• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Indo nesia merupaka n negara yang memiliki hutan trop ika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (Whitmore 1975; MacKinnon et al. 2000). Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o LS, yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau, intensitas cahaya matahari merata sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Namun demikian kondisi sumberdaya hutan di Indonesia cenderung mengalami penurunan, baik kuantitas

(deforestation) maupun kualitasnya (forest degradation), seiring dengan perubahan

lingkungan pada tingkat nasional maupun global. Laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,8 juta ha/th (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th (1997-2000) (Balitbanghut 2008).

Kerusakan hutan banyak disebabkan oleh meningkatkannya jumlah penduduk dan kebutuhan hasil hutan kayu (Singh et al. 1995), penebangan liar (illegal logging), pertambangan liar (illegal minning ), perladangan berpindah, okupasi masyarakat, kebakaran hutan (Indrawan 2008, Wahyudi 2009b), perambahan dan konversi hutan, pengelolaan hutan yang tidak baik (Wahjono & Anwar 2008) seperti pembalakan yang melebihi batas kemampuan hutan untuk memulihkan diri (penebangan melebihi riap hutan) dan tidak ada keseriusan untuk merehabilitasi hutan bekas tebangan (Soekotjo 2009).

Sebagai perbandingan, pada tahun 1990 jumlah produksi kayu bulat Indonesia sebesar 28 juta m3 yang berasal dari areal hutan produksi seluas 59,6 juta ha. Namun pada tahun 2007 jumlah produksi menurun menjadi 9,1 juta m3 dari areal hutan produksi seluas 27,8 juta ha (Soekotjo 2009). Penurunan produksi dan luas hutan ini akan terus terjadi di masa datang apabila tidak ada pembenahan yang signifikan terhadap sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Salah satu bentuk pe mbe nahan yang seda ng dilakuka n ada lah pe nerapa n sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi vegetasi dan lingkungannya sehingga mampu peningkatan produktifitas hutan.

Pada awal tahun 70-an, hutan alam Indonesia masih terjaga dengan baik. Pengelolaan hutan alam mulai dilakukan dalam kawasan hutan alam produksi dalam

(2)

bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan) sejak tahun 1972 menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indo nesia (TPI). Sistem silvikultur Teba ng Pilih Tanam Indo nesia (TPTI) diterapkan pada tahun 1989 menggantikan sistem sebelumnya. Pada tahun 1993 mulai diujicobakan sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) dalam skala penelitian. Sistem ini kemudian berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK) dan pada tahun 1997 berubah lagi menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ). Pada tahun 1998 sistem HTI-TTJ berubah menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Pada tahun 2005 diterapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dengan teknik yang mirip dengan sistem TPTJ. Sistem TPTII mampu menggabungkan konsep penanaman/pengayaan pada sistem TPTI dengan konsep penanaman dalam jalur tanam pada sistem TPTJ sehingga kegiatan perawatan tanaman dapat lebih intensif dan mempermudah pengawasan.

Sistem TPTII yang diterapkan pada hutan bekas tebangan dan hutan rawang dipercaya dapat meningkatkan potensi hutan pada akhir daur sehingga prospek pengusahaan hutan produksi menjadi lebih menarik (Soekotjo 2009). Menurut Ditjen BPK (2005) tujuan umum teknik TPTII adalah membangun hutan tropis yang lestari dan dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus untuk membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang optimal. Namun demikian penelitian tentang pertumbuhan dan hasil (growth and

yield) serta analisis finansial tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal dalam

jalur antara masih belum banyak dilakukan. Prediksi pertumbuhan da n hasil tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal pada jalur antara yang selalu meningkat pada sistem TPTII harus didasari pada hasil penelitian yang baik dengan memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon seperti genetik, lingkungan dan teknik silvikultur.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, faktor kelerengan datar sampai curam tidak berpengaruh nyata terhadap riap tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam serta tegakan tingga l dalam jalur antara sistem TPTII, sehingga analisis pertumbuhan dan hasil tanaman maupun tegakan tinggal dalam penelitian selanjutnya tidak memperhitungkan aspek kelerengan ini.

(3)

Pengelolaan hutan dengan sistem TPTII memerlukan daur (umur royek) yang relatif lama sehingga investasi dan biaya kegiatan yang ditanam dapat membengkak disebabkan akumulasi bunga selama daur. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis finansial pada sistem TPTII sebaiknya dilakukan pula menyertai analisis tanaman dan tegakan tinggal agar para pihak (stakeholder), khususnya pihak pengusaha, dapat mengetahui tingkat kelayakan ekonomi pada usaha ini.

Perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem silvikultur TPTII sebaiknya segera dievaluasi dengan memanfaatkan hasil- hasil penelitian yang pernah dan sedang dilakukan, khususnya pada kondisi tempat tumbuh yang relatif sama, untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih tepat dan akurat terhadap tingkat kelayakan sistem ini dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Dirjen BPK) Departemen Kehutanan RI Nomor 41/VI- BPHA/2007, IUPHHK PT Gunung Meranti merupakan salah satu perusahaan yang ditetapk an unt uk menerapka n sistem TPTII di areal konsesinya sehingga penelitian untuk mengetahui perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII dapat dilakukan di tempat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan, setidaknya pada dua dasawarsa terakhir, adalah tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan serta rendahnya produktifitas hutan alam produksi di Indo nesia. Laju deforestasi sebesar 1,8 juta ha/th pada periode 1985-1997 dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th pada periode 1997-2000 (Balitbanghut 2008). Sampai tahun 2003 produktifitas hutan alam di Indonesia hanya sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th dan sampai tahun 2007 turun menjadi 0,46 m3/ha/th (Ditjen BPK 2010b). Menurut Suparna (2010) produktifitas hutan alam tahun 2009 hanya 0,25 m3/ha/th.

Rendahnya produktifitas hutan alam menyebabkan iklim usaha pengelolaan hutan alam produksi menjadi kurang menarik. Banyak pengusaha yang mengalihkan bidang usahanya di luar sektor kehutanan ini. Hutan cenderung mengalami degradasi dan kawasan hutan cenderung dikonversi (deforestasi) baik yang dilakukan secara legal maupun illegal. Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut namun harus segera dicarika n solus inya . Salah satu upa ya unt uk mengatasi masalah ini adalah memperbaiki dan menerapka n sistem silvikultur yang mampu

(4)

meningkatkan produktifitas hutan sekaligus dapat menjaga kualitas lingk ungan serta memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat.

Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia sering mengalami perubahan meskipun pelaksanaannya belum mencapai satu siklus tebang. Banyak yang meragukan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan sistem TPTI terutama dari segi produktifitas, namun sistem ini masih dipertahankan karena dipercaya mempunyai dampak lingkungan yang paling kecil, sambil menunggu munculnya sistem silvikultur alternatif yang dapat memperbaiki kekurangan pada sistem silvikultur sebelumnya dengan target utama tercapainya kelestarian hutan dengan indikator kelestarian produksi, ekologi dan sosial. Apakah sistem TPTII mampu menjawab tantangan ini?

1.3 Status Pe nelitian dan Ke rangka Pe mikiran

Menurut Mitlöhner (2009) dan Suhendang (2008) paradigma baru pengelolan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to the natural forest). Coates dan Philip (1997) menambahkan bahwa penebangan hutan dalam bentuk celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau ke lompok po hon yang mati (robo h) da n terjadi regenerasi da lam gap tersebut. Sistem silvikultur yang sesuai dengan maksud tersebut adalah po lycyclic

system melalui sistem tebang pilih (selective cutting) baik dalam bentuk tebang

individu seperti TPI dan TPTI atau tebang kelompok dalam bentuk rumpang atau jalur (TPTII atau TPTJ). Sistem silvikultur TPTII mampu menggabungan antara tebang individu dan tebang kelompok serta penerapan prinsip-prinsip tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) dalam satu kesatuan pengelolaan seperti terlihat pada Gambar 1.

Kawasan hutan di Indonesia saat ini telah terfragmentasi menjadi beberapa tipe penutupan lahan, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang (low potential

forest), hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang

alang-alang dan tanah kosong (Indrawan 2008; Pasaribu 2008). Lanskap hutan produksi yang berbentuk mosaik (Suhendang 2008) seperti ini sudah tidak memungkinkan diterapkan sistem silvikultur tunggal (Pasaribu 2008).

Konsep pengelolaan hutan yang mendasarkan pada asumsi stabilitas jangka panjang sudah tidak efektif lagi dalam memenuhi kebutuhan dan berawal dari

(5)

pemikiran ini maka lahirlah konsep multiple patch design yang kemudian berkembang menjadi multisistem silvikultur (Multiple Silvicultural System). Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur sudah saatnya diterapkan pada hutan produksi agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisinya.

Gambar 1. Bagan alir perkembangan sistem silvikultur di Indonesia

Kerangka pemikiran (logical framework) dibangun berdasarkan sejarah pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia beserta semua input da n output yang bekerja pada sistem silvikultur TPTII dengan sasaran akhir berupa kelayakan sistem yang dicirikan melalui kelestarian produksi, ekologi dan sosial.

Fungsi Hutan

(UU No.41/1999)

Hutan Hutan Hutan

Konservasi Lindung Produksi

Degradasi hutan Hutan terfragmentasi Deforestasi

Hutan Hutan Hutan potensi Semak dan Padang ilalang Lahan primer sekunder rendah belukar (Imperata cylindrica) kritis

Mosaik lanskap Multisistem silvikultur

Uneven aged All-aged Polycyclic Monocyclic Even aged

forest forest System System forest

Tebang Tebang Tebang habis Tebang habis

Kelompok Individu permudaan permudaan buatan

alam (THPB) (THPA) Unit Manajemen Penghutanan kembali Tebang habis Tebang pilih

Melingkar Jalur TPI TPTI

TPTJ Rumpang Tanaman dan tegakan tinggal Perawatan, Pembebasan, Penjarangan Siklus berikutnya Pemodelan TPTII / TPTJ

(6)

Gamba r 2. Kerangka pemikiran pengelolaan hutan de ngan sistem silvikultur TPTII

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pertumbuhan tanaman meranti

(Shorea leprosula) dalam jalur tanam dan tegakan tinggal dalam jalur antara sistem

TPTII serta membangun model pertumbuhan dan hasil (growth and yield) untuk memprediksi produktifitas, daur dan siklus tebangnya. Beberapa tahapan penelitian yang ingin dicapai adalah:

a. Mengeva luasi pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) pada jalur tanam sistem TPTII da n memprediks i produktifitas dan daurnya

b. Mengeva luasi pertumbuhan tegakan tingga l pada jalur antara sistem TPTII dan memprediksi siklus tebang berikutnya

Waktu (th) 1972-1989 1989-Sek. 1993-1997 1998-2005 2005-Sek. 2035 dst Hutan Produksi TPI TPTI

Deforestasi Degradasi hutan

TPTI

TPTI TPTJ

Riset: TJTI, TJTK, HTI-TTJ TPTII, TPTJ, Rumpang

Riset: Bina pilih dll

Riset Riset

Jalur tanam Jalur antara

Penebangan siklus berikutnya Layak Tidak layak Layak,hasil sama/meningkat Menurun Genetik Lingkungan biotik-abiotik Teknik silvikultur Iklim Tanah Aspek Ketinggi an (dpl) Lereng Fisik Kimia Biologi Pencucian Erosi Unsur hara Arsitek akar Density Pemuliaan pohon Suhu Presipitasi Cahaya Kelembaban Angin Struktur tnh Tekstur tnh Kimia air Kimia tanah Pertum buhan dan hasil Model pertumbuhan dan hasil Regenerasi Pemeliharaan Persemaian Penanaman Pupuk Sulam Bebas Jarangi Permudaan Flora Fauna Microorganisme Silin Lingkungan, genetik dan pengendalian hama terpadu TPTII/TPTJ

(7)

c. Mengeva luasi struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara

d. Mengeva luasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTII, khususnya di areal kerja IUPHHK PT Gunung Meranti.

Dengan tersedianya data perkembangan tanaman, tegakan tinggal, model dinamika tegakan hutan serta analisis fina nsial pada sistem TPTII diharapkan dapat mendukung kemajuan pelaksanaan sistem ini di Indo nesia. Stakeholder dapat menentukan potensi tanaman dan tegakan tinggal pada siklus tebang berikutnya berdasarkan riap, struktur dan komposisi tegakan tinggal yang ada. Penelitian juga memberi informasi tentang prospek pengusahaan hutan sehingga menciptakan kepastian usaha dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi dunia usaha ke hutanan.

1.5 Hipotesis

a. Tanaman dalam jalur mampu meningkatkan produktifitas hutan pada da ur pertama

b. Perkembangan tegakan tinggal ditentukan oleh struktur dan komposisinya dan mencapai kelestarian produksi pada siklus 30 tahun

c. Struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis pada tegakan tinggal masih mengikuti karakteristik hutan semua umur (all-aged forest)

Gambar

Gambar 1. Bagan alir perkembangan sistem silvikultur di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi

Penataan promosi statis ialah suatu kegiatan untuk mempertunjukkan, memamerkan atau memperlihatkan hasil praktek atau produk lainnya berupa merchandise kepada masyarakat

Namun kemudahan strategi penjualan ini ternyata masih belum dimanfaatkan oleh banyak pedagang kecil dan menengah, sehingga dibutuhkan pelatihan singkat untuk memahami strategi

Nilai ekonomis dari ampas tebu akan semakin tinggi apabila dilakukan proses lanjutan yaitu dengan memanfaatkan limbah tebu menjadi membran silika nanopori yang

yang sangat besar seperti: (1) pengembangan kompetensi guru (matematika) dalam pendidikan dan pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat merefleksikan pada

Menentukan bobot latihan setiap jenis keterampilan berdasarkan hasil analisis terhadap respons yang muncul dan tingkat kesulitan yang dialami mahasiswa dalam mempraktikkan

Implementasi untuk sistem pengukuran demikian dapat dilakukan cukup dengan mempergunakan dua mikrokontroler, yaitu satu master I2C yang melakukan pengukuran dosis radiasi

Motivasi belajar siswa sangat penting dalam pembelajaran, sebab pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak dapat ditransfer begitu saja tetapi harus siswa sendiri