• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURE"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURE (SSOP) PADA PENGOLAHAN UDANG PUTIH

(Litopenaeus Vannamei) SOAKING PEELED DEVINE (SPD) AQUA KING DI PT. BOGATAMA MARINUSA MAKASSAR

TUGAS AKHIR

OLEH

SYAMSINAR 1422030336

JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE DAN KEPULAUAN

(2)
(3)
(4)

RINGKASAN

SYAMSINAR 1422030336, Penerapan Sanitation Standard Operating

Procedure (SSOP) pada Pengolahan Udang Putih (Litopenaeus Vannamei) Soaking Peeled Devine (SPD) Aqua King di PT. Bogatama Marinusa Makassar, dibawah bimbingan Syamsuar sebagai pembimbing I dan Ir. Nurlaeli Fattah, sebagai pembimbing II.

Udang merupakan salah satu hasil perikanan yang sangat digemari masyarakat karena mempunyai aroma yang spesifik, tekstur dagingnya yang keras dan nilai gizi yang tinggi. Akan tetapi, udang termasuk bahan pangan yang mudah busuk (parishable food). Sehingga upaya untuk menghambat kerusakan udang perlu dilakukan denga tepat. Salah satu cara untuk mencegah kemunduran mutu udang adalah dengan penerapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Penerapan sanitasi diterapkan sebagai usaha untuk mencegah adanya kontaminasi pada produk yang diproduksi dengan cara menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor yang berperan dalam memindahkan bahaya dari penerimaan bahan baku hingga produk akhir didistribusikan. Penerapan SSOP yang baik akan menghasilkan produk yang sehat dan aman, karena bebas dari kontaminan. 8 kunci pokok SSOP yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan makanan untuk menghasilkan mutu yang lebih baik, yaitu Keamanan air/es, kondisi/kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan, pencegahan kontaminasi silang, kebersihan pekerja, pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, pelabelan dan penyimpanan yang tepat bahan tambahan, bahan pembantu dan bahan beracun berbahaya, pengendalian kesehatan karyawan, dan pemberantasan hama.

Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk menambah wawasan dan keterampilan tentang penerapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) pada proses pengolahan udang beku di PT. Bogatama Marinusa Makassar. Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada jurusan Teknologi Pengolahan Hasil perikanan di Politeknik Pertanian Pangkajene dan Kepulauan.

Penulisan tugas akhir ini berdasarkan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) yang dilaksanakan pada tanggal 26 Jaunuari-26 Maret 2017 di PT. Bogatama Marinusa Makassar, kegiatan ini dilakukan dengan pengamatan langsung dan studi pustaka.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyeselesaikan penulisan tugas akhir ini dengan judul “Penerapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) pada pengolahan udang putih (Litopenaeus Vannamei) Soaking Peeled Devine (SPD) Aqua King”. Salawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW, serta para keluarga dan sahabatnaya yang telah membawa kita dari alam kegelapan, menuju alam yang terang menderang seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini. Tugas akhir ini di susun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda tercinta Suardi dan Ibunda tercinta Syamsia yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat, Kesehatan, Karunia dan Keberkahan di dunia dan di akhirat. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Syamsuar, S.Pi.M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Ir. Nurlaeli Fattah, M. Si selaku pembimbing II yang telah membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. H. Darmawan, MP selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

2. Ibu Ir. Nurlaeli Fattah, M.Si selaku Ketua Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.

3. Seluruh staf Dosen dan teknisi Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.

4. Ibu A. Ita Juwita. S.Si. M.Si selaku Penasehat Akademik

5. Rekan-rekan seperjuangan program studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan khususnya angkatan XXVII dan seluruh rekan mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

(6)

Penulis juga menyadari bahwa penyusunan tugas akhir ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan tugas akhir ini. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri serta menjadi sumber informasi bagi pembaca. Amin yaa rabbal alamin

Pangkep, 20 Juli 2017

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ...iii

RINGKASAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Maksud Dan Tujuan ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Udang Putih ... 3

2.1.1 Taksonomi Udang Vannamei ... 3

2.1.1 Morfologi Udang Vannamei ... 3

2.2 Komposisi Kimia Udang ... 5

2.3 Persyaratan Mutu Udang ... 6

2.3.1 Persyaratan Mutu Bahan Baku ... 6

2.3.2 Persyaratan Mutu Produk Akhir ... 7

2.4 Kemunduran Mutu Udang... 8

2.4.1 Penurunan Mutu Secara Enzimatik ... 9

2.4.2 Penurunan Mutu Secara Kimiawi ... 9

2.4.3 Penurunan Mutu Secara Bakterial ... 9

2.4.4 Dehidrasi ... 10

2.5 Pembekuan Udang ... 10

2.5.1 Produk Pembekuan Udang ... 11

2.6 Proses Pengolahan Udang Spd Aqua King ... 12

2.7 Sanitation Standard Operating Procedure ... 20

2.8 Tujuan dan Manfaat Ssop ... 23

(8)

2.9.1 Keamanan Air dan Es ... 24

2.9.1.1 Air ... 24

2.9.1.2 Es ... 25

2.9.2 Permukaan alat yang kontak dengan produk ... 26

2.9.3 Pencegahan Kontaminasi Silang ... 27

2.9.4 Kebersihan Toilet dan Tempat Cuci Tangan ... 28

2.9.5 Pengendalian Bahan Kimia ... 29

2.9.6 Syarat Label dan Penyimpanan ... 30

2.9.7 Kondisi Kesehatan Karyawan ... 31

2.9.8 Pengendalian Pest ... 32

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 33

3.2 Metode Pelaksanaan ... 33

3.3 Metode Pengambilan Data ... 33

3.4 Alat dan Bahan ... 33

3.5 Prosedur Kerja ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 37 4.2 Pembahasan ... 40 Bab V Penutup 5.1 Kesimpulan ... 48 5.2 Saran ... 48 DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN ... 51 RIWAYAT HIDUP ... 54

(9)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Komposisi kimia udang ... 5

2. Komposisi protein ... 5

3. Persyaratan mutu udang segar ... 7

4. Persyaratan mutu produk akhir ... 7

5. Standard cek size untuk produk Spd Aqua King ... 15

6. Standard timbangan product Spd Aqua King setelah soaking ... 18

(10)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman 1. Morfologi Udang Litopenaeus Vannamei ... 4

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman 1. Alur proses pengolahan udang putih SPD Aqua King ... 52 2. Prosedur Penanganan binatang pengerat dan pengganggu lainnya ... 53

(12)

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perikanan adalah suatu kegiatan yang memanfaatkan sumber daya alam dengan mengggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan dengan mengoptimalisasikan dan memelihara produktifitas sumber daya perikanan dan kelestarian lingkungan. Salah satu potensi perikanan di Indonesia adalah jenis komoditi udang yang mempunyai nilai ekonomis penting dan merupakan produk ekspor utama sehingga mempunyai pasaran yang meningkat untuk menjadi sumber devisa. Udang merupakan salah satu hasil perikanan yang sangat digemari masyarakat karena mempunyai aroma yang spesifik, tekstur dagingnya yang keras dan nilai gizi yang tinggi.

Pengawasan dan pengendalian mutu harus dilakukan sejak awal proses produksi hingga proses distribusi kepada konsumen untuk meningkatkan kepercayaan konsumen, meningkatkan jaminan keamanan produk, mencegah banyaknya produk yang rusak dan mencegah pemborosan biaya akibat kerugian yang ditimbulkan. Dalam proses pengolahan hasil perikanan tidak lepas dari penerapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Penerapan sanitasi diterapkan sebagai usaha untuk mencegah adanya kontaminasi pada produk yang diproduksi dengan cara menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor yang berperan dalam memindahkan bahaya dari penerimaan bahan baku hingga produk akhir didistribusikan.

Sistem SSOP termasuk ke dalam pemenuhan program persyaratan dasar sistem HACCP. Sistem HACCP harus dibangun di atas dasar yang kokoh untuk pelaksanaan dan tertibnya Good Manufacturing Practices (GMP) serta penerapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Sistem HACCP menjadi pilihan banyak industri pangan karena menerapkan sistem pengendalian keamanan pangan berdasarkna tingkat pencegahan. Pemenuhan ini berfungsi untuk melandasi kondisi lingkungan, pelaksanaan tugas, dan kegiatan lain dalam suatu pabrik atau industri pangan yang diperlukan untuk memastikan bahwa proses produksi yang aman telah dilaksanakan (Winarno dan Surono, 2004). Oleh karena itu, pada Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) penulis mendalami penerapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) pada pengolahan udang di PT. Bogatama Marinusa Makasssar (BOMAR). Hal inilah

(13)

yang mendasari penulis mengambil judul tugas akhir Penerapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Pada Pengolahan Udang Putih (Litopenaeus Vannamei) Soaking Peeled Devine (Spd) Aqua King Di PT. Bogatama Marinusa Makassar

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk menguraikan penerapan SSOP pada proses pengolahan Udang putih (litopenaeus vannamei) soaking peeled devine (spd) Aqua King.

Manfaat penulisan tugas akhir ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penulis dalam mekanisme penerapan SSOP pada proses pengolahan udang putih (litopenaeus vannamei) soaking peeled devine (spd) aqua king serta sebagai bahan informasi kepada para pembaca.

(14)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Udang Putih (Litopenaeus Vannamei)

Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Salah satu jenis udang yang potensial untuk diolah adalah Litopenaeus Vannamei.

2.1.1 Taksonomi udang vannamei

Berikut tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi: Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa Filum : Artrhopoda Sub filum : Crustacea Kelas : Malascostraca Sub kelas : Eumalacostraca Super ordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Sub ordo : Dendrobrachiata Infra ordo : Penaeidea Super famili : Penaeioidea Famili : Penaeidae Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

2.1.2 Morfologi

Secara morfologi, udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang terdapat ekor di belakangnya. Udang memiliki tubuh yang beruas ruas dan seluruh bagian tubuhnya tertutup kulit khitin yang tebal dan keras. Kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan (periopod) yang terdiri dari 2 pasang maxillae dan 3 pasang maxiliped. Bagian abdomen terdiri dari 6 ruas dan terdapat

(15)

6 pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.

Gambar 1. Morfologi udang L. Vannamei (Wyban dan Sweeney 2000)

Tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vanamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut :

a. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing). b. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas. c. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula. Kepala (thorax).

Kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubungkan oleh coxa (Haliman dan Adijaya 2005).

2.2 Komposisi Kimia Udang

Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, karena selain memiliki aroma yang spesifik juga mempunyai nilai gizi yang tinggi (Purwaningsih, 1995). Selain sebagai sumber protein juga mengandung sebagian

(16)

besar asam lemak. Asam lemak yang terkandung adalah jenis asam lemak tidak jenuh dengan gugus Omega-3. Adapun komposisi kimia daging udang dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 1. Komposisi Kimia Udang

No Komponen yang terkandung Nilai gizi

1 2 3 4 5 6 7 8 Protein Lemak Karbohidrat Abu, Kalsium Magnesium Fosfor Zat besi Natrium Kalium Kolestrol Air

Asam amino esensial

Senyawa nitrogen non protein

18,1 % 0,8 % 1,5 % 1,4 % 145-320 mg/100g 40-105 mg/100g 270-350 mg/100g 1,6 mg/100g 140 mg/100g 220 mg/100g 125 % 78,2 % 5 % 0,81 % Sumber: Hadiwiyoto (1993)

Udang juga mempunyai asam amino esensial yang penting bagi manusia, dimana asam amino tirosin, triptofan, dan sistein lebih tinggi dibanding hewan darat. Hal ini disebabkan tingginya protein pada udang dengan 18 jenis yang terkandung didalamnya. Komposisi protein dan asam amino esensial yang terdapat pada udang dapat dilihat pada tabel 2.

(17)

Tabel 2. Komposisi protein dan asam amino esensial pada udang.

Komposisi Satuan Konsentrasi

Protein :

- Mioplasma - Mifibril - Miostroma Asam Amino esensial :

- Isoleusin - Leusin - Lisin - Metionin - Sistein - Fenilalanin - Tirosin - Treonin - Triptofan - Valin % % % g/100 g g/100 g g/100 g g/100 g g/100 g g/100 g g/100 g g/100 g g/100 g g/100 g 32 59 5 0,985 1,612 1,768 0,572 0,228 0,858 0,676 0,822 0,283 0,956 Sumber : USDA (2003).

2.3 Persyaratan Mutu Udang

Udang adalah bahan pangan yang sangat cepat membusuk, penanganannya harus selalu hati-hati guna mencegah pembiakan mikroorganisme. Udang harus dilindungi terhadap cahaya matahari dan angin yang mengeringkan, karena udang segar atau masak/rebus cepat menurun mutunya. Hanya udang segar yang terbaik yang boleh dibekukan. Udang segar beku setelah dilelehkan, rupa, cita rasa dan teksturnya harus seperti yang dimiliki udang baru ditangkap (Ilyas, 1983).

2.3.1 Persyaratan Mutu Bahan Baku (Udang Segar)

Udang beku merupakan produk hasil perikanan dengan bahan baku udang segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut : penerimaan, pencucian I, pemotongan atau tanpa pemotongan kepala, sortasi, pencucian II, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan pelabelan (SNI 01-2728.1-2006).

Udang segar adalah udang yang baru ditangkap dengan ciri-ciri sebagai berikut (Purwaningsih, 1995) :

a. Rupa dan warna : Benig, spesifik jenis, cemerlang, sambungan antar ruas kokoh, kulit melekat pada daging.

(18)

c. Daging : Bentuk daging kompak, elastis, dan rasanya manis. Udang rusak atau busuk ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut (Purwaningsing, 1995) :

a. Rupa dan warna : Kemerahan atau kusam, sambungan antar ruas longgar, sudah mulai ditandai adanya bercak-bercak hitam.

b. Bau : Tidak segar, bau busuk.

c. Daging : Lunak, terkadang berlendir, rasa daging alkalis. Persyaratan mutu udang segar yang harus dipenuhi sesuai dengan SNI 01-2728.1-2006 adalah seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Persyaratan Mutu Udang Segar

Jenis Uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka (1 – 9) Min 7

b. Cemaran mikroba* - ALT - Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholera Koloni/g APM/g APM/25 g APM/25 g Maks 5,0 x 105 Maks <2 Negative Negative c. Cemaran kimia - Kloramfenikol - Nitrofuran - Tetrasikilin µg/kg µg/kg µg/kg Maks 0 Maks 0 Maks 100 d. Filth - Maks 0

CATATAN* Bila diperlukan Sumber : SNI 01-2728.1-2006.

2.3.2 Persyaratan Mutu Produk Akhir (Udang Beku)

Udang beku merupakan produk yang ditujukan untuk ekspor sehingga harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Berdasarkan SNI 01-2705, 2-2006 persyaratan mutu produk udang beku dapat dilihat pada tabel 3.

(19)

Tabel 4. Persyaratan Mutu Udang Beku

Jenis Uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka 1-9 Min 7

b. CemaranMikroba - ALT - Escherichia Coli - Salmonella - Vibrio Cholera - Vibrio Parahaemolitycus (kanagawa positif) Koloni/g APM/g APM/25 g APM/25 g APM/g Maks 5,0 ×10 Maks ≤2 Negative Negative Maks ≤3 c. Cemaran Kimia - Kloramfenikol - Tetrasikilin µ/kg µ/kg Maks 0 Maks 100 d. Fisika : Suhu pusat,

maks

°C Maks -18

e. Filth Maks 0

CATATAN* Bila diperlukan Jenis/Jumlah Sumber : SNI 01-2705.1-2006

2.4 Kemunduran Mutu Udang

Proses kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh faktor – faktor yang berasal dari badan udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan mutu ini terjadi secara autolisis, bakteriologis dan oksidatif.

Kemunduran mutu udang sangat berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Sebagai produk biologis, udang termasuk bahan makanan yang mudah busuk bila dibandingkan dengan ikan. Oleh karena itu, penanganan udang segar memerlukan perhatian dan perlakuan yang cermat. Susunan tubuh udang mempunyai hubungan yang erat dengan masa simpannya. Bagian kepala merupakan bagian yang sangat berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian kepala mengandung enzim pencernaan dan bakteri pembusuk (Purwaningsih 1995).

Kerusakan biokomia disebabkan oleh kerusakan enzim yang ada dalam tubuh udang. Enzim tersebut menguraikan atau membongkar senyawa-senyawa makromolekul dan udah menguap sehingga timbul bau busuk atau tidak sedap (Hadiwiyoto 1993).

(20)

Kerusakan mikrobiologis dipicu oleh pertumbuhan mikro yang terdapat dalam tubuh dan permukaan udang, setelah udang mati pertahanan tubuhnya berkurang sehingga mikroba dapat menyerang daging udang.

Pengaruh lingkungan seperti sinar matahari dan suhu dapat menjadi penyebab utama kerusakan fisik. Peningkatan suhu dapat mempercepat proses oksidasi dan tekstur udang menjadi lunak (Hadiwiyoto 1993).

Udang merupakan salah satu bahan pangan mudah mengalami kemunduran mutu, maka penanganan udang memerlukan perhatian yang menyeluruh dan perlakuan yang cermat. Dari segi kemunduran mutu ada atau tidaknya kepala mempengaruhi daya simpan udang segar karena bagian kepala terdapat insang dan isi perut yang merupakan salah satu sumber bakteri pembusuk dan enzim-enzim pencernaan (Moeljanto 1992).

Pembekuan udang merupakan salah satu cara untuk menghambat proses penurunan mutu udang segar. Apabila cara pengolahan dan pembekuan dilakukan dengan baik dan bahan mentahnya masih segar, maka dapat dihasilkan udang beku yang bila dicairkan mendekati sifat-sifat udang segar (Moeljanto 1992). 2.4.1 Penurunan Mutu secara Enzimatik / Autolisis

Penurunan mutu adalah suatu proses autolisis yang terjadi karena kegiatan enzim dalam tubuh udang dan tidak terkendali sehingga senyawa pada jaringan tubuh yang telah mati terurai secara kimia ( Purwaningsih 1995).

Penurunan mutu secara enzimatis terjadi karena enzim dalam tubuh udang tetap bekerja walaupun disimpan pada suhu -40ºC, tubuh udang tetap mengalami perubahan secara enzimatis. Cara mengatasinya adalah membekukan udang tanpa kepala karena pada bagian ini banyak terdapat enzim, terutama yang berhubungan dengan pencernaan (Purwaningsih, 1995).

Proses enzimatik yang sangat mempengaruhi rupa udang adalah pembentukan bercak hitam (melanosis) dengan gejala terjadinya penghitaman pada kepala, ruas-ruas dan ekor. Penyebabnya adalah enzim dalam udang yang melalui suatu rangkaian reaksi, mengoksidasi senyawa-senyawa tertentu, menghasilkan pigmen melanin berwarna hitam. Proses melanosis ini segera dan

(21)

cepat dipengaruhi oleh keadaan kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas, 1983).

2.4.2 Penurunan Mutu secara Kimiawi / Oksidasi

Penurunan mutu secara kimiawi terjadi karena lemak bereaksi dengan oksigen dan adanya enzim dalam tubuh udang yang membantu mempercepat reaksi. Proses ini akan lebih cepat berlangsung bila suhu penyimpanan tidak cukup rendah. Daging udang kelihatan kuning seperti karatan, bau menusuk hidung dan lemaknya berubah seperti karet.

2.4.3 Penurunan Mutu secara Bakterial

Proses penurunan mutu secara mikrobiologis adalah suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang bersal dari selaput lendir, insang dan saluran pencernaan(Purwaningsih 1995).

Aktifitas bakteri dimulai setelah udang mati namun demikian kegiatannya masih terbatas karena kondisi jaringan tubuh udang (PH dan suhu) yang belum sesuai untuk aktivitas dan perkembangannya. Aktifitas perkembangan baru berlangsung setelah trjadi kelembekan pada daging akibat kerja enzim (proses autolysis). Serangan bakteri pada udang terutama tertuju pada beberapa tempat yang merupakan sumber pembusukan yaitu, selaput lendir, isi perut yang terletak di kepala, insang, dan kaki yang terdapat pada bagian kepala.

2.4.4 Dehidrasi

Produk udang beku akan mengalami proses dehidrasi (kekeringan) karena adanya perpindahan panas yang membawa uap air dari produk kearah evaporator, sehingga produk menjadi kering dan berwarna coklat. Cara mengatasinya adalah dengan proses glazing dan pengemasan yang benar. Dengan diketahuinya penyebab penurunan mutu pada udang beku, diharapkan penanganan terhadap produk beku dapat dilakukan dengan baik sehingga tujuan dari pembekuan itu sendiri akan tercapai.

(22)

2.5 Pembekuan Udang

Pembekuan udang merupakan salah satu cara untuk mengawetkan makanan, karena dengan menurunkan suhu, semua reaksi kimia dan aktivitas enzim dapat dicegah dan pertumbuhan mikroorganisme terhambat, namun tidak dapat menstrilkan makanan. Oleh karena itu, setelah udang dibekukan disimpan dalam ruang beku (cold storage).

Suhu ruang pembekuan harus diperhatikan pada saat pembekuan, karena apabila suhu pembekuan lebih rendah dari titik beku, maka kristal es sudah mulai terbentuk dan padatan terlarut terkonsentrasi pada bagian larutan yang masih cair. Semakin rendah suhu pembekuan, semakin banyak kristal es yang terbentuk. Ukuran kristal es yang terbentuk selama pembekuan dipengaruhi oleh laju atau kecepatan pembekuan. Berdasarkan kecepatannya, pembekuan dibedakan menjadi pembekuan cepat dan pembekuan lambat. Suhu udang untuk produk beku adalah -18°C.

Menurut Hadiwiyoto (1993), proses pembekuan berdasarkan sistem pindah panas dari alat yang digunakan atau cara yang dikerjakan, proses pembekuan terdiri atas :

a. Pembekuan konvensional, jika cara pembekuannya menggunakan alat pendingin sederhana yang tradisional atau konvensional sifatnya.

b. Blast freezing, pada metode ini bahan ditempatkan pada sutu ruang pembekuan dengan udara bersuhu rendah dihembuskan. Beberapa cara metode ini adalah pembekuan dalam alat bentuk terowongan (tunnel freezing), air blast freezing dan flow freezing.

c. Contact plate freezing, pada metode ini bahan dibekukan dengan alat pelat-pelat pembekuan yang ditempatkan pada bahan.

d. Pembekuan celup (immersion freezing), pada metode ini bahan yang akan dibekukan dicelupkan dalam cairan yang sangat dingin, misalnya larutan garam (NaCl) dingin, campuran gliserol dan alkohol atau larutan gula dingin.

e. Pembekuan dengan cara penyemprotan bahan pendingin berbentuk cairan (spray freezing).

(23)

f. Kombinasi pembekuan celup dengan blast freezing (the bland process) g. Cryogenic freezing, merupakan metode pembekuan dengan menggunakan

gas nitrogen yang dicairkan atau karbondioksida cair. 2.5.1 Produk Pembekuan Udang

Produk udang yang dibekukan memiliki banyak bentuk, hal ini tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Menurut Purwaningsih (1995), bentuk-bentuk udang beku dibedakan menjadi :

a. Head On (HO) adalah produk udang beku yang utuh lengkap dengan kepala, badan, kulit, dan ekor. Produk ini harus terbuat dari udang yang mempunyai tingkat kesegaran tinggi.

b. Head Less (HL) adalah produk udang beku yang diproses dalam bentuk kepala yang sudah dipotong, tetapi masih memiliki kulit dan ekor.

c. Peeled adalah produk udang beku tanpa kepala, kulit dan atau tanpa ekor. Bentuk pengolahan produk ini dibedakan menjadi 6 jenis, antara lain : - Produk Peeled Tail On (PTO) adalah produk udang beku tanpa kepala

dan kulit dikupas mulai ruas pertama sampai ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan.

- Peeled Deveined Tail On (PDTO) dalah produk yang menyerupai PTO, tetapi pada bagian punggung udang diambil vena (kotoran perut) dengan cara mencukit menggunakan cukit udang atau dengan cara membelah bagian punggung mulai dari ruas pertama atau kedua sampai ruas kelima. - Produk Peeled and Deveined (PND) adalah produk udang yang seluruh

kulit dan ekornya dikupas serta kotoran perutnya dibuang.

- Produk Peeled Undeveined (PUD) adalah produk yang dikupas seluruh kulit dan ekor seperti produk PND tetapi tidak dikeluarkan kotoran perutnya.

- Butterfly adalah produk udang beku yang hampir sama dengan produk PDTO dimana kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama hingga ruas kelima sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan kemudian bagian punggung dibelah sampai bagian perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan kotoran perutnya dibuang.

(24)

- Value Added Product (VAP) adalah produk udang beku yang mendapatkan perlakuan tambahan dengan cara melakukan pemanjangan badan (stretching) menurut panjang tertentu.

2.6 Proses Pengolahan Udang Vannamei Soaking Peleed Devine Aqua King dengan Metode Pembekuan Semi IQF

Proses pengolahan udang Soaking Peleed Devine Aqua King dengan Metode pembekuan semi IQF dimulai dari proses penerimaan bahan baku sampai penyimpanan produk beku.

2.6.1 Penerimaan Bahan Baku

Bahan baku yang diterima adalah jenis udang vannamei yang dibawa menggunakan mobil pick up dan truk yang menggunakan bak fiber berinsulasi dan sterofoam. Udang yang diterima harus dilengkapi dengan data meliputi nama pemilik, alamat tambak, jam kedatangan dan jumlah udang diterima. Tujuan data ini adalah untuk mempermudah pelacakan asal bahan baku apabila terdapat keluhan dari konsumen. Bahan baku yang datang kemudian dibongkar menggunakan keranjang kapasitas 25 kg. Setiap bahan baku yang diterima dilakukan pengecekan suhu dan uji organoleptik oleh Quality Control (QC).

Standar bahan baku yang diterima di Perusahaan Bogatama Marinusa sesuai dengan SNI 01-2705.2-2006, Udang beku-bagian 2: Persyaratan bahan baku. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui kenampakan, aroma dan rasa. Menurut Hadiwiyoto (1993), mutu udang terutama ditentukan oleh keadaan fisik dan organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur) dari udang tersebut. Kemudian, ukuran dan keseragaman udang juga dapat menentukan tingkat mutunya. Oleh karena itu, tidak boleh ada cacat, rusak atau defect yang akan mengurangi nilai dari mutu udang. Pengujian antibotik dilakukan di Laboratorium milik Perusahaan.

2.6.2 Pencucian tahap awal

Bahan baku yang telah diperiksa dan memenuhi standar segera dicuci (Pre Washing) dengan air cholorine 75-100 ppm dengan suhu air pencucian ≤ 5°C. Pencucian ini dilakukan agar kotoran-kotoran yang tersisa pada bahan baku

(25)

seperti daun-daun, kertas, es balok bisa terbuang. Tingginya klorin yang digunakan karena udang yang berasal dari tambak masih sangat kotor, sehingga pemakaian klorin yang digunakan adalah dosis tinggi. Pada pencucian bahan baku yang perlu diperhatikan adalah masalah air. Air yang digunakan harus standar air minum dan air pencucian diganti setiap 3 keranjang untuk mencegah kontaminasi pada udang lainnya. Perlakuan pencucian ditujukan untuk menghilangkan kotoran sehingga udang yang digunakan dalam keadaan bersih (Hadiwiyoto, 1993).

2.6.3 Pengecekan size

Pengecekan size dilakukan dengan cara mengambil sampling 3 kg lalu dihitung per pcs. Pengecekan size dilakukan secara cepat dan hati-hati untuk menghindari kemunduran mutu udang.

2.6.4 Penimbangan I

Penimbangan pada tahap ini bertujuan untuk mengontrol jumlah bahan baku yang masuk ke Perusahaan serta dijadikan acuan untuk membayar barang yang masuk kepada suplier.

2.6.5 Pemotongan Kepala (PK)

Bahan baku yang masuk dibagian pemotongan kepala terlebih dahulu ditimbang (Cross Cek) untuk mengontrol hasil timbangan yang ada di penerimaan bahan baku. Setelah itu, dilakukan pengecekan size. Setelah dilakukan pengecekan size, bahan baku langsung di bawa ke mesin konvoyer untuk dilakukan pemotongan kepala karena bagian kepala terdapat insang dan isi perut yang merupakan salah satu sumber bakteri pembusuk dan enzim-enzim pencernaan (Moeljanto 1992). Selama pomotongan kepala, udang yang belum dipotong kepalanya ditaburi dengan es curah secara merata untuk menjaga kesegarannya (Purwaningsih, 1995).

Karyawan yang melakukan pemotongan kepala dilengkapi dengan sarung tangan untuk memudahkan pemotongan kepala dan melindungi tangan karyawan agar tidak terluka. Udang tanpa kepala selanjutnya di simpan diatas konveyor berjalan dan ditampung pada keranjang.

(26)

2.6.7 Pencucian I

Pencucian I dilakukan untuk membersihkan udang dari kotoran sisa pemotongan kepala dan benda asing yang masih menempel pada udang. Pencucian I dilakukan secara manual oleh karyawan. Pencucian dilakukan dalam bak pencucian dengan maximal 20 kg/per keranjang. Suhu air pencucian yang digunakan yaitu 5°C dicek setiap 30 menit oleh Quality control (QC) dengan konsentrasi chlorine 75-100 ppm dan air pencucian diganti setip 3 keranjang.

Pencucian dilakukuan dengan cara udang dalam keranjang dimasukkan dalam bak pencucian secara menyeluruh dan diaduk minimum 5× per keranjang. Proses pencucian dilakukan dilakukan dengan cepat, bersih dan hati-hati dan menerapkan system rantai dingin. Pada pencucian bahan baku yang perlu diperhatikan adalah masalah air. Air yang digunakan harus air bersih, air yang kotor hendaknya diganti untuk mencegah kontaminasi pada udang lainnya.

2.6.8 Penimbangan II

Penimbangan ini bertujuan untuk mengetahui berat head lessnya. Sebelum timbangan digunakan dicek terlebih dahulu oleh Quality control.

2.6.9 Penyortiran

Sortasi merupakan cara pemisahan udang berdasarkan size. Proses sortasi ini dilakukan dengan mengggunakan mesin grader dan secara manual. Mesin grader yang digunakan berjumlah dua buah yang hasil kerjanya lebih cepat dan mudah bila dibandingkan dengan menggunakan tenaga manusia. Sedangkan sortasi dengan tenaga manusia meliputi sortasi mutu, dan warna. Menurut Hadiwiyoto (1993), sortasi jenis bertujuan untuk memisahkan udang-udang menurut jenis, sedangkan sortasi ukuran bertujuan untuk mengelompokkan udang-udang berdasarkan ukurannya supaya diperoleh ukuran yang seragam.

Bahan baku yang telah disortir ditampung pada keranjang dan selanjutnya dilakukan pengecekan size. Untuk mengetahui apakah size udang telah seragam, maka dilakukan sampling oleh tim checker ataupun foremen dengan cara mengambil udang 1 LBS untuk kemudian di timbang (Standar 1 lbs yaitu 454 gram) lalu dihitung jumlah pcs udang. Jika bahan baku telah ditimbang

(27)

berdasarkan standar yang telah ditentukan untuk chekc size, selanjutnya bahan baku di beri kode berdasarkan size pada setiap keranjang untuk memudahkan dalam pengambilan.

Tabel 5. Standard check size untuk Produk Soaking Peeled Devine (SPD Aqua King): Size PCS/LBS 21/25 26/30 31/40 41/50 51/60 27-30 32-37 41-46 51-55 60-65 PT. Bogatama Marinusa Makassar

Rantai dingin harus tetap dipertahankan selama penyortiran untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang dapat menyebabkan kemunduran mutu pada udang.

2.6.10 Pencucian II

Pencucian kedua menggunakan Chlorine 35-50 ppm dengan temperatur air pencucian 5°C dan dicek setiap 30 menit oleh Quality control. Kapasitas bahan baku 20 kg/keranjang. Adapun tahapan pencucian yaitu :

a. Siram 1×

b. Rendam dan keluarkan es c. Aduk minimum 5× Keranjang d. Pergantian Air setiap 3 Keranjang

Bahan baku yang telah dicuci langsung ditiriskan, kemudian di timbang untuk mengetahui berat bahan baku yang akan masuk di chilling. Chilling room merupakan tempat penampungan udang sementara sebelum diolah menjadi produk. Disini bahan baku yang masuk sudah dapat di tentukan jenis produk yang akan diolah. Suhu ruangan chilling adalah 10°C.

(28)

2.6.11 Pengupasan Kulit dan Pencungkilan Usus

Udang yang di distribusi dari chilling room akan diarahkan ke masing-masing line untuk dilakukan pengupasan kulit dan pembuangan usus udang. Adapun cara pengupasan udang yaitu pengupasan dilakukan dengan cara membuka kulit pada tubuh udang dan kulit pada ekor. Pengupasan ini dilakukan secar cepat dan hati-hati agar tidak melepas tubuh udang (Poernomo, 2007). Cara pengupasan dimulai dari bawah tubuh udang yaitu pada kaki, kulit tubuh udang sampai terlepas udangnya. Pengupasan ini dilakukan secara cepat dan hati-hati agar tidak melepas tubuh udang.

Tujuan dari pembuangan usus adalah untuk mengurangi kontaminasi bakteri yang berasal dari saluran pencernaan, sebab bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan dapat mempercepat proses pembusukan sehingga menurunkan kualitas udang yang dihasilkan. Untuk produk-produk PD (Peeled Devine) yaitu udang yang dikupas kulitnya dengan cara pengupasan kulit udang dari bawah udang keatas secara melingkar pada ruas 1 sampai ruas ke 6 terakhir.

2.6.12 Pencucian III

Udang yang telah dikupas dan dibuang ususnya selanjutnya dicek menggunakan pinset bersih untuk mengecek sisa kulit dan sisa usus yang masih menempel. Selanjutnya dilakukan pencucian III menggunakan air yang dicampur dengan es dan cholorine 25-35 ppm dengan cara disiram 1 kali. Setelah itu, udang dicelupkan dalam air cholorine 25-35 ppm dan dicelup kembali kedalam air biasa. Suhu air pencucian yaitu <5°C, pergantian air pencucian setiap 10 keranjang agar dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan mencegah kontaminasi silang. 2.6.13 Perendaman

Udang yang telah di kupas selanjutnya akan di treatment dengan STTP dan garam. Terlebih dahulu udang direndam dengan keranjang untuk menghilangkan es yang masih tertinggal, setelah itu udang disiram dengan air chlorine 25-35 ppm, lalu ditiriskan ±5 menit, selanjutnya udang di timbang untuk mengetahui berat awal sebelum treatment. Setelah itu udang dituang ke dalam bak fiber yang berisi larutan STTP dan garam.

(29)

Larutan soaking yang digunakan untuk produk peeled Devine yaitu STTP, garam, es curah, dan air biasa. Adapun cara pembuatan larutan soaking yaitu :

Udang : 100 kg

Air : 100 liter

STTP : 3 %

Garam : 1%

Perbandingan larutan treatment yaitu 3% STTP dan 1% garam diaduk selama 6 jam. Untuk perbandingan air dan udang yaitu 1:1 yang artinya setiap 1 kg udang di aduk dengan 1 liter air.

Sodium Tripoly Phosphate (STTP) mampu menambah cita rasa, memperbaiki tekstur, mencegah terjadinya rancidity (ketengikan), dan meningkatkan kualitas produk akhir dengan mengikat zat nutrisi yang terlarut dalam larutan garam seperti protein, vitamin, dan mineral (Shand, et al. 1993). Hal ini sesuai dengan pernyataan Thomas (1997) bahwa STTP dapat menyerap, mengikat, dan menahan air, meningkatkan Water Holding Capacity (WCH) dan keempukan. Penambahan garam akan berpengaruh besar pada peningkatan kekuatan ionik (ion Cl berfungsi untuk meningkatkan gaya tolak menolak pada protein otot sehingga WHC meningkat dan susut masak rendah.

2.6.14 Penimbangan III

Penimbangan IV dilakukan dilakukan untuk mengetahui berat udang setelah soaking. Udang yang yang telah direndam diangkat dan dituang keatas meja stainless untuk dilakukan pemisahan warna yang dilakukan oleh karyawan yang berpengalaman, seta memisahkan udang yang rusak akibat bertumpukan. Setelah itu, udang ditimbang sesuai standar yang telah ditentukan.

(30)

Tabel 6. Standard Penimbangan Product Vnm.Spd Aqua King setelah soaking

Size Jumlah Pcs Berat/Bag

21/25 26/30 31/40 41/50 51/60 61/70 60-66 70-80 90-100 110-120 130-140 150-170 918-927 gr 918-927 gr 918-927 gr 918-927 gr 918-927 gr 918-927 gr PT. Bogatama Marinusa Makassar

2.6.15 Pengemasan primer

Udang yang telah ditimbang kemudian dimasukkan kedalam plastik poliethylen yang sudah di desain khusus sesuai permintaan buyer. Pada kemasan dicantumkan nama produk, jenis udang, size udang, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, dan kode produksi. Untuk memudahkan memasukkan udang ke dalam plastik digunakan corong. Proses ini harus dilakukan dengan cepat untuk mencegah kenaikan suhu udang. Suhu udang harus dipertahankan ≤7°C. Udang yang telah di masukkan ke dalam bag selanjutnya di tambahkan air es (100-150 ml) untuk mencegah dehidrasi pada udang pada saat di bekukan.

2.6.16 Vacum and Sealing

Produk yang telah dikemas dan diberi label selanjutnya disealing dengan kuat dengan menggunakan mesin seal. Tujuan sealing ini adalah untuk mencegah terjadinya kontak produk dengan udara luar. Jika proses sealing tidak kuat, maka produk akan cepat mengalami kemunduran mutu. Bahan pengemas tidak boleh mencemari produk yang dikemas dan harus disimpan di tempat khusus yang saniter dan higienis.

2.6.17 Pembekuan

Pembekuan adalah suatu cara pengambilan panas dari suatu produk yang akan dibekukan hingga mencapai batas titik beku dari produk tersebut, sehingga sebagian besar air yang ada pada produk baik itu yang berupa air bebas (free water) maupun air terikat (bound water) menjadi beku. Sementara itu menurut Ilyas (1983), yang dimaksud dengan pembekuan adalah pengenyahan panas dari ikan atau udang segar agar suhu menurun sampai -400 C atau -500 C.

(31)

Udang yang telah dimasukkan kedalam bag kemudian dibekukan menggunakan spiral dengan suhu -35°C-(-40°C), Kecepatan 9 selama ± 1.5-2 jam untuk mencapai suhu pusat udang –180 C.

2.6.18 Pengemasan sekunder

Standard penimbangan untuk produk SPD Aqu King setelah di bekukan All Size 918-927 gr Produk dimasukkan ke dalam inner carton yang berukuran 28 cm×20 cm×5 cm dilakukan pengecekan inner carton dengan cara melihat Kode exp, Tanggal produksi, Lot number dan Size karena jika terjadi kesalahan dalam penempatan produk dalam innert carton maka akan berakibat fatal bagi produk yang akan di kirim.

2.6.19 Pendeteksian logam

Produk yang akan dimasukkan dalam master carton terlebih dahulu dilakukan cek metal menggunakan mesin detector. Penggunaan metal detector bertujuan untuk mendeteksi adanya logam ataupun benda asing lainnyan yang terdapat pada produk. Cara peggunaan mesin ini yaitu dengan melewatkan produk pada lubang deteksi melalui conveyor, jika produk terdapat logam /benda asing, maka secara otomatis conveyor akan berhenti dan ditandai dengan bunyi alarm. Apabila ada produk yang terdeteksi oleh metal, maka Quality Control segera membawa produk tersebut ke ruang Defrost untuk membuka kemasan tersebut dan memeriksa produk dengan teliti. Metal yang ditemukan harus dicatat dalam buku metal detector (Nama produk, tanggal produksi, jam pada saat ditemukan, posisi/lokasi metal ditemukan, foreign material yang ditemukan dilekatkan pada buku).

2.6.20 Pengemasan tersier

Produk yang lolos metal kemudian dimasukkan di dalam MC (Master Carton) yang berukuran 36 cm× 30 cm× 21,5 cm. Pada saat dimasukkan dalam master Carton produk disusun dengan rapi. Master Carton yang digunakan harus warna standard, tidak boleh robek atau rusak dan memuat informasi tentang produk (jenis produk, size, berat bersiht, tanggal produksi, tanggal exp, Lot

(32)

number dan kode produksi untuk mempermudah pelacakan apabila terdapat keluhan dari konsumen). Dalam satu master carton terdapat 6 inner carton. 2.6.21 Penyimpanan beku

Produk yang telah dimasukkan dalam master carton lalu di strapping band dan dimasukkan ke dalam Cold Room. Suhu Cold Room ± 20°C. Produk disimpan dan ditata dengan rapi di atas plat yang berongga sehingga tidak menghambat sirkulasi udara atau udara dingin dapat menyebar secara merata. Penyimpana produk menggunakan sistem first in firts out (FIFO) yaitu apabila ada produk yang sudah disimpan terlebih dahulu dalam cold room maka pada waktu akan diekspor harus dikeluarkan/diekspor terlebih dahulu.

2.7 Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)

Menurut Winarno dan Surono (2004), SSOP dibagi menjadi 2 berdasarkan asal usulnya, yaitu pertama berasal dari US FDA dan kedua berasal dari US Departement of Agriculture FIS (Food Safety and Inspection Service).

1. SSOP yang berasal dari US FDA meliputi beberapa hal sebagai berikut: a. Pemeliharaan umum : bangunan/fasilitas fidik pabrik harus dijaga dengan

cara perbaikan, pembersihan dan sanitasi yang memadai.

b. Bahan yang digunakan untuk pembersih/sanitasi, penyimpanan bahan berbahaya dan toksik tertib.

c. Pest Control (Pengendalian hama) : Cara pengendalian hama yang efektif. Pengendalian insektisida atau rodentisida yang diijinkan dan dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati agar tidak mengkontaminasi makanan atau lingkungan.

d. Sanitasi permukaan peralatan yang berkontak langsung dengan makanan harus dalam keadaan bersih dan secara reguler dibersihkan dan disanitasi. e. Penyimpanandan penanganan peralatan : harus disimpan di lokasi dan bebas dari rekontaminasi ulang atau kontaminasi silang. Setiap pabrik harus dilengkapi dengan peralatan sanitasi yang meliputi :

1. Sumber air

2. Saluran airPembuangan sampah 3. Fasilitas toilet

(33)

4. Fasilitas cuci tangan

f. Tempat pembuangan (isi perut dan kotoran) : harus dilakukan secara tertutup rapat agar tidak menghasilkan bau-bau busuk, yang mengkontaminasi udara dan kamar kerja.

2. SSOP yang berasal dari FIS (Food Safety and inspection Service) memberikan petunjuk SSOP secara tertulis untuk melaksanakan petunjuk SSOP tersebut yang meliputi pelaksanaan sehari-hari yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi produk dan kemungkinan terjadinya pencampuran bahan/produk dengan bahan lain yang tidak harus ada.

Program sanitasi yang diterapkan pada pabrik pengolahan mencakup lokasi dan rancangan pabrik untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang. Agar kegiatan pembersihan dapat dilaksanakan secara efektif, peralatan didesain sedemikian rupaa sehingga mudah dibersihkan dan diberi desinfektan. Kegiatan sanitasi juga mencakup pengendalian hama, penanganan limbah padat maupun limbah cair, penyediaan fasilitas kebersihan pekerja, fasilitas penyimpanan bahan baku, fasilitas penyimpanan produk akhir dan sebagainya. Manajemen pabrik juga harus membuat prosedur pemeliharaan kebersihan bangunan dan peralatan secara berkala.

Sanitasi dapat didefinisikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit. Program sanitasi dianggap paling efektif dan penting dalam industri pangan untuk menjamin keamanan pangan. Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) adalah salah satu persyaratan kelayakan dasar untuk melakukan pengawasan terhadap kondisi sanitasi lingkungan agar prosedur yang dihasilkan aman berkaitan dengan sarana pengolahan, sarana kebersihan, personil dan lingkungan di unit pengolahan hasil perikanan yang dituangkan dalam rancangan SSOP.

Rancangan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) meliputi penentuan prosedur, mempersiapkan jadwal, memepersiapkan bahan untuk mendukung pelaksanaan monitor, menentukan tindakan koreksi yang diperlukan dan mengidentifikasi permasalahan yang berkembang dan upaya pencegahan,

(34)

memelihara dokumen sanitasi. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (2000), SSOP merupakan salah satu persyaratan kelayakan dasar yang dimaksudkan untuk melakukan pengawasan terhadap kondisi lingkungan agar tidak menjadi sumber kontaminasi terhadap produk yang dihasilkan.

Sanitation Standard Operating Procedures dapat diartikan sebagai kegiatan pengusaha untuk menciptakan keadaan yang baik bagi usaha pengolahan hasil perikanan yang dikelola sesuai dengan syarat-syarat kesehatan manusia. Sanitasi yang baik akan menghasilkan atau menciptakan kondisi pengolahan hasil perikanan yang higienis yang tujuan akhirnya menghasilkan produk yang bermutu. Pada pengaplikasian SPO sanitasi sering timbul pertanyaan apa bedanya CCP dan SPO sanitasi yang sering menetapkan suati titik sebagai obyek sanitasi yang berkaitan dengan monitoringnya, tindakan koreksi dan rekaman.

Critical Control Point adalah tahap dimana pengendalian dapat diterapkan dan perlu untuk mencegah atau mengeliminasi bahaya keamanan pangan atau menurunkan sampai level yang dapat diterima. Sedangkan SPO sanitasi merupaka prosedur untuk memelihara kondisi sanitasi yang biasanya berhubungan dengan seluruh fasilitas produksi/bisnis pangan atau area, dan tidak terbatas pada tahap tertentu atau CCP. (Winarno dan Surono 2004).

2.8 Tujuan dan Manfaat Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Menurut Winarno dan Surono (2004), Tujuan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) adalah agar setiap karyawan teknis maupun administrasi dari yang paling bawah sampai paling atas:

a. Mengerti bahwa program kebersihan dan sanitasi akan meningkatkan kualitas yaitu jika tingkat keamanan produk meningkat, dan kontaminasi mikroba menurun.

b. Mengetahui adanya peraturan Good Manufacturing Practices (GMP) yang mengharuskan penggunaan zat-zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi.

(35)

d. Mengetahui persyaratan minimum penggunaan sanitasi dengan klorin pada air pendingin (Cooling Water), khususnya pada industri pengolahan makanan.

e. Mengetahui adanya faktor-faktor seperti PH, suhu dan konsentrasi desinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi.

f. Mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul bila sanitasi tidak dijalankan dengan cukup.

Manfaat Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) a. Memberikan jadwal pada prosedur sanitasi

b. Memberikan landasan program monitoring berkesinambungan

c. Mendorong perencanaan yang menjamin dilakukan koreksi bila diperlukan d. Mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kembali terjadinya masalah e. Menjamin setiap personil mengerti sanitasi.

2.9 Penerapan SSOP

Menurut Winarno dan Surono (2004), Penerapan program pre-requisite harus didokumentasikan dalam Standard Prosedur Operasi Sanitasi (SPO Sanitasi) atau Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP). Sedangkan dalam rangka monitoring dilakukan audit khusus terhadap program pre-requisite, baik internal maupun eksternal.

FDA USA telah menyebutkan 8 kunci pokok SSOP yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan makanan untuk menghasilkan mutu yang lebih baik, yaitu:

a. Keamanan air/es

b. Kondisi/kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan c. Pencegahan kontaminasi silang

d. Kebersihan pekerja

e. Pencegahan atau perlindungan dari adulterasi

f. Pelabelan dan penyimpanan yang tepat bahan tambahan, bahan pembantu dan bahan beracun berbahaya

g. Pengendalian kesehatan karyawan h. Pemberantasan hama.

(36)

2.9.1 Keamanan Air dan Es A. Air

Susiwi (2009) menyatakan bahwa, air merupakan komponen penting dalam industri pangan yaitu sebagai bagian dari komposisi, untuk mencuci produk, membuat es/glazing, mencuci peralatan, untuk minum dan sebagainya. Karena itu dijaga agar tidak ada hubungan silang antara air bersih dan air tidak bersih (pipa saluran air harus teridentifikasi dengan jelas). SNI 01-4872.3-2006 menyatakan bahwa, untuk menjamin ketersediaan bahan baku air yang memenuhi persyaratan mutu dan bebas bakteri pathogen dengan bahan baku air yang layak minum ditampung dalam tangki/bak penampungan tertutup yang saniter.

Menurut Purnawijayanti (2001), air yang digunakan pada unit pengolahan ikan yaitu air yang memenuhi standart air minum. Syarat-syarat air yang dapat diminum antara lain :

a. Bebas dari bakteri berbahaya serta bebas dari ketidakmurnian kimiawi. b. Bersih, jernih, tidak berwarna dan tidak berbau.

c. Tidak mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh). d. Konstruksi dan desain pipa air dapat mencegah kontaminasi.

e. Bak mengandung air agar terbuat dari bahan yang tidak korosi dan tidak mengandung bahan kimia beracun.

f. Pipa saluran air bersih jangan diletakkan berdampingan dengan pipa pembuangan limbah cair atau saluran pembuangan limbah cair.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/menkes/sk/xi/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri dalam Kamus Ilmiah Online (2017), ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui mengenai kualitas air tersebut baik secara fisik, kimia dan juga mikrobiologi. Syarat fisik, antara lain:

a. Air harus bersih dan tidak keruh - Tidak berwarna apapun - Tidak berasa apapun

(37)

- Tidak berbau apaun

- Suhu antara 10-25°C (sejuk) - Tidak meninggalkan endapan b. Syarat kimiawi, antara lain:

- Tidak mengandung bahan kimiawi yang mengandung racun - Tidak mengandung zat-zat kimiawi yang berlebihan

- Cukup yodium

- PH air antara 6,5 – 9,2

c. Syarat mikrobiologi, antara lain tidak mengandung kuman-kuman penyakit seperti disentri, tipus, kolera, dan bakteri patogen penyebab penyakit.

B. Es

Es harus terbuat dari air bersih yang memenuhi persyaratan air minum sesuai dengan SNI 01-4872.1-2006 tentang spesifikasi es untuk penanganan ikan yang menyatakan bahwa es yang berasal dari air yang memenuhi persyaratan mutu air minum yang dibekukan dalam bentuk keping (flake ice), tabung (tube ice), kubus (cube ice) dan pelat (plate ice). Menurut Murniyati dan sunarman (2000), berdasarkan bentuknya es dibagi menjadi 5 bentuk yaitu:

a. Es balok (Block ice), berupa balok berukuran 12-60 kg perbalok. Sebelum dipakai, es balok terlebih dahulu harus dipecah.

b. Es Tabung (tube ice), berupa tabung kecil-kecil yang siap untuk dipakai. c. Es keping tebal (plate ice), berupa lempengan besar dan tebal (8-15 mm),

kemudian dipecahkan menjadi potongan kecil (diameter kurang dari 5 cm). d. Es keping tipis (flake ice), berupa lempengan-lempengan tipis, (tebal 5 mm,

diameter ±3 cm).

e. Es halus (slush ice), berupa butiran halus (diameter ±2 mm) dan lembek, dan umumnya sedikut berair. Mesin yang digunakan untuk membuat es ini pada umumnya kecil dan dipakai oleh pabrik pengolahan ikan untuk memproduksi es dalam jumlah kecil untuk mengawetkan ikan dilingkungan pabrik. Dalam penggunaan es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar.

(38)

a. Perusahaan menggunakan air dari PAM untuk pengolahan ikan serta membuat es untuk kepentingan pengolahan

b. Minimal 6 bulan sekali air diperiksa kualitasnya secara laboratorium atau dilakukan pemeriksaan mendadak bila sebelum 6 bulan diduga terjadi hal hal di luar kondisi umum.

2.9.2 Kondisi permukaan alat yang kontak dengan produk

Menurut Thaheer (2005), semua peralatan dan pakaian kerja yang berkontak langsung dengan produk terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, dari bahan tidak beracun serta dirancang sesuai dengan penggunaannya. Selain itu semua permukaan kerja, peralatan, dan perkakas yang digunakan di tempat penanganan dan yang kontak dengan produk harus terbuat dari bahan yang tidak mengandung zat beracun, bau, atau rasa, tidak menyerap, tahan karat, mampu menekan efek pencucian berulang-ulang.

Susianawati (2006) menambahkan, bahwa permukaan yang kontak dengan pangan harus bersih dan diinspeksi oleh Supervisor sanitasi untuk memastikan bahwa kondisinya cukup bersih. Sebelum kegiatan dimulai, permukaan yang kontak dengan pangan dibersihkan dengan cara disiram air. Selama istirahat, kotoran dalam bentuk padatan harus dihilangkan dari lantai, peralatan dan permukaan yang kontak dengan pangan. Peralatan dan permukaan yang kontak dengan pangan dibersihkan dengan sikat dan pembersih alkalin terklorinasi pada air hangat. Permukaan dan lantai dibersihkan dengan air dingin.

2.9.3 Pencegahan Kontaminasi Silang

Kontaminasi silang sering terjadi pada industri pangan akibat kurang dipahaminya masalah ini. Beberapa hal untuk pencegahan kontaminasi silang adalah tindakan karyawan untuk pencegahan, pemisahan bahan dengan produk siap konsumsi, desain sarana prasarana. Perancangan atau tata letak juga harus dapat mencegah kontaminasi silang, pemisahan dan perlindungan produk selama penyimpanan, sanitasi daerah penanganan dan pengolahan serta peralatan ditangani dengan baik.

(39)

Susianawati (2006) menambahkan bahwa dalam pengawasan dan penerapan SSOP untuk melakukan pencegahan kontaminasi silang harus memperhatikan beberapa hal, yaitu :

a. Pada saat kegiatan karyawan tidak diperbolehkan merokok, meludah, makan dan minum diruang kerja dan di tempat penyimpanan produk.

b. Supervisor produksi mengawasi kegiatan karyawan dengan frekuensi sebelum kegiatan dan setiap 4 jam selama proses berlangsung.

c. Sampah dipindahkan dari area proses selama kegiatan produksi berlangsung dengan frekuensi monitor setiap 4 jam.

d. Lay out dan desain bangunan pabrik di bangun pada kondisi yang baik. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (2000), desain bangunan pabrik yaitu:

a. Bangunan unit pengolahan dan sekitarnya harus dirancang dan ditata, sehingga ruangan dipisahkan dengan batas dan alur yang jelas.

b. Lantai yang sifatnya basah harus cukup kemiringannya, tahan lama dan mudah dibersihkan, pertemuan lantai dengan dinding melengkung, terbuat dari bahan yang kedap air, batu, beton dan tile keramik.

c. Permukaan dinding harus kedap air, permukaan halus dan rata, berwarna terang, ketinggian dinding 2 meter, harus dapat dicuci, tahan terhadap bahan kimia dan tidak boleh ditempatkan sesuatu yang mengganggu operasi pembersihan. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan dinding dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung dan rapat air. d. Langit-langit tidak retak, tidak bercelah, tidak terdapat tonjolan, dan

sambungan terbuka, kedap air dan berwarna terang, tidak boleh ada pipa diatas, tinggi minimum 3 m dan dicat anti jamur.

e. Ventilasi cukup menjamin sirkulasi udara, menghilangkan bau, mencegah pengembunan dan pertumbuhan jamur, menghindari panas yang berlebihan, dilengkapi kasa tahan karat yang bisa dilepas untuk dibersihkan.

f. Ruangan kerja mendapatkan penerangan cahaya merata, lampu tidak merubah warna produk dan lampu dilindungi dengan pengaman.

(40)

g. Permukaan pintu tahan karat, halus, rata, tahan air dan mudah dibersihkan. Pintu dirancang sehingga dapat menutup dengan sendirinya dan cukup lebar.

2.9.4 Kondisi Kebersihan Toilet dan Tempat Cuci Tangan

Kebersihan adalah salah satu faktor penting dalam pemeliharaan sanitasi. Oleh karena itu, perusahaan harus menjamin kelengkapan dan kondisi kebersihan fasilitas cuci tangan, fasilitas sanitasi, serta fasilitas toilet. Toilet tidak boleh berdekatan dengan area pengolahan. Menurut Thaheer (2005), unit pengolahan harus dilengkapi toilet yang cukup untuk seluruh karyawan dan dipisahkan antara toilet pria dan wanita. Toilet harus dilengkapi dengan ventilasi dan dalam kondisi higienis. Sedangkan menurut Susianawati (2006), toilet dan fasilitasnya harus dilengkapi dengan pintu yang dapat tertutup secara otomatis, selalu terpelihara dengan baik dan tetap bersih, disanitasi setiap hari pada akhir operasional. Perbandingan jumlah toilet dengan jumlah karyawan adalah sebagai berikut :

a. 1 – 9 karyawan = 1 toilet b. 10 – 24 karyawan = 2 toilet c. 25 – 49 karyawan = 3 toilet d. 50 – 100 karyawan = 5 toilet

e. Diatas 100 pekerja, setiap penambahan 30 karyawan membutuhkan 1 toilet. Fasilitas cuci tangan dilengkapi dengan fasilitas sanitasi tangan. Setiap karyawan harus mencuci tangan sesuai dengan ketentuan. Bahan pembersih harus efektif dan saniter. Kran air didesain sedemikian rupa sehingga tidak mengkontaminasi tangan yang sudah bersih. Ada petunjuk tertulis yang mudah dipahami pekerja. Pekerja harus mencuci tangan sebelum bekerja, setelah keluar dari area lain dan melanjutkan produksi, maupun saat tangan terkontaminasi.

2.9.5 Pengendalian Bahan Kimia, Pembersih dan Sanitizer

Pemilihan bahan pembersih tergantung dari beberapa faktor yaitu : jenis dan jumlah cemaran yang akan dibersihkan, sifat bahan permukaan yang akan dibersihkan, misalnya aluminium, baja tahan karat, karet, plastik atau kayu, sifat fisik senyawa bahan pembersih (cair atau padat), metode pembersihan, mutu air

(41)

yang tersedia dan biaya. Bahan yang baik memiliki syarat – syarat yaitu ekonomis, tidak beracun, tidak korosif, tidak menggumpal dan tidak berdebu, stabil selama penyimpanan dan mudah larut dengan sempurna (Thaheer, 2005).

Purnawijayanti (2001) menyatakan bahwa, bahan pembersih yang baik memenuhi persyaratan yaitu ekonomis, tidak beracun, tidak korosif, tidak menggumpal, tidak berdebu, mudah diukur, bersifat destruktif mikroba yang efektif, sifat membersihkan yang baik, tidak menimbulkan iritasi, stabil selama penyimpanan dan mudah larut dengan sempurna. Untuk bahan pembersih yang sering digunakan yaitu pembersih alkali, sabun, asam, dan deterjen. Terdapat 2 jenis sanitiser yaitu:

a. Sanitiser non kimia dapat mematikan mikroorganisme melalui aktivitas fisik dari energi yang dimiliki. Contoh sanitizer non kimia yaitu uap, air panas, radiasi.

b. Sanitiser kimia (desinfektan) adalah senyawa kimia yang memiliki kemampuan untuk membunuh mikroorganisme. Contohnya desinfektan berbahan dasar klorin, desinfektan berbahan dasar iodin, senyawa amonium kuartener, dan surfaktan anionik asam. Desinfektan tidak memiliki daya penetrasi sehingga tidak mampu mematikan mikroorganisme yang terdapat dalam celah-celah, lubang, atau dalam cemaran mineral.

Senyawa yang banyak digunakan pada industri pengolahan hasil perikanan yaitu klorin, hipoklorit, gas klorin, trisodium posphat terklorinasi, kloramin, klorin dioksida, turunan asam isosianurat, diklorosodium metilidantion, quats, iodhopor. Namun yang selama ini dipakai secara luas yaitu klorin karena keunggulanya yaitu aktivitas spektrumnya luas, efektif terhadap bakteri gram negatif dan positif serta spora bakteri, harga murah, mudah didapat dan tidak terpengaruh air sadah. Namun memiliki kekurangan yaitu menyebabkan korosi (pada PH tinggi). Jumlah klorin yang digunakan tidak boleh terlalu sedikit (tidak bermanfaat), tidak boleh terlalu banyak (dapat menimbulkan residu klorin).

Penggunaan bahan pembersih dan sanitizer harus mentaati aturan pakai yang dikeluarkan oleh produsen, serta menghindari usaha melakukan pencampuran berbagai bahan kimia yang tidak dipahami benar reaksinya. Bahan

(42)

kimia seharusnya disimpan dalam ruang terpisah dari ruang penyimpanan produk olahan dan bahan pengemas. Bahan kimia desinfektan harus dipisah penyimpanannya dengan bahan kimia yang ditambahkan dalam bahan makanan. Setiap kemasan bahan harus diberi label yang mempunyai identitas jelas.

2.9.6 Syarat Label dan Penyimpanan

Label pada produk pangan sangat penting keberadaannya bagi produsen maupun konsumen, bagi produsen label dapat menjadi media informasi dan daya tarik sehingga konsumen berminat untuk membeli. Setiap produk akhir yang akan diperdagangkan harus diberi label dengan betul dan mudah dibaca yang memberikan keterangan untuk memudahkan konsumen mengerti produk tersebut.

Bahan – bahan pembungkus untuk produk beku harus cukup kuat, tahan perlakuan fisik, mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap uap air, gas dan bau, tidak mudah ditembus lemak atau minyak, tidak boleh meningkatkan waktu pembekuan, tidak boleh melekat pada produk dan tidak boleh menulari produk. Karton untuk produk beku harus cukup kuat, kedap air dan tahan kotor, karton sebaiknya dilapisi lilin, plastik atau vernis baik pada salah satu atau kedua permukaannya. Master karton untuk pewadahan dalam perdagangan besar harus ringan dan kuat, harus memberi perlindungan yang baik untuk produk akhir (Thaheer, 2005)

Tujuan pelabelan dan penyimpanan menurut Susiwi (2009) adalah untuk menjamin bahwa pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin adalah untuk proteksi produk dari kontaminasi. Hal yang harus diperhatikan dalam pelabelan wadah untuk kerja harus menunjukkan :

a. Nama bahan/larutan dalam wadah b. Petunjuk penggunaannya

c. Penyimpanan seharusnya tempat dan akses terbatas; d. Memisahkan bahan food grade dengan non food grade

e. Jauhkan dari peralatan dan barang-barang kontak dengan produk f. Penggunaan bahan toksin harus menurut instruksi perusahaan produsen g. Prosedur yang menjamin tidak akan mencemari produk.

(43)

2.9.7 Kondisi Kesehatan Karyawan

Karyawan sebagai pelaksana yang melakukan kontak langsung selama proses produksi sangat menentukan kualitas hygiene hasil produk. Dengan demikian sanitasi dan hygiene pekerja sangat menentukan sanitasi dan hygiene produk akhir. Semua karyawan harus mengenakan pakaian kerja, penutup kepala dan penutup mulut saat bekerja, termasuk sepatu boot khusus. Sedangkan pekerja yang berhubungan dengan kegiatan basah harus dilengkapi dengan apron yang tahan air (water proof). Pakaian pekerja tidak boleh dikenakan di luar ruang produksi dan tidak boleh dikenakan dari rumah untuk itu harus disediakan ruangan ganti bagi para pekerja. Selama bekerja, pekerja tidak boleh menggunakan parfum, minyak rambut dan perhiasan.

Pekerja harus mengurangi kegiatan memegang anggota tubuh yang tidak perlu (menggaruk - garuk) dan tidak boleh membawa makanan dan minuman di ruang produksi. Sebelum memasuki ruang produksi pekerja dengan sepatu bootnya harus mencelupkan kakinya ke dalam bak pencuci kaki yang diisi desinfektan (klorin 200 ppm) yang dibuat didepan pintu masuk ruang produksi, (Thaher, 2005).

Susiwi, (2009) menambahkan bahwa pada saat bekerja kondisi karyawan harus bersih dan sehat, karena kondisi kesehatannya dapat mengkontaminasi bahan makanan. Kondisi karyawan yang sakit, luka, dan kondisi tidak sehat lain, dapat menjadi sumber kontaminasi mikrobiologi. Beberapa tanda kesehatan yang perlu diperhatian antara lain diare, demam, muntah, penyakit kuning, radang tenggorokan, luka kulit, bisul dan dark urine.

2.9.8 Pengendalian Pest

Hama atau binatang pengganggu merupakan salah satu sumber utama pencemar yang sangat berbahaya terhadap produk makanan. Oleh sebab itu, sistem pengendalian hama dilakukan untuk menjamin bahwa tidak ada hama pada fasilitas pengolahan pangan. Hal ini mencakup prosedur pencegahan, pemusnahan, serta penggunaan bahan kimia untuk mengendalikan hama. Maka prosedurnya harus dipasang alat perangkap pada tempat – tempat yang menjadi

(44)

tempat kemungkinan masuknya tikus, semua celah dan pintu diberi tirai plastik untuk menghindari masuknya lalat, dipasang insect killer di depan pintu masuk ruang proses. Untuk mengantisipasi binatang pengganggu maka tutup semua pintu masuk ruang produksi dengan tirai plastik, tutup semua lubang yang terdapat dalam ruang produksi dengan kawat nyamuk (Thaheer 2005).

Purwaningsih (1995) menambahkan, bagian pengolahan dan penanganan yang berhubungan dengan lingkungan luar harus dilengkapi alat untuk mencegah burung, serangga, tikus dan binatang lainnya. Jalan atau lubang tikus dan serangga harus ditutup dengan screen (saringan) logam tahan karat. Pembasmian serangga dengan pestisida harus mendapat persetujuan pemerintah dan penggunaannya harus dalam pengawasan.

Menurut Susiwi (2009), pemberantasan hama pengerat dilakukan dengan menggunakan jebakan tikus, agar lebih efisien dan aman. Ada beberapa pest yang mungkin membawa penyakit pada produk atau makanan antara lain :

a. Lalat dan kecoa: mentransfer Salmonella, Streptococcus, C.botulinum, Staphyllococcus, C.perfringens, Shigella.

b. Binatang pengerat : sumber Salmonella dan parasit

(45)

BAB III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penulisan tugas akhir ini berdasarkan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) pada tanggal 26 Januari – 26 Maret 2017 di PT. Bogatama Marinusa (BOMAR) Makassar.

3.2 Metode Pelaksanaan

Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah praktek langsung dan berperan aktif mulai dari proses produksi penerimaan bahan baku sampai pengemasan produk siap ekspor dan melakukan pengamatan serta tanya jawab langsung dengan karyawan, devisi dan para pekerja yang terlibat langsung selama proses.

3.3 Metode Pengambilan Data

Adapun metode penulisan yang diterapkan dalam penyusunan tugas akhir ini adalah pengumpulan data yaitu :

a. Pengumpulan data Primer

Data primer di peroleh dengan cara melaksanakan dan mengikuti secara langsung kegiatan penerimaan bahan baku sampai dengan siap ekspor serta dapat ikut berperan aktif di lapangan, melakukan tanya jawab dengan pembimbing lapangan dan karyawan.

b. Pengumpulan data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan mengumpulkan data dari buku-buku yang relevan dengan melakukan praktek lapangan.

3.4. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu :

a. Timbangan n. Kain saringan

b. Keranjang o. Mesin grader

c. Kalkulator p. Corong

d. Palet q. Shrink tunnel

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Udang
Tabel 2.  Komposisi protein dan asam amino esensial pada udang.
Tabel 3. Persyaratan Mutu Udang Segar
Tabel 4. Persyaratan Mutu Udang Beku
+3

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

b. bahwa Badan Layanan Umum Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar pada Kementerian Perhubungan telah mempunyai tarif layanan yang ditetapkan berdasarkan Peraturan

Sehubungan dengan akan diadakannya Persidangan RAPAT KERJA (RAKER) tahun 2014, Majelis Jemaat GKI Gunung Sahari mengundang Bapak / Ibu / Saudara Pengurus Badan Pelayanan

Melalui beberapa uraian teori diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang melalui beberapa aktivitas

a) Kegiatan Administratif Manajemen. Kegiatan administratif pendidikan tidak terlepas dari proses manajemen. Administratif dalam pandangan Shulhan adalah seluruh kegiatan dalam

Berdasarkan hasil analisa data, diperoleh perbedaan peningkatan skor yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, atau dengan kata lain, terdapat pengaruh

(1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran

Tujuan diselenggarakannnya Kebijakan PRODIRA yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kebudyaaan Pemuda dan Olahraga Provinsi Gorontalo Nomor :

Alhamdulillah, puji syukur hanya kepada Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, serta memberikan kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis yang