• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kasuran adalah sebuah kampung yang pada 28 Juli 1826 menjadi ladang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kasuran adalah sebuah kampung yang pada 28 Juli 1826 menjadi ladang"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

“Anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur kalau kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya,” (Sunan Kalijaga seperti yang dituturkan

secara turun-temurun).

A. Latar Belakang Masalah

Kasuran adalah sebuah kampung yang pada 28 Juli 1826 menjadi ladang pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro pada serdadu Belanda-Jawa. Setidaknya berdasarkan laporan Louw dan De Klerck 1894-1909, II: 497, yang dikutip oleh Peter Carey (2008:123) ”Setelah pencegatan (ambush) di Kasuran, Sleman pada 28 Juli 1826, tatkala semua, kecuali tujuh belas orang dari lima puluh anggota peleton Belanda-Jawa terbunuh Diponegoro menggambarkan bagaimana ’ia menunggang kuda melalui (tempat pertempuran) dan merasa sangat terharu menyaksikan yang tewas dan yang luka’. Memang begitu mengerikan pemandangan itu, katanya, sehingga ia sampai menutup mata.”

Dusun Kasuran Kulon, sebuah dusun yang terletak di daerah Margodadi, dan Dusun Kasuran Wetan, yang terletak di daerah Margomulyo kecamatan Seyegan, merupakan dua dusun yang berada di kawasan wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta. Dusun ini di berbagai media dianggap sebagai salah satu diantara dusun yang paling unik di dunia. Dari total penduduk Kasuran Kulon yang berjumlah kurang lebih 828 jiwa, menurut klaim Wartilah , mayoritas diantara mereka tidur tanpa menggunakan kasur tapi menggunakan tikar sebagai gantinya. Sedangkan di Kasuran Wetan sekitar 1095 jiwa tidak ada satupun yang menggunakan kasur kapuk, namun mayoritas diantara mereka menggunakan

(2)

2

kasur spon sebagai penggantinya. Klaim ini sama-sama dikatakan oleh Wartilah dan Noor Sidiq, Kepala dusun Kasuran Kulon dan Wetan. Namun, penulis tidak berpretensi untuk terjebak dalam masalah kajian data kuantitatif, dan tidak akan memeriksa kebenarannya, namun lebih pada bagaimana masyarakat Kasuran memproduksi dan mereproduksi praktik dan tetap bertahan hingga saat ini.

Dusun Kasuran dikenal sebagai dusun yang memiliki tradisi yang unik, karena mayoritas masyarakatnya tidak menggunakan alas kasur kapuk meskipun terdapat beberapa kontradiksi yang terlihat dalam praktik mereka ini. Nihilnya kasur kapuk di dusun ini mengundang sejumlah tanda tanya bagi banyak orang. Penulis mencoba melakukan penelusuran di tempat tersebut, namun penulis tidak memperoleh data tertulis. Hanya data-data mengenai akibat yang didapatkan, sebagaimana juga telah dilansir di beberapa media, dan ini salah satunya yang senantiasa direproduksi media.

Sebagai konsekuensi dari berbagai cerita yang turun temurun itulah kemudian warga Kasuran memilih tidak menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur. Padahal kisah ini jika ditilik dari hasil wawancara dengan Wartilah, pesan Sunan Kalijaga yang dituliskan dalam pendahuluan di atas berawal dari cerita turun temurun bahwa pada suatu hari Sunan Kalijaga pada zaman kerajaan Demak mampir ke daerah Grogol yang berdekatan dengan Kasuran. Dia hendak shalat dhuhur dan mencari air untuk berwudhu, namun dia tidak menemukan air. Akhirnya Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya sehingga keluar mata air yang dinamakan Tuksibeduk. Setelah shalat, dia merasa lelah kemudian mampir ke dusun Kasuran. Di sana dia meminta sesepuh dusun Kasuran, Kyai dan Nyai

(3)

3

Kasur menyediakan kasur untuk beristirahat. Setelah segar kembali, Sunan berpesan kepada Kyai dan Nyai Kasur agar warganya tidak bermalas-malasan, apalagi tidur di kasur. Dia berkata: “anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur apabila kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya.”

Kasur pada zaman dahulu merupakan salah satu simbol kemewahan, kecukupan material, dan bermalas-malasan. Kasur merupakan salah satu simbol kepemilikan modal ekonomi pada waktu itu yang bila salah satu penduduknya punya kasur berarti dia hidup dalam kecukupan. Di sini tampak bahwa kata “anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur apabila kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya” dimaknai secara literal, tanpa menangkap semangat pada makna tersebut yang menurut sebagian penduduk adalah tidak bolehnya bermalas-malasan.

Walhasil, ucapan Sunan Kalijaga yang telah diterima secara turun temurun ini memiliki implikasi yang serius, bahwa tidak ada satupun diantara dua dusun ini yang menggunakan kasur kapuk! Hal ini disebabkan mereka takut akan tertimpa musibah dan tidur di atas kasur menjadi suatu fenomena yang tidak wajar pada mereka. Saat ini mereka lebih nyaman tidur dengan menggunakan tikar di atas amben mereka.

Di sini tampak bahwa ucapan Sunan Kalijaga betul-betul dipegang teguh oleh seluruh warga Kasuran. Dawuh Sunan Kalijaga menjadi folklore yang menjadi kebudayaan kolektif, tersebar, dan diwariskan secara turun temurun baik secara lisan maupun praktek. Ucapan itu kemudian menjadi shared knowledge yang dipegang oleh masyarakat Kasuran. Dua diantara empat fungsi folklore

(4)

4

adalah sebagai alat pengesahan kebudayaan, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma masyarakat dan pengendalian masyarakat. (Dananjaya, 2002).

Praktik tidur tanpa kasur sebagai praktik bisa dilihat melalui teori habitus Bourdieu. Hal ini karena apa yang disebut habitus selalu melibatkan praktik dan struktur masyarakat. Itulah mengapa praktik tidur tanpa kasur bisa dilihat dalam hubungan dengan struktur sosial masyarakat Kasuran, kultural, religius masyarakat Kasuran.

Dusun Kasuran merefleksikan sebuah tatanan sosial yang terstrukturasi oleh berbagai modal dan kekuasaan. Keduanya saling berdialektika dan membentuk praktik-praktik tertentu yang terus diproduksi oleh masyakarat di dalamnya. Praktik yang hendak dibahas di sini adalah tidur tanpa kasur yang dalam beberapa hal sangat relevan jika dianalisis dengan gagasan-gagasan Bourdieu tentang kuasa simbolik, habitus, modal, dan ranah. Keberadaan elit-elit mulai dari tokoh agama, dukuh setidaknya menunjukkan hal ini. Dengan bekal modal yang mereka punyai, baik sosial maupun kultural, mereka meneguhkan posisi-posisi mereka demi kepentingan tertentu.

Kategori-kategori ini saling berpengaruh satu sama lain dalam merepresentasikan suatu struktur sosio-kultural tertentu yang terbentuk oleh agen-agen yang berkepentingan di dalamnya. Ranah dipahami sebagai ruang di mana berbagai kekuatan dan potensi berjuang mendapatkan posisi-posisi demi keeksisan dan situasi-situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi sosial yang objektif (Bourdieu & Wacquant, 1992: 97, Johnson, 2010: xviii). Ranah yang paling menonjol di dalam masyarakat Kasuran adalah ranah agama,

(5)

5

ranah kultural, dan ranah politik. Ranah agama, misalnya, ditunjukkan oleh mayoritas penduduk Kasuran yang beragama Islam tradisional, dengan memosisikan Sunan Kalijaga sebagai salah satu panutan mereka dalam bertindak dan berperilaku. Dalam ranah kultural, ucapan Sunan Kalijaga terbukti memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat Kasuran, karena ucapan itu tak hanya dipercaya, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Meminjam istilah Lévi Strauss, ucapan itu telah menjadi semacam “mitologi” yang diproduksi dan terus diproduksi kembali dalam ranah kultural masyarakat Kasuran. Sementara itu, kehidupan politik (dan kultural) masih berpusat pada kepala Dukuh, yang memberinya posisi signifikan dalam membentuk semacam institusi pengetahuan tentang “tidak boleh tidur di atas kasur.”

Habitus dipahami sebagai “logika permainan”, “rasa praktis” yang mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekadar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Habitus merupakan kondisi internal dan dapat menjadi semacam blue print bagi seseorang atau semacam “skenario yang telah ditentukan” bagi kebiasaan hidup, bahkan karier sosial, jika tidak terdapat kondisi eksternal yang berpengaruh dan dapat mengubah skenario. (Bourdieu, 1990a: 53)

Ada beberapa tokoh yang habitusnya sangat kentara terlihat dalam masyarakat Kasuran. Salah satunya adalah kepala dukuh. Ia berkumpul dengan keluarga yang mempercayai ucapan Sunan Kalijaga sebagai sesuatu yang final dan absolut. Ia juga dibiasakan untuk tidak tidur di atas kasur. Hingga saat dewasa

(6)

6

dan kini menjadi kepala dukuh, ia seolah memiliki kekuatan, tidak hanya secara politis, tetapi juga secara alamiah untuk mempercayai sekaligus menginduksikan ucapan Sunan Kalijaga sebagai suatu “skenario kultural” yang wajib dijalankan oleh masyarakat Kasuran.

Tidak hanya itu, fakta bahwa kepala dukuh sebagai agen penting dalam masyarakat Kasuran yang memiliki modal dan habitus yang memadai untuk menyebarkan “mitologi” itu, maka ia pun juga akan memperjuangkan posisi-posisi tertentu demi tujuan terentu pula. Tujuan strategi dan perjuangan menurut Bourdieu (1987) terbagi menjadi beberapa hal. Di antaranya adalah strategi yang dilakukan demi kebutuhan pengakuan dan strategi sebagai produk ‘intuitif pengetahuan yang dimiliki seseorang.’

Salah satu teori Bourdieu adalah pada doxa. Doxa dipahami sebagai hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam praktik antara habitus dan ranah, sehingga ia diterima begitu saja sebagai satu kesadaran praktis. Jika praktik tidur tanpa kasur dianggap sebagai doxa maka hal ini tidak terlalu bekerja pada masyarakat yang menggunakan kasur spon sebagai gantinya. Artinya, terjadi suatu proses kontinuitas dan diskontinuitas, negosiasi, dan resistensi terhadap doxa itu sendiri di dusun Kasuran.

Yang tak kalah penting pula adalah konsep Bourdieu tentang misrecognition. Misrecognition dipahami sebagai suatu kondisi ketika subjek tidak sadar secara ideologis, semacam kondisi faktis ketika mereka mempraktikkan tidur tanpa kasur, seolah-olah sebagai sesuatu yang given. Padahal dalam kenyataannya ada suatu proses yang memungkinkan

(7)

7

misrecognition itu tidak bekerja dengan baik. Hal ini terlihat, misalnya, ketika terjadi transfer modal dalam arena yang berbeda, yakni media massa. Media telah menciptakan arena tersendiri dalam mereproduksi modal tidur tanpa kasur di luar dusun Kasuran. Salah satu contohnya adalah bahwa praktik tidur tanpa kasur pada awalnya merupakan satu praktik yang berjalan dan dipraktikkan oleh masyarakat Kasuran. Praktik ini berjalan lama sebagaimana halnya kebiasaan masyarakat Kasuran minum the di pagi hari. tidak ada yang mempertanyakannya. Hal ini kemudian menjadi wacana yang diperdebatkan ketika praktik ini masuk dan diliput oleh media massa, baik offline maupun online.

Pada problem yang lebih mendasar, praktik tidur tanpa kasur juga memberi evaluasi kritis terhadap Bourdieu untuk melakukan rehabilitasi teoritis terhadap modal religius yang cenderung institusional. Artinya, modal religius hanya dilihat kemungkinannya bekerja pada orang-orang yang memiliki posisi di lembaga-lembaga keagamaan tertentu, seperti NU dan Muhammadiyah di dusun Kasuran. Sementara itu mereka yang tidak memiliki posisi-posisi strategis di lembaga religius kurang dianggap memiliki kemampuan untuk mereproduksi disposisi atau selera. Padahal, banyak masyarakat yang awam yang juga memiliki opini tersendiri tentang tidur tanpa kasur.

Jadi, masalah yang ingin dibidik oleh studi ini menyangkut tiga hal: pertama, asal usul tidur tanpa kasur lahir sejak awal kemunculannya sebagai praktik mitologis. Bagaimana praktik ini berjalan diproduksi dan direproduksi secara terus menerus oleh para agen, apa tujuan-tujuan dari para agen ini tetap melakukan reproduksi terhadap praktik ini; kedua, praktik tidur tanpa kasur itu

(8)

8

sendiri dilihat dari perspektif ‘habitusnya’ Bourdieu. Bagaimana sebenarnya praktik ini mempengaruhi struktur dan cara berpikir masyarakat Kasuran dan bagaimana hal ini menjadi bagian dari pola hidup masyarakat Kasuran; ketiga, teori Bourdieu yang lahir pada konteks masyarakat Prancis tidak seluruhnya bisa menelaah fenomena tidur tanpa kasur di dusun Kasuran sehingga dibutuhkan telaah kritis terhadap teori Bourdieu itu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis.

B. Rumusan Masalah

Pertama, Bagaimana asal usul praktik tidur tanpa kasur sebagai praktik (mitologis) di dusun Kasuran? Kedua, bagaimana praktik tidur tanpa kasur dipahami dalam konstruksi pemikiran Bourdieu tentang habitus? Ketiga, bagaimana praktik tidur tanpa kasur memperlihatkan beberapa kontradiksi internal dan eksternal dalam teori Bourdieu?

C. Signifikansi Penelitian

Penulis berpendapat bahwa penelitian ini penting dan layak dilakukan sebagai penelitian akhir disertasi dilihat dari beberapa hal.

1) Dari segi lapangan penelitian. Pertama, bahwa dusun Kasuran merupakan salah satu dusun paling unik dimana penduduknya tidak ada yang menggunakan kasur sebagai alas tidur. Kedua, Dusun Kasuran dihuni oleh penduduk yang memiliki latar belakang agama yang berbeda, Hindu, Kristen, Islam (NU-MD) sehingga akan menarik bila diteliti mengenai bagaimana pandangan agama-agama mengenai hal ini, dan bagaimana pula misalnya Islam baik yang NU ataupun

(9)

9

Muhammadiyah bergelayut antara memegang praktik (mitos) tersebut dan tetap percaya akan takdir tuhan. Ketiga, pemaknaan literal terhadap teks “jangan tidur di atas kasur” dengan maksud benar-benar tidak tidur di atas kasur, bukan bermakna jangan bermalas-malasan. Keempat, terdapatnya bentuk modifikasi atau rekayasa mengenai makna kasur. Bagi sebagian penduduk Kasuran terdapat pandangan bahwa Kasur yang dimaksudkan oleh sunan Kalijaga adalah kasur yang terbuat dari kapuk. Sebagian warga Kasuran menggunakan springbed atau kasur busa karena yang dimaksudkan dulu oleh Sunan Kalijaga adalah kasur kapuk. Penelitian ini juga hendak melakukan eksplorasi atas berbagai ragam asal-usul cerita praktik tidur tanpa kasur ini yang dalam realitasnya memiliki beberapa alur sumber cerita. Salah satu tujuan utama penelitian ini adalah mengumpulkan beragam sumber mengenai asal-usul praktik tidur tanpa kasur di dusun Kasuran ini.

2) Dari segi teoretis, penelitian ini menarik, bukan saja karena ia menunjukkan bagaimana kuasa simbolik-nya Bourdieu bekerja di Dusun Kasuran, melainkan juga karena ia menemukan sejumlah fakta yang sekaligus dapat menguji pemikiran Bourdieu secara kritis pada level-level praktis tertentu. Penelitian ini berusaha, pertama-tama, mengidentifikasi beberapa konsep Bourdieu, seperti doxa, misrecognition, habitus, dan hexis, lalu berusaha menarik adanya beberapa kemungkinan praksis yang bisa menjadi “varian lain” dalam gagasan tersebut. Dengan demikian, riset ini bekerja dalam dua level secara bertahap, yakni mengelaborasi gagasan Bourdieu di satu sisi, lalu melakukan telaah kritis terhadap gagasan-gagasan tersebut di lapangan di sisi yang lain.

(10)

10

Tujuan dari disertasi ini bukanlah untuk mendekonstruksi Bourdieu, namun justru melengkapinya dengan mencoba melihat beberapa celah-celah kajian yang tampak luput jika dibaca dengan teori Bourdieu.

3) Di samping itu, penelitian ini juga menyempurnakan beberapa teori Bourdieu yang pernah digunakan sebelumnya. Misalnya, studi ini bisa melengkapi asumsi teoretisnya Mukhtasyar Syamsuddin (2011) mengenai “habitus” dalam konteks filsafat kebudayaan dengan mengujinya di level praktis masyarakat. Jika Syamsuddin melihat habitus melalui teori filsafat kebudayaan, penelitian ini justru hendak menelaahnya melalui praktik kultural yang sifatnya inter-religious. Dalam level praktis, sebagaimana yang nantinya akan ditunjukkan, seringkali dijumpai pengecualian-pengecualian yang tak bisa terbantahkan sehingga memungkinkan adanya dialektika yang lebih serius antara habitus Bourdieu dan aplikabilitasnya di lapangan. Selain itu, penelitian ini juga bisa menjadi kajian kritis lebih jauh bagi proses konstruksi wacana, sebagaimana yang pernah diteliti oleh Dwi Aji Budiman (2009) di level media massa, dengan menambahkan faktor mitologis di dalamnya. Dengan menjadikan pertarungan simbolik Bourdieu sebagai perangkat analisis, konstruksi wacana akan memperlihatkan dinamikanya yang lebih kompleks dan inhern dalam suatu masyarakat. Wacana pada akhirnya tidak hanya berkaitan dengan soal kekuasaan dalam linguistikalitas tanda-tanda, tetapi juga dominasi simbolik dalam mitologi tertentu yang berpengaruh terhadap praktik-praktik sosial masyarakat yang bersangkutan.

(11)

11

4) Bagi masyarakat secara umum, penelitian ini berguna untuk memperlihatkan gejala-gejala kultural terkait dengan bagaimana praktik itu bekerja, tidak saja di level kepercayaan, tetapi juga di level praktik. Fenomena masyarakat Kasuran merupakan contoh dinamika yang unik dari sistem sosial yang seolah-olah ‘tunduk’ pada sistem -mitologis secara turun-temurun. Sedangkan bagi penduduk Kasuran, studi ini tidak saja menyajikan informasi yang lebih dalam mengenai tradisi turun-temurun tersebut sebagaimana yang sudah banyak ditampilkan di media massa elektronik maupun audiovisual. Lebih jauh dari itu, penelitian ini justru ingin mengemas informasi itu lebih sistematis sehingga memungkinkan masyarakat Kasuran untuk merenungkannya kembali secara kritis di level kesadaran kolektif mereka. Alih-alih merusak tradisi Kasuran, penelitian ini justru ingin memperlihatkan “sisi lain” yang mungkin selama ini luput dari pandangan umum mereka, bahwa ada struktur-dalam yang bekerja di belakang tradisi tersebut hingga ia bisa terus berlangsung hingga saat ini.

D. Kerangka Teoretik

Kasuran merupakan lapangan penelitian yang menjadi fokus dari disertasi ini. Setidaknya penelitian ini akan dimulai dari bagaimana masyarakat Kasuran memandang dan memaknai ucapan Sunan Kalijaga di atas. Kemudian bagaimana masyarakat Kasuran yang terdiri dari berbagai agama dan ormas ini memaknainya dan bagaimana pula pertarungan simbolik yang terjadi didalamnya. Pemaknaan literal atas kasur sangat berpengaruh pada masalah ini sehingga sebagian masyarakat mencoba memberikan alternatif lain, yakni kasur spon atau springbed

(12)

12

sebagai bentuk modifikasi dan rekayasa. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang akan penulis analisis dan sekaligus nantinya akan menunjukkan beberapa kelemahan mendasar dari teori Bourdieu.

1. Habitus: Antara Praktik dan Mekanisme Defensif

Kembali kepada masalah habitus, Bourdieu (1990a:53) mendefinisikannya sebagai ‘systems of durable, transposable dispositions.... which generate and organize practices.’ Suatu skema, sistem yang tahan lama, kecenderungan yang dapat berpindah dan dapat menghasilkan dan mengatur suatu praktik. Secara umum habitus ini dapat diberikan karakteristik berikut ini: habitus membentuk pandangan dunia kita, kepercayaan dan nilai-nilai; kecenderungan-kecenderungan kita atas praktik dan nilai-nilai tertentu dipengaruhi oleh budaya trajektoris kita; habitus itu bersifat tahan lama dan dapat berpindah; habitus itu arbitrer dan tidak seluruhnya disadari. (Webb, Schirato, Danaher, 2002:38)

Lalu bagaimana sebuah tuturan Sunan Kalijaga di atas secara perlahan-lahan menjelma menjadi sebuah folklore, mitos, lalu menjadi satu praktik kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Kasuran? Ini menjadi satu hal yang menarik bagi penulis untuk mengkajinya. Pertama-tama kita perlu mengkaji apa itu mitos. Mitos merupakan satu cerita, asal-usul, bahkan keyakinan yang keberadaannya satu paket dengan berbagai pandangan yang tidak boleh dilanggar. Mitos seringkali dianggap sebagai cerita yang ‘aneh’ yang sulit kita pahami maknanya atau sulit diterima kebenarannya karena kisah didalamnya seringkali irasional, tidak masuk akal bahkan tidak sesuai dengan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. (Telaumbanua, 287) Tidak jarang pada batas-batas tertentu,

(13)

13

mitos seringkali bertentangan dengan agama, meskipun di dalam agama juga tidak kalah banyak mitos-mitosnya.

Secara sederhana, persebaran sebuah mitos pada awalnya dimulai dari sebuah perkataan seseorang yang kemudian didengar oleh orang lain lalu diceritakan kepada yang lainnya, dan terus menerus direproduksi. Perkataan ini biasanya mengandung suatu cerita aneh atau pengalaman aneh. Misalnya seseorang (sebutlah si A) pernah mendengar suara rintihan bayi di belakang rumahnya ketika dini hari. Hal ini kemudian diceritakan kepada orang lain, dan orang tersebut kemudian menceritakan kepada yang lainnya sehingga menjadi cerita umum dan katakanlah shared knowledge di kampungnya. Sehingga orang yang melewati belakang rumah si A dia menjadi agak merinding atau minimal ingat cerita orang-orang mengenai rintihan bayi tersebut. Lama kelamaan, karena terus-menerus direproduksi ia menjadi sebuah mitos, bahkan pada saat-saat tertentu kebenarannya semakin diyakini bila ada orang lain yang pernah mendengarnya pula. Perlahan-lahan hal ini menjadi suatu kebenaran dan menjadi habitus bagi penduduk setempat bahwa ada suara rintihan bayi bila melewati belakang rumah si A. Hal ini kemudian mengendap dalam alam bawah sadar masyarakat setempat. Pada gilirannya, habitus tersebut berada dalam alam bawah sadar manusia.

Yasraf (2003:137) menyatakan bahwa mitos dipandang sebagai keyakinan kolektif yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tapi diterima secara tidak kritis dan digunakan sebagai justifikasi lembaga sosial. Menurutnya, mitos adalah sudut pandang kita dalam melihat sebuah permasalahan. Mitos menata persepsi

(14)

14

kita. Mitos mendorong kita untuk bertindak dengan cara tertentu, bukan cara yang lain. mitos membentuk kebiasaan mental kolektif (collective mindset).

Bagaimana menghubungkan mitos dengan habitus? Bourdieu menyatakan bahwa bahasa merupakan satu elemen intrinsik dalam perjuangan kompetitif atas pemakaian kebudayaan dan proses reproduksi budaya yang memberikan kontribusi penting pada tatanan yang ada. (Jenkins, 2010:243) Pandangan ini, kemungkinan besar didasari atas titik tolak pandangan Bourdieu pada masalah kebudayaan. Mitos itu hadir dalam bentuk tuturan atau menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, mitos juga hadir dalam sebuah kebudayaan tertentu. Sesuatu disebut mitos karena ia pada dasarnya adalah sebuah peristiwa ‘aneh’ yang terjadi dan secara terus-menerus diwacanakan melalui bahasa. Hal ini kemudian menjadi satu budaya, yang tentunya, bahasa melibatkan sisi budaya manusianya termasuk budaya pikirnya. Hal ini kemudian menjadi sebuah habitus seperti yang dikatakan Bourdieu dalam Richard Jenkins (237-8) bahwa terdapat habitus linguistik yang meliputi kecenderungan budaya untuk mengatakan hal-hal tertentu, suatu kompetensi linguistik yang spesifik, dan kapasitas sosial untuk menggunakan kompetensi itu secara tepat. Selain itu, terdapat pula didalamnya pasar linguistik yang berbentuk sanksi dan sensor, dan mendefenisikan apa yang tidak boleh dikatakan dan apa yang boleh dikatakan. Mengatakan bahwa tuturan Sunan Kalijaga itu sama sekali tidak benar merupakan satu bentuk pamali atau pantangan bagi masyarakat Kasuran. Mengatakan tuturan itu sebagai tidak benar berarti dia (warga) menentang dan akan memiliki konsekuensi-konsekuensi lanjutan, misalnya sakit yang tak kunjung sembuh bahkan meninggal dunia.

(15)

15

Meski demikian, kuasa simbolik ternyata tidak hanya bekerja melalui habitus sosial masyarakat, tetapi juga melalui mekanisme defensif terhadap mitos tersebut. Bourdieu menganggap bahwa kuasa simbolik merupakan kuasa turunan yang dialihrupakan dan dilegitimasi oleh kuasa-kuasa lain sehingga ia mampu menstruktur realitas sebagai sesuatu yang absah, alamiah, dan terberi. Akan tetapi, problemnya adalah bahwa dalam merespons ucapan Sunan Kalijaga tentang kasur itu, masyarakat Kasuran tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh struktur habitus sosialnya. Mereka tidak secara otomatis menganggap ‘larangan tidur di atas kasur’ sebagai sesuatu yang alamiah, tetapi ada proses pertarungan makna yang dapat memungkinkan mereka menuju ke arah itu. Sebagaimana Bourdieu jelaskan, dalam masyarakat maju, prinsip dominasi telah bergeser dari pemaksaan lahir yang cenderung menggunakan cara-cara pemaksaan fisik, menjadi bentuk-bentuk manipulasi simbolis. (Swartz, 1997: 82).

Proses pertarungan itu tidak selalu berkaitan dengan kuasa eksternal dan internal dalam simbol ‘kasur’ tersebut yang diciptakan oleh para agen (kepala dusun, kesadaran kolektif masyarakat, atau pemegang kekuasaan tertentu), tetapi juga pertarungan dualistik antara ketakutan pribadinya terhadap hukuman pelanggaran dan ketaatan mereka pada Sunan Kalijaga. Di sini, tidak semua masyarakat yang tidak tidur di atas kasur mendasarkan alasannya karena patuh terhadap ucapan Sunan Kalijaga. Sebagian di antara mereka, pertama-tama, mematuhi tradisi tersebut karena khawatir terhadap konsekuensi kultural jika melanggarnya. Kondisi inilah yang sekaligus menjadi varian lain dalam konstruksi kuasa simbolik Bourdieu, bahwa kuasa simbolik ternyata tidak hanya

(16)

16

muncul karena adanya kesalah-pengenalan terhadap dasar kekuasaan yang sebenarnya, tetapi oleh sebagian masyarakat juga disebabkan oleh—apa yang disebut Freud sebagai—‘mekanisme defensif’ (defensive mechanism) masyarakat terhadap simbol-simbol mitologis semacam itu. Singkatnya, sebagian dari mereka tidak tidur di atas kasur bukan karena mengikuti tradisi sosial, bukan pula karena kepatuhannya yang fanatik terhadap Sunan Kalijaga, tetapi karena ketakutannya terhadap konsekuensi-konsekuensi kultural jika melanggar tradisi itu, dan konsekuensi-konsekuensi ini—sebagaimana yang telah ditunjukkan di depan— benar-benar dirasakan sebagai suatu keniscayaan. Atau dengan bahasa lain, kuasa simbolik bisa dikatakan sebagai kekuatan magis untuk membuat individu, kelompok, atau masyarakat agar patuh dengan mobilisasi tata simbol. Dan saat orang yang didominasi menerima begitu saja dan tidak menyadari pemaksaan yang ditanamkan lewat simbol-simbol, maka pada saat itulah praktik kuasa simbolik bekerja. (Fasri, 2014: 122)

2. Modal

Bagi Bourdieu, modal di sini tidak bisa dihubungkan oleh seperangkat materi semata. Modal, baginya, bisa berupa kultural, sosial, simbolis, dan ekonomis (Bourdieu, 1986: 65). Bentuk-bentuk modal ini sangat penting dalam ranah sosial, dan dapat terakumulasi dan berpindah dari satu arena ke arena yang lain. Modal kultural, dalam teori Bourdieu, menempati posisi signifikan dalam relasi kekuasaan sosial, karena ia menyediakan sejenis strategi dominasi dan hierarki non-ekonomi terhadap kelas-kelas dalam tatanan sosial. Modal kultural bisa berupa kompetensi, skill, dan kualifikasi yang memungkinkan para agen

(17)

17

dominan untuk memobilisasi otoritas kultural dan dapat menjadi sumber salah-pengenalan dan kekerasan simbolik.

Modal kultural ini juga turut berpengaruh terhadap penciptaan modal simbolik yang dimiliki oleh para agen. Para pemegang modal simbolik bisa memengaruhi para agen lain yang tidak memiliki modal ini, mendiseminasikan nilai-nilai sosial, yang diharapkan bisa menjadi habitus yang tanpa disadari oleh mereka. Dalam proses transformasi dan pengalihrupaan inilah, kekerasan simbolik bekerja secara diam-diam. Karena berada dalam sebuah arena yang di dalamnya para agen saling berdialektika membentuk habitus, kekerasan itu tidak lagi dirasakan sebagai sebuah ‘kekerasan’, melainkan sebagai praktik kultural yang given.

3. Field (Arena)

Berbicara mengenai gagasan-gagasan Bourdieu tentu tidak bisa mengesampingkan pemikirannya mengenai field (ranah, arena). Karena pada field, perebutan untuk memperoleh sumberdaya itu berlangsung. Bourdieu mendefinisikan field sebagai

“a network, or configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in the determinations they impose upon their occupants, agents, or institutions, byy their present and potential situation in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the spesific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, etc.” (Bourdieu & Wacquant, 1992: 97)

Menurut Fashri (2014:109), di satu sisi, masyarakat dibentuk oleh perbedaan distribusi dan penguasaan modal. Namun di sisi lain, para individu ini berjuang memperbesar modal mereka. Sehingga hanya melalui field yang

(18)

18

didalamnya terjadi apa yang disebut Bourdie sebagai field of struggle ditambah modal, Bourdieu hendak menampilkan sosiologi kritisnya bahwa di suatu masyarakat selalu ada praktik dominasi antara yang mendominasi dan yang didominasi. Artinya, di masyarakat Kasuran, banyak agen yang bermain dengan melakukan produksi dan reproduksi praktik tidur tanpa kasur ini untuk berbagai kepentingan masing-masing agen.

4. Doxa dan Rekayasa

Bourdieu memandang arena sebagai field of struggle. Para aktor akan berjuang dengan berbagai strategi untuk meningkatkan posisi mereka. Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa melalui proses pemikiran, dianggap sebagai terbukti secara universal, yang memberikan informasi tindakan dan pemikiran agen di dalam ranah tertentu. Doxa cenderung memihak atau lebih menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi dominan mereka sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya dan diinginkan secara universal. Secara lebih khas, Bourdieu menyatakan bahwa doxa adalah hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam praktik antara sebuah habitus dan ranah dimana ia disesuaikan, diterima begitu saja terhadap dunia yang terjadi secara praverbal yang berasal dari rasa praktis. (Bourdieu, 1992:66-68). Heterodoksi dan ortodoksi memiliki andil (share) pada doxa. Doxa itu merepresentasikan common ground dan nilai bersama yang tidak menjadi perdebatan dalam dunia opini. Memang dalam berbagai konteks, doxa merepresentasikan ketiadaan opini yang diperdebatkan pada masa lalu—ortodoksi hari ini keesokan harinya menjadi doxa.

(19)

19

(Bourdieu, 1998b:56-57). Secara harfiah, ortodoksi adalah ajaran atau dogma yang benar, berasal dari kata Yunani “orthodoxos”. “Orthos” artinya lurus atau lempang. “Doxa” artinya pendapat atau dogma. Lawan dari ortodoksi adalah heterodoksi, yakni pendapat atau dogma “lain” (hetero) yang dianggap menyimpang dari ajaran yang benar dan lempang.

Akan tetapi, semesta wacana tidur tanpa kasur di dusun Kasuran tidak selamanya merupakan doxa, tidak pula merupakan heterodoksi. Meskipun tidur tanpa kasur lebih dominan (sebagai doxa) dalam masyarakat, tidak ada dogma lain (sebagai heterdoksi) yang bekerja untuk melawan doxa tersebut. Artinya, tidak terlihat usaha-usaha melakukan counter opini terhadap doxa yang disebut dengan heterodoksi. Dalam titik persingungan ini, terdapat sebuah realitas yang mungkin diabaikan oleh Bourdieu. Di sini, peneliti lebih memilih menyebutnya sebagai “rekayasa”. Dalam konteks masyarakat Kasuran, modifikasi itu terlihat dari bagaimana masyarakat Kasuran menggunakan kasur springbed atau kasur spon sebagai alas tidur mereka. Dengan menggunakan kedua jenis kasur ini, di satu sisi mereka tetap melaksanakan doxa (tidak tidur di atas kasur kapuk), tapi di sisi lain mereka pun tidak benar-benar melakukan heterodoksi (menggunakan kasur kapuk). Lebih dari itu, mereka berusaha melakukan “rekayasa” terhadap keduanya dengan mencari “skenario aman”, yakni menggunakan kasur spon dan springbed.

Dinamika semacam inilah yang hendak dieksplorasi lebih jauh dalam penelitian ini. Kelemahan Bourdieu utamanya terletak dalam pembagiannya yang cenderung binerian antara “doxa” dan “heterodoksi”. Ia sedikit mengabaikan “fakta marginal” yang mungkin melampaui oposisi biner semacam itu. Realitas

(20)

20

sosial, bagaimanapun, merupakan sebuah struktur yang tidak selamanya stabil. Ia bisa menampilkan sebuah gambaran besar tentang tatanan masyarakat tertentu, tapi ia juga bisa memperlihatkan struktur lain yang bekerja di balik tatanan tersebut, suatu struktur yang bisa memperkaya (atau melemahkan?) tatanan itu dari dalam.

5. Hexis dan Resistensi

Sebagaimana disebutkan bahwa habitus merupakan seperangkat disposisi yang mengarahkan agen untuk cenderung bertindak dengan cara tertentu. Disposisi ini memunculkan praktik, persepsi, dan sikap-sikap yang berjalan secara reguler, tanpa disadari dan tanpa merasa dibimbing oleh suatu aturan sadar tertentu. Habitus mengarahkan anggota masyarakat untuk berinteraksi dengan cara konsisten dengan norma sosial yang berlaku dari kelompok mereka. Yang termasuk disposisi adalah posture, pidato gaya, cara makan, cara bergerak, konsepsi-konsepsi ruang pribadi, kecenderungan terhadap cara berpikir dan perasaan tertentu. Bourdieu berpendapat bahwa disposisi ini terjadi pada alam bawah sadar. Bourdieu menegaskan bahwa tubuh merupakan “site of incorporated history”. Selanjutnya dia menyatakan bahwa “Bodily hexis is political mythology realised, embodied, turned into a permanent disposition, a durable manner of standing, speaking and thereby of feeling and thinking.” (Bourdieu, 1977:93-94)

Hexis merupakan bahasa latin dari habitus, dan Bourdieu secara umum menyadur konsep hexis yang dikemukakan oleh Aristoteles. Bagi Bourdie, hexis diartikan sebagai sebuah sikap, cara, dan bentuk gaya (Jenkins, 1992:45; Takwin, 2006:40-1)

(21)

21

Akan tetapi, konsep gerakan tubuh yang terjadi tanpa dipikirkan lagi, yang oleh Bourdieu diistilahkan dengan hexis sebagai salah satu produk habitus, pada hakikatnya mengalami ketegangan simboliknya tersendiri yang sulit dipersepsikan sebagai suatu kreasi sosial tertentu. Dalam hal ini, penelitian ini hendak menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat Kasuran memikirkan secara i-rasional ucapan Sunan Kalijaga tentang ‘kasur’ itu. Jika masyarakat Kasuran direpresentasikan sebagai suatu kelas habitus, yang di dalamnya terdapat hexis yang selalu bekerja secara sosial, hal ini justru terbantahkan dengan adanya sekelompok masyarakat di Kasuran yang ternyata tetap menggunakan kasur kapuk di luar Dusun Kasuran.

Mereka sadar (recognize) bahwa kasur benar-benar memiliki makna simbolik yang khas di wilayah Kasuran, tapi hal ini tidak lantas membuat mereka tidak-sadar (misrecognize) atau merasa dialihrupakan oleh simbol itu di luar wilayah mereka. Singkatnya, perilaku mereka untuk ‘tidak menggunakan kasur’ tidak sepenuhnya memenuhi kriteria konseptual sebagai hexis (suatu produk habitus yang oleh Bourdieu diartikan sebagai gerakan tubuh yang terjadi tanpa dipikirkan lagi, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dalam melakukannya orang tidak perlu lagi memikirkan rasionalitas tindakan tersebut). Di luar wilayah Kasuran, mereka nyatanya masih ‘mempertanyakan’ sakralitas kasur dengan cara menggunakannya sebagai alas tidur mereka. Jika demikian ihwalnya, fenomena ini berarti tidak hanya melibatkan persoalan rekayasa (sebagaimana yang disebutkan di atas), tetapi juga semacam ‘resistensi’ terhadap kuasa simbolik itu sendiri. Lagi-lagi, inilah kemungkinan yang tidak ditangkap secara utuh oleh

(22)

22

Bourdieu. Jika memang kuasa simbolik diyakini mengakar dalam diri individu melalui habitus sosial mereka, masihkah tersisa ruang bagi resistensi dan perubahan? Fenomena masyarakat Kasuran menunjukkan bahwa ruang resistensi itu pada kenyataannya masih ada.

6. Misrecognition dan Kesadaran Kognitif

Bourdieu juga menggunakan istilah misrecognition (salah pengenalan), yang mirip dengan gagasan Marxian tentang false consciousness (kesadaran palsu) (Gaventa, 2003: 6), tetapi bekerja pada level terdalam yang melampaui segala kehendak manipulasi sadar oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Tidak seperti pandangan Marxian, misrecognition lebih merupakan fenomena kultural daripada ideologis, karena ia

embodies a set of active social processes that anchor taken-for-granted assumptions into the realm of social life and, crucially, they are born in the midst of culture. All forms of power require legitimacy and culture is the battleground where this conformity is disputed and eventually materialises amongst agents, thus creating social differences and unequal structures (Navarro 2006: 19)

Secara kultural, “salah-pengenalan” menjelma praktik-praktik sosial yang diterima secara taken for granted dalam tatanan kehidupan sosial. Tentu saja, salah-pengenalan ini dihasilkan melalui berbagai strategi untuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan dari masyarakat sekitar. Agen dominan di sini berperan penting dalam pembentukan salah-pengenalan tersebut. Ia akan turut membentuk sebuah kehidupan kultural yang di dalamnya praktik-praktik dan nilai-nilai suatu kelompok masyarakat terstruktur dalam proses konformitas yang terus menerus.

(23)

23

Jika meminjam gagasan Anthony Giddens, “salah-pengenalan”-nya Bourdieu tampaknya paralel dengan “kesadaran praktis” (practical consciousness). Bagi Giddens, agen dianggap memiliki pengetahuan tentang sebagian besar tindakannya, dan pengetahuan ini diekspresikan sebagai kesadaran praktis. Hampir semua rutinitas hidup personal atau sosial terbentuk melalui kinerja gugus kesadaran praktis ini (Priyono, 2002:29). Seseorang hampir tak pernah mempertanyakan mengapa ia harus berhenti di lampu merah, tidak riuh di tempat ibadah, dan sebagainya. Tampaknya, “salah-pengenalan”-nya Bourdieu berada dalam level kesadaran praktis, di mana masyarakat Kasuran seharusnya tidak mempertanyakan kembali apa yang sudah taken for granted dalam kehidupannya.

Akan tetapi, tepat di titik inilah sebenarnya Bourdieu mengabaikan satu kesadaran penting yang sebenarnya dibahas lebih lanjut oleh Giddens, yakni kesadaran kognitif. Kesadaran diskursif dipahami sebagai serangkaian kapasitas pengetahuan yang kita miliki dalam merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit mengenai tindakan yang kita lakukan (Priyono, 2002:28). Selain memungkinkan agen untuk menformulasikan penjelasan, kesadaran diskursif juga memberi kesempatan pada agen untuk mengubah pola tindakannya.

Dalam konteks masyarakat Kasuran, kesadaran praktis itu ternyata masih berlaku dan bekerja dengan level yang berbeda-beda. Sebagian besar masyarakat Kasuran memang dipengaruhi oleh “salah-pengenalan” terhadap kuasa yang sebenarnya (ekonomi, sosial, kultural, dan politik) sehingga terbentuklah kesadaran praktis mereka terhadap kultur tidur tanpa kasur. Akan tetapi, ada

(24)

24

beberapa orang yang diyakini masih berada di level “pengenalan”, di level kesadaran kognitif. Mereka adalah orang-orang yang “masih mempertanyakan” kultur tidur tanpa kasur, dan tetap mempraktikkan tidur dengan kasur kapuk.

Sejauh pengamatan peneliti, ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa masyarakat Kasuran ternyata meyakini ucapan Sunan Kalijaga itu tidak hanya bekerja di level kesadaran praktis, tetapi juga di level kognitif. Risikonya adalah bahwa masyarakat yang memiliki kesadaran kognitif berpotensi untuk mempertanyakan ucapan itu sebagai sesuatu yang tidak benar-benar terberi (given). Adanya kesadaran kognitif ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa masyarakat juga memiliki pengetahuan kritis tentang kasur tersebut, misalnya bahwa tidur tanpa kasur akan berdampak pada kesehatan mereka. Artinya, status pengetahuan tentang ‘kasur’ di dusun tersebut membuktikan adanya kesadaran masyarakat terhadap konsekuensi pemakaian kasur sekaligus mempertanyakan tesis Bourdieu tentang salah-pengenalan.

E. Telaah Pustaka

Selama ini masyarakat Kasuran dikenal di dunia maya sebagai masyarakat yang unik. Hal ini bisa ditelusuri, mulai dari koran Kedaulatan Rakyat, Lampungpos, serta beberapa media televisi seperti TransTV dll., telah melakukan peliputan, namun laporannya hanya berupa feature. Oleh karena itu, penulis akan mendudukkan telaah pustaka ini dalam dua kategori besar, yang pertama adalah kajian mengenai Dusun Kasuran, kedua kajian mengenai teori Bourdieu terutama kajian tentang karya yang terkait dengan kajian agama.

(25)

25

Sejauh penelusuran penulis mengenai dusun Kasuran terdapat beberapa tulisan yang konsen tentang dusun ini.

Feature “Mengintip Kehidupan Masyarakat Dusun Kasuran” yang dimuat di majalah Kartini Nomor 2094. Tulisan ini mengetengahkan setting kehidupan masyarakat Kasuran serta praktik tanpa kasur di dusun ini. Di majalah ini diketengahkan beberapa pendapat mengenai asal-asul tidur tanpa kasur di dusun ini. Tulisan ini merupakan salah satu tulisan pertama yang mengetengahkan dengan baik mengenai dusun Kasuran. Tulisan feature ini nantinya akan menjadi salah satu sumber penting mengenai tulisan Kasuran yang akan dipakai dalam penelitian ini.

Berbagai tulisan yang ada di internet, misalnya yang dimuat di Banjarmasin Post mengangkat tema “Warga Kasuran Kulon Sudah terbiasa Tidur tanpa Kasur” (9 Oktober 2012). Tulisan ini adalah feature sangat pendek dan sangat deskriptif, namun informatif.

Film dokumenter tentang Kasuran yang berjudul “No Kasur No Cry”. Film besutan Abduh dan Fiqih Muhammad Ginanjar serta hanya berdurasi 4 menit ini ditayangkan di Metro TV. Film pendek ini menjelaskan tentang praktik tidur tanpa kasur melakukan wawancara dengan beberapa warga yang ada di Kasuran. Salah satu yang diwawancarai adalah kadus Kasuran Kulon, Wartilah. Namun karena ini sifatnya film dan cuma berupa film dokumenter berdurasi pendek, maka penulis melihat data ini akan penulis gunakan sebagai data sekunder dalam penelitian ini.

(26)

26

Film dokumenter yang digarap oleh para mahasiswa AKINDO yang berjudul “Mitos Kasuran”. Film dokumenter ini memotret tentang sejarah tidur tanpa kasur, pro dan kontra para penduduk mengenainya, serta beberapa situs penting yang, seperti makam kyai Kasur dan Nyai Kasur, pura Hindu, Sendang Depok, bahkan Tuksibeduk yang konon dua situs yang disebutkan terakhir ini merupakan sisa-sisa peninggalan Sunan Kalijaga.

2. Kajian Bourdieu mengenai Agama

Dalam berbagai tulisannya, terdapat setidaknya 10 essay Bourdieu mengenai agama serta beberapa bagian mengenai agama yang berserakan di berbagai karya buku-bukunya. Namun bukan berarti, sedikitnya essai mengenai agama yang ditulisnya mengindikasikan tidak pentingnya agama bagi dia. Salah satu karyanya The Algerians menunjukkan bahwa dia sangatlah tertarik dengan pengaruh Islam dalam kehidupan orang-orang Algeria. Buku ini ditulisnya ketika dia sedang melakukan tugas militer dan ketika dia melaksanakan penelitian etnografi di negara tersebut. Bourdieu melihat bahwa Algeria merupakan daerah yang sangat mempesona dan kaya bagi analsis sosiologis mengingat tradisi-tradisi budaya disana dikonfrontasikan dengan modernitas saat masa-masa kolonialisasi Prancis di Afrika Utara. Secara luas dia sangat terpesona dengan para petani disitu yang sangat kuat dalam memegang agama (Islam).

Tulisan lainnya, Chose Dites (Things Said) merupakan kumpulan tulisan ceramahnya. Dua diantara tulisan-tulisannya adalah mengenai sosiologi Agama. Yang pertama adalah “Sociologue de la Croyance et croyances de sociologues”

(27)

27

(Sociologist of Belief and Beliefs of Sociologist) serta “La dissolution du religieux” (The Dissolution of the Religious). Tulisan yang kedua menjelaskan tentang efek-efek dari masalah-masalah modernisasi yang dihadapi oleh ranah agama dan kepemimpinan agama.

Outline of the Theory of Practice menegaskan kerangka berpikir Bourdieu mengenai Habitus ranah dan modal. Buku ini menggunakan data buku The Algerian untuk mengkonstruk dan mengilustrasikan beberapa konsep inti yang telah di sebutkan, habitus, ranah, dan modal. Buku ini memang tidak secara khusus membahas mengenai kajian keagamaan, namun dalam buku ini Bourdieu memetakan kerangka metodologisnya yang kemudian dipakai dalam berbagai buku berikutnya, baik dalam ranah kajian umum ataupun agama.

3. Kajian Agama dengan Perspektif Bourdieu

Terdapat banyak sekali tulisan-tulisan mengenai Bourdieu dan penggunaannya di level metodologi. Di sini penulis akan membatasinya pada penggunaan teori pada level kajian keagamaan. Tentunya sangat banyak sekali yang menggunakan hanya saja penulis akan menyebutkan beberapa kajian saja mengingat terbatasnya ruang di penelitian ini. Arief Munandar (2011) dalam disertasinya yang berjudul “Antara Jamaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004”. Dalam penelitian ini, Bourdieu digunakan sebagai salah satu cara dalam melihat bagaimana mengidentifikasi faksionalisasi atau pengelompokan yang ada di PKS dan menggambarkan bagaimana kelompok tersebut bekerja dalam dinamika internal PKS. Dengan menggunakan teori habitus, symbolic power,

(28)

28

doxa, heterodoksi dan ortodoksi, Arief menggambarkan bahwa dinamika internal PKS pada sisi lunak (soft side) ditampilkan sebagai pertarungan simbolik yang berupa pertarungan antara ortodoksi dan heterodoksi demi membangun sebuah doxa baru.

Hereyanto menulis karya ilmiah yang berjudul “Tradisi Keagamaan dan Kekuasaan Simbolik di kalangan Masyarakat Amuntai Kalimantan Selatan” (2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi keagamaan di kalangan masyarakat Amuntai yang menjadi media dalam memperoleh kekuasaan serta strategi yang digunakan oleh kelompok-kelompok dalam memperoleh kekuasaan melalui tradisi keagamaan. Hereyanto menganalisis penelitian dengan teori Bourdieu, habitus, dan kuasa simbolik. Dia melihat bahwa tumbuh berkembangnya tradisi keagamaan dalam masyarakat Amuntai merupakan sebuah habitus dalam masyarakat. Masyarakat Amuntai yang agamis ini kemudian membuat sebagian masyarakat yang ingin mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaannya dengan melakukan berbagai investasi modal sosial, budaya, ekonomi, dan simbolik, melalui jalur-jalur keagamaan. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian akhir master ini adalah bahwa strategi modal ekonomi yang terjadi di Amuntai adalah pemberian bantuan kepada masyarakat baik melalui individu maupun institusi yang mengatasnamakan zakat atau sedekah, sedangkan investasi modal ekonomi melalui pemberian bantuan kepada tempat-tempat ibadah seperti masjid dan mushalla.

Eduard Iricinschi & Holger M. Zellentin, dalam bukunya, Heresy and Identity in the Late Antiquity menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua cara

(29)

29

dalam memahami hubungan antara heterodoksi dan ortodoksi pada doxa, bahkan dalam karya Bourdieu sendiri, keduanya bisa dianggap sebagai dua teori yang berbeda mengenai perkembangan diskursus heretis. Namun mungkin akan lebih baik jika kita melihat dua hal tersebut sebagai model perkembangan yang berbeda dan berpotensi sebagai model suplemental saja. Berdasarkan pada salah satu model tersebut—dan hal ini tampaknya menjadi satu-satunya alasan Bourdieu menggagas dan memformulasikan konsep doxa—heterodoksi dan ortodoksi memiliki andil (share) pada doxa, Doxa itu merepresentasikan common ground dan nilai bersama yang tidak menjadi perdebatan dalam dunia opini. Memang dalam berbagai konteks doxa merepresentasikan ketiadaan opini yang diperdebatkan pada masa lalu—ortodoksi hari ini keesokan harinya menjadi doxa. Terry Rey (2007) mencoba mengaplikasikan teori-teori Bourdieu dalam kajian keagamaan. Buku yang terdiri dari 5 bab ini secara mudah menjelaskan beberapa perangkat teori yang digunakan Bourdieu. Dalam bab 3 misalnya Rey menjelaskan beberapa karya Bourdieu yang berbicara mengenai agama. Secara umum, Rey mengakui bahwa memang sulit menggunakan teori Bourdieu dalam konteks memahami agama dari sisi positifnya, karena teori Bourdieu termasuk dalam kategori ilmu kritis yang mencoba mempertanyakan banyak narasi dalam agama. Kajian mengenai habitus misalnya, menurut Rey menjelaskan banyak hal dalam memahami agama.

Dari semua paparan di atas tampak bahwa tidak ada yang pernah melakukan penelitian yang serupa dengan disertasi ini. dari beberapa tesis dan disertasi terdapat beberapa kemiripan dalam upaya menggunakan teori-teori

(30)

30

Bourdieu, namun objek penelitian Kasuran ini merupakan satu penelitian yang belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, lebih-lebih dengan mempergunakan teori tertentu. Oleh karena itu, di sini penulis kira posisi tegas disertasi ini diantara kajian-kajian mengenai Kasuran ataupun Bourdieu yang telah ada.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan observasi partisipan (participant observation) sebagai metode utama. Observasi partisipan, dalam beberapa hal, merupakan salah satu metode paling natural dan paling menantang dari sekian banyak metode pengumpulan data kualitatif. Ia menghubungkan peneliti dengan pengalaman manusia yang paling mendasar, dengan berusaha berpartisipasi secara mendalam untuk mengetahui bagaimana dan mengapa perilaku manusia terjadi dalam konteks tertentu (Spradley, 1980: 23).

Tantangan utama dari metode ini adalah bahwa ketika peneliti menjadi observer partisipan dalam pengertian yang lebih formal, maka ia harus, setidak-tidaknya, merancang proses penelitian secara sistematis dan teroganisir. Artinya, peneliti tidak hanya menjadi pemeran dalam konteks sosial tertentu, tetapi juga turut menjalankan beberapa peran sekaligus, seperti mencatat, merekam suara, bunyi, dan gambar; dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk mencari makna di balik perilaku masyarakat tertentu. Terkadang, peneliti juga

(31)

31

harus mencoba menemukan dan menganalisis beberapa aspek sosial yang tidak disadari atau tidak dibicarakan secara eksplisit oleh para partisipan (De Walt & De Walt, 2011: 57).

Dalam konteks penelitian sosial, ada beberapa elemen kunci dari metode observasi partisipan ini.

1. Mengunjungi secara langsung lokasi di mana ada aspek pengalaman manusia yang hendak diteliti. Dalam hal ini, peneliti secara langsung mengunjungi dusun Kasuran Kulon, Margodadi, dan Kasuran Wetan Margomulyo, Seyegan, Sleman Yogyakarta, yang di dalamnya terdapat tradisi “tidur tanpa kasur” yang menjadi objek penelitian ini.

2. Membuat laporan tentang para partisipan. Salah satu poin observasi partisipan adalah bahwa peneliti harus mengobservasi dan mempelajari segala hal yang dilakukan oleh orang-orang dalam kehidupan mereka. Dalam konteks penelitian kali ini, peneliti berusaha menjadi insider yang bisa diterima oleh masyarakat Kasuran sehingga peneliti bisa membuat catatan-catatan observasional tentang apa yang terjadi dengan masyarakat tersebut dalam kaitannya dengan tradisi “tidur tanpa kasur”.

3. Menghabiskan durasi waktu tertentu dalam berinteraksi dengan subjek penelitian untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Peneliti telah merancang timeline untuk melaksanakan observasi partisipan di dusun Kasuran dengan berbagai pertimbangan tentang efektivitas dan efisiensinya di lapangan.

(32)

32

Ada beberapa alasan mengapa observasi partisipan dipilih. Dengan mengadopsi gagasan Bernard (2006: 57-61), peneliti menemukan lima alasan mengapa metode ini dipilih untuk menganalisis kondisi sosio-kultural masyarakat Kasuran.

1. Membuka kemungkinan untuk pengumpulan data yang lebih luas. Hal ini hanya mungkin dilakukan dengan memosisikan diri sebagai insider di dusun Kasuran. Observasi partisipan memberi kesempatan besar terhadap peneliti untuk memperoleh data semacam itu di lapangan.

2. Mereduksi masalah reaktivitas. Dengan menjadi insider yang berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat Kasuran, sikap reaktif masyarakat terhadap peneliti—yang umumnya terjadi jika peneliti berposisi sebagai outsider—bisa direduksi seminimal mungkin.

3. Memperoleh pemahaman intuitif atas makna data. Interpretasi terhadap data kualitatif di lapangan tentu sangat riskan jika tidak disertai dengan upaya melibatkan diri secara langsung di dalamnya. Observasi partisipan memberi peneliti pengetahuan langsung terhadap wilayah studi yang hendak ditelaah.

4. Memungkinkan eksplorasi masalah atas data yang tidak bisa dilakukan oleh teknik pengumpulan data yang lain. Teknik-teknik seperti buku, literatur, seperangkat aturan formal, dan sebagainya tidak bisa mencover apa yang terjadi di lapangan, bagaimana orang berinteraksi, dan bagaimana orang memaknai sesuatu. Observasi partisipan bisa menjadi alternatif strategis untuk memperoleh data yang lebih dekat dengan fakta.

(33)

33

Sedangkan analisis data yang penulis pakai adalah dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu mengenai kuasa simbolik, habitus, modal, dan field (ranah atau arena). Penelitian ini juga tidak akan berhenti dengan hanya mempergunakan teori-teori Bourdieu untuk menganalisis Kasuran, namun lebih dari itu penelitian ini juga mengkritik berbagai perspektif metodologis yang ditawarkannya.

G. Sistematika Bahasan

Disertasi ini terbagi dalam VI Bab. Bab I berisi pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, pertanyaan dan signifikansi penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, dan metodologi penelitian. Bab II adalah menjelajahi dusun Kasuran, memberikan setting geografis, pemetaan warga berdasar agama dan ormas, serta memahami pola kehidupan masyarakat Kasuran. Bahasan pada bab ini akan fokus pada kajian historis Dusun Kasuran. Kemudian maksud dari pemetaan warga berdasar agama dan Ormas ini akan berupaya untuk bahan dasar dalam menjelaskan bab selanjutnya (Bab V). Bab III membahas praktik tidur tanpa kasur antara arena dan resistensi. Bab ini berisikan beberapa bagian penting mengenai asal-usul praktik tidur tanpa kasur ini dengan merunutnya dari berbagai sudut pandang, baik dari Islam maupun Hindu.

Bab IV Reproduksi Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Kasuran. Bagian ini akan memuat mengenai jejak-jejak dan proses produksi dan reproduksi kuasa simbolik tidur tanpa kasur dengan mencoba menyusun kerangka genealogis. Bahasan pada bab ini akan menjawab rumusan masalah yang pertama dan kedua. Bab ini menjadi semacam pemetaan kasus dan memahami karakteristik pola hidup di Kasuran. Pada bagian ini penulis akan menggunakan beberapa konsep

(34)

34

Bourdieu untuk menganalisis bagaimana kuasa simbolik itu bekerja di level masyarakat Kasuran dan direproduksi sebagai sesuatu yang terberi.

Bab V Dinamika Internal-Eksternal Kuasa Simbolik Masyarakat Kasuran. Bab VI Kesimpulan dan Penutup.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan dalam pengajian al-Qur’an ba’da maghrib di gampong Lamleubok yaitu metode Iqra’

Oleh karena itu perlu dikaji prinsip hukum tentang kewajiban orang tua laki-laki atas biaya nafkah anak sah setelah terjadinya perceraian, sikap dan Pengadilan Agama Medan dalam

Perlu adanya penerapan pembelajaran dengan menggunakan metode yang tepat atau pembiasaan siswa dalam berliterasi pada bacaan IPA yang berhubungan dalam kehidupan

Oleh karena itu, dengan adanya kewajiban berlokasi di dalam kawasan industri, maka kawasan industri berperan penting dalam mendorong investasi sektor industri

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah kurikulum reguler yang di modifikasi sesuai

Ritual merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan suatu mitos yang bertujuan untuk mensakralkan diri dan dilakukan secara rutin, tetap, berkala yang dapat

Dengan pendekatan saintifik dan melalui model Discovery Learning peserta didik terampil membedakan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan beberapa teks

Mesin, peralatan serta semua fasilitas yang ada di perusahaan baik itu merupakan teknologi ataupun non teknologi merupakan faktor yang menjadi penentu perusahaan