• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Angga Permana Putra, 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Angga Permana Putra, 2013"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Korupsi merupakan salah satu masalah besar yang ada di Indonesia. Data

Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan, sepanjang periode 1 Januari

hingga 31 Juli 2012, penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung telah menetapkan 597 orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi (Fajar Online, 2012). Selain itu, sepanjang tahun 2012, setidaknya ada 34 kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani oleh KPK (Kompas, 2013). Hal ini membuat keadaan Indonesia dimata dunia menjadi buruk.

Dalam survey yang dilakukan terhadap 176 negara di dunia, Indonesia dilaporkan mendapat nilai 32 dari skala 100 dimana angka 100 merupakan negara yang terbersih dan bebas dari korupsi (Fajar Online, 2012). Tidak hanya di peringkat international, dalam wilayah Asia Tenggara pun peringkat korupsi Indonesia dapat dikatakan buruk. Survey yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Political and Economic Risk Concultancy (PERC) dalam rilisnya tahun 2010 menyebutkan Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik (Haluankepri, 2012).

Buruknya peringkat korupsi Indonesia tidak terlepas dari maraknya kasus korupsi yang belum kunjung tuntas. Deretan kasus seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, kasus suap Hambalang, dan kasus simulator SIM masih meninggalkan banyak pertanyaan. Banyaknya kasus korupsi yang belum terselesaikan seakan menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Korupsi seakan-akan dianggap sebagai tindakan yang wajar untuk dilakukan. Segala macam tindakan dilakukan untuk memberantasnya, namun tetap saja ada oknum yang melakukannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi sendiri berasal dari bahasa

(2)

Latin corruption yang berasal dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Perbuatan korupsi selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dis-honest (ketidakjujuran).

Korupsi pun sering dikaitkan dengan perilaku yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Menurut Huntington (1968), korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Sedangkan Transparency International (2010) sebagai salah satu organisasi masyarakat yang memerangi korupsi, mendefenisikan korupsi sebagai tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Gibbons dalam Seto (2012) menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi politik: patronase politik atau menggunakan sumberdaya publik sebagai pendukung dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai pemerintah yang mendukung pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi pegawai berdasarkan kriteria partisan; membeli suara (money politic); pork-barreling atau menjanjikan pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu bahwa pemilih tersebut tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau warga negara yang membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau sogok-menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong pejabat publik lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye uang atau menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.

Penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi bervariasi dan beranekaragam. Alatas (1975) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi, yaitu ketiadaan kepemimpinan yang mempengaruhi tingkah laku menjinakkan korupsi, kelemahan pengajaran agama dan etika, konsumerisme dan globalisasi, kurangnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya tindak hukuman

(3)

yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi, struktur pemerintahan, dan perubahan radikal/transisi demokrasi.

Jack Bologne (2006) menyebutkan ada empat akar penyebab korupsi yaitu

Greed, Opportunity, Need, dan Exposes. Greed terkait dengan keserakahan yang

dimiliki oleh individu. Individu melakukan korupsi bisa dikarenakan dia tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Opportunity terkait dengan keadaan yang memberi kesempatan untuk melakukan korupsi misalnya saja sistem pengendalian yang tidak teratur sehingga bisa timbul penyimpangan atau juga pengawasan yang tidak ketat. Need berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, selalu sarat dengan kebutuhaan yang tidak cukup, sedangkan exposes terkait dengan hukuman yang diterima oleh pelaku korupsi, dimana hukuman tersebut tidak membuat jera baik pelaku maupun orang lain. Faktor opportunity dan

exposes merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu, sedangkan faktor greed dan need merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.

Saat ada celah untuk melakukan tindakan korupsi, tidak semua individu akan melakukannya. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam berperilaku. Karakteristik yang menetap ini disebut dengan kepribadian. Kepribadian yang dimiliki oleh individu akan menentukan bagaimana ia akan bertindak saat menghadapi suatu situasi tertentu (wikipedia.org, 2013).

Para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia akan dijatuhi hukuman penjara. Berdasarkan undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, hukuman yang diterima pelaku korupsi adalah hukuman penjara minimal 4 tahun. Hukuman ini diberikan dengan tujuan agar pelaku jera dan anggota masyarakat tidak ada yang mengulanginya.

Indonesia sendiri menganut falsafah pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama “pemasyarakatan” sehingga istilah penjara telah lama diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan (wikipedia.org, 2011). Saat ini, tercatat ada 153.224 penghuni Lembaga Permasyarakat di Indonesia yang masih berstatus tahanan dan napi, dan dari total tersebut sekitar 2.936 diantaranya adalah

(4)

narapidana korupsi. Di Lapas Sukamiskin Bandung sendiri ada 287 orang yang tercatat sebagai narapidana korupsi.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan orang-orang yang dibina agar dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab (wikipedia.org, 2011). Individu yang sudah menerima hukuman, diharapkan mampu berfungsi dengan baik di lingkungan masyarakat. Namun, perubahan kondisi lingkungan dari bebas menjadi terbatas tetap akan memberikan dampak bagi individu yang mengalaminya.

Hal ini dikarenakan saat individu masuk ke dalam penjara atau Lapas berarti dia akan mengalami kehilangan kebebasan fisik, kehilangan kontrol atas hidup, kehilangan keluarga, kehilangan barang dan jasa, kehilangan keamanan, kehilangan hubungan heteroseksual, kurangnya stimulasi, dan gangguan psikologis (Cooke et al., 1990). Harsono (1995) juga menyebutkan bahwa hukuman penjara memberikan dampak kehilangan identitas diri, kehilangan rasa aman, kehilangan kebebasan, kehilangan akan komunikasi pribadi, kehilangan pelayanan, kehilangan kasih sayang dari lawan jenis, kehilangan harga diri, kehilangan kepercayaan diri, dan kehilangan kreativitas. Selain itu, napi juga akan menghadapi berbagai masalah yang tidak hanya berasal dari dalam lapas, misalnya seperti fasilitas yang tidak memadai dan kekerasan, baik oleh napi lain atau petugas lapas, tapi juga permasalahan di luar lapas, misalnya masalah keluarga (Cooke et al. 1990). Dampak ini tentu saja akan menimbulkan berbagai macam reaksi pada diri individu.

Berdasarkan teori individual difference, Armenakis et al. (Madsen, Miller & John, 2005) menyatakan bahwa setiap individu akan bereaksi secara berbeda terhadap pesan yang sama dikarenakan adanya perbedaan struktur kognitif dalam memproses informasi. Pernyataan ini semakin diperkuat oleh Linley & Joseph (Andanawari, 2013) yang mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor individual yang mempengaruhi penyesuaian pada kondisi paska trauma antara lain: cognitive appraisal, sosial-demografis, tipe kepribadian, dan coping.

(5)

Dalam teorinya tentang kepribadian, Eysenck (1998) membagi tipe kepribadian dalam dua dimensi utama, yaitu ekstrovert dan introvert. Eysenck (1998) berpendapat bahwa saat dihadapkan pada suatu tekanan atau rangsangan-rangsangan traumatik, individu yang tergolong ekstrovert cenderung menahan diri, tidak akan terlalu memikirkan tekanan atau trauma yang dialami. Sebaliknya, individu yang tergolong introvert tidak terlalu sigap melindungi diri saat menghadapi tekanan atau trauma, sehingga cenderung menunjukkan respon berdiam diri, membesarkan persoalan, dan mempelajari detail-detail kejadian (Eysenck, 1998). Affleck dan Tennen (1996) juga menemukan bahwa individu yang memperoleh skor tinggi pada tipe kepribadian ekstrovert cenderung mengambil hikmah positif dari masalah yang dihadapi.

Selain itu, dampak tersebut akan membuat pemaknaan yang dimiliki oleh seorang individu menjadi berubah. Perubahan pemaknaan ini akan membuat pandangan individu terhadap segala sesuatu hal menjadi berubah, yang akhirnya pun turut mengubah pola pikirnya dalam menyelesaikan masalah. Meskipun situasi atau permasalahan yang dihadapi sama, namun pemaknaan atau penilaian situasi itu akan berbeda pada masing-masing individu. Penilaian ini dilakukan melalui proses kognitif atau cognitive appraisal.

Cognitive appraisal merupakan pengkategorian peristiwa atau kejadian dari

berbagai segi dengan melihat signifikansinya terhadap kesejahteraan individu. Melalui proses ini, individu mengevaluasi makna dari suatu situasi yang terjadi pada dirinya dan mempelajari situasi tersebut terhadap kesejahteraan dirinya (Lazarus & Folkman, 1984). Berdasarkan cognitive appraisal ini dapat dilihat bahwa masing-masing individu akan memberikan penilaian dan reaksi yang berbeda meskipun menghadapi masalah atau situasi psikologis yang sama.

Dzurilla (Heppner & Krauskopf, 1987) berpendapat bahwa permasalahan harus dipandang dari bagaimana permasalahan tersebut dipersepsikan oleh individu. Bagi individu, masalah dapat dinilai sebagai ancaman, tantangan, atau kekalahan yang mungkin akan berkonstribusi bagi perkembangan psikologisnya (Heppner & Kraukopf, 1987). Perbedaan inilah yang berperan penting dalam penyelesaian masalah pribadi (real-life personal problem solving), karena

(6)

meskipun individu dihadapkan pada permasalahan yang sama, dengan perbedaan tersebut mereka tetap akan menyelesaikannya dengan cara yang berbeda (Heppner & Kraukopf, 1987).

Problem solving dinilai tidak akan efektif jika individu tidak melakukan

penilaian terlebih dahulu terhadap permasalahannya. Menurut Butler dan Meichenbaum (Heppner et al. 2004) dalam penelitian mereka mengenai proses

problem solving, problem solving tidak hanya difokuskan pada proses

pengaplikasian pengetahuan sebagai solusi dalam memecahkan permasalahan, tapi juga pada variabel yang mempengaruhi bagaimana mereka akan menyelesaikan permasalahan. Menurut mereka, penilaian individu terhadap kemampuan mereka dalam problem solving tidak hanya akan mempengaruhi pelaksaan problem solving itu sendiri (problem solving performance) tetapi juga berbagai variabel yang mempengaruhi proses problem solving.

Berdasarkan gagasan Butler dan Meichenbaum tersebut, Heppner et al. (1987) mengembangkan konsep problem solving appraisal. Problem solving

appraisal didefinisikan sebagai proses seseorang dalam merespon masalah

hidupnya, khususnya bagaimana mereka menilai kemampuan pemecahan masalah dan apakah mereka cenderung menyelesaikannya atau menghindari permasalahan. (Lee & Heppner, 2002).

Individu yang menilai dirinya sebagai effective problem solvers akan mampu untuk beradaptasi dengan mudah dalam berbagai kondisi lingkungan seperti apapun, mampu menghadapi berbagai stressor, dan mampu untuk mengembangkan metode yang efektif untuk meraih berbagai kebutuhan dan tujuan-tujuan hidupnya Sebaliknya, individu yang menilai dirinya sebagai

ineffective problem solvers akan membawanya pada ketidakmampuan untuk

menyesuaikan diri (Heppner, Witty, dan Dixon, 2004).

Mengacu pada hal tersebut, dalam konteks kehidupan Lapas diperkirakan napi dengan tipe kepribadian ekstrovert dan menilai dirinya sebagai effective

problem solvers akan mampu untuk hidup di lapas dengan baik dan mampu untuk

(7)

napi dengan tipe kepribadian introvert dan menilai dirinya sebagai ineffective

problem solvers akan kesulitan dalam menjalani kehidupan di Lapas.

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal dan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung”, sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving

appraisal pada napi sebagai bentuk upaya napi dalam menghadapi berbagai

permasalahan, perubahan dan situasi-situasi baru di dalam Lapas. Selain itu, disertakan juga cognitive appraisal sebagai variabel mediator untuk membantu menjelaskan hubungan di antara kedua variabel tersebut.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Individu yang masuk Lapas pasti akan mengalami berbagai permasalahan dan kehilangan, seperti kehilangan kebebasan, kehilangan keluarga, dan gangguan psikologis. Permasalahan ini terjadi pada semua napi, tidak terkecuali pada narapidana korupsi. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, masing-masing indvidu memiliki caranya sendiri. Hal ini tergantung pada tipe kepribadian,

cognitive appraisal, dan problem solving appraisal napi. Napi dengan

kecenderungan tipe kepribadian eksrovert cenderung memiliki cognitive appraisal yang tinggi dan menilai dirinya sebagai effective problem solvers. Sebaliknya napi dengan kecenderungan tipe kepribadian introvert cenderung memiliki cognitive

appraisal yang rendah dan menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum adalah untuk mencari tahu apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tipe kepribadian narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

(8)

2. Bagaimana gambaran cognitive appraisal narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

3. Bagaimana gambaran problem solving appraisal narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

4. Apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving

appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

5. Apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan cognitive

appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

6. Apakah terdapat hubungan antara cognitive appraisal dengan problem

solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

7. Apakah terdapat pengaruh mediasi dari cognitive appraisal terhadap hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal.

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan data empiris mengenai:

1. Memperoleh gambaran tipe kepribadian narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

2. Memperoleh gambaran cognitive appraisal narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

3. Memperoleh gambaran problem solving appraisal narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

4. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan

problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin

Bandung.

5. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan

(9)

6. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara cognitive appraisal dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

7. Memperoleh gambaran mengenai pengaruh mediasi cognitive appraisal terhadap hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving

appraisal.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2008). Sedangkan desain penelitian yang digunakan adalah desain korelasional. Dalam penelitian ini, desain korelasional digunakan untuk menguji hubungan antara dua variabel atau lebih, yaitu variabel tipe kepribadian dengan problem solving appraisal dimana cognitive appraisal berperan sebagai variabel mediator. Instrumen penelitian yang digunakan antara lain; Eysenck Personality Inventory (EPI), Skala Cognitive Appraisal, dan The

Problem Solving Inventory (PSI). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan

penggunaan kuesioner. Setelah data diperoleh, data kemudian diolah dengan menggunakan uji korelasi product moment dan uji deteksi pengaruh mediasi.

E. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kegunaan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Dari sisi pengembangan ilmu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu psikologi dan memperkaya pengetahuan mengenai psikologi, terutama psikologi forensik dalam konteks kehidupan di penjara atau Lapas di Indonesia.

(10)

b. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan teori tipe kepribadian, cognitive appraisal, dan

problem solving appraisal terutama dalam konteks kehidupan di

penjara atau Lapas di Indonesia. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pihak Lapas

Melalui penelitian ini diharapkan pihak Lapas dapat mengembangkan pelatihan-pelatihan atau pemberian jasa konseling bagi napi. Pelatihan dan konseling ini diharapkan dapat mencegah berkembangnya berbagai gangguan psikologis yang tidak diharapkan. Selain itu juga sebagai sarana peningkatan moral napi agar tindak pidana korupsi tidak terulang lagi di kemudian hari.

b. Masyarakat Umum

Sebagai media informasi mengenai kepribadian pelaku korupsi dan bagaimana cara pandang mereka dalam menyelesaikan masalah selama menjalani masa tahanan.

F. Struktur Organisasi Skripsi

Rincian mengenai urutan penulisan dalam skripsi ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

BAB I : Mencakup latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi.

BAB II : Mencakup teori-teori, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian. BAB III : Mencakup lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, metode

penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data dan analisis data.

BAB IV : Mencakup hasil penelitian, pemaparan data dan pembahasan data. BAB V : Mencakup kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan yang akan muncul yakni hal apakah pelaksanaan perlindungan hukum bagi tenaga kerja indonesia yang bekerja di luar negeriasal Kabupaten Flores Timur telah dilakukan

Hal ini dilakukan untuk membuktikan sejauh mana pengaruh latihan simulasi bisa membantu atlet mencapai prestasi terbaik dengan cara membayangkan situasi latihan

Metode Penulisan yang digunakan oleh Penulis merupakan yuridis normatif yang akan dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan dalam melakukan Analisis

Digunakannya siswa SMA sebagai populasi karena: (1) SMAN-SMAN di kota telah melaksanakan Program BK sesuai dengan kurikulum dan ketetapan yang berlaku, (2) seluruh

Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang telah dijelaskan, maka dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul :

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara tipe kepribadian ekstrovert,

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas dan dari latar belakang yang telah dijelaskan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai evaluasi penerapan program kurikulum 2013 mata pelajaran Aqidah Akhlak, dengan