• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: FIQIH FIMINIS PRESFEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER. Siti Khusnul Khotimah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: FIQIH FIMINIS PRESFEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER. Siti Khusnul Khotimah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

FIQIH FIMINIS

PRESFEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER Oleh:

Siti Khusnul Khotimah ABSTRAK

Islam sama sekali tidak menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, baik dari segi substansi penciptaan-nya, tugas dan fungsipenciptaan-nya, hak dan kewajibanpenciptaan-nya, maupun dalam rangka meraih prestasi puncak yang diidam-idamkannya. Islam, melalui kedua sumbernya al-Quran dan Sunnah, menetapkan posisi dan kedudukan perempuan setara dan seimbang dengan posisi dan kedudukan laki-laki. Tantangan terbesar yang dihadapi kaum perempuan adalah legitimasi teologis terhadap kondisi yang mereka rasakan tidak adil, sehingga apa yang mereka lakukan dianggap bertentangan dengan ajaran agama.

Kata Kunci: Fiqh Fiminis Ali Engineer

PENDAHULUAN

Bila melihat perjalanan sejarah, masyarakat Islam menjadi masyarakat yang feodal sejak seperempat abad setelah wafatnya Nabi, dan feodalisasi ini telah memberikan dampak nyata bagi konsep hak-hak perempuan dalam Islam. Padahal, Islam adalah salah satu agama yang telah membicarakan hak-hak perempuan secara rinci dan tegas, baik dalam Al-Qur’an maupun rumusan Syaria’ah. Walaupun Al-Qur’an menganugerahkan status setara bagi laki-laki dan perempuan dalam pengertian normatif, seperti kesataraan Laki-laki dan

perempuan dalam tujuan penciptaan manusia untuk menyembah Allah.1

Namun Al-Qur’an juga mengakui adanya superioritas laki-laki dalam konteks sosial tertentu. Akan tetapi para teolog telah mengabaikan konteks tersebut dan menjadikan laki-laki sebagai makhluk superior dalam pengertian yang absolut.

Akibat pengabaian misi emansimatoris dari Al-Quran tersebut maka sepanjang sejarah, telah terjadi dominasi laki-laki terhadap perempuan, dimana posisi perempuan selalu dianggap lebih rendah dari pada posisi laki-laki (kecuali dalam masyarakat-masyarakat matriarkal yang jumlahnya tidak seberapa). Dari

1

Ismail, Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan : Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, Yog-yakarta : Lkis, 2003, Hlm. 285

(2)

sinilah muncul doktrin ketidaksetaraan (Diskriminatif) antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok memegang kekuasaan atau memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki dan, karena itu dianggap tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendoninasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan bertindak baik sebagai ayah, saudara laki-laki, atau bahkan semua peran dari pada perempuan, Dengan alasan untuk kepentingannyalah dia harus tunduk kepada jenis kelamin yang lebih unggul (superior).2

Kondisi ketidaksetaraan itu dirasakan oleh kaum perempuan sebagai ketidakadilan. Kaum perempuan yang sadar menganggap bahwa mereka belum benar-benar "diorangkan’, mereka belum lagi diperlakukan sebagai manusia sepenuhnya. Kondisi seperti ini tentu saja dirasakan sebagai kungkungan yang membelenggu kaum perempuan. Oleh karena itu tidak heran apabila dari kalangan perempuan muncul cita-cita, dan bahkan gerakan yang dikenal sebagai

"women emansipation’ (pemanusiaan perempuan) dan ‘women liberation’

(pemerdekaan perempuan).3

Tantangan terbesar yang dihadapi kaum perempuan adalah legitimasi teologis terhadap kondisi yang mereka rasakan tidak adil, sehingga apa yang mereka lakukan dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dari konteks inilah Asghar Ali Engineer dianggap penting,bagi kaum muslimin untuk menyuarakan pembebebasan perempuan dari hegemoni laki-laki. Di samping itu, pemikiran Asghar Ali tidak hanya berguna dan menjadi ruh bagi organisasi dan gerakan ‘feminis’, akan tetapi juga bagi pemikir-pemikir muslim yang mengemban misi keulamaan untuk menjawab tantangan sosio-kultural dunia modern yang jauh berbeda dengan tantangan yang dihadapi dimasa-masa sebelumnya.

Corak pemikiran Asghar Ali engineer dalam menyingkapi masalah-masalah yang berkenaan dengan perempuan sangat berbeda dengan ciri-ciri yang

me-nonjol pada kepustakaan Islam selama ini. Hal tersebut di karenakan Pertama,

karena ia menempatkan masalah-masalah pandangan yang berkembang dalam dunia Islam tentang perempuan dari sudut metode pendekatan, yang tidak hanya terbatas pada masalah fiqih akan tetapi juga mencakup aspek filsafat,

antropologis, sosiologis dan sejarah. Kedua, karena ia menyajikan tulisannya

2

Mufidah C.h. Paradigma Gender. (Malang: Bayumedia Publishing. 2004) 43 3

Nur Jannah, Perempuan Dalam Pasungan. Bias Laki-laki dalam Penafsiran. (Yogyakarta : LKis Yogyakarta. 2003). 67

(3)

dalam perspektif tantangan sosio-kultural yang dihadapi dunia Islam di zaman modern ini. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan suatu bahan yang sangat berharga bagi kaum ‘feminis’ muslim, karena dapat dijadikan sebagai sebuah senjata ampuh dalam perjuangan mereka untuk mendapatkan status yang setara dengan laki-laki.

Jadi selaku pemikir ‘teologi pembebasan’ yang terkemuka dalam dunia Islam, Asghar Ali engineer tidak hanya memberikan kerangka teoritik dalam menyegarkan pemikiran keagamaan umat Islam, akan tetapi juga memberikan landasan teologis bagi para aktivis yang berjuang untuk ‘liberasi’ (pembebasan) dan ‘humanisasi’ (pemanusiaan) khususnya bagi kesetaran perempuan. Dari gambaran inilah penulis ingin menyajikan penelitian tentang pemikiran tokoh Asghar Ali Engineer mengenai fiqih feminis dengan judul “Figih Feminis Asghar Ali Engineer”, untuk melihat kontribusi pemikiran fiqih perempuan yang beliau bangun berlandaskan bangunan penafsiran Al-Quran dan teologi pembebasan. Fiqih Fiminis

Isu-isu tentang perempuan, sekarang ini, banyak mengisi wacana wacana ditengah masyarakat kita. Isu perempuan ini menjadi semakin menearik ketika ketidakadilan diantara kedua jenis kelamin yang sering disebut ketidakadilan gender, ini semakin tinggi tingkat diskursus yang di konsumsi oleh masyarakat

tentang keberadaan gender.4

Kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan harus tunduk kepada kekuatan laki-laki demi kelancaran dan kelestarian keluarga. Datangnya agama Yahudi dan Nasrani yang ajarannya kemudian banyak disimpangkan dan didistorsi oleh para penganutnya belum bisa menjamin kedudukan perempuan sebagaimana mestinya. Kemudian datanglah Islam yang berusaha mengangkat kedudukan perempuan hingga menjadi sejajar dengan kedudukan aki-laki (egaliter).5

Islam datang untuk melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu ke-nistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang

4

Tim Dosen PAI UNY, Din Al-Islam, Buku teks PAI di perguruan tinggi, Yogyakarta : UNY, Hlm. 130

5

Bila melihat perjalanan sejarah, masyarakat Islam menjadi masyarakat yang feodal sejak seperempat abad setelah wafatnya Nabi, dan feodalisasi ini telah memberikan dampak nyata bagi konsep hak-hak perempuan dalam Islam. Padahal, Islam adalah salah satu agama yang telah membicarakan hak-hak perempuan secara rinci dan tegas, baik dalam Al-Qur’an maupun rumusan Syaria’ah

(4)

perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk yang memiliki berbagai hak di samping kewajiban. Islam mengharamkan perbudakan dan berbuat aniaya terhadap perempuan. Islam memandang sama antara laki-laki dan perempuan dalam aspek kemanusiaannya (Q.S. al-Hujurat (49): 13). Islam juga menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama (Q.S. al-Taubah (9): 71), memikul beban-beban keimanan (Q.S. al-Buruj (85): 10), menerima balasan di akhirat (Q.S. al-Nisa’ (4): 124), dan pada masalah-masalah lainnya yang banyak disebutkan dalam al-Quran.

Namun demikian, dalam hal ini masih diakui adanya sedikit perbedaan antara perempuan dan laki-laki, misalnya dalam hal status perempuan menjadi saksi, besarnya bagian perempuan dalam warisan, dan kesempatan perempuan menjadi kepala negara. Yang pasti, secara kodrati perempuan berbeda dengan laki-laki. Hanya perempuan yang bisa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada perempuan setara dengan kedudukan yang diberikan kepada laki-laki. Kesetaraan ini bukan berarti menjadikan perempuan sama persis dengan laki-laki dalam segala hal. Tentunya ada batasan-batasan tertentu yang

membedakan wanita dengan pria.6

Dalam sejarah peradaban Islam kesetaraan seperti di atas kurang terlihat secara faktual. Sebagaimana higemoni budaya patriarkhi sangat mempengaruhi teks-teks keagamaan, termasuk dalam Islam, sehingga hampir berabad-abad lamanya posisi perempuan dalam Islam belumlah seperti yang dikehendaki oleh ruh al-Quran.

Pada perkembangan selanjutnya, lahirnya politik demokrasi serta muncul-nya sistem ekonomi sosialis dan kapitalis di Barat memberikan kesadaran baru terhadap hak-hak perempuan. Kaum perempuan tidak mau lagi ditindas sebagai-mana yang mereka alami di tengah-tengah masyarakat feodal. Mereka menolak dianggap rendah status sosialnya dibanding laki-laki. Mereka menuntut hak-haknya untuk belajar dan mendapat penghormatan yang sama. Gerakan mereka ini dikenal dengan gerakan feminisme, yaitu suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum wanita mengalami diskriminasi dan ada usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut. Munculnya kesadaran baru

6

Ali Yafie, Kemitrasejajaran Wanita-Pria: Perpektif Agama Islam dalam Bainar (Ed),

(5)

seperti itu banyak menggugah para pakar untuk lebih menyuarakan hak-hak perempuan melalui tulisan-tulisan mereka.

Sejak dekade 1980-an para pakar Muslim pun mulai banyak berbicara mengenai hak-hak perempuan dengan mempermasalahkan kembali pemahaman Islam (fikih) yang terkandung dalam kitab-kitab fikih, tafsir, dan syarah hadis yang menurut mereka masih mencerminkan bias dan dominasi patriarkhi yang cukup kental. Mereka ini kemudian dijuluki tokoh-tokoh feminis Muslim atau sering juga dikenal sebagai kaum feminis Muslim. Dari tulisan-tulisan para feminis Muslim itu dapat dilihat bahwa Islam sebenarnya sama sekali tidak menempatkan kedudukan perempuan berada di bawah kedudukan laki-laki.

Jadi Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan gender.7

Ada pendukung berat feminisme yang menggugat fiqih perempuan yang tertulis dalam berbagai kitab kuning. Gugatan ini wajar-wajar saja jika ditujukan pada aspek fiqih. Karena pemikiran fiqih hasil pruduk ijtihad manusia, dengan tidak mengotak-atik masalah syariat islamiyah yang memang tetap berubah sepanjang zaman. Gugatan pada fiqih perempuan sangat berlebihan, hal ini terbukti dengan adanya tuduhan bahwa fiqih kurang memberikan kebebasan kepeda perempuan. Sehingga sebagian dari mereka terjebak pada kekeliruan dalam memandang hukum Islam.

Diantara kekeliruan tersebut di antaranya ; pertama, Masalah syari’at yang

sering di campuradukkan dengan masalah fiqih. Kedua Sering men generalisir

kasus yang berlaku secara spesifik. Ketiga Pendapat seorang ulama’ yang belum

tentu kuat sandaran hukumnya sering dianggap sebagai pendapat yang

representatif Islam tentang perempuan.8

Jika selama ini muncul ketidakadilan dalam Islam ketika memposisikan perempuan dan laki-laki dalam hukum, hal itu karena warisan pemahaman Islam (fikih) dari para tokoh Muslim tradisional yang diperkuat oleh justifikasi agama. Oleh karena itu, kaum feminis Muslim bersepakat untuk mengadakan rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran tradisional agama untuk sejauh mungkin mengeliminasi perbedaan status yang demikian tajam antara laki-laki dan perempuan yang telah dikukuhkan selama berabad-abad. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan menafsirkan kembali teks-teks al-Quran yang berkaitan

7

Asghar .Pembebasan Perempuan terj. Agus Nuryanto.(Yogyakarta, LKiS.2007) 8

Mansur Faqih, Dkk. Membincang feminisme : diskursus Gender persepektif Islam. Sura-baya : Risalah Gusti, 2000, hlm. 129

(6)

dengan wanita yang selama ini sering ditafsirkan dengan nada misoginis (yang menunjukkan kebencian kepada perempuan).

Kesetaraan yang ditunjukkan al-Quran di atas banyak dikacaukan oleh adanya hadis-hadis yang bernada misoginis (yang merendahkan perempuan). Hadis-hadis tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam mengindikasikan hal tersebut dan jelas bertentangan dengan kesetaraan yang ditunjukkan al-Quran. Hadis-hadis seperti itu seharusnya ditolak, namun kenyataannya justru populer dan dipegangi oleh umat Islam. Persoalannya ternyata adalah karena hadis-hadis itu diriwayatkan oleh dua perawi yang terkenal kesahihannya, yaitu al-Bukhari dan Muslim. Atas kenyataan ini Riffat Hasan mengajak para perempuan Muslim sadar bahwa sejarah penundukan dan penghinaan kaum perempuan di tangan kaum laki-laki bermula dari sejarah penciptaan Hawa seperti dalam hadis-hadis tersebut. Riffat juga mengajak kaum perempuan Mus-lim menentang otentisitas hadis yang membuat mereka secara ontologis inferior, subordinatif, dan bengkok. Kalau hadis-hadis itu dari segi kualitasnya shahih, maka harus dipegangi sebagai pesan Nabi. Yang perlu diupayakan adalah bagaimana hadis-hadis itu tidak bertentangan dengan al-Quran yang menyatakan bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan dari nafs yang satu (Q.S. al-Nisa’ (4): 1).

Oleh karena itu, hadis-hadis itu harus diartikan secara majazi/metaforis. Gambaran tulang yang bengkok merupakan sifat perempuan yang sensitif, lemah lembut, halus, dan peka, sehingga dalam bergaul dengannya diperlukan juga kelembutan dengan mempertimbangkan fitrah dan sifat dasar pembawaannya itu. Laki-laki atau suami harus bertindak bijaksana, bersikap makruf, dan penuh kesabaran terhadap perempuan. Sifat-sifat yang demikian ini tidak dapat dijadikan dasar untuk mendeskriditkan perempuan atau menunjukkan asal kejadilan perempuan yang berbeda dengan laki, sehingga pada akhirnya

laki-laki merasa lebih tinggi dari perempuan.9

Dengan kata lain, terhadap hadis-hadis seperti di atas perlu dilakukan kontekstualisasi pemahaman. Kontekstualisasi hadis merupakan usaha penyesuaian dengan dan dari hadis untuk mendapatkan pandangan yang sejati, orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang dihadapi. Ini berarti bahwa kontekstualisasi tidak dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan dengan teks hadis atau sebaliknya, tetapi dilakukan dengan dia-log atau saling mengisi di antara keduanya.

(7)

Uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa Islam sama sekali tidak menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, baik dari segi substansi penciptaannya, tugas dan fungsinya, hak dan kewajibannya, maupun dalam rangka meraih prestasi puncak yang diidam-idamkannya. Islam, melalui kedua sumbernya al-Quran dan Sunnah, menetapkan posisi dan kedudukan perempuan setara dan seimbang dengan posisi dan kedudukan laki-laki. Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan gender dan tidak menghendaki ketidakadilan atau ketimpangan gen-der.

Fiqih Fiminis Asghar Ali Engineer

Tema tentang perempuan dalam Islam selalu menarik untuk didiskusikan.

Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, Islam sebagai agama yang

mempunyai misi rahmatan li al-‘‘alamin (rahmat bagi semesta alam) tidak

mungkin mengandung ajaran yang bersifat diskriminatif. Kedua, dalam

kenyataannya ajaran Islam oleh beberapa kalangan “dituduh” mendiskriditkan perempuan. Misalnya beberapa ajaran yang mempunyai landasan tekstual dari al-Qur’an berikut ini: poligami: Islam membolehkan laki-laki beristri sampai empat (an-Nisa: 4/3). waris: perempuan mendapatkan separo dari bagian waris yang diperoleh laki-laki (an-Nisa/4:11), kesaksian: nilai kesaksian perempuan adalah separo dari laki-laki (al-Baqarah/2:282), kepemimpinan: perempuan dilarang menjadi pemimpin (an-Nisa/4:34), memukul istri: ketika istri nusyuz (membangkang), suami diperbolehkan memukulnya (an-Nisa: 4/34).

Ayat-ayat di atas banyak dipakai para orientalis sebagai bukti ketidakadilan Islam terhadap perempuan. Pada saat yang sama ayat-ayat tersebut juga sering membawa perempuan muslim dalam sebuah dilema antara meyakini secara apologetik bahwasanya ayat-ayat tersebut adalah bagian dari keadilan al-Qur’an atau mengakui secara jujur bahwa ayat-ayat tersebut memang mengusik rasa keadilannya.

Menurut Asghar Ali Engineer, dilema ini muncul akibat pembacaan yang tidak fair terhadap pesan-pesan al-Qur’an, yakni mengambil pesan al-Qur’an dengan mengabaikan spirit yang mendasari munculnya pesan tersebut. Untuk menghindarinya, pria kelahiran India ini menawarkan pedoman metodologis yang sangat penting.

Ketika berhadapan dengan al-Qur’an, pembaca mesti membedakan antara ayat normatif dan ayat kontekstual. Ayat normatif adalah ayat-ayat yang

(8)

mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal, yakni apa yang seharusnya terjadi dan apa yang terbaik sepanjang masa, sedangkan ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau sangat terkait dengan konteks masyarakat pada saat turunnya, yakni ayat-ayat tersebut menjelaskan apa yang terjadi atau apa yang terbaik pada saat itu. Metode ini jelas membutuhkan analisis sejarah yang tajam dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an. Metode dan pendekatan inilah yang dipakai Asghar dalam menganalisa beberapa persoalan krusial tentang perempuan dalam Islam.

Seluruh ayat-ayat “tertuduh” di atas adalah contoh ayat-ayat kontekstual yang harus dipahami tanpa mengabaikan konteks masyarakat Arab pada saat turunnya dan status perempuan kala itu. Jika tidak, maka ayat-ayat tersebut “dijamin” menuntun pembaca pada kesimpulan yang justru bertentangan dengan pesan yang mendasarinya.

Ayat tentang poligami dijelaskan cukup panjang lebar pemikiran Asghar. Pada bab Status Perempuan pada Masa Jahiliyah, Asghar mengatakan bahwa ayat tersebut terkait dengan budaya kala itu di mana masyarakat Arab tidak mempunyai batasan jumlah perempuan yang boleh diperistri. Mengutip ath-Thabari dalam tafsirnya, ia menyebutkan bahwa anggota suku Quraisy pada umumnya mempunyai 10 orang isteri. Oleh karena itu izin untuk mengawini perempuan lebih dari seorang sampai dengan empat merupakan pembatasan yang mengurangi secara drastis jumlah perempuan yang boleh diperistri. Ayat ke-3 surat an-Nisa adalah satu-satunya ayat yang mungkin dipakai untuk membenarkan poligami dalam Islam. Namun demikian harus diingat bahwa pembenaran ini bersifat kontekstual, bukan pembenaran normatif sehingga pemberlakukannya harus dilihat untuk waktu itu, bukan selamanya (hal 29-30).10

Dalam bab Hukum Personal Islam, Asghar kembali membicarakan poligami. Kali ini ia mengatakan bahwa ayat poligami tidak bisa dilepaskan dari peperangan berkelanjutan pada masa Rasulullah SAW yang menyebabkan banyaknya janda dan anak yatim dalam komunitas muslim. Mengutip pendapat Maulana Muhammad Ali, Asghar mengatakan bahwa penekanan utama dalam ayat poligami adalah berbuat adil terhadap perempuan, terutama janda dan anak yatim. Pembolehan poligami harus dilihat secara ketat dalam konteks keadaan-keadaan yang berlaku sehingga sekalipun kondisi membolehkan poligami, lelaki tetap dituntut untuk monogami jika tidak mampu berbuat adil. Lebih lanjut ia

(9)

menyimpulkan bahwa al-Qur’an mengajarkan monogami sebagai ajaran normatif, sedangkan poligami adalah ajaran al-Qur’an yang bersifat kontekstual. Sayang sekali, masih menurut Asghar, pembolehan yang sifatnya sangat terbatas ini banyak dipahami sebagai pembolehan yang bersifat umum dan dapat

dilakukan dalam situasi apapun11.

Analisa ini sejalan dengan pemikiran Mohammad Shahrour, intelektual muslim asal Syiria, yang mengatakan bahwa ayat yang membolehkan laki-laki beristri sampai dengan empat mempunyai spirit pembatasan, bukan pelonggaran

sebagaimana umum dipahami, sehingga masuk dalam kategori hadd al-a’la atau

batas maksimal. Sebaliknya, ayat tentang bagian waris perempuan mempunyai

gerakan sebaliknya sehingga separo dari bagian waris lelaki merupakan hadd al-

adna atau batas minimal.

Pada masa jahiliyyah, kebanyakan perempuan diperlakukan seperi komoditas yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi baik kekayaan ayah, suami maupun kerabatnya yang lain. Sebaliknya, dirinya sendiri adalah bagian dari harta yang diwariskan. Pada masa pra-Islam, secara umum dipahami bahwa warisan tidak diberikan pada perempuan dan anak-anak kecil. Ayat yang menjelaskan bahwa perempuan bisa memperoleh warisan adalah sebuah gerakan revolusioner di mana al-Qur’an mengakui bahwa perempuan berhak memiliki sesuatu sehingga jika semula perempuan diwariskan, maka kini mereka berhak memperoleh warisan, bahkan ayat lain menjelaskan bahwa perempuan dapat

pula mewariskan.12

Bagaimana dengan kesaksian, kepemimpinan dan bolehnya memukul perempuan? Jika kita mempunyai keingintahuan yang besar tentang hal tersebut, maka membaca buku ini menjadi semakin menggairahkan karena Asghar mampu menganalisa secara berani dan argumentatif. Buku ini tidak hanya memberikan hasil pemikiran yang mencerahkan tetapi juga memberikan alat analisis penting yang bisa dipakai untuk membaca selain ayat-ayat tentang perempuan yang kerap menjadi alat legitimasi.

Tantangan cukup serius terhadap metode maupun hasil pemikiran Asghar Ali Engineer adalah adanya paradigma mayoritas muslim yang memandang al-Qur’an sebagai sesuatu yang normatif secara keseluruhan, sehingga tidak mengakui adanya perbedaan antara jenis kelamin (perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan kodrat dari Allah) dan gender (perbedaan peran

11

Asghar Ali engineer, hlm. 237 12 Ibid, 238

(10)

antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat). Padahal perbedaan ini merupakan sebuah paradigma fundamental dalam wacana gender. Namun demikian, pandangan bahwa seluruh ayat al-Qur’an bersifat normatif sesungguhnya hanya sebatas kesadaran karena dalam prakteknya rumusan ajaran-ajaran Islam banyak berangkat dari konsep naskh, yakni memprioritaskan sebagian ayat-ayat Makiyyah atas ayat-ayat Madaniyyah. Artinya, alam kondisi tertentu ayat al-Qur’an secara keseluruhan tidak diberlakukan secara serempak. Asghar Ali Engineer juga melakukan hal yang sama. Bedanya, ia

memprioritaskan ayat normatif daripada ayat kontekstual.13

Melalui metode dan pemikirannya dalam buku ini, Asghar Ali Engineer telah mencontohkan pembacaan al-Qur’an tanpa mengorbankan spirit pemberdayaan perempuan demi terpenuhinya maksud literal ayat. Ia sendiri adalah contoh sosok lelaki yang mempunyai perspektif keadilan gender sangat baik; sesuatu yang masih jarang dimiliki oleh seorang muslim.

PENUTUP

Secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, dimana posisi perempuan selalu dianggap lebih rendah daripada laki-laki (kecuali dalam masyarakat-masyarakat matriarkal yang jumlahnya tidak seberapa). Dari sinilah muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok memegang kekuasaan atau memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki dan, karena itu dianggap tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendoninasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan bertindak baik sebagai ayah, saudara laki-laki, ataupun semua. Alasannya, untuk kepentingan-nyalah dia harus tunduk kepada jenis kelamin yang lebih unggul.

Kondisi ketidaksetaraan itu dirasakan oleh kaum perempuan sebagai ketidakadilan. Kaum perempuan yang sadar menganggap bahwa mereka belum benar-benar "diorangkan’, mereka belum lagi diperlakukan sebagai manusia sepenuhnya. Kondisi seperti ini tentu saja dirasakan sebagai kungkungan yang membelenggu kaum perempuan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila dari kalangan perempuan muncul cita-cita, dan bahkan gerakan yang dikenal

sebagai "women emansipation’ (pemanusiaan perempuan) dan ‘women

libera-tion’ (pemerdekaan perempuan).

(11)

Tantangan terbesar yang dihadapi kaum perempuan adalah legitimasi teologis terhadap kondisi yang mereka rasakan tidak adil, sehingga apa yang mereka lakukan dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dari konteks inilah pemikiran Asghar Ali ini penting, tentu saja bagi kaum muslimin. Bukan saja bagi organisasi dan gerakan ‘feminis’, akan tetapi juga bagi pemikir-pemikir muslim yang mengemban misi keulamaan untuk menjawab tantangan sosio-kultural dunia modern yang jauh berbeda dengan tantangan yang dihadapi dimasa-masa lalu.

Bila melihat perjalanan sejarah, masyarakat Islam mulai menjadi masyarakat yang feodal dalam seperempat abad setelah wafatnya Nabi dan feodalisasi ini telah memberikan dampak nyata bagi konsep hak-hak perempuan dalam Islam. Padahal, Islam adalah salah satu agama yang telah membicarakan hak-hak perempuan secara rinci, baik dalam Al-Qur’an maupun rumusan Syaria’ah. Walaupun Al-Qur’an menganugerahkan status setara bagi laki-laki dan perempuan dalam pengertian normatif, namun Al-Qur’an juga mengakui adanya superioritas laki-laki dalam konteks sosial tertentu. Namun, para teolog telah mengabaikan konteks tersebut dan menjadikan laki-laki sebagai makhluk supe-rior dalam pengertian yang absolut. Buku ini berusaha menangkap kembali semangat sejati dari hukum-hukum Al-Qur’an yang menyangkut hubungan laki-laki – perempuan dan memilah antara ajaran yang bersifat kontekstual dan yang bersifat normatif.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Engineer, Asghar Ali. 2007. Pembebasan Perempuan terj. Agus Nuryanto.

Yog-yakarta, LKiS.

Fakih, Mansoer., 2006. Posisi Kaum Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari

Analisis Gender dalam ;Membincang Feminisme, Surabaya, Risalah Gusti

Haidir, Abdullah. 2005. Kisah Wanita-Wanita Teladan. Bandung, Topika Press

Harsia, Bachtiar,1990. Peranan Wanita dalam Masyarakat, Jakarta, Pustaka

Sinar Harapan.

Mufidah C.h. 2004. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.

Muhammad, Husein. 2005. “Tafsir Gender dalam Pemikiran Islam

Kontemporer”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Adnan Mahmud (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nashirudin,2009. Poros-poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran

Muslim, Surabaya, Jaring Pena.

Nasution, Khoiruddin.1996, Riba dan Poligami sebuah studi atas Pemikiran

Muhammad Abduh, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Nur Jannah, Ismail, 2003. Perempuan Dalam Pasungan. Bias Laki-laki dalam

Penafsiran.Yogyakarta : LKis Yogyakarta

Ridha, Muhammad Rasyid. 1367 H. Tafsir Al-Manâr. Kairo: Dâr Al-Manar.

Ridha, Muhammad Rasyid,2001. Panggilan Islam Terhadap Wanita,

Terj.Hanafi, Bandung, Pustaka

Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an.

Ja-karta: Paramadina.

Yafie, Ali, 1998. Kemitrasejajaran Wanita-Pria: Perpektif Agama Islam dalam

Bainar (Ed), Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemoderenan, Yogyakarta: Cidesindo

Referensi

Dokumen terkait

Kewenangan yang dimiliki Majelis Pengawas Pusat adalah untuk menjalankan sanksi tersebut berdasarkan pada Pasal 84 UUJN yang menyatakan bahwa: “Tindakan pelanggaran yang

Namun variebel tingkat pendidikan ibu tidak terbukti signifikan karena didapatkan hasil 0.472 karena 0,472< 0,25 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

Orang akan melakukan pencegahan tentang kecacingan apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan atau keluarganya, dan apa bahaya-bahayanya jika tidak melakukan

[r]

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan diri dalam bidang akademik (academic

a) Robot hanya 1 (satu) unit yang boleh bertanding dan memiliki dimensi panjang- lebar maksimum (30×30)cm ketika berada dalam posisi START di HOME POSITION dengan berat dan

Internet dan media sosial sangat berpotensi untuk digunakan dalam mempromosikan ekowisata di HMM dan HMGI untuk meningkatkan jumlah pengunjung maupun pendidikan

Adapun tujuan dari tugas akhir ini adalah merancang dan membangun sistem monitoring dan akuisisi data Rpm fan , temperatur dan kelembaban yang dapat diaplikasikan