Perjanjian No. : III/LPPM/2016-02/77-P
’Sintesis Akulturasi Arsitektur
pada Masjid Al-Muttaqun di Klaten’
Laporan Penelitian Arsitektur
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Oleh :
Dr. Bachtiar Fauzy, Ir., MT.
Dr. Purnama Salura, Ir., MMT., MT.
Qori Amelia Nasution, ST.
Clarissa Stephanie (NPM. 2012841021)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Katolik Parahyangan
Bandung
i
ABSTRAK
Fenomena yang terjadi saat ini banyak bangunan peninggalan yang dipengaruhi oleh budaya pendatang yang dibongkar tanpa diperhatikan nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya. Untuk itu telaah tentang arsitektur yang berlatar-belakang bangunan peninggalan perlu diteliti lebih mendalam berdasarkan elemen-elemen pelingkupnya. Uraian elemen bangunan menjadi penting agar mendapatkan esensi dasar dari karakter bangunan tersebut. Masjid Al-Muttaqun Klaten merupakan salah satu bangunan yang telah mendapatkan pengaruh akulturasi budaya masjid di Spanyol. Masjid ini merupakan salah satu objek yang patut untuk diteliti keunikannya, apakah pengaruh-pengaruh yang terjadi pada proses akulturasi budaya dan arsitektur dan apa saja filosofi dan konsep yang mendasari pada bangunan masjid ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap sejauh mana terjadinya akulturasi arsitektur antara fungsi masjid dengan ragam budaya dan arsitektur Jawa dan masjid di Spanyol dengan cara melakukan sintesis dengan menelusuri sejauh mana arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh unsur budaya dan arsitektur tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif, analitik dan interpretatif, dengan menggunakan teori archetypes, ordering principle dan teori budaya – arsitektur tradisional Jawa dan Spanyol, dengan demikian teori dan metodologi yang digunakan dapat mengungkap fenomena arsitektur melalui penelusuran wujud akulturasi dari aspek fungsi, bentuk dan maknanya melalui filosofi tata ruang, kesakralan, dan pengaruh budaya yang terjadi pada bangunan masjid.
Dari penelusuran yang dilakukan akan dapat membuktikan bahwa Masjid Al-Muttaqun di Klaten ini merupakan ekspresi akulturasi arsitektur antara budaya Jawa
dan masjid di Spanyol melalui ide, gagasan desain dan konsep konsepnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai rujukan bagi kasus studi yang serupa di beberapa kawasan lainnya serta dapat menyumbangkan pengetahuan teori akulturasi arsitektur pada aspek fungsi, bentuk dan maknanya secara berkesinambungan.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala bimbingan, rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini disusun dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan lapangan melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Katolik Parahyangan.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan kajian terhadap aspek aspek akulturasi dalam arsitektur dengan berbagai macam dan ragamnya melalui telaah penelitian yang berjudul : ‘Sintesis Akulturasi Arsitektur pada Masjid Al-Muttaqun
di Klaten’. Penelitian ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa perhatian dan
bantuan dari semua pihak yang telah mendukung dalam proses awal hingga penyelesain dan tak lupa pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahadhian Prajudi Herwindo, ST., MT., selaku Kepala Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan yang telah mendukung dalam penelitian ini.
2. Bapak Dr. Johannes Adhijoso Tjondro, Ir., M.Sc., selaku Dekan Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan yang telah mendukung dalam penelitian ini.
3. Ibu Catharina Badra Nawangpalupi, Ph.D., selaku Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Katolik Parahyangan yang telah mendukung dalam penelitian ini.
4. Ketua Komunitas Bidang Ilmu STEFA (Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur), Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan.
5. Pengurus Masjid Al-Muttaqun di Klaten yang akan memberikan kesempatan survey pengambilan data dan informasi di lapangan.
Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan arsitektur di Indonesia pada umumnya, mengisi khasanah ilmu pengetahuan arsitektur serta bermanfaat bagi masyarakat akademik pada khususnya.
Bandung, Nopember 2016 Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang ...…….. 1
1.2. Kasus Studi ...…...…...…….….. 2
1.3. Ruang Lingkup Penelitian ………... 2
1.4. Rumusan Masalah ... 3
1.5. Urgensi Penelitian ...………... 5
1.6. Metode dan Kerangka Penelitian ……… 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1. State of The Arts ... 8
2.2. Peta Penelitian ...……... 8
2.3. Sintesis Akulturasi Arsitektur ...…... 9
2.4. Pendekatan yang Digunakan ...…... 10
2.5. Teori dan Metodologi ……… 11
BAB III. SINTESIS AKULTURASI ARSITEKTUR PADA MASJID AL-MUTTAQUN DI KLATEN 18
3.1. Sumbu Bangunan ………..…… 18
3.2. Simetri Bangunan ……….. 19
3.3. Hirarki Bangunan ……….. 20
3.4. Irama, Pengulangan dan Datum ……… 20
3.5. Orientasi dan Tatanan Massa ……… 21
3.6. Sosok Bangunan ……… 22
3.7. Pola Tata Ruang ……… 23
3.8. Kepala (Atap), Badan (Dinding) dan Kaki (Lantai) ………..… 23
3.9. Unsur Unsur Lain ……….…. 27
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 29
4.1. Kesimpulan ………..………..… 29
4.2. Saran ……….. 30
DAFTAR PUSTAKA iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Arsitektur bangunan-bangunan di Indonesia pun tak ketinggalan turut serta dalam tren dunia saat ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia tentu mendapat pengaruh yang besar dari berbagai belahan dunia. Sehingga, perkembangan arsitektur di Indonesia tidak heran mendapat pandangan yang besar dari masyarakat, walaupun belum sepesat negaranegara Barat. Namun demikian, di tengah gencarnya peniruan segala sesuatu yang berbau asing di kalangan arsitek Indonesia, dewasa ini bangunan-bangunan modern di Indonesia yang mengangkat kekayaan arsitektur lokal daerah mulai marak. Perkembangan arsitektur Indonesia saat ini bergerak ke arah perpaduan gaya antara budaya asing dengan budaya lokal, budaya Barat dengan Timur. Atau dengan kata lain, terjadi percampuran gaya arsitektur antara unsur lokal dengan non-lokal (pendatang) pada arsitektur yang saat ini berkembang di Indonesia.
Klaten, Jawa Tengah tidak terlepas dari fenomena yang tengah berkembang tersebut. Multikulturalisme dan perkembangan budaya di Indonesia juga terasa dampaknya di kota Klaten, Jawa Tengah. Perkembangan arsitektur di Klaten turut dipengaruhi pula oleh perkembangan kebudayaan serta lingkungan sekitarnya. Bentuk arsitektur dapat mencerminkan identitas suatu daerah, lingkungan sekitar, hingga sejarahnya yang tidak terlepas dari adanya pengaruh sosial, budaya, politik, ekonomi, lingkungan, hingga kepercayaan yang memperngaruhinya. Oleh karena itu, tidak jarang wujud arsitektur bangunan mengalami difusi dari faktor budaya asal, budaya pendatang, maupun agama berdasarkan sejarah yang mendasarinya maupun keadaan lingkungan sekitar sehingga menghasilkan wujud arsitektur yang terakulturasi.
Masjid merupakan salah satu bangunan tempat beribadah untuk umat muslim di Klaten, dimana masjid yang terdapat di Klaten banyak yang mengakulturasikan bentuk bangunannya dengan budaya lokal dan prinsip-prinsip Islam. Sebagai sebuah kenyataan sejarah, Agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.
2 Masjid ini mengangkat unsur budaya Jawa yang tampak kental pada arsitekturnya, namun juga terdapat unsur budaya asing yang diangkat pada desain bangunan ini, yaitu arsitektur masjid di Spanyol. Terdapat lebih dari satu unsur gaya arsitektur yang tampak saling berdampingan pada masjid ini membentuk kekayaan wujud arsitektur yang dapat dirasakan langsung oleh siapa saja yang mengunjungi pada bangunan ini.
Masjid Al-Muttaqun merupakan pusat peribadatan dan syiar Islam masyarakat setempat, oleh sebab itu masjid ini banyak disinggahi pengunjung, baik yang sekadar transit untuk beristirahat sejenak sekaligus beribadah dalam perjalanan antarkota maupun wisatawan yang sengaja datang ke Klaten untuk berkunjung ke Candi Prambanan.
Dengan fenomena yang telah dipaparkan diatas, menjadikan Masjid Al- Muttaqun di Klaten ini termasuk menjadi salah satu objek yang menarik perhatian penulis untuk meneliti serta membahas lebih dalam mengenai bagaimana dan apa saja percampuran gaya arsitektur yang terdapat pada arsitektur ruang dalam maupun ruang luar masjid tersebut apakah mempengaruhi fungsi, bentuk, dan makna bangunan, serta apa saja filosofi atau landasan yang mendasari perancangan wujud bangunan tersebut serta elemen-elemen pembentuknya dan yang tidak kalah penting adalah kesesuaian dengan fungsi bangunan itu sendiri sebagai sarana publik yang mewadahi kegiatan peribadatan umat Islam di Klaten, Jawa Tengah.
1.2. Kasus Studi
Telaah mengenai ‘Sintesis Akulturasi Arsitektur Pada Masjid Al-Muttaqun di Klaten’ ini akan berpumpun pada penelitian yang bersifat deskriptif-analitis dan interpretatif, berlandas pada bukti empiris lapangan yang ditemukan dalam kasus studi, yang ditentukan berdasarkan tingkat paparan (exposure) terhadap pengaruh budaya dan arsitektur lokal (Jawa) dan non lokal (Spanyol).
1.3. Ruang Lingkup Penelitian.
Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk membatasi ruang lingkup teori dan objek penelitian yang akan dibahas agar tetap kontekstual dan sesuai dengan topik penelitian. Ruang lingkup penelitian dibagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup teori dan ruang lingkup objek.
3 Dalam penelitian ini batasan teori yang digunakan adalah teori arsitektur, teori arsitektur Jawa, teori arsitektur masjid di Spanyol (pada masa kejayaan Islam), teori kaidah agama Islam, teori archetypes, teori ordering principle, serta teori relasi fungsi bentuk dan makna arsitektur. Batasan teori ini diperlukan agar pembahasan dan penelitian menjadi lebih terfokus sehingga dapat menghasilkan kesimpulan penelitian yang baik dan benar.
Objek penelitian yang akan diambil adalah Masjid Al-Muttaqun di Klaten, bangunan Masjid Al-Muttaqun ini telah berdiri sejak tahun 1917, kemudian mengalami renovasi pada tahun 1977, namun pada tahun 2006 mengalami kerusakan besar akibat gempa yang terjadi di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Lalu bangunan masjid ini dibangun kembali dan dirancang ulang oleh Ir. Budi Faisal (arsitek senior di PT Tsana Mulia, Bandung) pada tahun 2007 dengan masa pembangunan berakhir pada tahun 2009. Lokasi tempat objek penelitian Masjid Al-Muttaquun (dengan luas bangunan kurang lebih 1.800 m2) ini berlokasi di jalan Yogya-Solo Km. 16, Desa Dukuh Ngangruk, Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Klaten.
Tabel 1.1. Gambar layout ruang dan foto bangunan existing masjid
Gambar 1.1. Bangunan masjid Al-Muttaqun di Klaten
Sumber : Google (2013)
1.4. Rumusan Masalah (1). Masalah Penelitian
Wujud arsitektur yang tampil pada bangunan Masjid Al-Muttaquun di Klaten merupakan sebuah perwujudan bangunan yang memiliki keunikan yang mengindikasikan adanya unsur bentuk percampuran gaya arsitektur Jawa dan arsitektur masjid di Spanyol.
4 Penelitian ini akan mengkaji tentang percampuran gaya arsitektur Jawa dan masjid di Spanyol pada bangunan Masjid Al-Muttaqun, serta wujud percampuran gaya arsitektur pada wujud keseluruhan bangunan serta elemen-elemen pembentuknya.
(2). Pertanyaan Penelitian
1). Apa yang dimaksud dengan sintesis akulturasi arsitektur dalam penelitian ini ? 2). Bagaimana wujud akulturasi arsitektur pada masjid Al-Muttaqun di Klaten ? 3). Elemen apakah yang paling dominan pada masjid Al-Muttaqun di Klaten ?
(3). Sasaran dan Tujuan Penelitian
Sasaran Penelitian
Sasaran Penelitian ini adalah masyarakat sekitar masjid Al-Muttaqun untuk menjaga kelestarian masjid serta masyarakat Klaten maupun luar untuk terus menjaga dan menghargai bangunan ini secara berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan upaya akademik meneliti proses akulturasi arsitektur yang terjadi pada bangunan masjid Al-Muttaqun di Klaten. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini ialah :
(a) mempelajari teori akulturasi dalam bidang arsitektur, (b) mengkaji akulturasi antara gaya arsitektur Jawa dan Spanyol pada bangunan masjid Al-Muttaqun di Klaten. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
mengetahui dan memahami sampai sejauh mana ekspresi langgam arsitektur yang dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya dan arsitektur Jawa dan Spanyol berdasarkan konsep yang melandasinya,
mengungkap seluruh hubungan yang terjadi antara sosok bentuk arsitektur dan elemen serta ornamen yang melekat pada bangunan kasus studi,
mengetahui ciri, karakteristik dan identitas arsitektur pada bangunan kasus studi. (5). Manfaat Penelitian
Sebagai wujud pengabdian terhadap bidang arsitektur, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi banyak pihak, manfaat yang diharapkan dari penelitian yang sudah dilaku-
5 kan adalah :
(1) Pembaca : memberikan informasi secara tertulis mengenai proses akulturasi yang terbentuk pada masjid Al-Muttaqun di Klaten,
(2) Peneliti : (a) menambah pengetahuan tentang proses akulturasi dalam arsitektur, (b) mengetahui pengaruh yang diberikan oleh budaya pendatang pada budaya setempat dan (c) memperoleh pengalaman menganalisis dengan metode yang benar.
1.5. Urgensi Penelitian
Penelitian ini dipandang memiliki tingkat urgensi untuk dilakukan telaah karena kajian tentang arsitektur yang berlatar-belakang akulturasi arsitektur belum banyak yang mengupas bangunan secara lebih detail berdasarkan elemen-elemen pelingkupnya. Sumbangan penelitian pada ilmu arsitektur di Indonesia adalah dapat memberikan pemahaman bagaimana cara menelusuri karya arsitektur, khususnya yang memiliki perpaduan bentuk gaya arsitektur lokal dan non lokal yang sangat dominan (merujuk sejarah masuknya budaya pendatang).
Metoda yang digunakan dapat digunakan untuk menelusuri elemen elemen pelingkup bangunan, sedangkan pada tingkat internasional dapat memberikan warna dan pandangan ragam percampuran budaya lokal dan pendatang dapat memberikan kontribusi bagaimana peran lokal arsitektur dan budaya dapat mengisi warna arsitekturnya sehingga dapat memberikan identitas budaya dan arsitektur yang baru dan beragam.
1.6. Metode dan Kerangka Penelitian (1). Metode Penelitian
Secara garis besar, metodologi yang dipakai dalam penelitian ini merupakan metode
deskriptif (mendeskripsikan bangunan secara menyeluruh), analitik (menganalisis
berdasarkan dominansi dari elemen elemen pelingkupnya) dan interpretatif (melakukan kajian berdasarkan makna yang tampil dari bentuk dan ragam elemen bangunannya) sesuai dengan tahapan yang dilakukan dalam penelitian mengenai deskripsi objek penelitian, analisa dengan mengkaitkan dengan teori/ metoda dan interpretasi analisa yang didapat sebagai wujud pemberian nilai makna pada objek penelitian ini untuk mendapatkan kesimpulan yang merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian.
6 (2). Langkah dan Kerangka Penelitian
(a). Langkah Penelitian
Penelitian akan dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut : (1) Langkah 1,
Menjelaskan dan menguraikan pengertian serta pemahaman tentang bangunan Masjid Al-Muttaqun di Klaten, sebagai salah satu bangunan dengan konsep desain akulturasi arsitektur yang dikaitkan dengan literatur yang relevan.
(2) Langkah 2,
Menjelaskan dan menguraikan pengertian serta pemahaman tentang sintesis akulturasi arsitektur serta konteks bangunan akulturasi arsitektur yang berkenaan dalam penelitian ini melalui telaah kritis teoritik berdasarkan studi literaturnya.
(3) Langkah 3,
Melakukan kegiatan perekaman fisik pada objek studi dengan menggunakan media foto dan gambar.
(4) Langkah 4,
Melakukan kegiatan penggambaran kembali objek studi secara tiga dimensional pada bentuk keseluruhan, elemen dan ornamen dengan menggunakan alat bantu komputer agar dapat dianalisis secara lebih rinci dan terpadu dari elemen-elemen bangunannya. (5) Langkah 5,
Menguraikan elemen-elemen bangunan sesuai dengan anatomi bangunan yang terdiri dari : bentuk massa bangunan, susunan ruang, pelingkup bangunan, struktur dan konstruksi serta elemen dan ornamen (baik yang konstruksional maupun non konstruksional).
Kemudian elemen-elemen ini dianalisis secara terpisah. (6) Langkah 6,
Melakukan kegiatan interpretasi dan analisis tampilan bangunan sesuai dengan kaidah secara teoritik (dominasi ekspresi bangunan secara keseluruhan).
(7) Langkah 7,
Melakukan kegiatan wawancara dan diskusi dengan arsitek yang merancang bangunan ini dan pakar bangunan heritage (penentuan pakar heritage berdasarkan pada pakar yang telah lama mengajar dan aktif di komunitas bangunan bersejarah).
7 (8) Langkah 8,
Menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan pertanyaan penelitian, yang berupa rumusan jawaban dari pertanyaan penelitian.
(b). Kerangka Penelitian 9 TUJUAN PENELITIAN PENDEKATAN Kajian Teoritik KASUS STUDI Studi Lapangan A N A L I S I S Kepala (Atap) Badan (Dinding) Kaki (Lantai) TEORI ARCHE TYPES Simetri (Sumbu) Hirarki Irama Pengulangan Datum Transformasi TEORI ORDERING PRINCIPLE Massa Bangunan Susunan Ruang Pelingkup Bangunan Struktur-Konstruksi Elemen dan Ornamen Sintesis Akulturasi Arsitektur Pada Masjid Al-Muttaqun di Klaten
INTERPRETASI DOMINASI BENTUK, ELEMEN, ORNAMEN (Interpretasi dilakukan dengan menelusuri elemen2 pelingkup
bangunannya, dengan mengurai elemen kepala, badan dan kaki bangunan)
Kesimpulan dan Saran
Wawancara dan Diskusi
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. State of The Arts
Setiap karya arsitektural selalu berupaya untuk menciptakan relasi yang harmonis antara bentuk dan fungsinya secara menyeluruh dengan menampilkan maknanya. Arsitek sebagai perancang selalu memaknai (memberi arti) pada relasi fungsi dan bentuk bangunan tersebut. Mies Van de Rohe, memberi makna dengan semboyan less is more.
Penelusuran mendalam tentang relasi yang terkait antara sosok bentuk arsitektur dengan fungsi dan maknanya akan dapat membaca ciri dan karakteristik sebagai perwujudan identitas arsitektur. Untuk itu proses penelusuran aspek bentuk akan dapat mengetahui secara rinci elemen-elemen yang mendukung terciptanya aspek fungsi dan maknanya, sehingga akan dapat ditelusuri sintesis arsitekturalnya sebagai state of the arts dari penelitian ini.
Seperti telah diuraikan pada bagian depan, isu utama dalam penelitian adalah bagaimana mengkaitkan antara ciri dan karakteristik arsitektur berdasarkan teori
archetypes, ordering principle dengan teori fbm (fungsi, bentuk dan makna) yang terjalin
dalam satu kesatuan bentuk berdasarkan konteksnya. Diyakini bahwa unsur arsitektur selalu terdiri dari :
Fungsi sebagai satu jenis atau kumpulan aktivitas,
Bentuk sebagai rupa ruang atau ruangan fisik yang mengakomodasi aktivitas,
Makna atau arti yang ditangkap oleh pengamatnya dari tampilan akitivitas dan bangunan (Salura, 2010).
2.2. Peta Penelitian
Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengedepankan sintesis arsitektural seperti yang diuraikan di atas adalah dengan melakukan penelitian. Kedepan dapat dipahami bahwa ada upaya para arsitek untuk melakukan kegiatan sintesis arsitektural, baik secara fisik maupun dalam tataran konsep, menjadikan titik berangkat perancangan. Dengan adanya penelitian yang jumlahnya cukup signifikan terhadap bangunan yang mengelaborasi unsur lokal dan non lokal, maka akan dapat diharapkan adanya hasil formu-
9 lasi dan variasi sintesis arsitektural secara kualitatif. Penelitian ini merupakan salah satu dari rangkaian penelitian besar dan berjangka panjang yang dilakukan secara berkesinambungan, dengan mengkaitkan tema utama yaitu Sintesis Arsitektural. Penelitian ini sebagai bagian dari penelitian yang bertemakan pada aspek kesesuaian, yakni kesesuaian bangunan dengan konteks budaya dan alamnya, baik konteks budaya pendatang maupun budaya lokal (melalui kajian sintesis akulturasi arsitektur).
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
‘stake-holder’, yakni dalam upaya :
(1) mendorong para arsitek untuk memiliki kesadaran akan perlunya melakukan upaya sintesis elemen arsitektural dalam kegiatan merancang bangunan di Indonesia,
(2) mengembangkan keilmuan arsitektur dalam cakupan filosofis, teoritis dan metodologis dengan mengemukakan tema sentral sintesis akulturasi arsitektur,
(3) menyebarkan perbendaharaan arsitektur dengan mempublikasikan hasil penelitian yang telah dilakukan secara meluas.
2.3. Sintesis Akulturasi Arsitektur
Sintesis akulturasi arsitektur merupakan bentuk kajian yang mengungkap melalui penelusuran elemen elemen pelingkup bangunannya yang memiliki percampuran gaya arsitektur yang terbentuk melalui kombinasi gabungan gaya arsitektur lokal (setempat) dengan gaya arsitektur non lokal (pendatang). Pemahaman ini juga dapat ditelusuri melalui perpaduan unsur lokal dan non lokal yang terlihat pada elemen elemen bangunannya, baik yang menyangkut dengan bentuk, ruang dan makna simboliknya.
Dalam kegiatan praktek arsitektural, kata dan pengertian sintesis dapat digunakan sebagai petunjuk dalam membantu kegiatan membuat (merancang) bangunan. Membuat adalah melakukan kegiatan sintesis dengan menunjuk pada sebuah hasil baru yang merupakan gabungan antara elemen yang satu dengan lainnya secara berkesinambungan. Proses sintesis merupakan proses yang menggabungkan antara dua atau lebih elemen bangunan yang mempunyai sifat serupa atau berbeda melalui prinsip komposisi keteraturan sehingga menghasilkan sebuah bentuk baru, sehingga hasil ini dapat dikatakan sebagai suatu proses menerapkan prinsip umum kedalam bentukan khusus.
10 2.4. Pendekatan yang Digunakan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini akan berfokus pada pendekatan untuk membaca ciri dan karakteristik objek studi berdasarkan sintesis elemen-elemen arsitekturnya. Dalam rangka membaca dominasi ekspresi bangunan secara keseluruhan akan digunakan dua pendekatan :
(1) Pendekatan Pursal dan Fauzy (2012) : ‘Relasi Fungsi, Bentuk dan Makna’.
Studi yang dilakukan oleh Salura, Fauzy (2012) mengedepankan argumen tentang relasi yang tidak dapat dipisahkan antara fungsi dan bentuk. Sedangkan manusia selalu memaknai atau memberi arti setiap fungsi, bentuk dan relasi diantara keduanya. Tiga aspek arsitektur ini (fungsi, bentuk dan makna) diyakini merupakan aspek utama dalam arsitektur yang selalu saling mempengaruhi. Pendekatan ini sejalan dengan sifat penelitian ini karena mempunyai tujuan untuk mencari makna yang berada dibelakang bentuk.
(2) Pendekatan Thomas Thiis Evensen (1987) : ‘Archetypes in Architecture’.
Arch-etype merupakan sebuah istilah yang datang dari Carl Jung seorang pakar psikologi yang berarti imaji atau citra tipe yang paling mendasar yang diperoleh dari kesadaran kolektif manusia. Evenson seorang pakar arsitektur yang mencoba menerapkannya dalam arsitektur. Menelusuri bentuk arsitektur secara mendetail. Secara garis besar membagi bangunan menjadi tiga elemen utama yaitu bawah, tengah dan atas. Kemudian mencoba menganalisis setiap elemen bangunan itu dengan pokok-pokok :
motion, weight, substance” yang ia sebut sebagai existencial expression.
Berdasar uraian singkat tersebut di atas, penelusuran aspek bentuk akan dilandaskan pada pendekatan architectural arche-types karena penelitian ini berusaha untuk mengungkap makna yang berada dibelakang setiap bentuk.
(3) pendekatan D.K. Ching : ‘Ordering Principle’.
Bangunan pada kasus penelitian ini akan diurai berdasarkan tatanan bentuk yang terdiri dari susunan dan elemen bangunan. Berdasarkan tiga pendekatan tersebut diatas pada kasus studi akan dibaca dominasi bentuk arsitekturnya secara keseluruhan dan elemen serta ornamennya yang menghasilkan ciri dan karakteristik arsitekturnya. Hasil penelusuran ini kemudian dapat ditelusuri bagaimana sintesis yang tercipta antara elemen-elemen arsitekturnya.
11 2.5. Teori dan Metodologi
Menurut Koentjaraningrat (2005), akulturasi merupakan proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsurunsur-unsur asing itu lamban-laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu. Pengertian lain dari akulturasi ini merupakan proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsurunsur-unsur asing itu lamban-laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu, unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senatiasa dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengkaji sejauh mana akulturasi arsitektur yang terbentuk berdasarkan pengaruh gaya arsitektur Jawa dan Spanyol pada masjid Al-Muttaqun di Klaten. Untuk mendapatkan hasil dan analisa yang tepat, diperlukan teori-teori yang dapat melandasi dan mendukung analisa dan pengambilan kesimpulan pada penelitian ini. Teori – teori yang digunakan adalah teori yang sudah ada terlebih dahulu dan berhubungan dengan penelitian ini. Teori yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1). Teori Akulturasi
Sejak dahulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia ada gerak migrasi, gerak perpindahan dari suku-suku bangsa di muka bumi yang menyebabkan pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda dan sebagai akibatnya individu-individu dalam kebudayaan itu di hadapkan dengan kebudayaan asing Koentjaraningrat (1990).
Menurut Salura (2010), percampuran budaya tentu mempunyai akibat pada bidang arsitektur. Sering digunakan istilah akulturasi arsitektur. Kata akulturasi pertama kali muncul dalam percakapan Plato sekitar abad 4BC, kata ini dihubungkan dengan kecenderungan manusia untuk meniru orang lain yang ditemui dalam perjalanan, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing ini lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
12 Dengan merujuk pada beberapa definisi, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa akulturasi adalah sebuah proses sosial dimana dua atau lebih kebudayaan bertemu dan saling mempengaruhi satu sama lain tanpa menghilangkan identitas satu sama lain. Dalam segi arsitektur, akulturasi merupakan sebuah wujud percampuran kebudayaan yang tercermin dan dapat terilihat dari wujud bangunan sebagai bentuk dari kebudayaan yang terdapat pada suatu daerah, dengan tidak menghilangkan kepribadian dari budaya lokal maupun budaya pendatangnya.
(2). Gaya dalam Arsitektur
Gaya atau langgam arsitektur merupakan prinsip-prinsip yang mendasari perwujudan sebuah bentukan bangunan, yang dapat mencakup unsur-unsur seperti bentuk, metode konstruksi, bahan, dan karakter daerah. Pada umumnya arsitektur dapat diklasifikasikan sebagai rentetan gaya yang berubah dari waktu ke waktu dan mencerminkan perubahan mode, sehingga memunculkan ide-ide dan teknologi baru yang dapat membentuk gaya atau langgam baru.
Rumah tradisional Jawa disebut sebagai omah (griya/dalem) untuk daerah kejawen (Yogyakarta), dimana rumah yang lengkap terdiri dari: pendapa, peringgitan, dalem,
gandhok, langgar dan gedhokan untuk kandang hewan. Rumah atau omah adalah tempat
atau panggenan yang berfungsi untuk segala kegiatan kehidupan rumah tangga yang bersifat profan yaitu makan, minum, istirahat dan sakral seperti beribadah, mengelola hasil panen dan kegiatan sosial lainnya.
(a). Orientasi Ruang
Masyarakat Jawa mempercayai pengaruh kekuatan yang berasal dari keempat penjuru mata angin, atau biasa disebut Pajupat. Pajupat memengaruhi gaya arsitektur masyarakat Jawa dalam hal orientasi bangunan yang menghadap ke arah utara – selatan. Orientasi rumah Jawa mengikuti sumbu kosmis pada arah utara-selatan. karena merupakan arah Sang Hyang Wisnu sebagai dewa penolong yang arif bijaksana, suka memberi pertolongan kepada yang lemah dan berpihak kepada yang benar. Diharapkan rumah yang menghadap utara akan membawa kebahagiaan dan ketentraman hidup bagi penghuninya (Frick, 1997).
13 Di kalangan masyarakat Jawa, gunung merupakan sesuatu yang dianggap sakral, hal ini disebabkan karena gunung atau tempat yang tinggi dipercaya sebagai tempat tinggal dewa-dewa. Raja-raja Jawa menganggap mereka sebagai titisan dewa Wisnu yang berkedudukan di utara, yakni di gunung. Pengaruhnya terhadap arsitektur adalah dengan adanya konsep punden berundak yang merupakan konsep ruang yang menganggap ruang yang lebih tinggi adalah ruang yang lebih sakral (Pitana 2001 dan 2002).
(b). Konsep Ruang
Pada masyarakat Jawa, konsep pola tata ruang dalam suatu rumah tradisional Jawa terdiri dari rumah induk dan rumah tambahan. Bagian depan pada rumah Jawa disebut
pendopo, di tengah peringgitan dan yang paling belakang dan terdalam adalah dalem.
Dalam wujud rumah Jawa terdapat beragam unsur yang dapat diidentifikasi dan secara langsung menunjukkan identitas dan kebudayaan Jawa (Frick, 1997).
Soko Guru, Umpak dan Ornamen
Soko guru merupakan ciri khas bangunan berbentuk joglo pada rumah tradisonal jawa. Saka guru dibentuk di tengah-tengah. Ragam hias saka guru dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yakni umpak, saka (tiang), dan mayangkara. Menurut teori arsitektur rumah Jawa, ruang yang paling penting berada di tengah, struktur atap juga dimulai dari ruang tengah (Fauzy, 2013).
Tumpangsari merupakan balok-balok yang disusun secara pyramid. Lubang paling atas tumpang sari ditutup dengan papan kayu yang disebut ceplok. Tumpangsari dibuat dalam lima, tujuh, dan Sembilan tingkatan yang semakin atas semakin mengecil. Beberapa literature tentang kebudayaan dan arsitektur Jawa menyebutkan bahwa efek visual yang ditimbulkan oleh tumpang sari.
Umpak merupakan alas kolom yang dibuat dari batu alam. Umpak pada pendopo ada yang terbuat dari batu pualam maupun batu kali. Bentuk dan warna umpak dapat bermacam-macam. Terkadang pada umpak juga terdapat ukiran ornamen khas Jawa. Umpak pada bangunan Jawa biasanya tidak diberi warna (warana material dibiarkan) atau dicat dengan warna hitam. Ornamen dalam rumah tradisional Jawa biasanya bermotif abstraksi dari bentuk alam, ada beberapa jenis ornamen dengan motif yang bukan berasal dari alam, seperti : ornamen kaligrafi, mustaka, panahan dan makutha.
14
Tabel 2.1. Beberapa contoh ragam hias dalam gaya arsitektur Jawa
No. Ornamen Gambar Keterangan
1. Lung-lungan Biasanya berupa relief pada kayu yang tidak diwarnai, kecuali pada rumah-rumah bangsawan. Merupakan hiasan yang paling sering ditemui pada balok, pintu dan jendela rumah Jawa
2. Patran Ragam hias ini biasa ditemui pada sisi tipis balok dengan posisi ujung daun dibawah. Pada umumnya patran tidak diberi warna.
3. Padma Padma hanya digunakan pada umpak dan
melambangkan kesucian. Biasanya diletakkan pada saka guru
4. Gunungan Ragam hias ini terbuat dari seng atau tembikar yang tidak diberi warna. Penempatannya adalah pada tengah-tengah bubungan
5. Makutha Ragam hias ini berbentuk mahkota dengan jenis yang bermacam-macam dan terbuat dari seng atau tembikar. Pewarnaannya dibiarkan polos atau diberi warna hitam dan ditempatkan pada tengah-tengah bubungan bangunan
6. Mustaka Ragam hias ini merupakan hiasan pada puncak
bangunan berbentuk tajug, yang dibuat dari seng yang bisa dicat dan bisa juga tidak dicat.
Gambar 2.1. Identifikasi elemen arsitektur pada Keraton Yogyakarta
Sumber : Purwani (2001)
Merujuk pada teori Arsitektur Jawa dapat disimpulkan bahwa arsitektur Jawa merupakan sebuah gaya arsitektur yang berpegang pada bangunan sebagai perwujudan mikro kosmos dari dunia. Dalam arsitektur Jawa terdapat prinsip dualisme, Pajupat dan
Monca-pat. Bangunan dalam arsitektur Jawa memiliki orientasi mengarah pada arah utara
yakni gunung Mahameru sebagai perwujudan tempat tinggal Dewa Wisnu.
(3). Gaya Arsitektur Masjid di Spanyol
Peninggalan kebudayaan dan arsitektur masjid di Spanyol dapat dilihat dari peninggalan-peninggalam bangunan masjid yang hingga saat ini masih ada artefaknya. Elemen elemen yang digunakan pada bangunan tersebut sangat unik dan beragam. Elemen-elemen yang sangat menonjol pada gaya arsitektur masjid di Spanyol, berupa : motif motif ragam yang ada di ruang dalam, plafond, dinding, fasade dan elemen ornament bangunan yang menjadikan ciri dan karakteristiknya.
15 Berikut tabel detail motif yang sering digunakan pada bangunan masjid di Spanyol.
Table 2.2. Referensi Detail Motif dan Ragam
Referensi Detail Motif dan Ragam
Ref. Denah Ref. Ruang Dalam Ref. Motif Ref. Motif
Ref. Bukaan Fasade Ref. Bukaan Fasade Ref. Motif Plafond Ref. Motif Plafond
Ref. Motif Ref. Motif Ref. Motif Ref. Motif
Pengertian Masjid
Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. “Mesjid diartikan sebagai tempat dimana saja untuk bersembahyang orang muslim, seperti sabda Nabi Muhammad Saw.: “Di manapun engkau bersembahyang tempat itulah mesjid”. Kata mesjid berasal dari kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk penuh hormat dan takzim. Sujud syariat yaitu berlutut, meletakkan dahi, kedua tangan ke tanah adalah bentuk nyata dari arti kata tersebut diatas” (Pevsner, 1975). Berdasarkan kategori tempat shalat itu, dapat dikategorikan kepada ; masjid, langgar dan musholla.
16
Elemen Elemen Masjid
Sebuah bangunan pasti memiliki bagian-bagian mendasar yang membentuknya menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai massa bangunan, diantaranya ruang dalam dan ruang luar. Bangunan masjid memiliki bagian-bagian mendasar yang membuat sebuah bangunan dapat dikatakan sebagai masjid, yaitu :
a) masjid memiliki ruang untuk jamaah berkumpul dan bersembahyang,
b) tempat tersebut memiliki arah orientasi ke Ka’bah yang biasanya ditandai dengan keberadaan Mihrab.
• Ruang Dalam dan Ornamen
Kubah atau dome dibagian dalam ruang masjid adalah suatu konsep untuk menciptakan suasana sakral serta perasaan diri yang sangat kecil dihadapan Khalik tanpa dipenuhi hiasan dunia yang glamour yang jauh dari menimbulkan rasa sakral. Bentuk persegi akan membuat ruang-ruang yang terbentuk dapat dimanfaatkan seluruhnya, sedangkan denah yang berbentuk sudut-sudut tertentu (lancip) akan membuat ruangan banyak yang terbuang.
(4). Teori Archetype
Arche-type merupakan sebuah istilah yang datang dari Carl Jung seorang pakar
psikologi yang berarti imaji atau citra tipe yang paling mendasar yang diperoleh dari kesadaran kolektif manusia. Evensen, seorang pakar arsitektur yang mencoba menerapkannya dalam arsitektur. Berdasar uraian di atas, penelusuran aspek bentuk akan dilandaskan pada pendekatan architectural archetypes karena penelitian ini berusaha untuk mengungkap makna yang berada dibelakang setiap bentuk. Bentuk-bentuk dasar dapat disebut sebagai arketipe arsitektur, berasal dari bahasa Yunani yang berarti : pola dasar atau bentuk pertama atau model asli seperti yang ada sebagai dasar dari variasi dan kombinasi yang ada setelahnya (Evansen, 1987).
Sebuah teori archetype memiliki tiga tujuan yakni : a) mengklasifikasikan arketipe dalam gambaran terkonsentrasi, b) menggambarkan bangunan untuk dapat menunjukkan potensi ekspresi yang ada dalamnya, c) menunjukkan bahwa ada bahasa yang umum dalam bentuk yang kita bisa segera pahami, terlepas dari interpretasi individu atau budaya.
17 Dalam teori archetypes elemen bentuk dapat didefinisikan dalam 3 aspek yaitu elemen lantai, dinding, dan atap. Pada dasarnya elemen-elemen ini mendefinisikan hubungan antara luar dan dalam, membuat dalam ditengah-tengah luar, meskipun dalam cara yang berbeda: lantai sebagai bagian bangunan yang paling bawah, memiliki peran untuk mendefinisikan antara atas dan bawah, dinding sebagai bagian tengah bangunan mendefinisikan dalam dan di sekitar.
(5). Prinsip Penataan (Ordering Principle)
Menurut Ching (2008), Ordering principle merupakan prinsip-prinsip yang biasa digunakan untuk menciptakan tatanan dalam suatu komposisi arsitektural. Sumbu, merupakan sarana paling mendasar dalam pengaturan bentuk dan ruang arsitektural. Prinsip-prinsip penataan terdiri dari :
a) Simetri, suatu sumbu dapat terwujud tanpa menghadirkan simetri, maka suatu kondisi simetri tidak dapat tercipta tanpa adanya sebuah sumbu.
b) Hirarki, ditunjukkan melalui komposisi arsitektural, dimana perbedaan-perbedaan nyata hadir diantara bentuk dan ruang mereka,
c) Datum, mengatur suatu pola elemen acak melalui keteraturan, kemenerusan, dan kehadirannya yang konstan,
d) Irama, merujuk pada segala pergerakan yang ditandai oleh suatu pengulangan elemen atau motif yang berpola pada interval-interval yang beraturan maupun tidak,
e) Pengulangan, dapat dipergunakan untuk mengatur serangkaian elemen yang dapat dikelompokkan berdasarkan kedekatan bentuk atau sifat-sifat yang dimiliki oleh elemen-elemen,
f) Transformasi, merupakan prinsip yang menjelaskan bahwa suatu konsep, struktur, atau organisasi arsitektural dapat diubah melalui serangkaian manipulasi dan permutasi terpisah dalam upaya menanggapi sebuah lingkungan khusus.
18
BAB III
SINTESIS AKULTURASI ARSITEKTUR
PADA MASJID AL-MUTTAQUN DI KLATEN
Kota Klaten merupakan sebuah daerah yang memiliki kebudayaan dan sejarah yang masih kental, masuknya beberapa kebudayaan menyebabkan adanya pengaruh gaya arsitektur yang salah satunya gaya arsitektur masjid di Spanyol. Pengaruh gaya arsitektur pada masjid ini dapat dilihat dari elemen-elemen arsitektur yang mempertegas identitas gaya arsitektur Jawa dan Spanyol yang memiliki prinsip seperti : desain tatanan, orientasi bangunan, tatanan massa, sosok bangunan, pola tata ruang, atap, material, elemen arsitektur, dan ragam hias.
3.1. Sumbu Bangunan
Sumbu merupakan sarana paling mendasar dalam pengaturan bentuk dan ruang arsitektural. Sumbu merupakan suatu garis maya yang dihasilkan oleh dua buah titik pada suatu ruang, dimana bentuk dan ruang tersebut dapat disusun disekitarnya baik secara teratur maupun tidak teratur. Pajupat mempengaruhi gaya arsitektur Jawa, karena orientasi bangunan yang menghadap ke arah utara – selatan. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa arah mata angin mempunyai pengaruh terhadap kehidupan orang.
Pada denah masjid ini ditemukan dua garis sumbu yang membangi bangunan sesuai dengan prinsip dualisme dalam gaya arsitektur Jawa. Garis sumbu denah membagi masjid menjadi area kanan dan kiri serta depan dan belakang ruang masjid, sesuai dengan fungsinya sebagai ruang untuk tempat ibadah dan serambi untuk berkumpul, pembagian ini juga terlihat pada pola pembagian ruang pada rumah tradisional Jawa, bagian depan (pendopo) sebagai tempat berkumpul dan belakang (senthong) sebagai area privat / sakral.
Table 3.1. Analisa Sumbu Bangunan
Arsitektur Jawa Masjid Al-Muttaqun Arsitektur Masjid Spanyol
Memiliki sumbu kosmis Pajupat sehingga memiliki orientasi kearah utara-selatan.
Memiliki sumbu yang menghubungkan antara gerbang masuk utama dengan mihrab pada arah barat tapak sebagai qiblat. Berkenaan dengan fungsinya sebagai tempat beribadah umat Islam.
Memiliki sumbu pada empat arah mata angin. Sumbu diperkuat dengan adanya candi perwira dan empat buah pintu masuk.
19 3.2. Simetri Bangunan
Tapak masjid ini merupakan sebidang tanah berbentuk persegi yang dibagi menjadi bagian untuk masjid dan ruang terbuka. Pada zoning masjid terdapat massa masjid dengan tatanan ruang pada masjid ini memiliki ruang yang terbagi-bagi berdasarkan fungsinya. Bentuk geometris denah masjid ini didasari pada aspek keefektifan ruang untuk menampung jamaah yang melakukan ibadah shalat dalam bentuk barisan shaf.
Denah yang geometris memungkinkan shaf untuk berjajar dengan rapat serta tidak menyisakan ruang, tampak dan denah pada masjid ini memiliki bentuk simetri pada bagian tampak dan denah. Bentuk simetri masjid dicapai dengan ruang pawestren untuk shalat jamaah wanita berada pada sebelah kiri dan kanan ruang liwan untuk shalat jamaah pria.
Tabel 3.2. Gambar Simetri Bangunan
Gambar 3.1. Prinsip simetri denah (lantai 1 dan 2) pada masjid Al-Muttaqun
Table 3.3. Analisa Simetri Bangunan
Arsitektur Jawa Masjid Al-Muttaqun Arsitektur Masjid di Spanyol
Memiliki prinsip dualisme yang membagi zona pria-wanita, depan-belakang, kanan-kiri dan atas-bawah.
Memiliki denah persegi dengan sumbu kosmis pajupat.
Denah berbentuk simetri dan persegi empat untuk efisiensi shaf shalat dan kenyamanan visual serta audial jamaah.
Masjid memiliki bentuk denah dan tapak yang simetris.
Memiliki denah bentuk geometris dan simetri, melambangkan kestabilan dan keseimbangan pada bangunan sakral. Simetri tercermin dalam denah dan tampak bangunan.
20 3.3. Hirarki Bangunan
Prinsip hirarki bangunan masjid ditunjukkan melalui komposisi bentuk arsitektural, dimana perbedaan nyata hadir diantara bentuk dan ruangnya. Pada gaya arsitektur Jawa, hirarki ditunjukkan dengan ketinggian, seperti pada pendopo, area soko guru merupakan area yang memiliki hirarki paling tinggi dibanding lantai pada area serambi. Ketinggian yang menandakan hirarki juga terlihat pada atap bangunan dimana atap yang disangga oleh kolom soko guru sebagai bagian yang memiliki hirarki tertinggi.
Hirarki yang terlihat jelas pada tapak bangunan masjid ini ditandai dengan peletakkan massa bangunan yang dominan dan berada pada posisi tengah tapak. Disamping itu hirarki yang terlihat pada sisi lain yakni pada ruangan ditunjukkan dengan level lantainya. Posisi ruang utama memiliki hirarki tertinggi dan diperkuat dengan adanya adanya soko guru yang menandakan kesakralan dan hirarki tertinggi pada gaya arsitektur Jawa.
Table 3.4. Analisa Hirarki Bangunan
Arsitektur Jawa Masjid Al-Muttaqun
Prinsip hirarki ditunjukkan dengan ketinggian lantai dan atap serta adanya soko guru pada bangunan.
Hirarki pada lingkungan dibagi dengan masjid sebagai hirarki tertinggi. Pada tapak, masjid sebagai bangunan utama menunjukkan hirarkinya dengan dimensi bangunan.
Ketinggian lantai dan soko guru digunakan untuk menunjukkan hirarki pada ruang dalam masjid.
3.4. Irama, Pengulangan dan Datum
Irama dan pengulangan merupakan sarana untuk menegaskan adanya unsur kesatuan pada bangunan masjid secara keseluruhan. Unsur kesatuan yang dimaksud diekspresikan pada bentuk pengulangan berupa bentuk elemen pelingkup bangunan, elemen structural dan non struktural, motif dan ragam hias yang melekat pada bangunan, baik pada elemen pelingkup kepala (atap), badan (dinding), kaki (lantai) bangunan. Pengulangan pada bangunan masjid ini terlihat dari penggunaan ornamen ragam hias motif Jawa dan ragam gaya arsitektur masjid di Spanyol pada bagian pelingkup bangunan secara keseluruhan. Irama dan pengulangan yang terlihat pada keseluruhan masjid menegaskan adanya kesatuan pada massa-massa yang berada dalam satu kompleks. Pemakaian irama dan pengulangan pada tapak dan massa dalam kompleks masjid menegaskan bahwa bangunan -
21 bangunan ini memiliki kesatuan satu sama lain sebagai bangunan yang berada dalam satu datum yakni tapak kompleks masjid.
Table 3.5. Analisa Irama, Pengulangan dan Datum
Arsitektur Jawa Masjid Al-Muttaqun Arsitektur Spanyol
Prinsip irama dan pengulangan ditunjukkan dengan jarak kolom soko guru pada fasad dan pengulangan ornamen
Prinsip irama ditunjukkan dengan pola pada fasad yang berulang. Prinsip pengulangan terdapat pada elemen pola bangunan pelingkup. Datum pada bangunan berupa ruang inti pada area utama (soko guru).
Prinsip irama dan pengulangan terlihat jelas dalam ornamen dan motif yang digunakan pada gaya arsitektur masjid di Spanyol.
3.5. Orientasi dan Tatanan Massa
Bangunan masjid Al-Muttaqun ini merupakan sebuah kompleks masjid yang memiliki oriantasi kearah barat. Gerbang utama dari kompleks ini berada di arah timur sesuai degan bagian muka bangunan, pada bagian utara bangunan menghadap arah jalan utama. Orientasi bangunan memiliki peranan yang penting dalam menentukan proses akulturasi pada bangunan masjid dengan gaya arsitektur Jawa dan Spanyol. Orientasi masjid ini berdasarkan pada fungsi bangunan yang menghadap ke arah barat (kiblat), orientasi masjid yang menghadap ke barat ditekankan dengan peletakan mihrab yang merupakan tempat imam untuk memimpin shalat dan berkhutbah.
Konsep Monca – Pat yang mempengaruhi hirarki bangunan secara dua dimensi sebagai ekspresi bentuk denah, dimana pada bagian tengah dari bujur sangkar merupakan bagian terpenting. Hal ini terlihat dari bagian tengah pada bangunan dengan gaya arsitektur Jawa merupakan bangunan yang paling penting. Dalam skala yang lebih kecil, ruang yang berada di tengah denah, yakni sentong tengah, memiliki hirarki tertinggi dengan fungsi sebagai tempat untuk pemujaan.
Selain konsep memusat, konsep dualisme dan simetri juga terdapat pada gaya Arsitektur Jawa. Dualisme ruang menurut pandangan masyarakat Jawa, seperti kanan - kiri, depan - belakang, atas - bawah, utara -selatan dan lainnya merupakan ekspresi dari sikap dan orientasi ruang. Teori pasangan ini juga tercermin dalam arsitektur dalam wujud bentuk susunan ruang yang simetri berdasarkan hirarki ruangnya (Fauzy, 2013).
Masjid ini memiliki denah yang simetris dan terletak di tengah tapak, yang menunjukkan peletakan massa bangunan masjid memakai konsep Monca – Pat dari gaya arsitektur Jawa. Konsep simetri yang terekspresi pada bangunan masjid, selain merujuk pa-
22 da konsep dualisme dalam gaya arsitektur Jawa, merupakan bentuk relasi antara bangunan dengan fungsi dan bertujuan untuk memudahkan proses kegiatan sholat berjamaah. Bentuk denah bujur sangkar kearah kiblat merupakan salah satu bentuk efisiensi ruang yang diterapkan pada bangunan masjid. Dalam kaidah membangun masjid, disebutkan bahwa bentuk bujur sangkar masjid membuat arah kiblat menjadi lemah karena bentuk yang cenderung memusat itu akan menimbulkan kesan ke atas yang kuat, hal ini menimbulkan paradoks dengan arah kiblat yang semestinya ditekankan pada bangunan masjid ini.
Tabel 3.5.a. Gambar Orientasi dan Prinsip Simetri Bangunan
Gambar 3.1.a. Orientasi dan prinsip simetri blok plan pada masjid Al-Muttaqun
Masjid Al-Muttaqun ini masih mempertahankan pola tata ruang dengan gaya arsitektur Jawa, dengan serambi yang berada di sisi depan dan samping yang dipergunakan sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah, ruang utama shalat untuk jamaah laki-laki dan jamaah wanita. Pola ruang dalam gaya arsitektur Jawa memiliki pola yang membentuk tatanan tiga bagian, bagian depan pendopo, di tengah peringgitan dan yang paling belakang dan terdalam adalah dalem. Bagian dalem sendiri terbagi menjadi senthong kiwa,
senthong tengen dan senthong tengah. Bagian tengah bangunan arsitektur Jawa yakni senthong tengah berfungsi sebagai tempat pemujaan. Pola tatanan ruang masjid merupakan
pola tata ruang rumah tradisonal Jawa yang dirubah fungsinya menjadi bangunan publik.
3.6. Sosok Bangunan
Bangunan masjid Al-Muttaqun ini memiliki ekspresi yang mudah dikenali dari kejauhan akibat dari bentuk atapnya yang dominan. Secara bentuk bangunan ini memiliki sosok yang ringan karena pada bagian tampak terlihat serambi yang terbuka dan memperli-
23 hatkan kolom-kolom yang berdiri. Secara keseluruhan bangunan masjid ini memiliki sosok yang dominan pada penerapan elemen garis dan volumnya. Konsep Monca-Pat yang diterapkan pada gaya arsitektur Jawa, berpengaruh pada sosok bangunan. Bagian tengah yang berfungsi sebagai ruang sakral untuk penyembahan memiliki ekspresi vertikal yang melambangkan gunung suci Mahameru sebagai tegangan antar manusia dan dewanya. Kesakralan ruang tengah pada bangunan dengan gaya arsitektur Jawa, menyebabkan struktur atap juga dimulai dari ruang tengah (sesuai dengan letak struktur penopang atap).
Bangunan masjid ini memiliki bentuk atap yang menjulang pada ruang shalat utama yang berada di tengah-tengah masjid, posisi dan bentuk atap ini memiliki hirarki yang lebih tinggi dibanding atap pada sisi lainnya. Penggunaan konsep Monca-Pat pada bangunan masjid ini dinilai lebih kuat dengan penggunaan struktur soko guru yang terdapat di tengah ruang shalat utama (pada bagian sisi tengah).
3.7. Pola Tata Ruang
Masjid Al-Muttaqun ini masih mempertahankan pola tata ruang dan susunan ruang sesuai dengan fungsi masjid dan bentuk gaya arsitektur Jawa, dengan posisi serambi yang berada di sisi depan dan samping yang dipergunakan sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah, serta dapat digunakan untuk kegiatan sholat untuk menampung jumlah yang lebih banyak.
Pola ruang dalam gaya arsitektur Jawa memiliki pola yang membentuk tatanan tiga bagian, bagian depan pendopo, di tengah peringgitan dan yang paling belakang dan terdalam adalah dalem. Bagian dalem sendiri terbagi menjadi senthong kiwa, senthong
tengen dan senthong tengah. Bagian tengah dari bangunan dengan gaya arsitektur Jawa
yakni senthong tengah berfungsi sebagai tempat pemujaan. Pola tatanan ruang masjid merupakan pola tata ruang rumah tradisonal Jawa yang dirubah fungsinya menjadi bangunan publik.
3.8. Kepala (Atap), Badan (Dinding) dan Kaki( Lantai)
Elemen arsitektur dapat diurai dalam beberapa elemen, menurut pandangan Thomas Thiis Evenson elemen tersebut merupakan bagian atap, dinding dan lantai. Setiap elemen memiliki arti filosofis dan kontribusi yang berbeda-beda dalam menyusun bentuk -
24 bangunan masjid. Bentuk dari tiap elemen atap, dinding dan lantai bangunan masjid juga merupakan sebuah perwujudan bangunan untuk mencapai makna filosofisnya dalam ajaran Islam.
Tabel 3.6. Gambar Ruang dan Kepala (Atap)
Gambar 3.2. Pembagian atap, dinding dan lantai pada bangunan masjid
Bentuk atap pada masjid ini memiliki bentuk atap tajug (bentuk limas dengan empat belah sisi yang sama besar, tanpa hubungan dan meruncing) sebagai bentuk atap utama yang menampilkan ciri bangunan masjid Jawa yang cukup dominan, serta 4 (empat) bentuk atap kerucut sebagai atap pendamping yang berada di keempat sisi bangunan masjid yang mengekspresikan karakter masjid-masjid di Spanyol. Ekspresi bentuk atap utama bangunan masjid secara dominan mengadopsi gaya arsitektur Jawa dengan bentuk tajugnya yang dominan, dimana atap tersebut memberikan lambang keabadian dan ke-Esaan Tuhan dan bentuk ini banyak sekali digunakan pada masjid-masjid di Jawa.
Tabel 3.7. Gambar Massa Bangunan
25 Atap masjid yang berbentuk piramida tersebut menunjukkan kesan memusat dan memuncak. Sosok masjid yang tinggi menjulang dalam kaidah pembangunan masjid, dilakukan dengan tujuan agar umat Islam yang melakukan sholat di dalamnya merasa kecil ketika berhadapan dengan penciptanya. Ekspresi atap tumpang menggambarkan tingkatan ritual menuju kesempurnaan Tri-Bhuwana, atap tumpang pada bangunan masjid ini melambangkan tentang iman, islam dan ikhsan serta menunjukkan hirarki masjid.
Material struktur atap pada masjid ini menggunakan material baja, dimana atap masjid ini memiliki plafond di dalamnya sehingga struktur penopang atapnya tidak terlihat (tertutup plafond). Keunikan bentuk struktur bangunan ini terdapat pada bagian atap dengan struktur atap dengan penutup atap tegola.
Tabel 3.8. Gambar Konstruksi Atap
Gambar 3.4. Konstruksi atap masjid
Dinding bangunan masjid sebagai elemen pelingkup bangunan menerapkan unsur-unsur ragam, baik ragam arsitektur Jawa dengan motif flora, fauna dan geometriknya, juga diterapkan unsur gaya arsitektur masjid Spanyol dengan bentuk-bentuk geometriknya, khususnya yang terekspresi pada sisi luar bangunan (bagian fasade bangunan). Bentuk dinding masjid ini menunjukkan hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia, dengan wujud vertikalisme bangunan ditunjukkan dengan penggunaan elemen pelingkup kolom kolom struktur dan atap di keempat sisi bangunan yang memberikan lambang hubungan antara manusia dengan Tuhan, kehorizontalan juga diper-
26 lukan karena dalam Islam, seluruh manusia sama derajatnya di mata Allah. Wujud badan pada masjid ini berupa jajaran kolom-kolom memiliki kesan terbuka, dengan posisi serambi masjid yang mengelilingi ruang utama dan terletak pada bagian depan dan samping masjid, sekaligus menjadi tampak masjid yang memiliki kesan terbuka dan berfungsi sebagai tempat untuk berkumpul, belajar dan bermusyawarah.
Wujud dinding pada bangunan masjid ini berupa jajaran kolom-kolom yang memiliki kesan terbuka. Serambi masjid yang terletak pada bagian depan, kiri dan kanan bangunan masjid merupakan bagian tampak masjid yang memiliki kesan terbuka berkenaan dengan fungsi sersambi pada kaidah masjid itu sendiri yakni untuk kegiatan berkumpul, belajar dan bermusyawarah.
Tabel 3.9. Gambar Fasade Bangunan
Gambar 3.5. Fasade depan bangunan masjid
Material lantai bangunan terbuat dari beton dimana terdapat pagar di sekelilingnya yang membatasi antara lantai bangunan dengan kolam, dimana material ini memiliki kemiripan dengan material lantai batu pada candi kayu. Lantai ditutupi dengan material yang mempermudah untuk melakukan maintenance dan untuk menjaga kebersihan lingkungan masjid. Warna terang sengaja dipakai untuk mempermudah melihat kotoran yang dapat menjadikan shalat tidak sah.
Penggunaan tangga terlihat sebagai konsekuensi dari peninggian level lantai bangunan seperti halnya pada bangunan rumah tradisional Jawa. Masjid ini memiliki proporsi antara elemen pada kaki (lantai), badan (dinding) dan kepala (atap), dapat dikata -
27 kan bahwa wujud kaki masjid merupakan peninggian level bangunan. Perwujudan horizontalisme pada bangunan masjid ini meliputi pengolahan pada ketinggian lantai.
Table 3.10. Analisa ElemenBangunan (Atap, Badan dan Kaki)
No Elemen Arsitektur Jawa Masjid Al-Muttaqun Makna
1. Kepala Menggambarkan
hubungan manusia-Tuhan, dengan bentuk atap tajug
Menggambarkan hubungan dengan Tuhan
Memiliki atap tajuk bertumpang dua
Menggambarkan hubungan dengan Tuhan, dengan bentuk atap tajug dengan susunan ganjil
2. Badan Menggambarkan
hubungan manusia dengan manusia dan memiliki kesan terbuka, menggambarkan manusia secara pribadi
Mencerminkan hubungan sesama manusia, memiliki kesan terbuka dan tertutup, memisahkan zona suci untuk kegiatan beribadah
Sebagai penyeimbang proporsi keseluruhan bangunan, memiliki kesan terbuka dan tertutup Menggambarkan hirarki usaha manusia dalam mencapai kesucian
3. Kaki Memiliki peninggian
elevasi dari tanah (+ tangga)
Memiliki peninggian elevasi dari tanah sehingga dibutuhkan tangga
Memiliki peninggian elevasi dari tanah sehingga dibutuhkan tangga
3.9. Unsur Unsur Lain (a). Gapura dan Serambi
Dalam arsitektur masjid, gerbang merupakan sebuah elemen penting yang memberikan tanda sebagai pintu masuk, juga sebagai perbatasan area suci, gerbang yang dimaksud sebagai pintu masuk utama (main entrance). Serambi ini memiliki fungsi yang sangat penting yakni memberikan kesan luar yang transisional dari luar ke dalam, atau dari tidak suci ke suci, atau dari tidak utama ke utama seperti halnya pada bangunan pendopo pada gaya arsitektur Jawa. Penggunaan serambi melambangkan keterbukaan yang berfungsi untuk menarik orang orang untuk memeluk agama Islam.
(b). Soko Guru, Tumpang Sari dan Ragam Hias
Ruang utama memiliki kolom-kolom besar yang menopang pada struktur atap utama dan berdiri di tengah ruangan. Kolom utama yang berada ditengah merupakan bentuk soko guru yang merupakan ciri khas bangunan berbentuk joglo pada rumah tradisonal Jawa yang berfungsi menyangga struktur atap tumpang, dengan langit-langit ruang utama memiliki soko guru sebagai penyangga atap tumpang. Tumpang sari merupakan konsekuensi dari wujud atap yang ditopang oleh soko guru sebagai perlambangan Ketuhanan. Ragam hias yang diterapkan pada bangunan masjid Al-Muttaqun di Klaten ini
28 menggunakan motif motif berbentuk kaligrafi yang diterapkan pada bagian railing. Ragam hias ini menciptakan suasana dan nuansa lokal yang sangat kuat dan sakral yang saling menyelaraskan antara satu bentuk dengan bentuk lainnya secara berkesinambungan.
Tabel 3.11. Foto Detail Bangunan
Gambar 3.6. Ornamen pada
bagian bawah kolom (umpak)
Gambar 3.7. Ornamen pada
bagian plafond soko guru masjid
Gambar 3.8. Kerawang motif Jawa
pada dinding pelingkup bangunan masjid
Tabel 3.12. Foto Detail Bangunan
Gambar 3.9. Kolom dan Trafe Fasade (Spanyol) Gambar 3.10. Motif Gerbang Masuk (Spanyol)
Table 3.13. Unsur Unsur Bangunan No. Unsur Bangunan Arsitektur Jawa Arsitektur Spanyol Masjid Al-Muttaqun
1. Gapura Gerbang Bentuk fasade Memiliki gerbang
2. Soko Guru Candi utama
melambangkan para dewa, candi kecil melambangkan raja-raja dan bangsawan
- Soko guru sebagai sistem struktur
melambangkan para wali sementara soko pendukung melambangkan para raja
3. Tumpangsari Memiliki wujud seperti
langit-langit candi yang berundak
- Memiliki tumpangsari di atas soko
gurunya
4. Ragam Hias Memiliki ragam hias
dengan bentuk manusia binatang dan tumbuhan pada relief badan candi maupun ornamen di seluruh candi
Motif pada fasade bangunan
Memiliki ornamen pada umpak, gerbang dan atap yang menjauhkan kemiripannya dengan mahluk hidup karena dilarang oleh ajaran Islam
29
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Sebagai rumusan akhir dari kegiatan penelitian yang berjudul Sintesis akulturasi arsitektur pada masjid Al-Muttaqun di Klaten memberikan gambaran bahwa, bentukan yang terjadi merupakan ekspresi dari pengaruh budaya Jawa dan Spanyol yang terbentuk melalui gubahan karya arsitektural yang merujuk melalui proses akulturasi arsitektur. Dari penelitian ini ditemukan adanya unsur-unsur percampuran gaya arsitektur Jawa dan masjid di Spanyol yang terbentuk pada unsur pelingkup, seperti : bentuk, elemen bangunan dan pelingkupnya yang terbentuk melalui proses akulturasi budaya dan arsitektur.
1). Apakah yang dimaksud dengan akulturasi arsitektur dalam penelitian ini?
Akulturasi arsitektur yang terbentuk pada penelitian ini merupakan ekspresi bentuk kajian yang mengungkap melalui penelusuran elemen elemen pelingkup bangunannya yang memiliki percampuran gaya arsitektur yang terbentuk melalui kombinasi gabungan gaya arsitektur lokal (setempat) dengan gaya arsitektur non lokal (pendatang). Pemahaman ini juga dapat ditelusuri melalui perpaduan unsur lokal dan non lokal yang terlihat pada elemen elemen bangunannya, baik menyangkut bentuk, ruang dan makna simboliknya. 2). Bagaimana wujud akulturasi arsitektur pada masjid Al-Muttaqun di Klaten ?
Wujud akulturasi arsitektur yang terekspresi pada bangunan masjid Al-Muttaqun ini merupakan bentuk percampuran gaya arsitektur Jawa dan masjid di Spanyol, yang pada penelitian ini dikaji dari aspek elemen pelingkup, ordering principle pada tapak, orientasi, tatanan massa, sosok bangunan, elemen bangunan, material dan unsur-unsur lainnya pada bangunan masjid. Wujud akulturasi arsitektur yang tercermin pada bangunan masjid ini terletak pada ekspresi bentuk massa, atap dan elemen pelingkup bangunan.
Pada wujud elemen bangunan, bagian atap masjid terlihat wujud atap tajug yang merupakan wujud atap pada bangunan arsitektur Jawa (Joglo) dan elemen pelingkup dinding bangunan yang menggunakan material dinding batu bata, beton, kayu dan lain sebagainya. Wujud bangunan utama yang mencerminkan gaya arsitektur Jawa yang terlihat pada elemen bagian atap utama yang memiliki bentuk atap gaya arsitektur Jawa, yakni :
30 atap joglo (tajug) dengan bagian struktur bangunan yang memiliki soko guru dan soko penanggap lengkap dengan pondasi umpaknya, serta pola tatanan ruang yang identik dengan pola ruang pada arsitektur rumah tradisional Jawa.
Wujud bangunan mencerminkan akulturasi arsitektur dari perpaduan gaya arsitektur Jawa dan masjid di Spanyol tercermin dalam tatanan massa, massa bangunan berada di tengah tapak yang mengacu pada diagram mandala dan pajupat, simetri pada denah yang memiliki bentuk geometrik yang seimbang, hirarki pada elemen pelingkup bangunan, irama dan pengulangan dalam artikulasi tampak bangunan, serambi yang identik dengan pendopo pada gaya arsitektur Jawa dan ornament khas Jawa dan masjid di Spanyol. 3). Elemen apakah yang paling dominan pada masjid Al-Muttaqun di Klaten ?
Elemen yang digunakan pada akulturasi arsitektur Jawa dan Spanyol yang paling menonjol pada masjid ini dalam lingkup lingkungan ialah pada bagian atap, khususnya dengan adanya soko guru bangunan utama. Elemen yang dominan digunakan pada masjid ini adalah elemen yang merupakan ekspresi unsur gaya arsitektur Jawa pada bagian interior dan gaya arsitekktur Spanyol pada sisi bagian luar bangunan (eksterior).
Elemen bangunan masjid ini yang paling dominan terekspresi pada gubahan pola tata ruang yang merupakan unsur yang berlaku sebagai identitas dan spirit dari gaya arsitektur Jawa yang dapat langsung dirasakan oleh pengamat. Pola ruangnya merujuk pada salah satu gaya arsitektur Jawa dan penerapan soko guru, serambi, dan ornamen yang dipengaruhi oleh gaya arsitektur Jawa dan masjid di Spanyol. Elemen bangunan sangat menonjol pada bangunan masjid ini, seperti yang terdapat pada atap, serambi dan soko gurunya, serta bangunan memiliki kolom-kolom beton sebagai elemen struktur utama.
4.2. Saran
Penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk arsitek dalam melakukan kegiatan merancang. Teori dan metodologi yang digunakan dapat dijadikan dasar dalam melakukan pendekatan rancangan, disamping itu juga dapat dipahami berbagai hal yang berkenaan dengan konteks bangunan. Unsur budaya menjadi salah satu yang perlu diperhatikan dalam melakukan kajian lebih mendalam. Penelitian ini masih dapat ditindak lanjuti lebih mendalam, berdasarkan perkembangan isu dan fenomena yang ada, serta kajian ini dapat meningkatkan kualitas dalam kegiatan penelitian lebih lanjut.
iv
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Abel, Chris (1997 ), Architecture and Identity,Arch. Press, Singapore.
[2]. Broadbent, Geoffrey (1980), Sign Symbol in Architecture, John Willey & Sons, London.
[3]. Ching, Francis D.K. (2008). Arsitektur: Bentuk, Ruang, Dan Tatanan Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
[4]. Evensen, Thomas Thiis (1987) : Archetypes in Architecture, Norwegian University Press, New York
[5]. Geertz, Clifford (1983), Local Knowledge, Basic Book, USA.
[6]. Gelernter, Mark (1995), Sources of Architectural Form, Manchester University Press, New York.
[7]. Hall, S (1991), The Local and The Global, Mac Millan Press, New York. [8]. Norberg-Schulz, Christian (1986), Architecture:Meaning and Place, Rizzoli,
NewYork.
[9]. Salura, Purnama (2010), Arsitektur Yang Membodohkan, Cipta Sastra Salura, Bandung.
[10]. Fauzy, Bachtiar, Sudikno Antariksa, Salura Purnama (2012), Memahami Relasi
Konsep Fungsi, Bentuk dan Makna Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Kota Pesisir Utara di Kawasan Jawa Timur (Kasus Studi : Rumah Tinggal di Kampung Karangturi dan Kampung Sumber Girang, Lasem, Jurnal Dimensi, Petra, Surabaya.
[11]. Fauzy, Bachtiar (2013). Dinamika Relasi Makna Fungsi dan Bentuk Arsitektur
Rumah Tinggal Masyarakat Pesisir. Thesis. Arsitektur Unpar
[13]. Purwani, O. (2001). Identifikasi Elemen Arsitektur Eropa pada Keraton Yogyakarta. Thesis. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
[14]. Salura Purnama, Fauzy Bachtiar (2012), The EverRotating Aspects of Function
Form Meaning, Journal Basic Applied Science Research(7)Textroad.com
[15]. Salura Purnama, Fauzy Bachtiar (2012), A Synthesis of Local and Non-Local
Architectural Concept on Gedung Sate, Journal of Basic and Applied Scientific Research, Textroad.
[16]. Salura Purnama, Fauzy Bachtiar (2012), The Architectural Adaptation of Javanese
Ethnic Houses to The Architectural of Arab Ethnic Houses in Gresik, Journal Applied Environmental Science (8)Textroad.com
[17]. Fauzy Bachtiar, Sudikno Antariksa, Salura Purnama (2012), The Resilience of
Javanese Meaning in The Architectural Acculturation of Javanese with Chinese Ethnic Houses in The Kampong of Sumbergirang anda Babagan in Lasem, Journal of Basic and Applied Scientific Research, Textroad.