• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Derajat PPOK dan Kejadian Eksaserbasi pada Penderita PPOK dengan Komponen Sindrom Metabolik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Derajat PPOK dan Kejadian Eksaserbasi pada Penderita PPOK dengan Komponen Sindrom Metabolik"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Korespondensi: Nanda Aulia Putri

Email: nanda.cantika2009@gmail.com; Hp: 081398380554

Hubungan Derajat PPOK dan Kejadian Eksaserbasi pada

Penderita PPOK dengan Komponen Sindrom Metabolik

Nanda Aulia Putri, Oea Khairsyaf, Irvan Medison, Yessy S Sabri

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang Abstrak

Latar belakang: Inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK adalah inflamasi paru dan inflamasi yang bersifat sistemik. Inflamasi sistemik

juga terjadi pada penyakit kronik lain diantaranya adalah sindrom metabolik, penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, diabetes dan depresi. Sindrom metabolik adalah kumpulan beberapa komponen, yaitu obesitas sentral, dislipidemia, hipertensi dan resistensi insulin. Pasien PPOK yang disertai komponen sindrom metabolik akan semakin memperberat kondisi pasien PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan derajat PPOK dan kejadian eksaserbasi pada pasien PPOK dengan komponen sindrom metabolik.

Metode: Penelitian dilakukan pada 60 pasien PPOK stabil di RSUD M. Djamil pada bulan September 2014. Dilakukan pemeriksaan

spirometri berdasarkan kriteria GOLD dan kriteria sindrom metabolik diukur menurut modifikasi kriteria NACEP-ATP III untuk orang Asia. Pasien diikuti selama tiga bulan untuk melihat kejadian eksaserbasi.

Hasil: Pasien PPOK terbanyak pada derajat II (60%). Pada hubungan derajat PPOK dengan jumlah komponen sindrom metabolik, pasien

PPOK derajat I,II,III dan IV paling banyak mempunyai satu komponen sindrom metabolik yaitu 3,3%,25%,15% dan 1,7%. Frekuensi jenis komponen sindrom metabolik terbanyak adalah hipertensi (43,8%). Pasien PPOK tanpa komponen dan satu komponen sindrom metabolik paling banyak ditemukan tidak ada kejadian eksaserbasi, Pasien PPOK dengan ≥3 komponen sindrom metabolik kejadian eksaserbasi terbanyak ditemukan >1 kali.

Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat PPOK dengan jumlah komponen sindrom metabolik dan terdapat

hubungan yang bermakna antara jumlah komponen sindrom metabolik dengan kejadian eksaserbasi penderita PPOK. (J Respir Indo. 2016; 36: 33-40)

Kata kunci: PPOK stabil, Derajat PPOK, komponen sindrom metabolik, eksaserbasi.

Degrees Relations & Event Exacerbations COPD Patients with

Components of Metabolic Syndrome

Abstract

Background: Inflammation that occurs in patients with COPD are lung inflammation and systemic inflammation. Systemic inflammation

also occurs in other chronic diseases include metabolic syndrome, cardiovascular disease, osteoporosis, and ext.The metabolic syndrome is a collection of several components, in the form of central obesity, dyslipidemia, hypertension and insulin resistance. COPD patients accompanied by metabolic syndrome components will aggravate the condition of COPD patients. This study aimed to assess the degree of COPD and the incidence of exarcebations in COPD patients with metabolic syndrome components.

Methods: The study was conducted in 60 patients stable COPD. Spirometry examinations conducted by GOLD criteria and the criteria for

metabolic syndrome was measured according to a modification NACEP-ATP III criteria for Asians. Patients were followed for three months to see the events exarcebations.

Results: The majority of COPD patients in stage II (60%). COPD patients with stage I, II, III and IV have most one components of metabolic

syndrome is 3.3%, 25%, 15% and 1.7%.The frequency of most types of components metabolic syndrome is hypertension (43,8%). COPD patients without component and one component of metabolic syndrome most commonly found with no events exarcebations, while COPD patients with ≥3 components of the metabolic syndrome most comonly found with > 1 time exarcebations

Conclusions: There was no relationship with the degrees of COPD with the number of metabolic syndrome components and there is a

significant relationship between the number of metabolic syndrome components with the incidence of COPD patients exarcebations.

(J Respir Indo. 2016; 36: 33-40)

(2)

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) meru­ pakan suatu penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, sering kali disertai komorbid yang menambah beratnya derajat penyakit. PPOK ditandai dengan penurunan fungsi paru yang bersifat progresif karena inflamasi kronis saluran nafas terutama saluran nafas kecil dan alveoli.1,2

Pada PPOK selain terjadi inflamasi paru, juga terjadi inflamasi sistemik yang akan mempengaruhi berbagai organ tubuh. Inflamasi sistemik PPOK ditandai dengan meningkatnya marker inflamasi dalam sirkulasi darah. Beberapa penelitian mene­ mukan marker inflamasi sistemik meningkat pada

keadaan PPOK stabil dan eksaserbasi.2­5 Infla­

masi sistemik dihubungkan dengan penyakit kronik lain seperti seperti sindrom metabolik, penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, diabetes dan depresi.1­5

Faktor resiko penyakit yang sama seperti merokok menyebabkan PPOK sering muncul bersama penyakit kronik lain (komorbid). Komorbiditas akan mem­ pengaruhi gejala, pening katan frekuensi eksaserbasi, rawatan rumah sakit dan kematian pada penderita PPOK.6­8

Sindrom metabolik merupakan salah satu komorbid pada PPOK, berupa kum pulan beberapa komponen faktor risiko yang ber hubungan dengan

terjadinya penyakit kardio vaskuler. Komponen sin­

drom metabolik yaitu obesitas sentral, dislipedemia, hipertensi dan resistensi insulin.9­11 Ter dapatnya

kom ponen sindrom metabolik pada individu menan­ dakan terdapatnya inflamasi sistemik yang terjadi pada individu tersebut.11,12 Inflamasi sistemik yang

ditimbulkan oleh PPOK dan sindrom metabolik dapat muncul bersamaan dan memperberat kondisi penderita.6,7 Seperti kondisi komorbid lainnya, belum

jelas apakah inflamasi paru memicu perburukan metabolik atau signal metabolik yang memicu respons inflamasi paru.8,9

Prevalensi PPOK dengan sindrom metabolik

berkisar antara 20­50%.13 Perbedaan prevalensi

penelitian, perbedaan desain penelitian ataupun kriteria diagnostik yang digunakan.12,13

Tingginya pravelensi PPOK dengan sindrom metabolik, menunjukkan bahwa perlu dilakukan penapisan terhadap munculnya sindrom metabolik pada pen derita PPOK.13 Mendeteksi dan mengatasi dengan

baik komponen sindrom metabolik pada penderita PPOK berguna untuk mencegah meningkatnya fre­ kuensi eksaserbasi, frekuensi rawatan rumah sakit dan kematian pada penderita PPOK.1,12,13

Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti ter­ tarik untuk melakukan penelitian terhadap penderita PPOK untuk mengetahui adanya komponen sindrom metabolik serta pengaruhnya terhadap derajat PPOK (GOLD 2013) dan frekuensi eksaserbasi PPOK.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain longitudinal yang dilakukan di RSUP M. Djamil Padang, BP4 Lubuk Alung dan labotorium Prodia Padang (untuk pengukuran trigliserida, HDL dan GDP). Penelitian ini dimulai September 2014 sampai tercapai jumlah sampel yang ditetapkan.

Populasi terjangkau adalah pasien PPOK stabil yang kontrol ke poli paru RSUP M. Djamil Padang dan Poli Paru BP4 Lubuk Alung. Jumlah sampel adalah 60 pasien. Pasien penelitian bersedia dengan sukarela mengikuti seluruh program pene­ litian dengan menandatangani formulir informed

consent. Subjek diambil dengan cara consecutive sampling.

Pasien yang memenuhi kriteria dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan spirometri ulang untuk mendapatkan derajat PPOK. Pasien yang memenuhi semua kriteria penelitian diberi penjelasan tentang tujuan dan prosedur penelitian dan diminta kesediaannya untuk ikut dalam penelitian. Pasien yang bersedia diminta menandatangani lembar persetujuan. Pemeriksaan fungsi paru dilakukan dengan memakai bronkodilator inhalasi sebanyak 6 isapan kemudian dilakukan pemeriksaan spirometri

(3)

dan lingkar pinggang. Pengukuran lingkar pinggang diukur dengan menggunakan inelastic tape di titik tengah antara iga terbawah dengan krista iliaka. Pasien dalam posisi berdiri menghadap dinding dengan jarak kaki kanan dan kiri 25 cm, pemeriksa dalam posisi duduk di samping pasien.

Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah pasien duduk istirahat selama 5 menit. Tekanan darah diukur berdasarkan rekomendasi American

Heart Association dengan mengukur di kedua lengan

dan hasil pengukuran tertinggi yang diambil untuk dianalisis dengan menggunakan tensimeter air raksa. Pengukuran kadar trigliserida, kolesterol HDL dan gula darah puasa dilakukan setelah subjek penelitian berpuasa selama minimal 12 jam sebelum pengambilan sampel darah. Kadar glukosa puasa, trigliserida dan HDL diukur dengan mengambil darah vena sebanyak 3 cc, dimasukkan ke dalam tabung tanpa koagulan, diamkan selama 30 menit sampai darah membeku, tabung disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, pisahkan 0,5 cc serum ke dalam cup sampel, tabung dimasukkan ke dalam alat chemical analyzer dengan sebelumnya memasukkan data pasien.

Analisis yang dilakukan adalah analisis uni­ variat dan bivariat. Analisis univariat disajikan secara deskriptif bertujuan mendiskripsikan variabel­varia bel dependen dan independen sehingga dapat mem­ bantu analisis bivariabel lebih mendalam. Analisis bivariat dengan menggunakan chi square untuk data kategorik. Analisis statistik untuk data kategorik dengan uji chi square dengan alternatif uji Exact

Fisher dan uji Kolmogorov Smirnov apabila syarat

dari chi square tidak terpenuhi.

Kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p, apabila p ≤ 0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistika. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus kemudian diolah.

HASIL

Karakteristik pasien

Jumlah subjek penelitian ini sebanyak 60 pasien dengan karakteristik, fungsi paru, derajat dan

frekuensi eksaserbasi subjek penelittian dapat di lihat pada Tabel 1. Jenis kelamin terbanyak adalah laki­laki yaitu 56 orang (93,3%). Usia rerata 62,8± 8,5. Pengukuran berat badan didapatkan rerata 51,33±9,2 kg, dengan rerata indeks massa tubuh (IMT) yaitu 20,58±3,4. Subjek yang tergolong kurus sebanyak 18 orang (30%), normal 27 orang (45%) dan berat badan lebih 15 (25%) orang. Subjek pada penelitian ini terbanyak adalah bekas perokok yaitu 83,3%. Terdapat 10% subjek penelitian yang masih merokok dan 6,7% subjek yang tidak pernah merokok. Subjek yang tidak pernah merokok adalah perempuan, dengan riwayat memasak menggunakan kayu bakar berkisar antara 15 sampai 20 tahun.

Tabel 1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Karakteristik subjek rerata±SD, persentase Usia 62,8 + 8,6

Laki­laki 56 (93,3) Tinggi badan (cm) 158,4 + 7,7 Berat badan (kg) 51,3 + 9,2 IMT 20,6 + 3,4 Berat badan kurang 18 (30) Normal 27 (45) Berat badan lebih 15 (25) Riwayat merokok Perokok 6 (10) Bekas Perokok 50 (83,3) Bukan perokok 4 (6,7) Indeks Brinkman Sedang 16 (26,7) Berat 40 (66,7) Fungsi paru VEP/pred (%) 55,8 + 15,4 KVP/pred (%) 84,9 + 17,1 VEP/KVP 48,9 + 10 Derajat PPOK Ringan/I 2 (3,3) Sedang/II 36 (60) Berat/III 21 (35) Sangat berat/IV 1 (1,7) Frekuensi eksaserbasi dalam 3 bulan

Tidak ada eksaserbasi 30 (50) Eksaserbasi 1kali 18 (30) Eksaserbasi > 1 kali 12 (20)

(4)

Hubungan nilai rerata variabel komponen sindrom metabolik dengan derajat PPOK

Pada uji statistik Anova one way pada setiap rerata komponen sindrom metabolik dengan derajat PPOK didapatkan P value> 0,05, hal ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara nilai rerata setiap komponen sindrom metabolik dengan derajat PPOK pada Tabel 2. Frekuensi komponen sindrom metabolik sesuai derajat PPOK dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Hubungan Nilai Rerata Variabel Komponen Sindrom Metabolik dengan Derajat PPOK

Variabel komponen sind metabol Derajat PPOK p value I II III IV Ling pinggang Cm 82 + 8,5 80+ 10,9 77,5+8,9 79 0,785 TG,mg/dl 85,5 +23,3 113,5 + 47,4 117,9 + 60,9 95 0,838 HDL ,mg/dl 56 + 5,7 58,3 + 15,4 53,4 + 14,7 84 0,206 GDPmg/dl 90 + 9,9 86,7 + 27,1 85,5 + 23,3 78 0,986 Tekanan darah Sistolik 130±14,1 139±19,1 141±13,7 140 0,862 Diatolik 85±7,1 85,5±7,7 88,1±7,5 90 0,627 TG: trigliserida HDL: High density lipid GDP: Gula darah puasa

Frekuensi jenis komponen sindrom metabolik pada derajat PPOK

Tabel 3. Frekuensi jenis komponen sindrom metabolik pada derajat PPOK

Komponen sindrom metabolik

PPOK I

N(%) PPOK II N (%) PPOK III N(%) IV N(%)PPOK Jumlah N(%) Ling. pinggang 1(1,3) 13(16,3) 3(3,8) 0 17(21,2) TG 0 7(8,8) 4(5) 0 11(13,8) HDL 0 2(2,5) 2 (2,5) 0 4(5) GDP 0 8(10) 5(6,3) 0 13(16,3) Hipertensi 1(1,3) 18(22,5) 15(18,8) 1(1,3) 35 (43,8) Jumlah n (%) 2(2,5) 48(60) 29(36,3) 1(1,3) 80 (100)

Hubungan derajat PPOK dengan jumlah kom­ ponen sindrom metabolik

Pada uji statistik di Tabel 4 tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara jumlah komponen sindrom metabolik dengan derajat PPOK I,II,III dan IV (p >0,05).

Hubungan jumlah komponen sindrom metabolik dengan kejadian eksaserbasi

Pada uji statistik ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara jumlah komponen sindrom metabolik dengan frekuensi eksaserbasi penderita PPOK, diketahui nilai p sebesar 0,001 (p<0,05) seperti yang terlihat pada Tabel 5.

PEMBAHASAN

Penyakit paru obstruktif kronik tidak hanya ber dampak pada kerusakan paru semata tapi juga menimbulkan kelainan di luar paru yang akan ber­ kontribusi terhadap makin beratnya penyakit seperti disfungsi otot dan rangka, penyakit kardiovaskuler, depresi, osteoporosis, berkurangnya toleransi latihan dan buruknya status kesehatan yang pada akhirnya be­ rhubungan dengan meningkatnya kematian pada pasien PPOK. Sindrom metabolik merupakan kelompok faktor risiko yang memiliki predisposisi terjadi pada pasien dengan inflamasi sistemik dan penyakit kardiovaskuler. Sindrom metabolik merupakan determinan yang penting pada inflamasi sistemik.14

Pada penelitian ini 93,3% adalah laki­laki. Secara epidemiologi, insiden PPOK lebih banyak ditemukan pada laki­laki dari pada perempuan karena laki­laki lebih sering terpajan dengan zat atau partikel yang berbahaya seperti rokok dan polusi lingkungan

kerja.1,2 Bekas perokok ditemukan sebanyak 83,3%

pada penelitian ini, dengan indeks brikman berat sebanyak 66,7%. Hubungan rokok dengan PPOK adalah hubungan dosis respons, semakin banyak batang rokok dihisap setiap hari dan dalam waktu lebih lama maka risiko yang ditimbulkan akan lebih besar. Rokok merupakan faktor risiko utama PPOK dan juga merupakan faktor risiko untuk penyakit kronik lainnya seperti sindrom metabolik. Efek sistemik dari merokok menyebabkan penderita PPOK sering disertai

penyakit kronik lainnya.1,4,5 Rokok menyebabkan

stimulasi terhadap sistem hemapoetik dengan melepaskan leukosit polinuklear, mencetuskan stress oksidatif sistemik, mengaktivasi faktor kougulasi dan menyebabkan disfungsi sistemik. Sehingga inflamasi yang disebabkan oleh rokok menjadi faktor pencetus

(5)

inflamasi pada sindrom metabolik.5­7 Penelitian

Park dkk15 mendapatkan bahwa merokok secara

signifikan merupakan faktor risiko terjadi sindrom metabolik, terdapat hubungan merokok dan bekas perokok dengan penurunan fungsi paru dan sindrom metabolik.

Tabel 4. Hubungan Derajat PPOK dengan jumlah Komponen Sindrom Metabolik

Tabel 5. Hubungan jumlah komponen sindrom metabolik dengan kejadian eksaserbasi penderita PPOK

Komponen sindrom

metabolik Tidak ada N(%)

Eksaserbasi 1 kali N(%) >1 kaliN(%) Jumlah P Tanpa komponen 8(13,3) 3(5) 0 11(18,3) 0,001 1 komponen 19(31,7) 7(11,7) 1(1,7) 27(45) 2 komponen 3(5) 6(10) 4(6,7) 13(21,7) 3 ≥ komponen 0 2(3,3) 7(11,7) 9(15) Jumlah 30(50) 18(30) 12(20) 60(100)

Pada penelitian ini berdasarkan kriteria GOLD 2013 didapatkan derajat PPOK terbanyak adalah PPOK derajat II 26 (60%) diikuti derajat III 21 (35%), derajat I 2 (3,3%) dan derajat IV 1 (1,7%). Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Yunita dkk12 di mana

PPOK dengan derajat terbanyak adalah derajat II yaitu 58%, diikuti derajat III 34,9%, derajat IV 3% dan tidak terdapat pasien dengan derajat I.12 Penelitian Watz

dkk mendapatkan hasil PPOK derajat I 17%, derajat II 28,5%, derajat III 21,5% dan derajat IV 18%.16 Park

dkk mendapatkan hasil yang berbeda di mana derajat PPOK terbanyak adalah derajat I 60%, derajat II 35%, derajat III 5% dan tidak ditemukan derajat IV.15 Derajat

I dan IV ditemukan sedikit pada penelitian ini, hal ini disebabkan pada derajat I PPOK gejala minimal dan dirasakan penderita belum mengganggu sehingga pen derita PPOK belum datang berobat, hal ini sama dengan penelitian yang didapat pada negara­negara

berkembang di mana penderita PPOK derajat I rendah atau tidak ditemukan. PPOK derajat IV ditemukan hanya satu orang pada penelitian ini, disebabkan penderita PPOK yang dimasukan kedalam penelitian ini adalah penderita PPOK stabil yang dapat melakukan spirometri ulang

Penelitian ini bertujuan untuk melihat komponen sindrom metabolik pada derajat PPOK dan kejadian eksaserbasi yang disebabkannya. Kriteria Sindrom metabolik yang digunakan adalah modifikasi kriteria NACEP­ATP III untuk orang Asia. Kriteria yang digunakan adalah sama dengan kriteria pada penelitian Yunita dan Park di mana penelitian mereka juga dilakukan di Asia. Kriteria NACEP­ATP III lebih banyak digunakan dibandingkan kriteria yang lain karena lebih praktis untuk mendiagnosis sindrom metabolik.

Pada pengukuran variabel lingkar pinggang didapatkan rerata lingkar pinggang pada PPOK derajat I dan derajat II lebih besar dibandingkan derajat III dan derajat IV, yaitu 82±8,5 dan 80±10,9. Pada beberapa penelitian PPOK dengan sindrom metabolik ataupun PPOK dengan obesitas dida­ patkan ukuran lingkar pinggang lebih besar pada PPOK derajat I dan II dibandingkan III dan IV,12,16 hal

ini disebabkan pada derajat III dan IV keluhan klinis yang dirasakan lebih meningkat sehingga penderita PPOK mengalami kehilangan berat badan akibat penurunan asupan nutrisi dan peningkatan energi

tubuh.7,8 Pada penilaian rerata gula darah puasa

didapatkan perbedaan rerata tetapi secara statistik tidak bermakna, nilai rerata terbesar terdapat pada derajat I yaitu 90±9,9, diikuti derajat II 86,7±27,1, derajat III 85,5±23,3 dan derajat IV 78. Berbeda dengan penelitian Maninnho dkk, yang menunjukkan pasien PPOK derajat III dan IV memiliki nilai gula puasa lebih tinggi dibandingkan derajat lain. Maninnho dkk menyatakan hal ini ber hubungan dengan penggunaan kortikosteroid yang banyak digunakan pada PPOK derajat III dan IV.17 Pemakaian kortikosteroid dapat

menye babkan intoleransi glukosa dan berhubungan dengan peningkatan produksi glukosa hepatik dan ber­ kurangnya pemakaian glukosa di perifer.18 Pada pene­

litian ini mengabaikan penggunaan kortikosteroid oral maupun inhalasi, meskipun demikian pasien PPOK

Komponen sindrom metabolik Derajat PPOK Jumlah P I n(%) (%)II n n(%)III n(%) IV Tanpa komponen 0 7(11,7) 4 (6,7) 0 11(18,3) 1 komponen 2(3,3) 15(25) 9 (15) 1 (1,7) 27(45) 2 komponen 0 9 (15) 4 (6,7) 0 13(21,7) 0,9 3≥ komponen 0 5 (8,3) 4 (6,7) 0 9 (15) Jumlah 2 (3,3) 36 (60) 21 (35) 1 (1,7) 60(100)

(6)

yang mendapatkan terapi oral kortikosteroid sangat rendah karena terapi PPOK sesuai GOLD 2013 tidak dianjurkan, sementara untuk kortikosteroid inhalasi mempunyai efek sistemik yang kecil

Penderita PPOK dengan sindrom metabolik (≥3 komponen) ditemukan sebesar 9(15%). Pada penelitian Yunita dkk mendapatkan PPOK dengan sindrom metabolik 34,9%,12 Park dkk 27,7% ,15Watz

dkk 46,5%,16 Ghanassia 22,5%19 dan Lam dkk s

20%.14 Pravalensi PPOK dengan sindrom metabolik

bervariasi antara 20­50%.6 Perbedaan pravalensi

PPOK dengan sindrom metabolik yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan etnik dari populasi penelitian, perbedaan desain penelitian ataupun kriteria sindrom metabolik yang digunakan.

PPOK dengan sindrom metabolik (≥3 komponen) hanya terdapat pada derajat II 5(8,3%) dan derajat III 4(6,7%). Sindrom metabolik ditemukan lebih banyak pada derajat II kemungkinan dikarenakan jumlah sampel paling banyak pada derajat II. Tidak ditemukan sindrom metabolik pada derajat I dan IV hal ini disebabkan sampel sedikit sehingga tidak dapat mewakili kejadian sindrom metabolik pada derajat I dan IV.

Penelitian ini mendapatkan subjek dengan minimal satu komponen sindrom metabolik sebanyak 49(81,7%) dan subjek tanpa komponen sindrom metabolik 11(18,3%). Komponen sindrom metabolik terbanyak adalah hipertensi 43,8%, diikuti lingkar pinggang 21,2%, gula darah puasa 16,3%, trigliserida 13,8% dan HDL 5%. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Yunita dkk yang mendapatkan minimal satu komponen sindrom metabolik 86% dengan komponen sindrom metabolik terbanyak adalah

hipertensi 67,4%.12 Penelitian Park dkk minimal

1 komponen 37% dengan komponen terbanyak adalah hipertensi.15 Watz dkk menemukan hipertensi

pada semua derajat PPOK ± 70%.16

Hipertensi esential adalah komorbid yang paling banyak ditemukan pada penderita PPOK, dengan pravalensi 40­60%. Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit kardiovaskuler. Hubungan PPOK dengan hipertensi berhubungan

dan peningkatan kekakuan arteri. Selain itu merokok juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan tingginya hipertensi esential.6­8.

Terdapatnya kompenen sindrom metabolik pada pasien PPOK dan hubungannya dengan kejadian eksaserbasi dalam tiga bulan setelah pemeriksaan komponen sindrom metabolik diperlihatkan pada Tabel 5. Subjek tanpa komponen metabolik dan satu komponen sindrom metabolik ditemukan lebih banyak tidak ada kejadian eksaserbasi yaitu 8 (13,3%) dan 19 (31,7%). Pada subjek dengan dua komponen sindroma metabolik kejadian terbanyak eksaserbasi satu kali dalam tiga bulan sebanyak 6 (10%) dan eksaserbasi >1 kali pada 4 (6,7%). Pada subjek dengan ≥ 3 komponen sindroma metabolik kejadian eksaserbasi terbanyak ditemui adalah eksaserbasi >1 kali yaitu 7 (11,7%) dan eksaserbasi satu kali 2(3,3%). Pada subjek dengan ≥ 3 komponen sindroma metabolik tidak ditemukan subjek tanpa kejadian eksaserbasi. Hubungan banyaknya komponen sindrom metabolik pada PPOK dengan kejadian eksaserbasi dalam waktu tiga bulan didapatkan hasil analisis statistik bermakna p value sebesar 0,001 (p <0,05). Persentase pasien dengan jumlah komponen sindroma metabolik semakin banyak akan semakin meningkatkan keja dian eksaserbasi.

Terdapatnya PPOK dengan komponen sindrom metabolik menyebabkan inflamasi sitemik meningkat, peningkatan inflamasi sistemik akan meningkatkan frekuensi eksaserbasi.1 Terdapat penelitian yang meneliti

hubungan PPOK dengan sindrom metabolik dengan peningkatan marker inflamasi sistemik. Penelitian Yunita dkk meneliti marker inflamasi fibrinogen pada PPOK dengan sindrom metabolik, di mana dida­ patkan PPOK dengan sindroma metabolik lebih tinggi kadar fibrinogen dibandingkan tanpa komponen sindroma metabolik, tetapi perbedaan tersebut tidak berbeda bermakna secara statistik (p=0,085). Pada penelitian ini melihat riwayat eksasebasi selama 1 tahun sebelumnya dan didapatkan subjek dengan frekuensi eksaserbasi > 3 kali/tahun nilai fibrinogen lebih tinggi dibandingkan ≤3 kali/tahun dan bermakna

(7)

meneliti marker inflamasi sistemik pada PPOK dengan sindrom metabolik dan mendapatkan peningkatan CRP dan IL­6 pada pasien tersebut. Tetapi penelitian ini tidak menilai kejadian eksaserbasi pada subjek penelitian.16

Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak meratanya jumlah penderita berdasarkan masing­ masing derajat,di mana PPOK derajat I dan IV hanya ditemukan sedikit. Sedangkan kelebihan penelitian ini merupakan penelitian yang pertama mengenai PPOK dengan sindrom metabolik dan hubungannya dengan derajat keparahan PPOK serta kejadian eksaserbasi di daerah Sumatra Barat.

KESIMPULAN

Sebagian besar penderita PPOK memiliki minim al satu komponen sindrom metabolik, semetara yang menderita sindrom metabolik (≥ 3 komponen) hanya sebagian kecil saja. Jumlah komponen sindrom metabolik tidak berhubungan dengan derajat PPOK. Jumlah komponen sindrom metabolik berhubungan secara bermakna dengan kejadian eksaserbasi penderita PPOK

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease, revised 2013. 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK

(Penyakit Paru Obstruktif Kronik), Diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI. Jakarta. 2011.

3. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease: epidemiology, patho­ physiology, and pathogenesis. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI, eds. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Fourth Edition ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008:p.707­27.

4. MacNee W. Pathology, pathogenesis and pathophy siology. In: ABC of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Ed. Currie GP. Blackwell; 2007:p.1202­4.

5. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Epidemiology, patho phy siology, and Pathogenesis. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI, eds. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Fourth Edition ed. New York: Mc Graw Hill Medical 2008:707­27. 6. Arnaud C, Graziella B, Adrien D, Francois

G.Comorbidities of COPD. Eur Res review. 2013;22:454­75.

7. Peter B, Chronic obstructive pulmonary disease; effects beyond the lung. Plus medicine. 2010;7:3. 8. Yvonne N and Klaus F. Systemic manifestations

of COPD. Chest. 2011;139:165­73.

9. Grundy S,Bryan B, James Jr, Sidney S. Definition of metabolic syndrome: Report of the National Heart,Lung,and Blood Institute/American Heart Association Conference on Scientific Issues Related to Definition. Circ American Heart Association jurnal. 2003;109;433­8.

10. Soegondo S, Purnamasari D. Sindrom metabolik. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3 edisi 5. Internal publishing. Jakarta. 2009;1871­2.

11. Halcox J, Quyyumi AA. Metabolic syndrome: overview and current guidelines. Hospital Physicians. 2006:1;12.

12. Yunita A, Faisal Y, Wiwien H, Rochsismandoko. Kadar Fibrinogen dan Faktor­faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil. Jurnal Indonesia Medical Association. 2011;61:149­54. 13. Klaus FR, Jadwiga A. European raspiratory

monography, clinical handbooks for respiratory profesional. ERS. 2013;3:59.

14. Lam KBH, Jordan R, Jiang C.Thomas G.Miler M.Airflow obstruction and metabolic syndrome: the Guangzhu Biobank cohort study. Europian respirology journal. 2010;35:317­23.

15. Park B, Park ms, Kim s, Kang y. Chronic obstructive pulmonary disease and metabolic syndrome; a nationwide survey in Korea. International Journal Tuberc Lung disease.2012;16:694­700. 16. Watz H, Waschki B, Kirsten A, Muller KC,

(8)

syndrome in patients with chronic bronchitis and COPD frequency and associated consequences for systemic inflammation and physical inactivity. Chest. 2009; 136:1039­46

17. Mannino DM, Reichert MM, Davis KJ. Lung function decline and outcomes in adult population. Am J Respire Crit Care Med.2006;173;985­90.

18. Man SF, Sin DD. Effect of corticosteroids on systemic inflammation in chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am

19. Ghanassia E, Jaussent A. Pravalance syndrome metabolic in COPD patients. Rev Mal respirologi. 2006; 23:4.

Gambar

Tabel 1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Tabel 2. Hubungan Nilai Rerata Variabel Komponen Sindrom  Metabolik dengan Derajat PPOK
Tabel 5. Hubungan jumlah komponen sindrom metabolik dengan  kejadian eksaserbasi penderita PPOK

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menunjukan bahwa H 1 diterima yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara BBLR, ASI Esklusif dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5

Faktor pendukung dan penghambat dalam pembentukan karakter kewirausahaan peserta didik melalui Kegiatan Ekstrakurikuler kepramukaan di gugusdepan 09-04-051/09-04-052

dan budaya sebagin besar masyarakat Indonesia yang kurang mendukung terhadap wanita, maka penegakan terhadap hak asasi manusia tidak terlaksana. Tragedi Mei 199 mendesak

Audit jenis ini melakukan verifikasi apakah perangkat lunak dan sistem yang digunakan dalam sebuah organisasi dipakai secara konsisten dan tepat sesuai

Literatur kedua yang digunakan penulis untuk rumusan masalah kedua diambil dari buku karangan Zacky Anwar Makarim yang berjudul Hari-hari Terakhir Timor Timur Sebuah Kesaksian

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa ciri-ciri penggunaan literatur ilmu sosial di Indonesia tidak sama dengan di luar negeri, khususnya mengenai

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka yang menjadi variable dalam penelitian ini adalah notasi kata kunci dari dokumen. Untuk mendapatkan kata kunci dokumen dilakukan

[r]