. Untuk itu, perusahaan

harus dapat menemukan cara untuk

memaksimumkan laba dengan

menghilangkan masalah keagenan

(McConnell, 2003 : 219).

Pada beberapa perusahaan, terutama yang mempekerjakan pekerja terampil, seringkali tingkat upah yang diterima pekerja tersebut melebihi tingkat upah minimum sekaligus melebihi tingkat upah pasar. Tingkat upah ini dinamakan upah efisien (Bosworth et al., 1996: 306). Pemikiran dasar bagi model upah efisien adalah bahwa

keuntungan bagi perusahaan dengan

(5)

pekerjanya. Upah tinggi menjadikan tingginya biaya kehilangan pekerjaan bagi seorang pekerja. Hal tersebut menyebabkan pekerja bekerja lebih giat. Upah tinggi dapat menurunkan jumlah pekerja malas (Romer, 1991; 411) dan dapat meningkatkan effort

maupun kapabilitas pekerja sehingga

produktivitas pekerja meningkat.

Peningkatan produktivitas pekerja akan menurunkan biaya tenaga kerja per unit output (McConnell et al., 2003: 232).

Penerapan upah efisien terlihat pada Gambar 2 dimana keseimbangan awal terjadi di titik a yaitu pada perpotongan antara kurva penawaran tenaga kerja SL dan permintaan tenaga kerja DL1 dengan tingkat upah setinggi OW1 dan jumlah pekerja OL1.

Pada kondisi ini semua tenaga kerja yang ingin bekerja dapat menemukan pekerjaan yang dicarinya. Dengan demikian tidak ada pengangguran. Guna menurunkan biaya tenaga kerja per unit output, maka perusahaan menaikkan tingkat upah dari

OW1 menjadi OW2 dengan cara menggeser kurva permintaan tenaga kerja DL1 ke kanan menjadi DL2. Tingkat upah OW2 merupakan

tingkat upah keseimbangan karena

perusahaan tidak berniat menurunkan atau menaikkan tingkat upah (McConnell et al., 2003: 235). Jumlah pekerja yang dipekerjakan tetap sebesar OL1. Salah satu implikasi dari upah efisien adalah adanya pengangguran sebesar bc dalam kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja.

Gambar 3. Pemberlakuan Tingkat Upah yang Efisien Salah satu alasan upah nominal tegar untuk

turun selama masa resesi adalah adanya kontrak antara pekerja dengan pengusaha. Melalui kontrak tersebut disepakati bahwa perusahaan akan mempertahankan upah nominal kecuali terdapat hal-hal yang di luar kendali misalnya perusahaan bangkrut (McConnell, 2003: 572). Pertimbangan perusahaan untuk mengadakan kontrak karena dirasakan lebih mahal bila pekerja di perusahaan tersebut sering berganti.

Perusahaan harus menanggung biaya

rekruitmen dan pelatihan pekerja baru.

Perusahaan lebih suka untuk

memperkerjakan pekerja selama waktu tertentu guna menghindari biaya transaksi dalam negosiasi tingkat upah . Dobrusin (2013).

Adanya kontrak antara pihak pekerja dengan pengusaha menentukan tingkat upah nominal tertentu dan menjadikan negosiasi

(6)

penyesuaian upah nominal memerlukan biaya transaksi. Semakin sering penyesuaian upah nominal dilakukan, semakin besar pula biaya transaksi yang diperlukan. Adanya biaya transaksi mendorong pekerja maupun pengusaha untuk menggunakan kontrak jangka panjang. Baik pekerja maupun

pengusaha cenderung untuk

mempertahankan kontrak yang telah dibuat.

Penurunan upah nominal merupakan

pelanggaran terhadap kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha.

Teori kontrak lebih menekankan pada tingkat upah nominal stabil daripada pengerjaan (employment) yang stabil. Hal ini berdasar pemikiran bahwa pekerja lebih menyukai upah nominal stabil daripada pengerjaan stabil. Pekerja merasa bahwa tidak ada untungnya bila upah nominal diturunkan, sedangkan bagi pekerja yang

menganggur akan menerima tunjangan

pengangguran (unemployment benefit),

mencari pekerjaan baru, atau menikmati

leisure (kegiatan non-kerja).

Sebagian besar permasalahan

hubungan industrial terkait dengan

pengupahan. Untuk mengurangi

ketidakpuasan pekerja, pengusaha

mendesain sistem pengupahan yang

memungkinkan pekerja untuk memperoleh

pendapatan melebihi UMP dengan

memberikan berbagai tunjangan. Upah nominal pekerja non-produksi terdiri dari

upah pokok nominal dan berbagai

tunjangan. Tunjangan pekerja non-produksi terdiri dari tunjangan tetap dan variabel. Tunjangan variabel ini yang besarnya berubah-ubah menurut kinerja perusahaan (Tabel 2.2).

Tabel 2. Macam Komponen Upah Pekerja Non- Produksi No. Komponen Pendapatan Pekerja Non-Produksi

1. Upah/Gaji Pokok Upah Pokok

2. Tunjangan Tetap Tunjangan Istri-anak

Tunjangan Kesehatan Tunjangan Kerja Ekstra

3. Tunjangan Variabel Premi Kehadiran

Tunjangan Transportasi Uang Makan

Dana Kesehatan Jamsostek Sumber : SMERU, 2001.

Pekerja non-produksi senantiasa menerima tunjangan istri-anak, kesehatan dan kerja ekstra dalam jumlah yang tertentu. Hal ini dikarenakan tunjangan-tunjangan tersebut merupakan tunjangan tetap. Sementara itu, tunjangan kesehatan dan kerja ekstra bagi pekerja produksi bersifat variabel sesuai dengan kinerja perusahaan (SMERU, 2001: 21).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang di publikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1998-2011. Data yang digunakan merupakan data panel yang mencakup upah pekerja non-produksi, produktivitas pekerja dan Upah Minimum Provinsi. Sementara itu kelompok industri yang menjadi obyek penelitian adalah

(7)

industri dengan kandungan impor bahan baku tinggi meliputi industri besar dan sedang tekstil, kulit, kertas, percetakan, dan kimia.

Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel. (1) Upah nominal pekerja non-produksi (W) adalah keseluruhan pengeluaran upah untuk pekerja non-produksi pada industri besar dan sedang dibagi jumlah pekerja non-produksi pada industri tersebut. Satuan yang digunakan adalah ribu rupiah per pekerja; (2) Produktivitas pekerja (Y) adalah nilai riil barang yang dihasilkan oleh industri besar dan sedang yang menjadi obyek penelitian dibagi jumlah pekerja pada industri tersebut. Satuan produktivitas pekerja adalah ribu rupiah per pekerja. (3) Upah Minimum Sektoral Propinsi (UPMIN) adalah rata-rata upah minimum sektoral regional (propinsi) yang berlaku di propinsi tempat perusahaan berlokasi.

Variabel upah dinyatakan dalam nilai

nominal, sedangkan untuk variabel

produktivitas pekerja digunakan nilai riil. Pengenaan nilai nominal pada variabel upah

dikarenakan penelitian ini mengkaji

ketegaran upah nominal. Sementara itu, produktivitas pekerja merupakan ukuran jumlah output yang dapat dihasilkan setiap pekerja. Penggunaan nilai riil pada variabel produktivitas pekerja lebih tepat karena dapat menunjukkan jumlah output riil yang dihasilkan setiap pekerja.

Penelitian ini menggunakan pengujian kointegrasi data panel mengacu pada pengujian hipotesis nol yang menyatakan

bahwa setiap anggota panel tidak

berkointegrasi. Sementara itu, hipotesis alternatif menyatakan bahwa untuk setiap anggota panel terdapat suatu vektor

kointegrasi walaupun dimungkinkan

berbeda antar anggota panel, sehingga

variabel-variabel dalam model

berkointegrasi.

Pedroni (1999) membahas

pengembangan 7 statistik panel kointegrasi dan terbagi dalam dua kategori yaitu berdasar pooling within dimension dan

between dimension. Kategori pertama terdiri

dari 4 pengujian, sedangkan kategori kedua terdiri dari 3 pengujian. Dalam kategori pertama, 3 dari 4 pengujian mencakup penggunaan koreksi non-parametrik dari Philips-Perron (1988), sedangkan model ke 4 menggunakan uji ADF. Dalam kategori kedua, 2 dari 3 uji menggunakan koreksi non-parametrik, sedangkan model ketiga menggunakan uji ADF.

Dalam ilmu ekonomi, ketergantungan suatu variabel terikat atas variabel– variabel bebas jarang yang bersifat seketika. Sangat sering variabel terikat bereaksi terhadap variabel bebas dengan suatu selang waktu. Selang waktu tersebut dinamakan lag (Gujarati, 2003:657). Hasil penelitian Liew

(2004:1-9) menunjukkan bahwa dalam

penentuan kriteria panjang lag dalam model

autoregressive, maka kriteria AIC (Akaike Information Criterion) dan FPE (Final

Pembentukan model dinamis dilakukan dengan memasukkan lag baik pada variabel sisi kanan maupun sisi kiri persamaan. Estimasi jangka pendek model ketegaran upah nominal pekerja non-produksi untuk turun dituliskan dalam persamaan berikut:

Keterangan :

W adalah upah nominal pekerja

non-produksi

Y adalah produktivitas pekerja

UPMIN adalah upah minimum propinsi

t i t ij k j it ij k j t i j it ij j it k j ij k j j it ij i

it W dY dY DUM UPMIN ECT e

dW 1 , 1 1 0 1 *               

     

(8)

DUM adalah variabel dummy. DUM bernilai

1 apabila produktivitas pekerja mengalami penurunan dan DUM bernilai 0 untuk kondisi lain.

Penurunan produktivitas pekerja

dalam jangka pendek menyebabkan

kenaikan upah nominal sebesar (β + γ).

Ketegaran upah nominal turun

(penjumlahan koefisien β dan γ) diuji

dengan menggunakan uji Wald dan

mengikuti kaidah distribusi t. Apabila hasil pengujian Wald menunjukkan bahwa t hitung

tidak signifikan, maka penjumlahan

koefisien (β + γ) sama dengan nol. Hal ini berarti penurunan produktivitas pekerja tidak direspons dengan penurunan upah nominal sehingga upah nominal tegar untuk turun tidak ditolak.

Ketentuan sebaliknya akan berlaku bila t hitung signifikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil atau dampak dari setiap

kebijakan ekonomi tidak terjadi secara instan tetapi memerlukan waktu atau kelambanan (lag). Bekerjanya kebijakan ekonomi akan memerlukan waktu misalnya satu tahun, dua tahun atau lebih. Penentuan panjangnya kelambanan optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria Akaike Information

Criteria (AIC) yang mempunyai nilai absolut

paling kecil yang dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 3. Rangkuman nilai AIC untuk variabel W, Y dan UPMin p(lag) = 1 p(lag) = 2 Akaike Information Criteria (AIC) 37.18547 37.06264 Sumber : Data olahan dari Lampiran 1

Untuk penggunaan variabel Upah

nominal pekerja non-produksi (W),

Produktivitas pekerja (Y) dan Upah

Minimum Sektoral Propinsi (UPMin)

terlihat bahwa nilai AIC minimum terletak pada tingkat kelambanan p(lag) = 2 yaitu (37,06264) artinya bahwa dampak variabel

Produktivitas pekerja (Y) dan Upah

Minimum Sektoral Propinsi (UPMin) di atas tidak terjadi secara instan pada waktu yang

bersamaan tapi memerlukan waktu

kelambahan 2 (dua) tahun setelahnya baru berdampak pada variabel Upah nominal pekerja non-produksi (W).

Untuk mengetahui ketegaran upah nominal pekerja non-produksi pada industri manufaktur di Indonesia akibat adanya perubahan produktivitas pekerja dan upah minimum sektoral tingkat Propinsi yang di

awali dengan melakukan estimasi VAR pada tingkat kelambanan (lag) 2 seperti dalam tabel 4.

Dari tabel 4, dapat dijelaskan bahwa bila pada tingkat kelambanan (lag) 2 terjadi kenaikan perubahan produktivitas pekerja sebesar 1 persen maka perubahan Upah nominal pekerja non-produksi hanya naik sebesar 0.074955 persen saja dan kenaikan perubahan Upah Minimum Sektoral Propinsi sebesar 1 persen akan terjadi penurunan perubahan Upah nominal pekerja non-produksi hanya sebesar 0.322628 persen. Disatu sisi bila tingkat Upah nominal pekerja non-produksi untuk 2 tahun sebelumnya berubah sebesar 1 persen maka Upah nominal pekerja non-produksi tahun yang bersangkutan akan berubah sebesar 1.253021 persen, hal ini mengindikasikan bahwa ada

(9)

ketegaran Upah nominal pekerja non-produksi (bila hal-hal lain di luar variabel tersebut dianggap konstan). Seringkali tingkat upah yang dihasilkan melalui mekanisme pasar dipandang terlalu rendah. Untuk itu, pemerintah memberlakukan ketentuan tingkat upah minimum yang lebih

tinggi dibandingkan tingkat upah pasar agar kesejahteraan pekerja dapat meningkat. Peraturan upah minimum ini menyebabkan upah nominal tegar untuk turun dan

selanjutnya mengakibatkan terjadinya

ketidakseimbangan dalam pasar tenaga kerja (Hillier, 1991: 21).

Tabel 4. Estimasi VAR berdasarkan p(lag) = 2

W Y UPMIN W(-2) 1.253021 -0.132187 -0.006229 (0.08456) (0.12501) (0.02671) [ 14.8177] [-1.05739] [-0.23321] Y(-2) 0.074955 0.938608 0.001114 (0.02878) (0.04255) (0.00909) [ 2.60429] [ 22.0597] [ 0.12254] UPMIN(-2) -0.322628 0.189688 1.237131 (0.14754) (0.21811) (0.04660) [-2.18676] [ 0.86969] [ 26.5461] C -64.83540 408.3191 20.47152 (84.1203) (124.359) (26.5715) [-0.77075] [ 3.28339] [ 0.77043] R-squared 0.839811 0.916460 0.948689 Adj. R-squared 0.831933 0.912351 0.946166 Sum sq. resids 2148827. 4696273. 214403.2 S.E. equation 187.6877 277.4673 59.28581 F-statistic 106.5999 223.0622 375.9467 Log likelihood -430.4275 -455.8375 -355.5209 Akaike AIC 13.36700 14.14885 11.06218 Schwarz SC 13.50081 14.28265 11.19599 Mean dependent 420.6172 3382.523 581.0154 S.D. dependent 457.8193 937.2139 255.5186

Determinant resid covariance (dof adj.) 9.46E+12

Determinant resid covariance 7.82E+12

Log likelihood -1241.530

Akaike information criterion 38.57016

Schwarz criterion 38.97159

(10)

Untuk melihat ketegaran upah nominal pekerja non-produksi pada industri manufaktur untuk turun dapat di lihat dengan analisis variabel dummy.

Dengan adanya tambahan variabel dummy dimana DUM bernilai 1 apabila

produktivitas pekerja mengalami

penurunan dan DUM bernilai 0 untuk kondisi lain, maka dapat dikatakan bahwa terdapat efek yang signifikan (nilai

probabilitas Dumdy 0,0373 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga hipotesis null ditolak) yaitu terdapat efek penurunan produktivitas pekerja terhadap hasil regresi upah minimum nominal pekerja non produksi pada industri manufaktur, artinya kenaikan produktivitas pekerja diikuti kenaikan upah nominal tetapi penurunan produktivitas pekerja tidak diikuti penurunan upah nominal.

Tabel 5. Hasil Analisis Variabel Dummy Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 71.59171 15.75860 4.543024 0.0000 DW1 0.175053 0.080283 2.180439 0.0341 DW2 -0.037972 0.070035 -0.542184 0.5901 DY 0.299806 0.090718 3.304804 0.0018 DUMDY -0.254374 0.118857 -2.140171 0.0373 DUPMIN -0.098987 0.126913 -0.779956 0.4392 ECT1 -0.103880 0.054039 -1.922292 0.0604

Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics

R-squared 0.489832 Mean dependent var 103.6502

Adjusted

R-squared 0.385716 S.D. dependent var 89.17295

S.E. of regression 75.83332 Sum squared resid 281783.9

F-statistic 4.704681 Durbin-Watson stat 2.145799

Prob(F-statistic) 0.000104 Sumber: data diolah

Bila menggunakan model

Gift-Exchange dimana pekerja memandang upah

yang lebih tinggi sebagai hadiah dari pengusaha dan membuat mereka bekerja lebih keras sebagai balas jasa atas kebaikan pengusaha (Akerlof, 1984: 79-83), maka pemberian upah tinggi dapat dibenarkan apabila dapat membuat pekerja termotivasi untuk bekerja keras yang akhirnya akan memberikan manfaat berupa laba bagi pengusaha. Tingkat upah yang rendah, di samping seringkali membuat pekerja keluar

juga berkaitan dengan motivasi kerja yang rendah. Ini berarti terjadi motivasi timbal balik (reciprocity). Pekerja yang menerima upah lebih tinggi akan berpikir bahwa pengusahanya santun dan membalasnya dengan kesediaan dan motivasi untuk bekerja lebih keras.

Pelaku ekonomi dengan berbagai alasan lebih menyukai penentuan upah nominal daripada upah riil. Pekerja

merespons secara berbeda terhadap

(11)

kenaikan harga dan yang disebabkan oleh penurunan upah nominal. Penurunan upah riil yang terjadi ketika inflasi melebihi kenaikan upah nominal dinilai fair. Sebaliknya, penurunan upah riil akibat penurunan upah nominal dinilai tidak fair. Pekerja akan menolak penurunan upah nominal karena akan menurunkan upah riilnya relatif terhadap tingkat upah umum. Misal adanya kenaikan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah menyebabkan kurva penawaran output bergeser ke kiri (Gambar 4). Pergeseran ini menunjukkan

bahwa penawaran output berkurang

sehingga permintaan tenaga kerja juga berkurang. Penurunan permintaan output akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja ke kiri (lihat McConnell et al., 2003: 149). Apabila penawaran tenaga kerja tetap, maka pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kiri menyebabkan penurunan upah dan tingkat employment. Penurunan tingkat upah tidak disukai bukan saja oleh pekerja tetapi juga oleh pengusaha. Bagi pengusaha yang menerapkan prinsip upah efisiensi (seperti pada industri kimia) maka tidak ada untungnya bila pengusaha menurunkan upah nominal. Upah rendah menjadikan

pekerja malas dan selanjutnya akan

berdampak negatif bagi kinerja perusahaan.

Dengan demikian akan lebih

menguntungkan bagi pengusaha untuk mempertahankan tingkat upah nominal. Tingkat upah nominal bersifat tegar untuk turun.

Gambar 4. Ketegaran Upah Nominal Untuk

Turun

Penurunan permintaan output

menggeser kurva permintaan tenaga kerja

DLA ke kiri menjadi DLB. Keseimbangan baru terjadi di titik EB, dengan tingkat upah nominal tetap setinggi OWA, tetapi jumlah pekerja berkurang menjadi OLB. Penurunan produktivitas pekerja direspons oleh pengusaha dengan mengurangi jumlah pekerja dan bukan dengan menurunkan upah nominal. Pada tingkat upah OWA ini terdapat sejumlah OLA pekerja yang bersedia bekerja, akan tetapi hanya sejumlah OLB pekerja yang bisa bekerja sehingga sejumlah

LBLA pekerja terpaksa menganggur. Posisi EB juga merupakan suatu keseimbangan karena tidak ada kecenderungan untuk berubah

walaupun terdapat sejumlah pekerja

menganggur.

Pengusaha perlu mencermati aspek ketegaran upah nominal untuk turun dalam

kebijakan pengupahannya. Untuk itu

pengusaha perlu memperhitungkan peran tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah (value added). Pengusaha perlu

memperhitungkan labor shared dan

membandingkan dengan upah yang diterima pekerja. Selanjutnya dapat dihitung kenaikan (pertumbuhan) upah pekerja non-produksi setiap tahunnya dan diperbandingkan laju kenaikan produktivitas pekerja. Berdasar perbandingan ini dapat ditentukan kebijakan pengupahan termasuk pengupahan bagi pekerja non-produksi.

Selanjutnya pengusaha perlu

menentukan skema upah pekerja non-produksi melalui penentuan kombinasi bobot yang ideal antara upah dan tunjangan

tetap dengan tunjangan variabel.

Perusahaan dapat memberikan bobot lebih besar pada tunjangan variabel berdasar kinerja (laba) perusahaan. Dengan demikian pada saat skala produksi dan produktivitas

(12)

pekerja mengalami penurunan, biaya tenaga kerja dapat dikurangi tanpa harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

SIMPULAN

Dengan melakukan estimasi VAR tingkat Upah nominal pekerja non-produksi, dapat disimpulkan bahwa untuk tahun-tahun sebelumnya mengindikasikan adanya ketegaran Upah nominal pekerja non-produksi (bila hal-hal lain di luar variabel tersebut dianggap konstan).

Dengan adanya tambahan variabel dummy dimana DUM dimana DUM bernilai 1 apabila produktivitas pekerja mengalami penurunan dan DUM bernilai 0 untuk kondisi lain

ternyata terdapat efek penurunan

produktivitas pekerja pada tingkat upah minimum nominal pekerja non produksi industri manufaktur.

Diharapkan manajemen perusahaan

harus mengupayakan untuk perbaikan

sistem pengupahan yang berkeadilan

sehingga memungkinkan adanya

pengurangan biaya pekerja pada saat produktivitas pekerja turun agar biaya produksi menjadi terkendali. Namun bila produkstivitas pekerja mengalami kenaikan

ya sewajarnya upah dinaikkan guna

merangsang para pekerja untu bekerja lebih giat lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Agell J., dan P. Lundborg, 2002, “Survey Evidence of Wage Rigidity and Unemployment Sweden in the 1990s”, Scandinavian Journal of Economics, 105: 15-29.

Barutu, C., 2003. “Hak Mogok Buruh dan Implikasinya Bagi Investasi Asing di Indonesia”, DPN Apindo, Jakarta.

Bewley, T.F., 2004. “Fairness, Reciprocity and Wage Rigidity”, IZA Discussion Paper No. 1137. Bosworth, Derek, Peter Dawkins dan Thorsten

Stromback. 1996, The Economics of the Labor Market, Addison Wesley Longman.

Dobrusin, Bruno. 2013. Workers Cooperatives in Argentina. International Journal of Labour Research. 5(2), 195-206

Fafurida, F., & Nihayah, D. (2015). PENGEMBANGAN UNIT USAHA INDUSTRI KECIL MELALUI

METODE PEMETAAN DAN “NEED

ASSESSMENT”. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 5(1).

Gujarati Damodar, 2013. “Basic Econometrics”, McGraw-Hill, Inc., New York

Holden, S., dan F. Wulfsberg, 2007. “Downward Nominal Wage Rigidity in the OECD”, Working Paper, European Central Bank, No: 777.

Islam, Iyanatul, 2001. “Beyond Labour Market Flexibility: Is Sues and Options for Post-Crisis Indonesia”, Journal of The Asia Pacific Economy, 6(3): 305–334.

Manning, Chris, 2000. “Labor Market Adjustment to Indonesia’s Economic Crisis: Contex, Trend and Implication”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36: 105-36.

McConnel, Champbell, R., Stanley L. Brue, dan David A. Macpherson, 2003. Contemporary Labor Economics, McGraw-Hill, New York.

Messina, Cafu, Duarte. 2010. The Incidence Of Nominal And Real Wage Rigidity. Working Paper Series. No. 1213. European Central Bank.

Orbaiceta, Jose. 2013. Trade Union and Cooperatives: the Experience of Cicopa Mercusuar. International Journal of Labour Research. 5(2). 179-194

Oyer, Paul, 2005. “Can Employee Benefits Ease the Effects of Nominal Wage Rigidity? Evidence from Labor Negotiations”, Working Paper, Stanford University Graduate School of Business Pernia, Ernesto M. dan J. M. Ian S. Salas, 2006.

Investment Climate, Productivity, and Regional Development in a Developing Country, Asian Development Review, 23: 70-89.

Rahayu, Sri Kusumastuti, 2002, “Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Surabaya Pada Era Kebebasan Berserikat”, SMERU, Jakarta. Suharyadi, Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira

dan Sudarmo Sumarto, 2003, “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39: 29-50.

Susanto, Joko (2009) Ketegaran Upah Nominal Untuk Turun: Kasus Upah Nominal Pekerja Produksi di Bawah Mandor Pada Industri Besar dan Sedang Makanan Jadi, Bahan Pakaian, Karet dan Plastik, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 10 (1), Juni 2009.

Gambar

Gambar 1. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Gambar 3. Pemberlakuan Tingkat Upah yang Efisien
Tabel 2. Macam Komponen Upah  Pekerja Non- Produksi  No.  Komponen Pendapatan  Pekerja Non-Produksi  1
Tabel 4. Estimasi VAR berdasarkan p(lag) = 2
+3

Referensi

Dokumen terkait

Materi/Tema : Persamaan akuntansi, konsep debit dan kredit, penjurnalan, buku besar, saldo normal dan laporan keuangan untuk akuntansi keuangan pemerintah daerah Kelas /Semester

perkembangan nilai agama dan moral pada anak usia dini adalah anak diajarkan bagaimana beriman kepada Allah SWT, Berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada

Padahal ajaran Islam melingkupi tatacara ibadah (ubudiyah) dan aktivitas kemanusiaan (muamalah). Memahami bahwa ajaran Islam bukanlah ajaran langit yang sangat tinggi dan

Dari berbagai hambatan yang bersumber dari jurnal maupun buku sebagaimana diuraikan, dapat disimpulkan peneliti bahwa hambatan-hambatan yang tejadi dala m pe

Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman

ceftazidime + amikacin sebagai antibiotik empiris pada pasien keganasan dengan demam neutropenia dapat dipertimbangkan karena pemberian ceftazidime + amikacin memiliki

Apple Retail atau AASP tersebut dapat mengirimkan produk ke suatu lokasi layanan perbaikan Apple untuk memperoleh layanan perbaikan, (ii) dengan mengirimkan kepada anda surat

Dalam judul tertulis bahwa wilayah sasaran penelitian adalah negara berkembang, akan tetapi peneliti telah memasukkan negara yang diluar kriteria karena negara