Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 HALAMAN- 14 KELIMPAHAN KEPITING BAKAU (Scylla sp) DI PERAIRAN MUARA TEBO
SUNGAILIAT
Oleh:
Rizaldi1), Dwi Rosalina2), Eva Utami2) 1)
Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung rizaldiperikanan@yahoo.co.id
2)
Staff Pengajar Jurusan Mnajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung
Abstract
Mud crab (Scylla sp) belonging commodity that has a very high sale value and an export commodity. A high value of mud crabs could lead to the rise in fishing activities in nature without any attempt to preserve it. This study aimed to quantify the abundance of mud crabs and knowing the diversity, uniformity and dominance mud crab. This study was conducted in February 2015 in the Waters Tebo Estuary Nelayan Satu Sungailiat. Retrieving data using purposive sampling method to determine the
station by selecting the area that represents the location of research and share three stations. Results showed that the abundance of mud crab (Scylla sp) ranging between 0-11 (ind / 400m2). Diversity of mangrove crab 0, uniformity 1, and dominance 1. mangrove crab abundance is low, this is due in February is not the season of mud crab.
Keywords: Abundance, Mud crab, Tebo Estuary, Scylla sp
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kabupaten Bangka merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Salah satu wilayah yang ada di Kabupaten Bangka adalah Lingkungan Nelayan Satu Sungailiat yang secara geografis berbatasan langsung dengan muara. Sebagian mata pencaharian masyarakat setempat masih bergantung pada komoditas perikanan yang ada pada perairan tersebut, salah satunya adalah kepiting bakau. Komoditas kepiting bakau memiliki peluang pasar yang cukup besar dengan harga tinggi menyebabkan bisnis kepiting menjadi penting, juga karena rasa daging kepiting yang gurih dan gizi yang tinggi.
Setiap 100 gram daging kepiting mengandung protein sebesar 13,6 gram, lemak 3,8 gram dan air sebanyak 68,1 gram (Kordi, 2000). Oleh karena itu permintaan akan kepiting bakau terus meningkat baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk keperluan ekspor. Muara Sungai Nelayan Satu Sungailiat atau yang lebih sering dikenal
sebagai Muara Tebo ini menyimpan
sumberdaya kepiting bakau yang sangat besar.Selain itu Muara Sungai Nelayan Satu juga memiliki ekosistem mangrove yang masih terjaga kelestariannya. Hal ini mendorong sebagian masyarakat untuk melakukan penangkapan kepiting bakau. Masyarakat di Lingkungan Nelayan Satu sampai saat ini masih belum mengetahui potensi kepiting bakau yang ada di perairan tersebut.
Kepiting bakau di Pulau Bangka pada umumnya sangat digemari masyarakat, kepiting tersebut dijadikan sebagai konsumsi masyarakat dan tidak jarang dijadikan sebagai menu makanan warung makan yang ada di Pulau Bangka. Pentingnya komoditas Kepiting Bakau membuat masyarakat diLingkungan Nelayan Satu Sungailiat melakukan pencarian. Hingga saat ini belum adanya pengkajian terhadap pentingnya keberadaan dan kehidupan jenis kepiting tersebut. Dengan belum adanya pengkajian maka perlu dilakukan penelitian tentang ‘’Kelimpahan Kepiting Bakau di Perairan Muara Tebo Nelayan Satu Sungailiat ’’.
Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 HALAMAN- 15
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Menghitung kelimpahan Kepiting Bakau di perairan Muara Tebo Nelayan Satu Sungailiat.
2. Mengetahui keanekaragaman,
keseragaman dan dominansi Kepiting Bakau di perairan Muara Tebo Nelayan Satu Sungailiat.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan Februari 2015. Pengambilan data dilakukan di Perairan Muara Tebo Nelayan Satu Sungailiat Kabupaten Bangka.
Alat dan Bahan Penelitian Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tangkap berupa bubu lipat yang berfungsi untuk menangkap kepiting bakau. Bubu yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 16 unit bubu diperoleh dari perhitungan menggunakan rumus
rancangan percobaan. Secara umum
konstruksi bubu lipat kotak terdiri atas badan bubu, mulut bubu, tempat umpan, tali utama, tali cabang, pemberat, pelampung, dan rangka bubu. Badan bubu lipat kotak mempunyai dimensi p x l x t = 75 x 50 x 35 cm. Bahan pembentuk badan bubu adalah jaring PE multifilament berwarna hijau dan berukuran mata jaring 2,5 cm. Konstruksi badan bubu berbentuk bangun ruang balok dengan rangka dari besi masif atau behel.
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu umpan berupa Ikan Tamban Basah yang dibungkus dan dimasukkan ke dalam bubu. Ikan tamban basah dipilih oleh peneliti dikarenakan ikan tamban memiliki struktur kulit tubuh yang mengkilap sehingga akan mempermudah kepiting bakau unutuk melihat dan masuk ke dalam bubu.
Metode Pengambilan data
Penentuan stasiun penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
purposive sampling. Metode tersebut menentukan stasiun dengan memilih daerah yang mewakili lokasi penelitian dan membagi
tiga stasiun, yang bisa mewakili daerah tersebut. Pembagian stasiun tersebut adalah : 1. Stasiun 1 terletak di perairan muara
yang berdekatan dengan alur masuk air laut dengan titik koordinat S 1050’21.99 E 10607’30.82’’.
2. Stasiun 2 berada pada perairan muara yang terletak di tengah muara dan bersebrangan dengan tempat bersandar
kapal dengan titik koordinat
S1050’31.15’’E 1060 7’21.67’’
3. Stasiun 3 terletak di kawasan perairan yang berdekatan dengan pemukiman penduduk dengan titik koordinat S 1050’40.70’’ E 1060 7’17.04’’.
Analisa Data. Kelimpahan (ind/m²)
Kelimpahan adalah jumlah individu persatuan luas yang dapat dihitung dengan rumus (Kreb, 1978 dalam Mamesah dan Latuihamallo, 2007).
Luas pengamatan diukur berdasarkan luas stasiun tempat pengambilan data kepiting bakau.
Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman adalah parameter biota yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas biota perairan terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap ekosistem karena dalam suatu ekosistem pada umumnya terdapat berbagai jenis biota (Fachrul, 2008). Dalam penelitian ini indeks keanekaragaman yang dihitung hanya untuk kepiting bakau yang masuk kedalam alat tangkap. Jenis kepiting bakau yang ada di Indonesia berjumlah 4 jenis yaitu
Scylla serrata, Scylla olivacea, Scylla paramamosain, Scylla tranqubarica
Estampador (1949) dalam Mulya (2000). Indeks keanekaragaman kepiting bakau selanjutnya akan ditentukan dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener.
Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 HALAMAN- 16
Dimana :
H’ = Indeks Shannon-Wiener ni = Jumlah Individu jenis ke (i) N = Total Jumlah Individu Indeks Keseragaman.
Kemerataan atau keseragaman
disebut juga sebagai keseimbangan dari komposisi Individu tiap jenis dalam suatu komunitas. Odum (1971) dalam Rupianti (2011). Diversitas maksimum (Hmaks) terjadi bila kelimpahan semua spesies disemua stasiun merata. Rasio keanekaragaman yang terukur dengan keanekaragaman maksimum dapat dijadikan ukuran keseragaman (E):
Keterangan :
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
Shannon-Wienner
Hmaks = Keanekaragaman maksimum
S = Jumlah spesies
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Indeks yang mendekati 0
menunjukan adanya individu yang
terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis. Hal ini dapat diartikan ada beberapa jenis biota yang memiliki jumlah jenis individu yang relatif banyak, sementara beberapa jenis lainnya memiliki jumlah individu yang relatif sedikit. Nilai indeks keseragaman yang mendekati 1 menunjukan bahwa jumlah individu disetiap spesies adalah sama atau hampir sama.
Indeks Dominansi
Mengetahui dominansi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya dominansi dari jenis tertentu.
Rumus untuk menghitung dominansi Odum (1998) dalam Sari (2014) yaitu :
Kriteria Indeks Dominansi Simpson dibagi menjadi 3 kategori:
D’ = 0 – 030 = Dominansi Rendah
D’ = 031 – 0,60 = Dominansi Sedang D’ = 0,61 – 1,0 = Dominansi Tinggi HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Kelimpahan Kepiting Bakau
Kelimpahan kepiting bakau yang ditemukan di lokasi pengambilan data berkisar antara 0-11 ind/400 m2. Kelimpahan tertinggi terdapat pada minggu ke-2 dengan nilai kepiting bakau 11 ind/400 m2, sedangkan kelimpahan terendah terdapat pada minggu ke-1 dengan nilai 0 ind/400 m2. Kelimpahan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Tangkapan Kepiting Bakau Per Minggu Minggu Jumlah Tangkapan/ 400 m2 Jenis Kepiting 1 0 2 11 Scylla serrata 3 10 Scylla serrata 4 7 Scylla serrata Total 28
Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Kepiting Bakau
Keanekaragaman kepiting bakau pada lokasi pengambilan data bernilai 0. Indeks keseragaman pada saat pengambilan data bernilai 1 dan nilai indeks dominansi kepiting bakau yaitu 1, dimana artinya dominansi kepiting bakau pada daerah pengambilan data tinggi. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) pada Stasiun Penelitian.
Indeks ST.1 ST.2 ST 3
Keanekaragaman 0 0 0 Keseragaman 1 1 1 Dominansi 1 1 1
Faktor Fisika Kimia Perairan.
Faktor fisika kimia perairan diukur untuk mengetahui keadaaan lingkungan atau
Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 HALAMAN- 17
perairan kepiting bakau pada saat pengambilan data. Hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan. Paramet er Mingg u1 Mingg u 2 Mingg u 3 Mingg u 4 Rata -rata Fisika Suhu perairan (ºC) 25,6 29,3 28,6 30,3 28,4 Arus (m/s) 0,07 0,06 0,07 0,07 0,06 Kecerah an (m) 0,19 0,27 0,29 0,41 0,2 Kimia Salinitas (ppt) 13,3 19 18,6 16 16,7 Ph 6 7,3 7,3 7,3 6,9 Oksigen terlarut 6,76 7,2 5,8 5,7 6,3 Karakteristik Substrat
Analisis tipe substrat merupakan komposisi fraksi pasir, debu dan liat . Tipe substrat pada habitat Kepiting Bakau di Muara Tebo Nelayan Satu Sungailiat sebagian besar terdiri dari komposisi pasir. Fraksi tipe substrat dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik Tipe Substrat Stasiun Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Tipe Substrat I 98,87 1,13 1,13 Pasir II 97,93 2,07 2,07 Pasir III 100 0 0 Pasir Pembahasan
Kelimpahan Kepiting Bakau
Kelimpahan kepiting bakau di masing-masing stasiun pada saat pengambilan data relatif rendah. Rendahnya kelimpahan kepiting bakau ini dikarenakan pada bulan Februari atau pada saat pengambilan data bukan merupakan musim kepiting bakau.
Musim kepiting bakau di perairan Muara Tebo menurut nelayan setempat yaitu pada bulan September hingga bulan Oktober. Bulan februari atau bulan pada saat pengambilan data merupakan musim barat. Menurut Nontji (1987) dalam Asmara (2005), menyatakan bahwa pada Bulan Desember adalah awal dari musim barat (Desember-Februari) dimana suhu turun mencapai minimum dan bertepatan pula dengan curah hujan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003), bahwa suhu dipengaruhi oleh musim.
Suhu yang rendah di perairan oleh sebab musim penghujan dapat menyebabkan ketersediaan makanan di perairan sedikit dan juga dapat menyebabkan ikan jarang makan bahkan ada yang tidak makan sama sekali. Ketersediaan makanan di perairan sedikit saat suhu rendah dan adanya hujan menyebabkan keberadaan plankton yang ditemukan pada saat hujan lebih sedikit dari pada suhu tinggi dan musim panas. Musim penghujan memiliki penetrasi cahaya dan suhu yang rendah, dibanding dengan musim panas. Pada saat penetrasi cahaya rendah ke dalam perairan menyebabkan fitoplankton tidak maksimal melakukan fotosintesis. Fitoplankton adalah organisme yang dapat mengubah zat-zat anorganik menjadi zat organik dengan bantuan cahayamatahari melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut produksi primer dan juga sebagai pemasok oksigen. Saat penetrasi cahaya ke perairan rendah, maka fotosintesis akan terhambat, dan zat organik di perairan rendah oleh sebab itu ketersediaan makanan di perairan rendah (Safitriyani, 2015).
Menurut Asmara (2005), menyatakan bahwa saat musim penghujan kelimpahan fitoplankton rendah di perairan. Saat kelimpahan fitoplankton rendah, hal ini menandakan keberadaan zooplankton dan biota-biota pemakan fitoplankton di perairan juga rendah. Rendahnya zooplankton ini akan mempengaruhi pola makan dari kepiting bakau dimana zooplankton ini merupakan makanan dari kepiting bakau
.
Bulan Februari ini juga merupakan dimana para indukan dari kepiting bakau melakukan pemijaan di laut. Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau yang bertelur akan bermigrasi dari perairan
Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 HALAMAN- 18
payau ke perairan laut untuk memijah. Migrasi kepiting bakau betina matang gonad ke perairan laut, merupakan upaya mencari perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan menetaskan telur. Dengan demikian merupakan juga upaya penjamin kelangsungan hidup embrio serta bagi larva yang dihasilkan. Kecocokan tersebut terutama terhadap parameter suhu dan salinitas lingkungan. intensitas pemijahan tertinggi atau puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada bulan Februari sampai April. Hal tersebut berarti puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada akhir musim hujan sampai menjelang awal musim panas.
Kelimpahan kepiting bakau di Muara Tebo rendah selain disebabkan oleh musim juga disebabkan oleh rendahnya arus perairan pada saat pengambilan data. Rendahnya arus pada saat pengambilan data ini sangat berhubungan dengan umpan Ikan Tamban segar yang ada di dalam bubu lipat mengingat dalam hal ini bau dari umpan sangat berperan aktif dalam menentukan hasil tangkapan
.
Semua faktor fisika kimia yang ada di perairan sangat mempengaruhi keberadaan biota yang ada didalam suatu perairan. Menurut Hairunnisa (2004) parameter fisika kimia air merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau di alam menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia pada daur hidupnya. Parameter fisika kimia perlu diketahui untuk mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau dimana organisme ini berada. Kelimpahan kepiting bakau yang mempunyai nilai terendah yaitu terdapat pada minggu ke-1 dengan nilai 0. Rendahnya kelimpahan pada minggu ini dikarenakan pada saat sebelum pengambilan data di lokasi penelitian terjadi hujan sehingga menyebabkan rendahnya suhu perairan pada minggu pertama. Rendahnya suhu yang ada diperairan ini menyebabkan minimnya ketersediaan makanan diperairan yang dalam hal ini erat kaitannya dengan keberadaan plankton diperairan.
Perubahan kondisi lingkungan tersebut menyebabkan tidak ditemukannya kepiting bakau pada saat pengambilan data di
minggu pertama. Menurut Nybakken (1992)
dalam Hairunnisa (2004) pasang surut terjadi
karena interaksi antara gaya tarik (gravitasi) matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi dan sistem bulan. Akibat gaya-gaya ini, air samudera tertarik ke atas, naik turunnya permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu tertentu disebut pasang surut. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal. Larva kepiting bakau yang berasal dari perairan laut banyak dijumpai di sekitar daerah estuaria dan hutan mangrove dikarenakan terbawa oleh arus pada saat pasang. Larva-larva tersebut selanjutnya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Mulya, 2000).
Karakteristik substrat kepiting bakau menyukai perairan berlumpur yang umumnya terdapat pada daerah mangrove. Tipe substrat stasiun 1-3 diperairan Muara Tebo yang paling mendominasi adalah tipe substrat berpasir dengan kisaran 97,93-100 %, debu 1,13-2,07, dan liat 1,13-2,07. Mendominasinya substrat berpasir diperairan Muara Tebo ini dikarenakan masih terpengaruh oleh pasir pantai yang terbawa oleh arus pada saat terjadi pasang air laut. Komposisi substrat berpasir pada perairan Muara Tebo ini dikarenakan secara geografis Muara Tebo ini sangat dekat sekali dengan pantai sehingga memungkinkan pasir yang terdapat pada pantai terbawa arus pada saat perairan mengalami pasang. Kondisi dasar muara yang memiliki tekstur substrat berpasir ini masih cocok dengan habitat kepiting bakau dan masih dapat ditumbuhi oleh mangrove. Menurut Kasry (1999) dalam Serosero (2011) menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi tanah liat, pasir, lumpur atau campuran ketiganya. Melihat kondisi substrat di Muara Tebo yang
umumnya berpasir menunjukan bahwa
perairan di Muara Tebo yang memiliki substrat berpasir masih cocok bagi kepiting bakau.
Secara umum kondisi ekosistem mangrove yang terdapat di Muara Tebo sedikit dan hanya terdapat pada pinggiran muara saja. Sedikitnya ekosistem mangrove di Muara Tebo ini dikarenakan adanya pembangunan
Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 HALAMAN- 19
rumah oleh masyarakat sekitar sehingga menyebabkan banyaknya mangrove yang hilang akibat pembangunan tersebut. Selain
disebabkan pembangunan rumah oleh
masyarakat, sedikitnya ekosistem mangrove di Muara Tebo ini juga disebabkan oleh pembukaan lahan untuk tempat tambat perahu nelayan dan pembukaan lahan untuk aktifitas tambang.
Keanekeragaman, Keseragaman, dan
Dominansi Kepiting Bakau
Nilai indeks keanekaragaman
kepiting bakau yang ada di Muara Tebo rendah yaitu bernilai 0. Hal ini dikarenakan kepiting bakau yang ditemukan hanya satu jenis yaitu kepiting bakau jenis Scylla serrata. Jenis kepiting ini memiliki ciri karapaks halus, berwarna hijau hingga hijau zaitun, panjang cangkang 25-28 cm. Bagian luar (capit) bewarna hijau dengan pola bulat-bulat, kemudian kaki renang berpola bulat-bulat baik jantan maupun betina. Kepiting Bakau berjenis
Scylla serrata merupakan kepiting bakau yang
umum dijual dan memiliki harga yang sangat tinggi. Permintaan akan kepiting bakau ini juga sangat besar baik untuk kebutuhan ekspor dalam negeri maupun luar negeri.
Ditemukannya jenis kepiting bakau ini dikarenakan kepiting bakau jenis Scylla
serrata memiliki kemampuan untuk hidup
pada perairan luas seperti perairan muara hingga perairan pantai. Kemampuan kepiting bakau jenis Scylla serrata ini juga dikarenakan memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas perairan. Jenis kepiting bakau lainnya seperti Scylla tranqubarica dan,
Scylla oceania hidup pada daerah yang
memiliki rentang salinitas yang lebih sempit dibandingkan dengan jenis Scylla serrata sehingga menyebabkan populasi ketiga spesies ini banyak ditemukan pada daerah hutan mangrove dan memiliki salinitas yang lebih rendah (Irvan, 2010). Secara geografis Muara Tebo merupakan sebuah muara yang sangat dekat dengan pantai sehingga membuat kepiting bakau jenis Scylla serrata lebih banyak hidup dan mendominasi di Muara Tebo mengingat jenis kepiting tersebut dapat hidup pada perairan muara hingga pantai.
Indeks Keseragaman yang diperoleh dari pengambilan data selama 4 minggu yang terdiri dari tiga stasiun memiliki nilai 1. Nilai tersebut menunjukkan keseragaman kepiting bakau yang ada di Muara Tebo seragam. Nilai yang menunjukkan angka 1 tersebut dikarenakan kepiting bakau yang ditemukan di Muara Tebo hanya satu jenis yaitu Scylla
serrata, sehingga spesies ini memiliki nilai
keseragaman yang tinggi di perairan tersebut. Seragamnya kepiting bakau jenis Scylla
serrata ini dikarenakan kepiting bakau
tersebut mampu hidup pada daerah muara hingga pantai (Siahainenia, 2000).
Indeks Dominansi yang diperoleh selama 4 minggu pengambilan data dari ketiga stasiun memiliki nilai yang sama yaitu bernilai 1. Hal ini menunjukkan bahwa dominansi kepiting bakau yang ada di perairan Muara Tebo ini tinggi. Tingginya nilai dominansi di Perairan Muara Tebo pada saat pengambilan data dikarenakan pada saat pengambilan data jenis kepiting yang ditemukan hanya satu jenis. Menurut Odum (1998) dalam Rupianti (2011) indeks dominansi dengan kisaran kurang dari 0,5 maka tidak ada jenis yang mendominasi, dan apabila kisaran lebih dari 0,5 maka terdapat jenis yang mendominasi. Mendominasinya kepiting jenis Scylla serrata dikarenakan pada perairan Muara Tebo ini merupakan perairan yang sesuai bagi habitat kepiting bakau jenis Scylla serrata yang dapat hidup pada perairan muara hingga perairan dekat pantai.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Simpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah : 1. Kelimpahan Kepiting Bakau di Muara
Tebo berkisar antara 0-11 ind/400m². 2. Keanekaragaman kepiting bakau di
Muara Tebo bernilai 0, nilai keseragaman 1 dan nilai indeks dominansi bernilai 1. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, pembahasan, dan simpulan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan, diantaranya :
Volume 9. Nomor 2. Tahun 2015 HALAMAN- 20
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai umpan ikan tamban kering dalam penangkapan kepiting bakau agar dapat meningkatkan hasil tangkapan kepiting bakau.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kelimpahan kepiting bakau di dua lokasi yang berbeda.
.
DAFTAR PUSTAKA
Asmara, A. 2005. Hubungan Struktur Komunitas Plankton dengan Kondisi Fisika -Kimia Perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.[Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 91 hal.
Barus, T.A. 2000. Pengantar Limnologi. Universitas Sriwijaya: Palembang.. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air.
Kanisius.Yogyakarta. 257 hal
Fujaya, Y. 2008. Kepiting komersil di dunia,
biologi, pemanfaatan, dan pengelolaannya. Citra Emulsi. Makassar.
Hairunnisa, R. 2004. Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kawasan Hutan
Mangrove KPH Batu Ampar,
Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat [Skripsi] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB.
Ihsan, N. 2009. Komposisi Hasil Tangkapan Sondong Di Kelurahan Batu Teritip Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai Provinsi Riau. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau.
Pekanbaru. 102 hal.
Irvan. 2010. Karakteristik Habitat dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata,
S.transquaberica, and S.olivacea) di
Hutan Mangrove, Cibako, Sancang,
Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal
Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan. 5(2) : 97-106.
Kordi, M.G, 2000. Budidaya Kepiting dan
Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Penerbit Dahara Prize.
Semarang.
Mamesah J., Latuihamallo M. 2007. Struktur Komunitas Bivalvia Pada Komunitas Mangrove Desa Passo Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Maluku. Di dalam: Pringgenies, D., Sudrajat., Insan, I., Hartati, R dan Widianingsih (eds). Prosiding Seminar Nasional
Moluska Dalam Penelitian,
Konservasi dan Ekonomi. Semarang 17 Juli. 2007.
Mulya, M.B. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla Sp) Serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Propinsi Sumatera Utara. .[Tesis] Program Pasca Sarjana. IPB. 140 hal .
Siahainenia, L. 2000. Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla serrata,
Scylla oceanica dan Scylla transquebarica) dan hubungannya
dengan karakteristik habitat pada kawasan hutan mangrove teluk pelita jaya, Seram Barat-Maluku. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Verslycke T, Janssen C.R. 2003. Effect of Changing Abiotic Enviroment on the Energy Metabolism in the Mysid Shrimp Neomysis integer (Crustacea Mysidaceae). J Exp Mar Biol Ecol 279:61-72