• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI SOLIDARITAS SUPORTER GARIS KERAS PADA FILM GREEN STREET HOOLIGANS SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REPRESENTASI SOLIDARITAS SUPORTER GARIS KERAS PADA FILM GREEN STREET HOOLIGANS SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi

Universitas Semarang

Disusun oleh :

Nama : Taufiq Nur Rahman NIM : G. 311.12.0030

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS SEMARANG SEMARANG

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO:

Belajarlah dari kesalahan di masa lalu, mencoba dengan cara yang berbeda, dan selalu berharap untuk sebuah kesuksesan di masa depan.

PERSEMBAHAN:

Ayah dan Ibu

Terima kasih atas doa, ridho, dan dukungan yang terbalut dalam cinta kasih sayang yang luar biasa, semoga Ananda tak henti membuat kalian bangga. Terima kasih telah menjadi alasan Ananda akhirnya menyelesaikan pendidikan

S-1 dalam waktu yang sudah terlewati.Terima kasih doa, saran, semangat dan selalu mengajarkan sholawat saat Ananda gundah.

Keluarga Besar

Terima kasih untuk doa dan dukungannya.

Dosen – Dosen Ilmu Komunikasi USM

Terima kasih untuk ilmu yang telah dibekalkan selama ini, semoga bermanfaat dan dapat diamalkan.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi USM 2012

(7)

vii

Bismillahirrahmanirrahim

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penyusunan skripsi berjudul “Representasi

Solidaritas Suporter Garis Keras Pada Film Green Street Hooligans” dapat

selesai pada waktunya.

Pada kesempatan yang baik ini perkenankan penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada :

1. Susanto, S.Kom., M.Kom., selaku Dekan Fakultas Teknologi Informasi dan

Komunikasi yang telah memberikan berbagai bantuan selama penulis menempuh perkuliahan.

2. Fajriannoor Fanani, S.Sos.,M.I.Kom ,selaku Dosen Pembimbing Utama

sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi Universitas Semarang untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

3. Firdaus Azwar Ersyad, S.Sn, M.Sn. selaku Dosen Pembimbing Pendamping

yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan

(8)
(9)

ix

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI... iv

PERNYATAAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Semiotika Roland Barthes ... 8

2.2 Jenis dan Bahasa Film ... 13

2.3 Pengertian Solidaritas ... 16

2.4 Kerangka Berpikir ... 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Strategi Penelitian ... 20

3.2 Data dan Sumber Data ... 21

3.3 Teknik Sampling ... 22

(10)

x

3.5 Validitas Data ... 23

3.6 Teknik Analisis Data ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum ... 26

4.1.1 Film Green Street Hooligan ... 26

4.1.2 Solidaritas Suporter Garis Keras ... 28

4.2 Temuan Penelitian ... 29

4.2.1 Denotasi ... 29

4.2.2 5 Kode Pembacaan Pada Film Green Street Hooligan ... 31

4.2.3 Konotasi ... 38 4.3 Pembahasan ... 38 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 43 5.2 Implikasi ... 44 5.2.1 Implikasi Teoritis ……….. 5.2.2 Implikasi Metodologi ……… 5.3 Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

xi

2.1 Peta Tanda Roland Barthes ... 10 3.2 Teknik Analisis Data ... 24

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.5 Kerangka Berfikir... 18

4.2.1 Hooligan GSE terlibat perkelahian dengan Zulu ... 30

4.2.1 Perkelahian GSE dengan lawannya di kawasan stasiun di kota Manchester.. 31

4.2.2 Kode Hermeneutik ... 32

4.2.2 Kode Proairetik ... 33

4.2.2 Kode Semantik ... 35

4.2.2 Kode Simbolik ... 36

(13)

xiii

Penelitian yang berjudul “Representasi Solidaritas Supporter Garis Keras Pada Film Green Street Hooligans” ini, bertujuan untuk membedah dan menemukan kehadiran solidaritas dalam dunia supporter garis keras yang digambarkan dalam film Green Street Hooligan yang disutradarai oleh Lexi Alexander. Solidaritas hadir dalam berbagai bentuk, baik politik, agama bahkan dalam dunia komunitas supporter sepak bola. Isu ini diangkat dalam film Green Street Hooligan, ketika Lexi Alexander ingin memperlihatkan bagaimamna seseorang memiliki rasa solidaritas terhadap supporter garis keras atau hooligan klub sepak bola yang disukainya. Untuk menggali makna dan kehadiran solidaritas dalam adegan - adegan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan Analisis Semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes.

Dalam penggunaan analisis semiotika Barthes dapat ditemukan tingkatan makna yang terdiri dari makna denotasi, makna konotasi dan tingkatan terakhir yaitu makna yang berkaitan dengan mitos. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan mengamati adegan-adegan dalam film Green Street Hooligan, mengumpulkan data dari berbagai literatur, buku dan tulisan tentang penelitian ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap film Green Street Hooligan ditemukan, pada makna denotasi dari film ini menggambarkan sikap, perilaku dan simbol – simbol solidaritas itu sendiri. Pada makna konotasi bagaimana fanatisme itu tumbuh, berkembang dan hidup bersama manusia dan mempengaruhi kehidupan manusia. Pada tingkatan mitos yang terlihat dalam film ini adalah mitos kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok suporter fanatis serta bertolak belakang dengan hal tersebut, ada mitos persaudaraan yang terjalin erat diantara sesama suporter.

(14)

xiv

ABSTRACT

Taufiq Nur Rahman, G. 311.12.0030, Solidarity Representation Of Hard-Line

Supporters On The Green Street Hooligans Film.

The research, entitled "Representation of Hardline Supporter Solidarity on the Green Street Hooligans Film", aims to dissect and find a solidarity presence in the world of hardline supporters portrayed in the Green Street Hooligan film directed by Lexi Alexander. Solidarity is present in various forms, both political, religious and even in the world of soccer support communities. This issue was raised in the Green Street Hooligan film, when Lexi Alexander wanted to show how someone had a sense of solidarity with hard-line supporters or the soccer club hooligans he liked. To explore the meaning and presence of solidarity in these scenes, the author uses qualitative research methods with the Semiotic Analysis approach proposed by Roland Barthes.

In the use of Barthes semiotic analysis can be found the level of meaning consisting of denotation meaning, connotation meaning and the last level that is meaning related to myth. The technique of collecting data is by observing scenes in the Green Street Hooligan film, collecting data from various literature, books and writings about this research. From the results of research conducted on the Green Street Hooligan film found, the denotational meaning of the film illustrates attitudes, behaviors and symbols of solidarity itself. On the connotation of how fanaticism grows, develops and lives with humans and influences human life. At the level of myth seen in this film is the myth of violence carried out by a group of fanatical supporters and contrary to this, there is a myth of brotherhood that is closely intertwined among fellow supporters.

(15)

1

1.1 LATAR BELAKANG

Film merupakan aktualisasi perkembangan kehidupan masyarakat pada masanya. Dari zaman kezaman film mengalami perkembangan, baik dari teknologi yang digunakan maupun tema yang diangkat. Bagaimanapun, film telah merekam sejumlah unsure – unsure budaya yang melatar belakanginya. Termasuk pemakaian bahasa yang tampak pada dialog antar tokoh dalamnya. Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang sudah sangat dikenal. Dengan caranya sendiri, film memiliki kemampuan untuk mengantar pesan secara unik ; dapat juga dipakai sebagai sarana pameran bagi media lain dan juga sebagai sumber budaya yang berkaitan erat dengan buku, film kartun,bintang televisi, film seri, sertalagu (McQuail, 1987 : 14). Film merupakan salah satu alat komunikasi yang mampu dan mempunyai kekuatan untuk menjangkau banyak segmen sosial, dan merupakan sebuah media untuk berekspresi dimana didalamnya terdapat perpaduan kreatif antara teknologi fotografi dan tata suara.

Film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda (sign). Tanda-tanda dipakai oleh pembuat film sebagai alat untuk mengartikulasi apa yang menjadi maksud dan tujuan. Dengan munculnya tanda-tanda di dalam film, kadang membuat khalayak penonton sulit untuk menangkap arti dari makna dibalik tanda tersebut, maka tanda dapat dilihat dari pengambilan

(16)

gambar-2

gambar melalui film yang dibuat dan merupakan suatu media massa yang memiliki peranan yang cukup besar bagi masyarakat sekarang ini. Film juga dapat digunakan sebagai media komunikasi yang memiliki peran penting sebagai alat dalam menyalurkan pesan-pesan kepada penonton, yang mempunyai kekuatan untuk lebih cepat menghipnotis pentonton yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri unsur subyektifitas dari pembuat pasti ada dan akan mempengaruhi isi sebuah film. Nilai-nilai sosial, kritakan sosial, moral, serta kebudayaan sangat berpengaruh. Pembuat film pasti memiliki motivasi dan tujuan tertentu yang ingin disampaikan lewat filmnya, mulai dari menentukan ide, memilih tema, penulisan naskah sampai unsur-unsur sinematografi dan aktornya sudah dipikirkan dan dipertimbangkan

"I'm Forever Blowing Bubbles." Adalah yel-yel yang kerap dinyanyikan oleh supporter sepakbola West Ham United pada film Green Street Hooligan. Kalimat tersebut menjadi ikon pada film yang disutradarai oleh Lexi Alexander ini.Green Street adalah sebuah film 2005 tentang hooliganisme sepak bola di Inggris.Film ini dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam.Di Amerika Serikat dan Australia, film ini disebut Green Street Hooligans. Di negara lain, dinamakan Football Hooligans atau hanya Hooligans. Dalam film ini, seorang mahasiswa perguruan tinggi Amerika terlibat dengan firma hooligan West Ham (Green Street Elite) yang dikelola oleh kakak iparnya.Cerita dan skenario tersebut dikembangkan oleh mantan hooligan yang menjadi penulis, Dougie Brimson.Sepanjang film,

(17)

Green Street Elite bertarung dengan "firma" lainnya seperti Yid Army, kelompok pendukung Tottenham Hotspur, Birmingham Zulus, Red Army dan Millwall Bushwackers.

Cerita ini berawal dari Matt Buckner seorang mahasiswa Harvard yang terbuang dari kampusnya tersebut karena ditemukan setumpuk kokain di dalam kamar asramanya, setelah di keluarkan dari Universitas Harvard Matt pergi ke London untuk hidup bersama kakak perempuannya serta kakak iparnya.Ia langsung dikenalkan dengan Steve adik dari kakak ipar Matt seorang Hooligans yang keras kepala. Setalah berkenalan di ajaklah Matt pergi bersama Steve menonton pertandingan bola West Ham United melawan Birmingham City, Setelah pertandingan usai Matt memutuskan untuk memisahkan diri dari kelompok supporter West Ham untu berjalan sendiri pulang ke rumah, tiba tiba di jalan Matt di kejar oleh supporter Birmingham City hingga babak belur, hingga akhirnya datanglah pertolongan dari kakak ipar Matt yaitu Steve dan kawan supporter West Ham United GSE(Green Street Elite) . Matt bertemu teman-teman Pete dan komunitasnya di Abbey, pub lokal mereka.Teman-temannya semua berteman dengan Matt, dengan pengecualian tangan kanan-Nya, Bovver (Leo Gregory).Setelah beberapa gelas bir, mereka menuju ke Upton Park untuk pertandingan. Dalam perjalanan kembali ke kereta bawah tanah, Matt melompat oleh tiga fans Birmingham, yang hampir memberinya lemparan botol, tetapi diselamatkan oleh beberapa anggota GSE, yang sedang dalam perjalanan mereka untuk bertarung lebih besar. Meskipun terlalu kalah

(18)

4

jumlah, GSE yang berhasil bertahan mengejar mereka sampai bala bantuan dari supporter Birmingham.Matt tidak baik dalam pertarungan pertama yang sejati dan dilantik ke GSE. Setelah baris dengan Steve, Matt bergerak dengan Pete, kemudian sangat kalah jumlah oleh fans Man United. Matt menemukan bahwa Steve digunakan untuk menjadi “The Mayor,” dari GSE. Anak itu tewas dalam pertempuran berikutnya. Sejak itu Tommy Hatcher

menghilang dan menyalahkan Steve dan GSE atas kematian

anaknya.Setelah melihat hal ini terjadi, Steve meninggalkan hooliganisme sepakbola untuk selamanya. Film ini menceritakan tentang fanatisme supporter yang mana di dalamnya terdapat unsur-unsur persahabatan dan pengakuan jati diri sebuah supporter sepak bola dalam membela tim kesayangan hingga titik darah penghabisan.

https://andrenalin1991.wordpress.com/2011/03/28/resensi-film-%E2%80%9Cgreen-street-hooligans/diakses pada hari senin tanggal 29

November 2018 pukul 19.30 wib.

Uniknya adalah film yang syarat akan benyak unsur kekerasannya ini ternyata disutradarai oleh seorang perempuan. Ya, Lexi Alexander selalu memiliki ketertarikan dengan olahraga dan penggemar yang penuh gairah. Hal tersebut terbukti ketika Lexi Alexander pernah menjuarai dunia Karate World dalam pertempuran karate. Terinspirasi oleh pengalaman ini, dia akhirnya menulis sebuah skenario dengan seorang mantan hooligan sepak bola yang menjadi penulisnya, Dougie Brimson , tentang firma West Ham United. Dan terciptalah film skenario mereka, berjudul Green Street.

(19)

Terlalu banyak adegan fisik, film “Green Street Hooligan” tidak dianjurkan untuk ditonton oleh anak-anak.Walaupun tidak dianjurkan pun, film ini sangat mempengaruhi khalayak khususnya untuk mereka yang fanatik dengan klub sepakbola yang mereka banggakan. Jika didalam film menampilkan adegan yang mengandung kekerasan, maka akan berdampak

negative bagi penonotonnya, karena bukan tidak mungkin lagi bagi mereka

meniru apa yang sudah mereka lihat dari film. Namun kembali lagi pada hakikat film yang dijelaskan pada kalimat pertama pada paragraph ke-3 bahwa Film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda (sign). Tanda-tanda dipakai oleh pembuat film sebagai alat untuk mengartikulasi apa yang menjadi maksud dan tujuan. Dengan munculnya tanda-tanda di dalam film, kadang membuat khalayak penonton sulit untuk menangkap arti dari makna dibalik tanda tersebut, Selain menampilkan banyak adegan kekerasan, realitas lain yang ada dalam film Green Street Hooligans ini adalah tentang persahabatan dan rasa simpatik antar anggota kelompok.

Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang bentuk solidaritas supporter pada film Green Street Hooligans. Peneliti memilih film Green Street Hooligan untuk dijadikan sumber penelitian karena film ini sangatlah penting untuk dikaji karena film yang identik dengan unsur kekerasan ini ternyata memiliki arti lain yang penting bagi kehidupan bersosial sehingga dengan dilakukannya penelitian ini hasilnya diharapkan dapat dijadikan khazanah pengetahuan tentang memahami sebuah film. Penelitian ini diajukan oleh penulis berdasarkan

(20)

6

rujukan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Molecha Surya, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Semarang dengan judul Tampilan Kekerasan Pada Serial Animasi Larva.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana representasi solidaritas supporter garis keras pada film Green Street Hooligan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang diteliti maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

Untuk menjawab permasalahan guna memperoleh pemahaman tampilan solidaritas supporter garis keras pada film Green Street Hooligan?

1.4 Manfaat Penelitian

A. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan referensi bagi akademik untuk sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan informasi tentang komunikasi semiotik yang dikaji secara teoritis hingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa yang membutuhkan.

(21)

B. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana film dibentuk dan memberikan wacana baru kepada sineas-sineas muda / pembuat film untuk lebih berfikir kritis mengenai pesan yang dapat disampaikan melalui film.

(22)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Semiotika dari Roland Barthes

Menurut Barthes, semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai, dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan mengkomunikasikan.Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonsitusi struktur dari tanda. Barthes, dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi tidak terbatas pada bahasa, tetapi juga pada hal-hal lain di luar bahasa. Barthes menganggap kehidupan sosial, apapun bentuknya merupakan suatu sistem tanda tersendiri (Kurniawan, 2001: 53)

Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya, telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya pokok Barthes, antara lain: Le degre zero de l’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis‟ (1953), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,

Writing Degree Zero, 1977: 88).

Kritik Barthes terhadap borjuis sangat menonjol dalam buku tersebut.Setahun kemudian Barthes menerbitkan Mhicelet (1954). Buku Barthes lain yang mendapat sorotan adalah Mytologies (Mitologi-mitologi)

(23)

(1957). Dalam buku ini Barthes menganalisis dan kultural yang dikenal umum seperti balap sepeda Tour de France, reklame dalam surat kabar dan lain-lain sebagai gejala masyarakat borjuis.

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean.Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bertens menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an (Barthes, 2001: 208).

Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2003:63).Selanjutnya, (Barthes (1957, dalam de Saussure yang terkutip Sartini) menggunakan teori signifiant-signifie menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C).Namun, Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu, sehingga membentuk tanda (Sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebgai gejala meta-bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).

Pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan

(24)

10

bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.

Peta Tanda Roland Barthes

Signifier

(Penanda)

Signified

(Pertanda)

Denotative Sign (Tanda Denotatif)

Connotative Signifier (Penanda Konotatif) Connotative

Signified

(Pertanda konotatif)

Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Table 6.1

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga tanda konotatif (4).Denotasi dalam pandangan Barthes merupakan tataran pertama yang maknanya bersifat tertutup.

Dalam analisis data ini, Peneliti menggunakan sistem signifikasi tiga tahap milik Roland Barthes yaitu, denotasi, konotasi, dan mitos.Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi (pemaknaan) tahap pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua,

(25)

dan mitos yang terakhir.Denotasi menggunakan makna dari tanda sebagai definisi secar literal yang nyata. Konotasi mengarah pada kondisi sosial budaya dan asosiasi personal (Barthes, 2004: 162)

Tataran denotasi merupakan makna yang sebenar-benarnya yang disepakati bersamaan secara sosial, yang rujukannya pada realitas.Tanda konotatif merupakan tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan makna, tidak langsung dan tidak pasti artinya terbuka kemungkinan terhadap penafsiran baru. Selain teori Signifikasi dua tahap dan mitodelogi, Barthes mengemukakan lima jenis kode yang lazim beroperasi dalam suatu teks yaitu.

1. Kode Hermeneutik ialah dibawah kode hermaneutik, orang akan mendaftar beragam istilah (formal) yang berupa sebuah teka-teki

(enigma) dapat dibedakan, diduga, diformulasikan,

dipertahankan, dan akhirnya disikapi. Kode ini disebut pula sebagai suara kebenaran (the voice of truth).

2. Kode Proairetik merupakan tindakan naratif dasar (basic narrative action) yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut pula sebagai suara empirik.

3. Kode Budaya sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Kode ini disebut sebagai suara ilmu.

(26)

12

4. Kode Semik merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic code) yang merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek yang pertandanya adalah sebuah karakter (Sifat, atribut, predikat).

5. Kode Simbolik merupakan suatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dengan beragam bentuk sesuai dengan pendekatan sudut pandang (Prespektif) pendekatan yang digunakan (Kurniawan, 2001:69).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, pertanda dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula, sebuah pertanda dapat memiliki beberapa penanda (Budiman, 2001:28, dalam Sobur, 2004:71).

Dalam pandangan Barthes dengan konsep mitos dalam arti umum.Barthes mengemukakan mitos adalah Bahasa, maka mitos adalah sebuah sistem komunikasi dan mitos adalah sebuah pesan. Dalam uraiannya, ia mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian khusu ini merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang sudah terbentuk lama dimasyarakat itulah mitos. Barthes juga mengatakan bahwa mitos

(27)

merupakan sistem semiologis, yakni sistem tanda-tanda yang dimakna manusia (Hoed, 2008:59). Mitos barthes dengan sendirinya berbeda dengan mitos yang kita anggap tahayul, tidak masuk akal, ahistoris dan lain-lainnya, tetapi mitos menurut Barthes sebagai type of speech (gaya bicara seseorang).

Tujuan analisis Barthes menurut Lechte, bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata.

2.2 Jenis dan bahasa film

Menurut sifatnya, film terdiri dari berbagai jenis, yakni (Effendy, 2002): 1. Film Dokumenter (documentary films)

Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu.

2. Film Cerita Pendek (short films)

Durasi film cerita pendek biasanya dibawah 60 menit. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang

(28)

14

memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi.

3. Film Cerita Panjang (feature-lenght films)

Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit.Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini. Film-film jenis lain, Profil Perusahaan (corporate profile) Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu berkaitan dengan kegiatan yang mereka lakukan. Film ini sendiri berfungsi sebagai alat bantu presentasi.

4. Iklan Televisi (TV commercial)

Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaran informasi, baik tentang produk (iklan produk) maupun layanan masyarakat (iklan layanan masyarakat atau public service announcement/PSA).

5. Program Televisi (TV Programme)

Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi.Secara umum, program televisi dibagi menjadi dua jenis yakni cerita dan non cerita.Jenis cerita terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok fiksi dan nonfiksi.

6. Video Klip (Music Video)

Sejatinya video klip adalah sarana bagi para produser musik untuk memasarkan produknya lewat medium televisi.Dipopulerkan pertama kali lewat saluran televisi MTV tahun 1981. Sedangkan, “Bahasa”

(29)

dalam pengertian sebagai sistem, lambang, tanda-tanda (signs) sebagai alat untuk berkomunikasi. Sarana fisik dari bahasa film adalah Media Gambar (visual) dan Media Suara (audio).Penggunaan bahasa film secara naluriah saja terkadang bisa berfungsi efektif, terkadang tidak.Maklum merabaraba.Bahkan bisa melakukan kekeliruan (Biran, 2006).Media visual adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gambar/tampilan dari sebuah film.Meliputi pemain (aktor), setting (latar), danAngle (pengambilan gambar). Sedangkan audio berarti segala sesuatu yang meliputi suara/bunyi-bunyian, yaitu dialog, sound effect maupun ilustrasi musik. Media visual pada pertunjukkan film menjadi andalan utama dalam menyampaikan informasi kepada penonton. Dengan kedudukannya tersebut,maka media audio berfungsi sebagai pendukung. Dengan kata lain, dalam menyampaikan informasi dengan media film, pembuat film harus lebih dahulu mengutamakan penggunaan media visual dalam memberikan penjelasan kepada penonton, kemudian barulah menggunakan media audio (Biran, 2006).

Jadi, dalam pembuatan sebuah film antara visual dan audio harus diperhitungkan dengan benar pada bagian mana porsi masing-masing harus ditonjolkan.Hal itu bertujuan untuk membangun dan menjaga mood penonon pada sebuah film.Jangan sampai terjadi pengulangan yang tidak perlu sehingga membuat pesan yang ingin disampaikan tidak efektif atau sia-sia.

(30)

16

2.3 Pengertian Solidaritas

Pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar terhadap struktur masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara di mana solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi dua tipe solidaritas mekanis dan organis.Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktivitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memilki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 90-91).

Durkheim berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat yaitu pemahaman norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif.Kesadaran kolektif lebih terlihat dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanik daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organik. Masyarakat modern lebih mungkin bertahan dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang yang dimiliki orang lain daripada bertahan pada kesadaran kolektif. Oleh

(31)

karena itu meskipun masyarakat organic memiliki kesadaran kolektif, namun dia adalah bentuk lemah yang tidak memungkinkan terjadinya perubahan individual (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 92).

Masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanik, kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, dia sangat diyakini, sangat mendarah daging, dan isinya sangat bersifat religious.Sementara dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok, tidak dirasakan terlalu mengikat, kurang mendarah daging, dan isinya hanya kepentingan individu yang lebih tinggi dari pedoman moral (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 91-92).

Masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah perilaku dan sikap.Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim, seluruh anggota masyarakat diikat oleh kesadaran kolektif, hati nurani kolektif yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstrim serta memaksa (Kamanto Sunarto, 2004: 128).

Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, yaitu masyarakat yang mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian.Setiap anggota menjalankan peran yang berbeda, dan saling ketergantungan seperti pada hubungan antara organisme biologis. Bisa dikatakan bahwa

(32)

18

ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya, karena adanya saling ketergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada sistem kerja dan kelangsungan hidup masyarakat. Keadaan masyarakat dengan solidaritas organik ini, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif melainkan kesepakatan yang terjalin diantara berbagai kelompok profesi (Kamanto Sunarto, 2004: 128).

2.4 KerangkaBerfikir

Penelitian yang akan dilakukan dapat digambarkan seperti ini:

Peneliti menggunakan sistem signifikasi tiga tahap milik Roland Barthes yaitu, denotasi, konotasi, dan mitos.Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi

Film

action Street Hooligan Film Green

Semiotika Roland Barthes Legitimate Makna Denotasi Makna Konotasi Mitos

(33)

merupakan sistem signifikasi (pemaknaan) tahap pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua, dan mitos yang terakhir. Denotasi menggunakan makna dari tanda sebagai definisi secara literalyang nyata. Konotasi mengarah pada kondisi sosial budaya dan asosiasi personal (Barthes, 2004: 162).

Dalam penelitian representasi solidaritas supporter garis keras pada film Green Street Hooligan ni, analisis akan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama adalah melakukan kajian dengan melihat tanda yang terdapat dalam tayangan film. Tanda-tanda ini akan dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu pesan linguistik (teks yang ada dalam film tersebut), pesan ikonik yang terkodekan (gambar dan adegan yang ada di film tersebut), pesan ikonik yang tak terkodekan (makna tersirat dari dialog dan adegan dalam film tersebut). Tahap kedua, menarik makna berdasarkan atas analissis semiotika yang dilakukan pada tahap pertama, pada tahap ini peneliti akan mengungkapkan bagaimana penggunaan simbol-simbol dan kecenderungan pesan dalam tayangan film melalui lima kode. Kode itu adalah hermeneutik, proaretik , simbolik, semik dan cultural. Setelah itu ditarik kesimpulan tentang pesan tersirat dari tampilan kekerasan dalam serial animasi larva ini.Tahap ketiga adalah mitos.Mitos adalah sistem semiologi tingkat kedua. Karena dengan adanya mitos dan diperkuat oleh wawancara dengan narasumber yang berkompeten membuat penelitian ini menjadi sah/legitimate atau bertolak belakang dengan realitas yang sebenarnya.

(34)

20

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3,1Bentuk dan Strategi Penelitian

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian deskripsi

kualitatif.Dalam teori deskripsi suatu penelitian merupakan uraian sistematis tentang teori (bukan sekedar pendapat pakar atau penulis buku) dan hasil-hasil penelitian yang relavan dengan variabel yang diteliti.Beberapa jumlah kelompok teori yang perlu dikemukakan. Dideskripsikan akan tergantung pada luasnya permasalahan dan secara teknis tergantung pada jumlah variabel yang diteliti. Bila dalam suatu penelitian terdapat tiga variabel independen dan satu dependen, maka kelompok teori yang perlu dideskripsikan ada empat kelompok teori yaitu kelompok teori yang berkenan dengan tiga variabel independen dan satu dependen. Oleh karena itu, semakin banyak variabel yang diteliti, maka akan semakin banyak teori yang perlu dikemukakan. Deskripsi teori yang tidak berisi tentang penjelasan terhadap variabel-variabel yang diteliti, melalui pendefinisian, dan uraian yang lengkap dan mendalam dari berbagai referensi, sehingga ruang lingkup kedudukan dan prediksi terhadap hubungan antar variabel yang akan diteliti menjadi lebih jelas danterarah. Dalam penelitian ini strategi yang digunakan adalah strategi deskripsi kualitatif.Strategi deskriptif dalam penelitian kualitatif adalah mengumpulkan data berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka,

(35)

sehingga laporan penelitian berupa kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut.

Penelitian ini di tujukan untuk bagaimana mengetahui representasi solidaritas pada film Green Street Hooligan.

3.2 Data dan Sumber Data

3.2.1 Sumber Data Primer

Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian yang ada dilapangan. Dalam penelitian ini simbol-simbol dari visualisasi film Green Street Hooligans sebagai sumber data primer yang akan menjadi objek penelitian.

3.2.2 Sumber Data Sekunder

Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh selain dari data primer data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya.Data sekunder diperoleh dari catatan-catatan, dokumen, studi pustaka dan situs-situs yang berhubungan dengan penelitian ini.Data sekunder ini berfungsi sebagai pelengkap atau pendukung data primer.Selain kata-kata dan tindakan sebagai sumber data utama diperlukan juga data-data tambahan seperti dokumen danlain-lain sebagai sumber data sekunder (Moleong, 2002: 112).

(36)

22

3.2.3 Teknik Sampling

Sampel dalam penelitian ini akan dikerucutkan hingga mendapat informasiyang akurat. Oleh karena itu sampling yang digunakan dalam penelitian inibersifat purposive sampling atau lebih disebut sebagai cuplikan dengan “Criterionbased Selection” menurut Goetz & LeCompte, Sutopo (dalam Gunawan, 2005: 18).Peneliti mencoba memilih film Green Street Hooligan sebagai sumber penelitian dan mewawancarai pengamat film guna memperoleh hasil yang maksimal dalam penelitian ini.

3.2.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data yang lengkap, maka Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yaitu :

3.2.4.1 Observasi

Observasi merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam kehidupan terutama di bidang penelitian. Observasi adalah suatu cara untuk melakukan penelitian dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, dan rasional mengenai fenomena-fenomena yang diselidiki (Nanawi & Hadari, 1992: 67). Dengan observasi, penelitian dapat dilakukan secara mendalam.

(37)

Dalam penelitian ini peneliti melakukan studi kasus secara langsung untuk observasi yaitu Representasi Solidaritas Suporter Gris Keras Pada Film Green Street Hoolgans. Dalam penelitian ini

disamping observasi juga dilakukan studi

kepustakaan yaitu pengumpulan data dan informasi yang berasal dari sumber tertulis seperti surat kabar, buku-buku, majalah dan sebagainya (Sutopo, 2002: 35)

3.2.5 Validitas Data

Untuk mengecek hasil penelitian dan

menguatkannya, Peneliti menggunakan wawancara dengan pengamat film.Penelitian ini menggunakan pengembangan validitas trianggulasi seperti yang dikatakan Patton (Sutopo, 2002:78-79). Selanjutnya pada penelitian yang telah dilakukan ini menggunakan trianggulasi data atau sumber, yaitu melihat sesuatu yang sama, dari berbagai perspektif yang berbeda. Trianggulasi sumber yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu pengamat atau komunitas film yang ada di Kota Semarang. Melalui trianggulasi tersebut diperoleh data yang lengkap mendalam serta komprehensif.

(38)

24

Table 7.1.6

Dalam analisis data ini, Peneliti menggunakan sistem signifikasi tiga tahap milik Roland Barthes yaitu, denotasi, konotasi, dan mitos.Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi (pemaknaan) tahap pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua, dan mitos yang terakhir.Denotasi menggunakan makna dari tanda sebagai definisi secara literal yang nyata.Konotasi mengarah pada kondisi sosial budaya dan asosiasi personal (Barthes, 2004: 162).

Dalam penelitian representasi solidaritas supporter garis keras pada film Green Street Hooligan ini, analisis akan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama adalah melakukan kajian dengan melihat tanda yang terdapat dalam tayangan film. Tanda-tanda ini akan dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu pesan linguistik (teks yang ada dalam film tersebut), pesan ikonik yang terkodekan (gambar dan adegan yang ada di film tersebut), pesan ikonik yang tak terkodekan (makna tersirat dari dialog dan adegan dalam film tersebut). Tahap kedua, menarik makna berdasarkan atas analissis semiotika yang dilakukan pada tahap pertama, pada tahap ini peneliti akan mengungkapkan bagaimana penggunaan simbol-simbol dan kecenderungan pesan dalam tayangan film melalui lima kode. Kode itu adalah hermeneutik, proaretik , simbolik, semik dan cultural. Setelah itu

1. Penanda 2. Petanda

3. Tanda

I. PENANDA II. PETANDA

III. TANDA Bahasa

(39)

ditarik kesimpulan tentang pesan tersirat dari tampilan kekerasan dalam serial animasi larva ini.Tahap ketiga adalah mitos.Mitos adalah sistem semiologi tingkat kedua.Karena dengan adanya mitos dan diperkuat oleh wawancara dengan narasumber yang berkompeten membuat penelitian ini menjadi sah/legitimate atau bertolak belakang dengan realitas yang sebenarnya.

(40)

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

4.1.1 Film Green Street Hooligan

Bagi mereka, para hooligan, sepakbola lebih dari sebuah permainan dan hiburan akhir pekan.Ia adalah jalan hidup, dan menjadi suporter sebuah tim pun berarti ikut memperjuangkan harga diri klub kebanggaan mereka tersebut. Green Street adalah sebuah film tentang hooliganisme sepak bola di Inggris. Dirilis tahun 2005, pada intinya film ini bercerita tentang proses perubahan yang terjadi dalam hidup Matt Buckner (Elijah Wood), seorang mahasiswa dropped out dari Universitas Harvard, setelah bertemu dengan Pete Dunham (Charlie Hunnam), pimpinan firma suporter garis keras West Ham United, Green Street Elite (GSE).

Bermula ketika Matt, yang dikeluarkan dari Harvard akibat tuduhan kepemilikan kokain, pergi ke London untuk bertemu kakaknya, Shannon,

yang bersuamikan seorang „hooligan insyaf‟ bernama Steve

Dunham.Pertemuannya dengan Pete, yang merupakan adik Steve, terjadi di rumah Shannon dan Steve. Pete, yang belum „insyaf‟, awalnya enggan mengajak Matt menonton pertandingan sepakbola di stadion, menganggap Matt adalah seorang Amerika yang tak tahu apa-apa soal sepakbola. Namun dalam waktu singkat Matt bisa akrab dengan Pete, bahkan membaur dengan rekan-rekan Pete yang sesama hooligan.

(41)

Dan kisah Matt menjadi seorang hooligan West Ham pun dimulai saat itu.Berkelahi, berpakaian ala hooligan, hingga bepergian partai away pun dilakoninya.

Dalam film ini, ada 4 konflik utama yang saling bertautan.Pertama adalah ketidaksukaan Bovver, tangan kanan Pete, terhadap Matt, yang dianggapnya sebagai orang asing yang mencurigakan dan bisa bergabung dengan GSE hanya karena hubungan nepotisme dengan Pete.Kedua adalah kebencian para hooligan dengan jurnalis yang dianggap sering menjatuhkan citra hooligan (dan „kebetulan‟ Matt adalah seorang calon jurnalis).Ketiga, yaitu perseteruan GSE dengan hooligan pendukung Milwall, dan yang terakhir adalah pengkhianatan Bovver kepada Pete, yang menjadi puncak segala kekacauan yang terjadi dalam film ini.

Film ini seperti menggambarkan bagaimana sebenarnya kehidupan para hooligan ini.Mulai dari kehidupan sehari-hari mereka yang normal dan punya pekerjaan tetap (bahkan Pete adalah seorang guru), rutinitas berkumpul di bar setelah jam kerja, menonton pertandingan langsung di stadion, hingga berkelahi antar suporter yang direncanakan.Penggambaran karakter-karakternya pun cukup menarik dan mewakili, sehingga memberikan image bahwa hooligan adalah jalan hidup mereka dan bukan asal berlagak keren.

Meskipun film ini berkisah tentang kekerasan dalam sepakbola, film ini tetap mengajarkan beberapa hal positif, antara lain memegang teguh prinsip, tidak kabur dari masalah, berusaha memperjuangkan hak pribadi, saling tolong menolong, serta yang paling penting, sebuah pembelajaran yang

(42)

28

tegas bahwa sepakbola tak lebih penting dari nyawa seseorang dan fanatisme berlebihan tanpa menggunakan akal sehat akan membawa dampak yang buruk. Hanya saja, semua pesan-pesan positif itu didapat dari cara yang salah, yaitu berkelahi.

Film ini pun memberi pesan bahwa dari hal-hal buruk pun kita bisa menemukan hal yang positif, seperti halnya pengalaman Matt menjadi hooligan membuatnya kembali berjuang membersihkan nama baiknya agar bisa kembali berkuliah di Harvard (ia jadi berani mengkonfrontasi sang pemilik kokain sebenarnya yang membuatnya dikeluarkan).

Namun seperti film-film lain, pasti ada hal yang menjadi nilai minus dari film tersebut, seperti konflik pengkhianatan Bovver yang terkesan standar (tipe-tipe jealous seperti ini bahkan bisa ditemui di sinetron Indonesia), serta mengapa Shannon secara kebetulan melewati tempat perkelahian besar antara hooligan West Ham dan Milwall dan berusaha menyelamatkan Matt.

4.1.2 Solidaritas Suporter Garis Keras

Suporter sepakbola merupakan kerumunan di mana diartikan sebagaisejumlah orang yang berada pada tempat yang sama, adakalanya tidak saling mengenal, dan memiliki sifat yang peka terhadap stimulus (rangsangan) yang datang dari luar. Suporter sepakbola meski menonton pertandingan sepakbola di tempat dan mendukung tim yang sama belum tentu mereka saling mengenal satu sama lain, meski demikian mereka sangat peka terhadap stimulus yang datang dari luar seperti ketika tim mereka nyaris mencetak gol atau ketika gol tercipta, secara tidak langsung tanpa dikordinir mereka

(43)

langsung menunjukkan ekspresi yang sama yakni berteriak dan bersorak. Bahkan ketika terjadi kerusuhan pun meski tidak saling mengenal tapi atas nama solidaritas supporter pendukung kesebelasan yang sama, mereka langsung membantu rekan-rekannya ketika kerusuhan terjadi.

Salah satu perilaku negatif suporter garis keras yang dampaknya benar-benar dirasakan oleh masyarakat adalah perilaku anarkis seperti tindak kekerasan/tawuran antar suporter, perusakan fasilitas umum dan melakukan tindakan kriminal seperti penjarahan di mana perilaku mereka ini tidak hanya merugikan mereka dan klub, tetapi juga berdampak pada masyarakat dengan menyisakan rasa takut/cemas masyarakat terhadap suporter sepakbola hinggamasyarakatpun memunculkan stigma terhadap mereka, selain itu kerugian materilakibat kerusuhan suporter dan juga perusakan fasilitas umum tentunya menjadi hal yang sangat disayangkan.

Pada film Green Street Hooligan ditemukan, makna denotasi dari film ini menggambarkan sikap, perilaku dan simbol – simbol fanatisme itu sendiri.Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok suporter fanatis serta bertolak belakang dengan hal tersebut, ada mitos persaudaraan yang terjalin erat diantara sesama suporter.

4.2Temuan Penelitian

4.2.1 Denotasi

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap film Green Street Hooligan, film ini secara denotatif menggambarkan tentang rasa setia kawan dan solidaritas yang tinggi antar anggota firm GSE terlihat dari scene berikut:

(44)

30

Gambar 1: Adegan Bovver dan Hooligan GSE membantu kawannya yang terlibat perkelahian dengan Hooligan Zulu

Di adegan ini ketika Matt Matt di kejar oleh supporter Birmingham City hingga babak belur, hingga akhirnya datanglah pertolongan dari kakak ipar Matt yaitu Steve dan kawan supporter West Ham United GSE(Green Street Elite). Sceneatau adegan ini terlihat beberapa hooligan GSE membantu temannya yang saat itu dihadang oleh hooligan lawannya di suatu jalan.

Dari adegan tersebut, secara denotasi adalah Pete dan beberapa

firmGSEmembantu temannya yang ketika itu dihadang dan dipukuli sampai

babak belur sampai akhirnya terjadinya perkelahian antara hooligan GSE dengan hooligan Zulu dari klub Birmingham City.

(45)

Gambar 2: Perkelahian Hooligan GSE dengan lawannya di kawasan stasiun di kota Manchester

Dari scene atau adegan ini adalah ketika hooligan GSE yang sedang away ke kota Manchester di hadang oleh sekelompok hooligan tuan rumah. Hooligan GSE yang saat itu mengendarai mobil melewati kerumunan hooligantuan rumah dengan meyamar sebagai kru film, kemudian hooligan GSE yang berada di dalam mobil pun turun dan terjadi adu fisik dengan hooligan Manchester United di sekitar halaman stasiun. Hooligan GSE yang waktu itu kalah jumlah dengan hooligan tuan rumah tidak lari dan melawan hooligan tuan rumah yang saat itu ada sekitar kurang lebih 40 orang.

4.2.2 5 Kode Pembacaan Pada Film Green Street Hooligan

1. Kode Hermeneutik

Merupakan satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam

(46)

32

teka-teki (enigma) dan sekedar member isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum membrikan pemecahan atau jawaban, seperti yang terlihat pada scene berikut ini:

Scene 1 11.54-

Berawal ketika Matt, yang dikeluarkan dari Harvard akibat tuduhan kepemilikan kokain, pergi ke London untuk bertemu kakaknya, Shannon,

yang bersuamikan seorang “hooligan insyaf” bernama Steve

Dunham.Pertemuannya dengan Pete, yang merupakan adik Steve, terjadi di rumah Shannon dan Steve.Pete, yang awalnya enggan mengajak Matt menonton pertandingan sepakbola di stadion, menganggap Matt adalah seorang Yanke yang tak tahu apa-apa soal sepakbola. Namun dalam waktu singkat Matt bisa akrab dengan Pete, bahkan membaur dengan rekan-rekan Pete yang sesama hooligan.Dan kisah Matt menjadi seorang hooligan West

(47)

Ham pun dimulai saat itu.Berkelahi, berpakaian ala hooligan, hingga bepergian partai awaypun dilakoninya.Dalam film ini, ada beberapa konflik utama yang saling bertautan.Pertama adalah kebencian para hooligan dengan jurnalis yang dianggap sering menjatuhkan citra hooligan (dan „kebetulan‟ Matt adalah seorang calon jurnalis).Kemudian terjadi perseteruan GSE dengan hooligan pendukung Milwall, dan yang terakhir adalah pengkhianatan Bovver kepada Pete, yang menjadi puncak segala kekacauan yang terjadi dalam film ini.Film Green Street Hooligan menggambarkan sebenarnya kehidupan para hooligan ini.Mulai dari kehidupan sehari-hari mereka yang normal dan punya pekerjaan tetap (bahkan Pete adalah seorang guru), rutinitas berkumpul di bar setelah jam kerja, menonton pertandingan langsung di stadion, hingga berkelahi antar suporter yang direncanakan. Adanya banyaknya adegan kekerasan di film ini menggambarkan bahwa film ini bertemakan tentang kerasnya kehidupan hooligan di Inggris dan rasa solidaritas antar hooligan yang sangat tinggi.

2. Kode Proairetik

Merupakan kode “ tindakan”. Kode ini didasarkan atas konsep proairesi, yakni “ kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional” yang mengimplikasi suatu logika perilaku manusia. Seperti yang terlihat pada scene berikut:

(48)

34

Scene 2

Di film ini sering terjadi kekerasan antar supporter dari lawan.Perkelahian tersebut bisa terjadi dengan sangat brutal dan bahkan mematikan. Yang menarik adalah para anggota firm bukanlah orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bisa jadi adalah pekerja kantor, pegawai pemerintah, teknisi bengkel. Sebagian dari mereka juga sudah berkeluarga dan memiliki anak.Kekerasan dalam suatu perkelahian bagi mereka adalah kesenangan. Untuk memberanikan diri mereka berkumpul di pub, minum minuman beralkohol, dan menyanyikan yel-yel. Asal usul kekerasan itu sendiri terjadi saat kedua kubu hooligan bertemu di suatu pertandingan di stadion kemudian salah satu diantara mereka saling memprovokasi kepada pihak lawan lalu terjadinya perkelahian antar hooligan.

(49)

3. Kode Semantika

Merupakan cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, Semantik adalah pembelajaran tentang makna. Semantik biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.

Scene 3

Awal mula Casual menjadi fashion dalam sepakbola itu dimulai saat terjadinya kerusuhan oleh Hooligan, yaitu kultur supporter yg tumbuh dan berkembang di Inggris raya.Bermula saat Hooligan-isme mulai menjamur di Inggris raya dan merasuki jiwa setiap pendukung klub klub di Inggris.Casual itu sendiri lahir karena adanya Hooligan, mereka berpakaian rapi karena ingin mengelabui kejaran polisi yg saat itu sedang gencar memburu mereka yg terkenal rusuh bahkan sampai menimbulkan korban di beberapa kasus kerusuhan.Tapi tidak semua Hooligan berpakaian rapi

(50)

36

layaknya Casual, beberapa banyak mereka masih tetap menggunakan fashion yg mereka kehendaki. Fashion Casual sendiri merupakan style fashion yg tertutup dan tentunya ber merk serta rapi untuk mengelabui identitas mereka oleh polisi ketika terjadi bentrok dengan lawannya, sehingga sangat sulit membedakan mana Casual mana warga biasa yg ber style mirip seperti mereka.

4. Kode Simbolik

Merupakan suatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dengan beragam bentuk sesuai dengan pendekatan sudut pandang (Prespektif) pendekatan. Seperti yang ada di scene berikut:

Scene 4

Masyarakat Inggris pada umumnya menganggap sepak bola itu sebagai agama yang membuat mereka rela berdesakan dan berteriak menyanyikan chant untuk klub sepak bola yang didukungnya. West Ham serta kaum

skinheadtidak dapat lepas dari sejarah berdirinya klub ini yang

(51)

lahir di wilayah London Timur pada tahun 1895 dengan nama awal Thames Ironwork and Shipbuilding FC. Pada tahun 1900 Thames Ironwork and Shipbuilding FC bangkrut dan berubah nama menjadi West Ham United.

Dari lambang atau symbol sepasang palu mewakili para pekerja galangan kapal yang mendirikan klub."I'm Forever Blowing Bubbles." Adalah yel-yel yang kerap dinyanyikan oleh supporter sepakbola West Ham United pada film Green Street Hooligan. Kemudian lambang sepasang palu oleh para hooligan di kawasan Inggris di jadikan oleh simbol hooligan atau garis keras suatu supporter klub sepak bola atau timnas Inggris.

5. Kode

Kultural

Dalam film inikode kultural biasanya berupa latar belakang sosial budaya suatu hooligan.Hooligan saat ini memang telah menjadi sebuah trend dikalangan supporter di seluruh dunia layaknya Skinhead, Punk atau Mods.Contoh kecil, ratusan bahkan ribuan orang memakai nick name kata Hooligan ini pada akun jejaring sosial mereka.Istilah Hooliganisme sendiri

(52)

38

sudah muncul sejak akhir abad ke 19 tepatnya pada 1898 di Inggris. Bagi para hooligan atau firm, kekerasan untuk membela firm atau kelompok hooligan itu lebih penting daripada mendukung klub sepak bola itu sendiri. Perkelahian atau konflik ini juga sering terjadi karena solidaritas antar hooligan yang tinggi apabila salah satu dari kelompok mereka dihadang oleh kelompok hooligan lain.

4.2.3 Konotasi

Konotasi merupakan makna kultural atau emosional yang bersifat subjektif dan melekat pada suatu kata atau frasa. Di dalam film Green Street Holigans terdapat makna konotasinya yaitubagaimana solidaritas itu tumbuh, berkembang dan hidup bersama manusia dan mempengaruhi kehidupan manusia. Pada tingkatan mitos yang terlihat dalam film ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok suporter serta bertolak belakang dengan hal tersebut, ada mitos persaudaraan yang terjalin erat diantara sesama supporter.

4.3Pembahasan

Dari hasil paparan diatas maka sesuai dengan hasil yang ada pada kajian teori dan dengan data yang terdapat dilapangan yaitu melalui observasi. Setelah ditemukan beberapa data yang diinginkan, baik dari hasil penelitian observasi, maka peneliti akan menganalisa temuan yang ada danmemodifikasi temuan yang ada, kemudian membangun penemuan yang baru serta menjelaskan tentang implikasi-implikasi dari hasil penelitian.

Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakinii kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tertapi

(53)

merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan.Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. Menurut Barthes pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.

Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah („mitos‟ diperlawankan dengan „kebenaran‟); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos.Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya.Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain.

(54)

40

Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang sudah sangat dikenal. Dengan caranya sendiri, film memiliki kemampuan untuk mengantar pesan secara unik; dapat juga dipakai sebagai sarana pameran bagi media lain dan juga sebagai sumber budaya yang berkaitan erat dengan buku, film kartun, bintang televisi, film seri, sertalagu (McQuail, 1987 : 14). Film merupakan salah satu alat komunikasi yang mampu dan mempunyai kekuatan untuk menjangkau banyak segmen sosial, dan merupakan sebuah media untuk berekspresi dimana didalamnya terdapat perpaduan kreatif antara teknologi fotografi dan tata suara.

Pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar terhadap struktur masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara di mana solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi dua tipe solidaritas mekanis dan organis.Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktivitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memilki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 90-91).

Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas dalam

(55)

berbagai lapisan masyarakat bekerja seperti "perekat sosial", dalam hal ini dapat berupa, nilai, adat istiadat dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam ikatan kolektif.

Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan muncul dengan teori mengenai konotasi.Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah

expression (bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifiè).

Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja

hijaumemjk[ang berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first order.Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja hijau

mengemban makna “persidangan”. Lapis kedua ini yang disebut konotasi

Dari hasil penelitian dan temuan dilapangan, penulis mendapatkan sebuah pemaknaan tentang solidaritas yang ada dalam film Green Street Hooligans yang menjadi objek penelitian. Film ini sangat mempengaruhi khalayak khususnya untuk para hooligan yang sangat fanatik dengan klub sepakbola dan kelompok yang mereka banggakan.

Meskipun film ini berkisah tentang kekerasan dalam sepakbola, film ini tetap mengajarkan beberapa hal positif, antara lain memegang teguh prinsip, tidak kabur dari masalah, berusaha memperjuangkan hak pribadi, saling tolong menolong, serta yang paling penting, sebuah pembelajaran yang tegas bahwa

(56)

42

sepakbola tak lebih penting dari nyawa seseorang dan fanatisme berlebihan tanpa menggunakan akal sehat akan membawa dampak yang buruk. Hanya saja, semua pesan-pesan positif itu didapat dari cara yang salah, yaitu berkelahi.

(57)

43

Green Street Hooligans merupakan sebuah film yang menggambarkan

tentang hooliganisme sepak bola di Inggris. Walau terdapat banyak adegan kekerasan di dalam film ini namun terselip nilai moral yang sangat positif.Seperti solidaritas yang ada pada suatu kelompok hooligan. Namun, sisi positif dari solidaritas itu sendiri tercoreng oleh ulah hooligan itu sendiri karena sering terjadinya perkelahian antar kelompok hooligan yang lain. Perkelahian tersebut bisa terjadi dengan sangat brutal dan bahkan bisa menimbulkan kematian bagi lawan.Solidaritas dalam berbagai lapisan masyarakat bekerja seperti "perekat sosial", dalam hal ini dapat berupa, nilai, adat istiadat dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam ikatan kolektif.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap ketiga narasumber yang berbeda latar belakang. Didapatkan hasil yang berbeda pula pemaknaan penonton pada tayangan yang disodorkan oleh Peneliti. Narasumber I menganggap film ini akan menimbulkan efek yang kurang baik bagi para supporter klub sepak bola dan penikmat film yang khususnya para generasi muda. Pada narasumber yang ke II & III setuju dengan pemaknaan film ini karena mereka melihat dari sisi positinya yaitu solidaritas & rasa kesetiakawanan yang tinggi di film ini.

Dalam film ini penulis menemukan banyak masalah sosial yang seharusnya tidak terjadi pada orang-orang jika sikap solidaritas telah diterapkan. Banyak adegan dalam film ini yang bisa menjadi pelajaran bagi kita dalam

(58)

44

menghadapi hidup di masyarakat yang pada akhirnya bisa membawa kita ke kehidupan yang adil dan makmur .

5.2 Implikasi

5.2.1 Impikasi Teoritis

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terkandung sistem signifikasi tiga tahap milik Roland Barthes untuk menjawab bagi peneliti ini yaitu, denotasi, konotasi, dan mitos. Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi (pemaknaan) tahap pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua, dan mitos yang terakhir.

5.2.2 Implikasi Metodologi

Dalam penelitian ini, penulis mengambil langkah metedologi sebagiamana yang terkandung di dalam penelitian ini, adapun bentuk contohnya yaitu hasil dari observasi dan wawancara sangat membatu bagi penelitian ini, selain itu penulis juga melakukan wawancara kepada para narasumber yang penulis anggap sebagaiinformasi akurat. Selain itu setudi pustaka juga sangat membantu dalam penelitian ini sebagai acuan informasi dan sumber bagi penelitian ini.

5.3 Saran

Berdasarkan analisis data dan kesimpulan yang diambil dari penelitian dalam film Green Street Hooligansini, terdapat beberapa saran yang ingin disampaikan oleh Peneliti yaitu:

(59)

5.3.1 Untuk Masyarakat

Film Green Street Hooligans sebenarnya adalah sebuah film yang bagus untuk ditonton, karena di film ini memperlihatkan sisi setia kawan dan rasa solidaritas yang tinggi meskipun ada beberapa adegan kekerasan yang tidak patut ditiru.Dan di film ini rasa solidaritas yang tinggi bisa di aplikasikan untuk kehidupan bermasyarakat.

5.3.2 Untuk Akademik

Bagi mahasiswa khususnya mahasiswa Komunikasi yang memiliki ruang gerak sangat luas.Semoga tidak hanya terpaku pada bidang jurnalistik dan media, tetapi juga dapat dikembangkan ke fenomena yang ada di masyarakat baik di bidang sosial, budaya, kesehatan, religi dan sebagainya, terutama kepekaan terhadap perkembangan dalam bidang perfilman.

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Alex, Sobur. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Biran, Misbach Yusa, 2006, Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Sesuai

Pengantar Praktis,

Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Deddy, Mulyana (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru

Ilmu Komunikasi\ dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Heru, Effendy, 2002, Mari Membuat Film, Panduan Menjadi Produser,

Yogyakarta: Panduan dan Yayasan Konfiden

Kamanto, Sunarto. (2004). Pengantar Sosiologi (edisi ketiga). Jakarta : Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia..

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang:Indonesiatera.

Lexy, Moleong, J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

(61)

McQuail, Dennis 1987. Mass Communication Theory (Teori Komunikasi Massa). Jakarta:

Erlangga.

Nawawi, Hadari, Martini. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ritzer, George & Douglas J Goodman.2008. TEORI SOSIOLOGI MODERN, Jakarta;

Kencana.

Stuart Hall. 2003. The Work of Representation. Representation: Cultural

Representation and Signifying Practices. Ed. Stuart Hall. London: Sage

Publication

Sutopo H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan

Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Skripsi :

Molecha Surya. 2016. Tampilan Kekerasan Pada Serial Animasi

Larva.Semarang: Universitas Semarang

Sumber Internet :

https://andrenalin1991.wordpress.com/2011/03/28/resensi-film-%E2%80%9Cgreen-street-hooligans/

(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)

Gambar

gambar  melalui  film  yang  dibuat  dan  merupakan  suatu  media  massa  yang  memiliki peranan yang cukup besar bagi masyarakat sekarang ini
Gambar  1:  Adegan  Bovver  dan  Hooligan  GSE  membantu  kawannya  yang  terlibat perkelahian dengan   Hooligan Zulu
Gambar 2: Perkelahian Hooligan GSE dengan lawannya di kawasan stasiun di  kota Manchester

Referensi

Dokumen terkait