• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI DAN DERAJAT INFESTASI TUNGAU DEBU RUMAH DI ASRAMA MAHASISWA SHOFAN AMALUL HAQI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREVALENSI DAN DERAJAT INFESTASI TUNGAU DEBU RUMAH DI ASRAMA MAHASISWA SHOFAN AMALUL HAQI"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI DAN DERAJAT INFESTASI TUNGAU DEBU

RUMAH DI ASRAMA MAHASISWA

SHOFAN AMALUL HAQI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi dan Derajat Infestasi Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir diskripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016 Shofan Amalul Haqi NIM B04110053

(4)

ABSTRAK

SHOFAN AMALUL HAQI. Prevalensi dan Derajat Infestasi Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI.

Tungau debu rumah (TDR) merupakan komponen alergenik yang menyebabkan asma dan rhinitis pada manusia. TDR banyak ditemukan pada rumah yang lembab, kasur, bantal, guling, karpet serta berbagai perabot rumah yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi investasi tungau debu rumah, mengidentifikasi keanekaragaman dan distribusi tungau debu rumah, dan menentukan derajat investasi tungau debu/ gram debu di Asrama Mahasiswa IPB Bogor. Penelitian ini dilakukan pada wilayah Asrama Mahasiswa IPB dengan lokasi pengambilan debu terdiri dari tiga titik yaitu, tempat tidur, perabot, dan lantai dengan menggunakan penyedot debu (vacum cleaner) kemudian TDR diisolasi dan diidentifikasi di bawah mikroskop di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan sebaran TDR di Asrama Putra terbanyak di lantai (73.33%), diikuti oleh tempat tidur (27.11%), dan perabot (26.94%). Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di lantai (22 tungau/gram debu).Sebaran TDR di Asrama Putri terbanyak di perabot (48.50%), lantai (29.66%), dan tempat tidur (21.84%). Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di perabot (22 tungau/gram debu). Sebanyak 2105 TDR yang diidentifikasi di Asrama terdapat enam jenis TDR yang ditemukan pada Asrama yaitu Blomia tropicalis (42.42%), Dermathophagoides pteronyssinus (19.10%), Cheyletidae (14.63%), Blomia spp (9.83%), Mesostigmata (8.79%), Dermathophagoides farinae (5.23%). TDR berpotensi mengganggu kesehatan penghuni asrama.

Kata kunci: Blomia, Dermathophagoides, mahasiswa asrama, tungau debu rumah.

ABSTRACT

SHOFAN AMALUL HAQI. The Prevalence and Degree of Infestation House Dust Mites in Student Dormitory. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI.

House dust mite (HDM) is an allergenic substance that causes asthma and rhinitis in humans. HDM is found in humid houses, mattresses, pillows, bolsters, carpets, and many other furnitures. This study aimed to determine the prevalence of house dust mites infestation and to determine the degree of dust mites / gram of dust in IPB Bogor dormitory, identifying the diversity and distribution of house dust mites,. The research was done in the IPB dormitory area and the dust collecting location were done in three area, beds, furnitures, and floors by a vacuum cleaner then isolated and identified under microscope in the laboratorium. The result showed that the distribution of HDM in boy’s dormitory were mostly found on the floors (73.33%), followed by beds (27.11%), and furnitures (26.94%). The highest average density of HDM in the floors (22 mites/gram of dust). The distribution of HDM in girl’s dormitory were mostly found on the furnitures (48.50%), floors (29.66%), and beds (21.84%). The highest average density of HDM in the furnitures (22 mites/gram of dust). There were identified into 6 types of HDM found Blomia tropicalis (42.42%), Dermathophagoides pteronyssinus (19.10%), Cheyletidae

(5)

(14.63%), Blomia spp (9.83%), Mesostigmata (8.79%), Dermathophagoides farinae (5.23%). HDM was harmful for the dormitory occupants’s health.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PREVALENSI DAN DERAJAT INFESTASI TUNGAU DEBU

DI ASRAMA MAHASISWA

SHOFAN AMALUL HAQI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Desember 2015 ialah Prevalensi dan Derajat Infestasi Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa.

Penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sangat besar kepada yang terhormat komisi pembimbing Prof Dr Upik Kesumawati Hadi, MS PhD atas bimbingan arahan, motivasi, semangat dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen dan pegawai Laboratorium Entomologi Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB. Disamping itu, penulis juga mengucapkan terimah kasih banyak Kakak Nur Qomariah, mahasiswa Pasca Sarjana Parasitologi dan Entomologi kesehatan dan seluruh pengurus Badan Pengawas Asrama yang telah mengizinkan dan mendukung secara penuh kegiatan penelitian yang saya lakukan.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda tercinta Suyatno (alm.) dan Ibunda Nelmi Hauzani serta saudaraku (Dhaifan A. Erinko dan Zulhammi Ulya) atas segala do‟a, kasih sayang dan bantuan materil yang tak henti-hentinya serta semua pengorbanannya yang tak ternilai harganya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa ucapan terima kasih pada seluruh teman-teman seperjuangan FKH 48 (Ganglion) yang mendukung karya ilmiah ini

Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala amal ibadah dan kebaikan kepada mereka semua. Kesalahan dalam penulisan skripsi ini tentu datang dari saya sebagai penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.Badan

Bogor, September 2016 Shofan Amalul Haqi

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 2 Siklus Tungau ... 2 Morfologi Tungau ... 3

Distribusi Tungau Debu Rumah ... 4

Habitat Tungau Debu Rumah ... 4

Gangguan akibat Inflamasi Tungau Debu Rumah ... 4

Pencegahan dan Pengendalian ... 5

METODE ... 6

Waktu dan Tempat ... 6

Pengambilan sampel Tungau Debu Rumah ... 6

Isolasi dan Identifikasi Tungau Debu Rumah ... 6

Analisis Data ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

SIMPULAN ... 13 Simpulan ... 13 Saran ... 13 DAFTAR PUSTAKA ... 13 RIWAYAT HIDUP ... 16 Lampiran ... 17

(12)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah dan Presentase Jenis TDR di Asrama Mahasiswa IPB ... 8 2 Kelimpahan nisbi dan angka dominasi TDR yang terdapat pada lokasi

penelitian di Asrama Mahasiswa IPB ... 11 3 Kepadatan dan Sebaran TDR di Asrama Mahasiswa IPB ... 12

DAFTAR GAMBAR

1 Jenis-jenis Tungau Debu Rumah yang ditemukan di Asrama ... 10

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Debu merupakan kumpulan partikel yang berasal dari rambut, daki, rambut binatang, sisa makanan, serbuk sari, dan skuama (sisa kulit pada manusia) (Sungkar 2004). Debu banyak ditemukan di lingkungan permukiman manusia yang berupa tempat tinggal dengan berbagai kebutuhan yang ada seperti kasur, bantal, karpet, furnitur dan perabot rumah tangga lainnya (Denmark dan Cromroy 2014). Menurut Sun et al. (2014), tungau debu rumah (TDR) ditemukan di dalam debu yang berasal dari tempat tinggal manusia.

Tungau adalah arthropoda berkaki delapan dengan metamorfosis tidak sempurna, termasuk dalam ordo Acari, kelas Arachnida. Ordo utama tungau yang ditemukan pada debu rumah adalah Astigmata, Prostigmata, Mesostigmata dan Oribatida (Colloff dan Spieksma 1992). Jenis TDR yang sering ditemukan dari subfamili Dermatophagoidinae yaitu Dermatophagoides pteronyssinus, D. farinae, dan D. microceras, dari subfamili Pyroglyphinae adalah Euroglyphus maynei, dari famili Acaridae adalah Acarus siro, Tyrophagus putrescentiae dan T. longior, serta famili Glycyphagidae adalah Lepidoglyphus destructor dan Glycyphagus domesticus(Warner et al. 1999).

Tungau debu rumah merupakan komponen alergenik utama dari debu rumah. Alergi yang diakibatkan oleh TDR terjadi 1-2% pada populasi di dunia (WHO 1998). Hasil Penelitian berbagai jenis TDR di Galacia (Spanyol) melaporkan 80 pasien yang terkena alergi, 16.3% positif alergi terhadap antigen L. destructor dan T. putrescentiae, 41.3% positif alergi terhadap D. pteronyssinus dan D. farinae dan 34% positif terhadap L. destructor, T. putrescentiae dan A. siro (Bosquete et al. 2006). Laisina et al. (2007) mengatakan timbulnya asma pada anak sekolah dasar di Kecamatan Wenang Kota Manado disebabkan alergen inhalan dari TDR.

Faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup tungau dan prevalensinya adalah kelembaban lingkungan ( Larry et al. 2002). Suhu dan kelembaban optimal bagi perkembangan populasi TDR yaitu 250C-300C dan kelembaban relatif 70-80 % dengan kelembaban kritis 60-65 %. Perkembangbiakan tungau debu rumah terganggu pada suhu di atas 320C dengan kelembaban udara 60 % (Oemiati et al. 2010).

Tingginya prevalensi TDR di lingkungan perkotaan telah dilaporkan di beberapa negara (Larry et al. 2002) dan di Asia (Thomas 2010), tetapi di Asrama masih belum banyak diketahui. Arsip pertama di Indonesia mengenai TDR dilaporkan di Jakarta oleh Baratawidjaja et al. (1998) dan di Denpasar oleh Santoso (1998). Sejauh ini di Indonesia informasi mengenai TDR dan khususnya Asrama kurang tersedia sehingga mendorong perlunya dilakukan penelitian ini.

(14)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) prevalensi infestasi tungau debu rumah di Asrama Mahasiswa IPB Darmaga Bogor; (2) menganalisis keanekaragaman dan distribusi tungau debu rumah; dan (3) menentukan derajat infestasi tungau debu/ 1 gram debu.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar mengenai prevalensi dan keanekaragaman jenis tungau debu rumah di Asrama Mahasiswa IPB Darmaga Bogor dan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan pengendalian tungau debu rumah.

TINJAUAN PUSTAKA

Siklus Tungau

Siklus hidup tungau terdiri dari telur (prelarva), larva, nimfa, protonimfa, deutonimfa dan tritonimfa (dewasa). Seekor tungau mampu menghasilkan beberapa ratus sampai ribuan telur (Hadi dan Soviana 2010). Tungau debu berkembang dari telur hingga menjadi dewasa membutuhkan waktu 2-3 hari pada beberapa jenis tungau Prostigmata dan Mesotigmata (Krantz dan Walter 2009). Perkembangan tungau Astigmata yaitu D. pteronyssinus dari telur hingga dewasa untuk jenis kelamin betina memerlukkan waktu 16-24 hari dan jenis kelamin jantan sekitar 6-7 minggu minggu. Siklus hidup tungau betina lebih pendek dibandingkan dengan tungau jantan (Podder et al. 2009).

Prelarva (telur). Telur merupakan bagian tahapan awal kehidupan tungau.

Prelarva ini tidak bergerak, terisolir dalam korion telur dan tidak makan. Prelarva (telur) berkembang hingga menjadi larva memerlukan waktu paling cepat sekitar 36 jam dan paling lambat sekitar 14-15 hari pada tungau Prostigmata (Krantz dan Walter 2009). Potensi TDR untuk berkembangbiak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Hart 1998). TDR D. pteronyssinus berkembang dari telur hingga menjadi larva di laboratorium membutuhkan waktu sekitar 2-3 hari pada suhu 25oC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009).

Larva. Larva merupakan tahapan perkembangan setelah prelarva (telur) dengan ciri khas memiliki tiga pasang kaki, dan tidak memiliki alat kelamin. Sebagian larva tampak lambat, lemah dan tidak makan (beberapa hidup bebas seperti Mesostigmata) sedangkan famili Cheyletidae bersifat predator (Southcott 1999). Proses pekembangan dari larva hingga menjadi nimfa pada D. pteronyssinus di laboratorium membutuhkan waktu sekitar 1-2 hari pada suhu 25oC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009).

Nimfa. Nimfa merupakan tahapan perkembangan setelah larva. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan yaitu protonimfa, deutonimfa dan tritonimfa (Hadi dan Soviana 2010). Tahapan nimfa ditemukan empat pasang kaki dan mengalami

(15)

3 perkembangan diferensiasi progresif pada perisai yang berganti kulit hingga menjadi dewasa. Setae idiosoma dan rambutnya bertambah setiap kali mengalami pergantian kulit. Bakal alat kelamin sudah mulai tampak pada tahap ini (Acariformes, Holothyrida), tetapi tidak tampak pada tungau jenis Mesostigmata (Krantz dan Walter 2009).

Protonimfa. Stadium ini merupakan tahap nimfa pertama. Pergerakannya bebas, tidak makan, adaptif terhadap lingkungannya (Krantz dan Walter 2009). Tahap protonimfa aktif pada D. farinae dapat mengkonsumsi oksigen 28.5 kali lebih oksigen/jam (Podder et al.2009). Protonimfa pasif mengkonsumsi oksigen lebih lambat 30 kali dan mengalami pertukaran cairan tubuh lebih lambat 140 kali. Hal ini menyebabkan proses metabolisme melambat dan dimanfaatkan sebagai bentuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Collof 2009).

Deutonimfa. Stadium ini adalah tahap nimfa ke dua. Tahap ini sering kali dianggap sebagai bentuk dewasa non seksual (Krantz dan Walter 2009). Bentuk Deutonimfa pada tungau Astigmata memiliki bentuk yang berbeda dengan tungau lainya dan juga perilakunya (Hadi dan Soviana 2010). Tahap ini dikenal dengan hypopus dan sangat tahan pada keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan (inert forms) dan juga sebagai bentuk motil (motile forms). Pada tahap ini juga ditemukan alat pelekat di daerah anal yang digunakan untuk menempelkan tubuhnya pada serangga lain atau benda-benda di sekitarnya (Collof 2009).

Tritonimfa. Tritonimfa merupakan instar yang aktif tetapi tidak terdapat pada Mesostigmata. Proses molting terakhir menjadi dewasa tidak pada stadium nimfa kedua (Krantz dan Walter 2009). Tungau dewasa bereproduksi secara seksual, sperma disimpan dalam vesikula seminalis tungau betina, dan dilepaskan ke saluran telur untuk membuahi sel telur selama ovulasi. (Walzl 1992).

Morfologi Tungau

Tubuh tungau berukuran sekitar 500 μm dan berat sekitar 5-10 mg, seperti halnya caplak. Tubuh tungau terbagi menjadi dua bagian yang besar yaitu gnatosoma (anterior) dan idiosoma (posterior) (Krantz dan Walter 2009). Bagian idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal. Tungau memiliki mata tunggal dan tiga pasang tungkai untuk tungau dewasa. Mulut tungau umumnya tidak memiliki hipostom, kecuali pada Mesostigmata sedangkan untuk stigmata atau lubang pernafasan letaknya berbeda-beda. Subordo Mesostigmata (contohnya Dermanyssidae) mempunyai stigmata yang terletak di antara pasangan tungkai ketiga dan keempat. Tungau Prostigmata (contohnya, Demodicidae) terletak di bagian depan tubuh, dan tungau Astigmata bernafas melalui permukaan tubuhnya yang lembut. Bagian tubuh yang lembut dilindungi oleh beberapa lempeng ventral di antara bagian tubuh yang lain (Hadi dan Soviana 2010).

Gnatosoma atau capitulum menyerupai kepala pada arthropoda, dan bagian ini merupakan karakter penting untuk taksonomi. Bagian gnatosoma ini terdapat beberapa bagian alat tubuh yaitu: epistome/tectum, hypostome, palpi dan chelicera (kelisera). Kelisera merupakan organ utama yang berfungsi untuk sebagai alat makan. Bentuk dan ukuran kelisera berbeda berbeda tetapi alat ini teradaptasi untuk menembus, mengisap, atau mengunyah makanan. Bagian kelisera jantan dilengkapi

(16)

4

dengan spermatodactyl, yaitu alat untuk mentrasfer sperma ke tubuh tungau betina (Hartini et al. 2009).

Idiosoma mempunyai fungsi sama dengan abdomen, thoraks, bagian kepala serangga dan berbagai organ yang berfungsi sebagai alat gerak, pernafasan, perkawinan, peraba serta sekresi. Bagian abdomen TDR terdapat kutikula yang memiliki lurik yang berbeda beda pada setiap spesies, dan digunakan sebagai identifikasi (Hartini et al. 2009).

Stadium pradewasa (protonimfa dan deutonimfa) dan dewasa tungau mempunyai kaki empat pasang, sedangkan tingkatan larva mempunyai tiga pasang kaki. Bagian kaki terdiri dari koksae, trokhanter, femur, genu, tibia, tarsus, dan cakar (claw). Bagian dari kaki ini dan aksesorisnya seperti jumlah bulu dan bentuk tonjolan (spur) merupakan karakter yang penting untuk membedakan jenis TDR (Krantz dan Walter 2009).

Distribusi Tungau Debu Rumah

Beberapa negara di Asia yaitu Singapura, Malaysia, Hongkong dan Filipina didominasi jenis tungau debu D. pteronyssinus. Thailand dan Taiwan juga lebih banyak ditemukan D. pteronyssinus dibandingkan D. farinae sedangkan di daerah China dan Japan memiliki populasi campuran. Korea Selatan, D. farinae sangat banyak meskipun daerah selatan dan barat daya dapat ditemukan D. pteronyssinus (Thomas 2010). Hasil tes di Indonesia yang menyebabkan alergi pada pasien di beberapa Asrama di Jakarta ditemukan jenis TDR yaitu D. pteronyssinus, D. farinae, Glycyphagus destructor, Cheyletiella erundetus, Swidasis, Tarsonemus dan. B. tropicalis (Baratawidjaja et al. 1998) dan di Denpasar Bali yaitu D. pteronyssinus dan D. farinae yang ditemukan di beberapa rumah (Santoso 1998).

Habitat Tungau Debu Rumah

TDR banyak ditemukan pada debu berbagai peralatan rumah tangga, khususnya perabotan di sekitar kamar tidur, seperti kasur, seprei, selimut, karpet dan peralatan lain (Solarz 2006). Kasur dan karpet umumnya dianggap sebagai tempat perkembangbiakan utama untuk TDR. Bentuk kasur memiliki sela-sela lekukan dan bentuk karpet yang seperti bulu merupakan daerah menguntungkan TDR untuk berkembangbiak (Sun et al. 2014). Arlian dan Michael (1982) melaporkan di Ohio, USA menemukam TDR D. farinae sangat melimpah hidup di karpet kamar tujuh kali lebih banyak dibandingkan tungau yang ditemukan di kasur.

Inflamasi Gangguan akibat Tungau Debu Rumah

Tungau debu rumah merupakan aeroalergen tersering yang menstimulasi reaksi alergi pada 50% pasien dengan riwayat alergi (Takai et al. 2015). Reaksi alergi yang ditimbulkan berupa rhinitis dan asma, dan sering terjadi pada anak-anak (WHO 1988). Rinitis alergi adalah inflamasi IgE spesifik mukosa hidung setelah terpapar dengan alergen yang ditandai dengan tiga tanda kardinal yaitu

(17)

bersin-5 bersin, hidung tersumbat, dan rinore/hidung berair. Kondisi tersebut akan berujung sebagai penyebab timbulnya penyakit asma (Pawangkar et al. 2012). Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelah kontak dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktivitas) setelah terpapar alergen dan dapat berlangsung sampai 24–48 jam (Natalia 2015).

Bagian tubuh TDR yang menyebabkan alergen yaitu kutikula, organ seksual, saluran pencernaan dan TDR yang sudah mati serta tinjanya yang merupakan allergen potensial. Antigen pada D. pteronyssinus terutama di saluran cerna dan kutikula. Tungau diperkirakan menghasilkan 2000 partikel tinja, 50 telur, dan 4 kutikula, sehingga secara tidak langsung memperlihatkan bahwa >95% alergen tungau berasal dari partikel tinja, dalam masa tiga bulan kehidupannya (Mantu et al. 2016).

Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan dan pengendalian dalam upaya mengurangi alergen akibat tungau debu rumah dapat dilakukan dengan mengurangi populasi tungau debu dan ekposur dari tungau debu itu sendiri (Ogg 2015). Langkah-langkah yang bisa dilakukan yaitu menjaga sirkulasi udara dan kondisi ruangan tetap kering, membersihkan perabotan rumah tangga secara teratur, dan mengganti peralatan kamar tidur seperti seprei, sarung bantal, sarung guling, dan selimut dengan teratur (Potter 2012).

Menjaga sirkulasi udara dan kondisi ruangan tetap kering dapat dilakukan dengan menjaga udara atau sinar matahari masuk dalam ruangan melalui ventilasi atau jendela. Pertukaran udara dalam ruangan dapat mengurangi kelembaban dan mempertahankan ruangan tetap selalu kering (Potter 2012). Alat penyejuk ruangan seperti AC juga dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan kelembaban udara menjadi rendah, yang membuat tungau tidak optimal berkembang (Hadi 2014).

Membersihkan perabotan rumah tangga dapat dilakukan dengan menggunakan kain atau lap basah dan hindari penggunaan kemoceng yang menyebabkan debu mudah bertebaran. Vacuum cleaner (penghisap debu) dapat digunakan untuk membersihkan karpet (Ogg 2015). Vacuum cleaner di lengkapi dengan sistem penyaringan, sehingga bahan alergen dapat tertampung dalam tempat penyimpanan sementara dalam alat vacuum sehingga dapat mengurangi bahan alergen kembali lagi ke udara (Potter 2012).

Seprei, sarung bantal dan guling dan selimut secara rutin setidaknya diganti sekali dalam seminggu. Gorden sebaiknya dicuci setiap tiga bulan sekali dan selalu servis AC setiap enam bulan sekali untuk menghindari bertumpuknya debu difilter (Hadi 2014).

(18)

6

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian tentang prevalensi dan derajat infestasi tungau debu rumah di Asrama Mahasiswa dilakukan di Asrama Putra C1 dan C3 dan Asrama Putri A5 Sylvasari IPB Darmaga Bogor. Isolasi tungau debu dilakukan di Laboratorium Entomologi Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas kedokteran hewan IPB Darmaga Bogor dan identifikasi tungau debu dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelitian di laksanakan dari bulan Desember 2014-Juli 2015.

Pengambilan sampel Tungau Debu Rumah

Pengambilan sampel tungau debu dilakukan di Asrama yang terbagi dua yaitu Asrama Putra C1 dan C3 dan Asrama Putri A5 Sylvasari. Pengambilan sampel tungau debu asrama putra diambil secara acak sebanyak 30 kamar dan pengambilan sampel tungau debu asrama putri diambil secara acak sebanyak 20 kamar. Debu diambil dengan menggunakan vacuum cleaner (penghisap debu) dan sapu kecil plastik pada setiap kamar. Lokasi pengambilan debu di dalam asrama dipilih dari tiga titik yaitu, tempat tidur (debu seprai, debu bantal, debu kasur, debu ranjang), perabot (kursi, meja, lemari, furniture dll), dan lantai. Debu yang berasal dari setiap titik dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda dan diberi label.

Isolasi dan Identifikasi Tungau Debu Rumah

Sampel debu yang berasal dari lapangan, kemudian dibawa ke laboratorium. Selanjutnya debu ditimbang dari setiap titik pengambilan sampel dan TDR diisolasi dari setiap gram debu. Isolasi dilakukan dengan cara meletakkan debu ke dalam corong berlese yang di bawahnya terdapat wadah penampung yang berisi alkohol 70%. Setelah ± 30 menit, tungau yang terkumpul pada wadah penampung diperiksa di bawah mikroskop lalu dihitung dengan menggunakan jarum untuk mengangkat tungau tersebut. Selanjutnya tungau dibuat dalam sediaan preparat kaca dengan menggunakan media Hoyer atau kanada balsam (Hadi dan Soviana 2010). Identifikasi menggunakan kunci Collof dan Spieksma (1992), Krantz dan Walter (2009), Roden (2012).

Analisis Data Keanekaragaman Jenis

Analisis data keanekaragaman jenis TDR dengan statistik diskriptif diharapkan dapat menggambarkan ilustrasi data mengenai kelimpahan nisbi,

(19)

7 frekuensi spesies, dominansi spesies dan indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Menurut (Odum 1993).

Kelimpahan Nisbi = ∑Individu spesies tertentu yang tertangkap x 100 %

∑Total seluruh spesies yang tertangkap Frekuensi Spesies = Jumlah total tertangkapnya TDR jenis tertentu

Jumlah total penangkapan

Dominansi Spesies = Kelimpahan Nisbi X Frekuensi Spesies

Indeks Keanekaragaman (H) = -Σ Pi Ln (Pi) dengan Pi = Ni/N

Indeks Keanekaragaman (H) = -Σ Pi ln Pi; dengan Pi = Ni/N dimana,

Pi : perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis Ni : Jumlah individu ke-i

N : Jumlah total individu

Kriteria indeks keanekaragaman adalah:

Tinggi (H>3); Sedang (1≤H≤3); Rendah (H<1) (Krebs 1987).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Jenis Tungau Debu Rumah

Jumlah dan presentase jenis TDR di Asrama Mahasiswa IPB menunjukan hasil yang bervariasi sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Jenis TDR yang ditemukan di asrama yaitu B. tropicalis, D. pteronyssinus, Cheyletidae, Blomia spp, Mesostigmata, dan D. farinae. Jenis TDR di Asrama Putra C1 dan C3 terbanyak ditemukan pada lantai, tempat tidur, dan perabot. TDR yang ditemukan dilantai yaitu B. tropicalis (38.67%), D. pteronyssinus (21.18%), Cheyletidae (14.55%), Blomia spp (10.87%), Mesostigmata (9.58%), dan D. farinae (5.16%). TDR yang ditemukan pada tempat tidur yaitu B. tropicalis (39.81%), D. pteronyssinus (17.52%), Cheyletidae (15.69%), Mesostigmata (11.46%), Blomia spp (9.58%), dan D. farinae (6.37%). TDR yang ditemukan pada perabot yaitu B. tropicalis (40.85%), D. pteronyssinus (20.92%), Cheyletidae (12.75%), Blomia spp (12.42%), Mesostigmata (6.86%), dan D. farinae (6.21%).

Berbeda halnya dengan Asrama Putra C1 dan C3, di Asrama Putri A5 TDR terbanyak ditemukan pada perabot, lantai, dan tempat tidur. TDR yang ditemukan pada perabot yaitu B.tropicalis (42.18%), diikuti oleh D. pteronyssus (18.25%), Cheyletidae (14.45%), Mesostigmata (10.90%), Blomia spp (9.24%) dan D. farinae (4.98%). TDR yang ditemukan pada lantai yaitu B.tropicalis (48.45%), D. pteronyssus (18.94%), Cheyletidae (13.66%), Blomia spp (7.45%), Mesostigmata (6.52%) dan D. farinae (4.97%). TDR yang ditemukan pada tempat tidur terbanyak yaitu B.tropicalis (50.00%), Cheyletidae (18.69%), D. pteronyssus (15.15%), Blomia spp (8.59%), Mesostigmata (4.55%) dan D. farinae (3.03%). Tingginya presentasi pada perabot di Asrama Putri A5, hal ini dapat disebabkan kebiasaan

(20)

8

perilaku menyisir rambut yang dilakukan oleh mahasiswi sehingga banyaknya skuama dihasilkan dari kulit bagian kepala sebagai asupan makanan bagi TDR. Tabel 1 Jumlah dan Presentase Jenis Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa IPB 2015

Keterangan : Bt (B. tropicalis),Dp (D. pteronyssinus), Ch (Cheyletidae), Bs (Blomia spp), Ms (Mesostigmata), dan Df (D. farinae)

Jumlah TDR dari Asrama Mahasiswa IPB sebanyak 2105 dari jumlah keseluruhan sampel seberat 150 gram debu. Enam jenis TDR ditemukan di Asrama Mahasiswa IPB, masing-masing tergolong dalam tiga subordo yang berbeda yaitu Astigmata, Prostigmata, dan Mesostigmata. Sebanyak tiga famili yang berbeda, antara lain Glycyphagidae (B. tropicalis, Blomia spp), Pyrogliphidae (D. pteronyssinus dan D. farinae), dan Cheyletidae.

B. tropicalis terbanyak ditemukan di Asrama Mahasiswa IPB. B. tropicalis merupakan tungau debu rumah yang menyebabkan asma dan rhinitis (Chua et al. 2007). Li et. al (2009) melaporkan 40.7% dari 4545 pasien yang positif asma dan rhinitis akibat TDR B. tropicalis menggunakan test skin prick, dengan usia pasien 5-34 tahun. Tungau ini termasuk kategori tungau dengan waktu generasi, periode oviposisi dan perkembangan telur dalam waktu singkat (r-selected) dibandingkan dengan jenis tungau lainnya (Collof 2009). Hal ini menyebabkan tungau B. tropicalis

dapat dengan mudah ditemukan di asrama.

D. pteronyssinus kedua terbanyak ditemukan di Asrama Mahasiswa IPB.

TDR ini merupakan tungau yang banyak ditemukan di permukiman manusia dan bersifat kosmopolit di seluruh dunia (Arlian dan Platts-Mills 2002). D. pteronyssinus dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada suhu 16-35oC, dari telur sampai dengan dewasa kira-kira 20 hari (Liao et al. 2010). Tungau jantan D. pteronyssinus dapat bertahan hidup sekitar 77 hari sedangkan pada tungau betina sekitar 45 hari dan tungau betina dapat menghasilkan 40-80 telur selama hidupnya (Collof 1987).

Famili Cheyletidae dapat ditemukan pada setiap titik pengambilan sampel di Asrama Mahasiswa IPB. Tungau famili Cheyletidae ini merupakan penyebab dermatitis Cheyletiellosis (Cheyletiella) pada manusia dan dapat menularkan anjing dan kucing. Tungau ini memiliki gerakan yang sangat cepat, secara berkala menempel sangat kuat pada bagian epidermis, dan menembus dengan cheliceranya untuk menghisap cairan jaringan (Danny et al. 2015).

Jenis

Jumlah dan Presentasi TDR di Asrama

Total Asrama Putra C1 & C3 Asrama Putri A5

Lantai

Tempat

tidur Perabot Lantai

Tempat tidur Perabot ∑ (%) ∑ (%) ∑ (%) ∑ (%) ∑ (%) ∑ (%) Bt 210(38.67) 125(39.81) 125(40.85) 156(48.45) 99(50.00) 178(42.18) 893 Dp 115(21.18) 55(17.52) 64(20.92) 61(18.94) 30(15.15) 77(18.25) 402 Ch 79(14.55) 48(15.69) 39(12.75) 44(13.66) 37(18.69) 61(14.45) 308 Bs 59(10.87) 30(9.55) 38(12.42) 24(7.45) 17(8.59) 39(9.24) 207 Ms 52(9.58) 36(11.46) 21(6.86) 21(6.52) 9(4.55) 46(10.90) 185 Df 28(5.16) 20(6.37) 19(6.21) 16(4.97) 6(3.03) 21(4.98) 110 Total 543(100) 314(100) 306(100) 322(100) 198(100) 422(100) 2105

(21)

9 Mesostigmata merupakan ordo tungau dari klass Arachida. Jenis kelompok tungau ini tidak seperti sebagian jenis kelompok tungau lainnya, banyak pada kelompok ini yang bukan termasuk parasit tetapi hidup bebas dan juga sebagai predator (Wallace dan Holm 1983). Ordo Mesostigmata terdiri beberapa sub ordo yaitu Heatherellina, Sejina, Arctacarina, Microgyniina, Epriciina, Uropodina, Diarthrophallina, Cercomegistina, Antennophoria, Parasitina, Dermanyssina, dan Heterozerconina (Krantz dan Walter 2009). Tungai ini memiliki variasi sifat, tipe dan penyebaran yang sangat luas sehingga memiliki tingkatan kesulitan yang tinggi dalam melakukan identifikasi dibandingkan jenis tungau lainnya.

D. farinae tidak terlalu banyak ditemukan di asrama dibandingkan dengan jenis TDR lainnya. Kisaran optimum suhu perkembangan D. farinae antara 23-30oC. TDR D. farinae dapat menyelesaikan siklus hidupnya selama 28 hari pada suhu 23oC dan 20 hari pada suhu 30oC dan memiliki periode reproduksi pada suhu 23 oC selama 24 hari. Tungau ini dapat menghasilkan telur 1-4 telur/hari, sehingga selama hidupnya dapat menghasilkan 40-80 telur. Telur tungau tersebut tidak dapat menetas pada suhu di atas 30oC (Larry et al. 2015). Jenis tungau betina TDR D. farinae ini dapat bertahan hidup lebih lama dari TDR lainnya yaitu sekitar 100 hari (Arlian dan Dippold 1996).

Jenis-jenis Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa IPB

Blomia tropicalis

Morfologi B. tropicalis disajikan pada Gambar 1 (A). B. tropicalis memiliki bentuk hampir membulat dengan ukuran sangat kecil, kurang lebih 0.23- 0.47 mm. Tubuh B. tropicalis terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian anterior (gnatosoma) dan bagian posterior (idiosoma). Bagian mulut terletak pada bagian gnatosoma sedangkan organ dan tubuh lainnya pada bagian idiosoma yang tertutupi oleh setae yang berjumlah 15 pasang. Setae dorsal pada tungau ini memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan setae lainnya dan bergerigi seperti cambuk. Karateristik tersebut merupakan ciri yang spesifik dari tungau debu ini yang membedakan dengan jenis tungau lainnya (Mariana et al. 2007).

Dermathopagoides pteronyssinus

Morfologi D. pteronyssinus disajikan pada Gambar 1 (B).D. pteronyssinus memiliki ukuran kurang lebih 0.23-0.47 mm. Tungau ini memiliki kutikula halus seperti lekukan. Tungau betina dewasa dari D. pteronyssinus memiliki reseptakulum seminalis berbentuk seperti ’topi’ dan epigynum membentuk lebih melengkung (Collof dan Spieksma 1992; Roden 2012).

Dermathopagoides farinae

Morfologi D. farinae disajikan pada Gambar 1 (C). D. farinae memiliki ukuran kurang lebih 390-440 μm. Reseptakulum seminalis pada tungau berjenis kelamin betina ini berbentuk seperti cangkir. Tungau ini memiliki ciri khas pada

(22)

10

tungau berjenis kelamin jantan yaitu kaki pertama lebih besar dan epimeres coxae I (cxe) membentuk Y atau V (Collof dan Spieksma 1992).

Gambar 1 jenis-jenis Tungau Debu Rumah yang di temukan di Asrama. B. tropicalis (A), D. pteronyssinus (B), D. farinae (C), Mesostigmata (D), dan Cheyletidae (E)

A B

C D

(23)

11

Mesostigmata

Morfologi tungau Mesostigmata disajikan pada Gambar 1 (D). Mesostigmata merupakan tungau predator, dengan kisaran ukuran 450-1200 µm. Perkembangan Mesostigmata ditandai munculnya sepasang stigma yang terdapat antara kaki ke tiga dan ke empat (Collof dan Spieksma 1992; Hartini dan Takaku 2003).

Cheyletidae

Morfologi tungau Cheyletidae disajikan pada Gambar 1 (E). Tungau Cheyletidae merupakan subordo Prostigmata. Tungau ini memiliki palps yang berbentuk seperti cakar apikal pada bagian gnatosoma. Tungau ini memiliki kisaran ukuran 500-900 μm (Collof dan Spieksma 1992).

Kelimpahan Nisbi dan Angka Dominasi Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa IPB

Kelimpahan nisbi dan angka dominasi TDR yang terdapat di lokasi penelitian menunjukan hasil bervariasi sebagaimana terlihat di Tabel 2. Kelimpahan nisbi adalah perbandingan antara banyaknya jenis TDR dengan jumlah keseluruhan TDR yang ditemukan, dinyatakan dalam persen. Hasil kelimpahan nisbi di Asrama Mahasiswa IPB tertinggi ditemukan pada B. tropicalis (42.42%), D. pteronyssinus (19.10%), Cheyletidae (14.63%), Blomia spp (9.8%), Mesostigmata (8.79%), dan D. farinae (5.23%).

Nilai frekuensi 1.00 artinya disetiap lokasi ditemukan jenis TDR tersebut. Namun dari nilai frekuensi di lokasi penelitian tidak ada yang mendapatkan hasil nilai frekuensi 1.00, hanya B.tropicalis yang hampir mendekati yaitu 0.84. Perkalian kelimpahan nisbi dengan frekuensi jenis TDR menghasilkan angka dominasi spesies yang berbeda-beda yaitu B. tropicalis (35.63), D. pteronyssinus (14.13), Cheyletidae (11.12), Blomia spp (7.08), Mesostigmata (6.50), dan D. farinae (3.56). Hasil perhitungan indeks Keanekaragaman jenis TDR menurut rumus Krebs (1987) pada Asrama Mahasiswa IPB termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 1.557.

Tabel 2 Kelimpahan nisbi dan angka dominasi Tungau Debu Rumah yang terdapat pada lokasi penelitian di Asrama Mahasiswa IPB 2015

Keterangan : Bt (B. tropicalis),Dp (D. pteronyssinus), Ch (Cheyletidae), Bs (Blomia spp), Ms (Mesostigmata), dan Df (D. farinae)

Jenis Kelimpahan nisbi (%) Frekuensi Dominasi Spesies

Bt 42.42 0.84 35.63 Dp 19.10 0.74 14.13 Ch 14.63 0.76 11.12 Bs 9.83 0.72 7.08 Ms 8.79 0.74 6.50 Df 5.23 0.68 3.56

(24)

12

Kepadatan dan Sebaran Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa IPB

Kepadatan dan sebaran TDR di Asrama Mahasiswa IPB di sajikan pada Tabel 3. Sebaran TDR di Asrama Putra C1 dan C3 terbanyak pada lantai (45.95%), diikuti tempat tidur (27.11%) dan perabot (26.94%). Berbeda halnya dengan asrama putra, di Asrama Putri A5 sebaran TDR terbanyak pada perabot (48.50%), lantai (29.66%) dan tempat tidur (21.84%).

Rata-rata kepadatan tertinggi asrama putra ditemukan pada lantai sebesar 17.57 ± 22.07 tungau/gram debu. Sebanyak 30 kamar yang diperiksa terdapat 22 (73.33%) kamar yang positif TDR. Tempat tidur memiliki kepadatan TDR sebesar 10.37 ± 26.13 tungau/gram debu dan hanya 17 (27.11%) kamar yang ditemukan positif TDR dari 30 kamar yang diperiksa. Perabot kamar dengan kepadatan TDR sebesar 10.30 ± 13.77 tungau/gram debu dan 21 (26.94%) kamar yang ditemukan positif TDR dari 30 kamar yang diperiksa.

Kepadatan TDR tertinggi di asrama putri terdapat pada perabot kamar sebesar 21.55 ± 22.40 tungau/gram debu. Sebanyak 15 (48.50%) kamar ditemukan positif TDR dari 20 kamar yang di periksa. Lantai memiliki kepadatan TDR sebesar 13.8 ± 17.82 tungau/gram debu dengan 17 (29.66%) kamar yang ditemukan positif TDR dari 20 kamar yang diperiksa. Tempat tidur dengan kepadatan TDR sebesar 9.71 ± 19.61 tungau/gram debu dan hanya 12 (21.84%) kamar yang ditemukan positif TDR dari 20 kamar yang diperiksa.Tingginya kepadatan TDR pada lantai dan perabot di Asrama Mahasiswa IPB disebabkan lantai tidak dibersihkan atau dipel dengan menggunakan bahan pembersih lantai secara rutin dan barang-barang tak terpakai seperti tas dan buku-buku diletakkan di bawah kolong begitu saja. Hal ini menyebabkan banyaknya bahan organik yang menjadi asupan makanan TDR. Zuzana et al. (2015) melaporkan di asrama mahasiswa di Eropa Tengah (Slovakia), kepadatan TDR lebih banyak ditemukan pada tempat tidur, kasur, sprei, dan pakaian tidur dibandingkan pada lantai. Area tersebut merupakan bahan serat yang mendukung habitat bagi TDR dan juga banyak ditemukan skuama yang merupakan asupan makanan bagi TDR.

Tabel 3 Kepadatan dan Sebaran Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa IPB 2015 Habitat TDR ∑ Titik positif/ ∑ titik sampel Persentase titik yang positif ∑ Rata-rata kepadatan tungau/gram debu Sebaran TDR (%) di Asrama Asrama Putra C1 dan C3 Lantai 22/30 73.33 17.57 ± 22.07 45.95 Tempat tidur 17/30 56.67 10.37 ± 26.13 27.11 Perabot 21/30 70 10.30 ± 13.77 26.94 Total 60/90 66.67 100 Asrama Putri A5 Lantai 17/20 85 13.8 ± 17.82 29.66 Tempat tidur 12/20 60 9.71 ± 19.61 21.84 Perabot 15/20 75 21.55 ± 22.40 48.50 Total 44/60 73.33 100

(25)

13

SIMPULAN

Simpulan

Dari 2105 TDR yang dikumpulkan di Asrama Mahasiswa IPB, teridentifikasi 6 jenis TDR yaitu Blomia tropicalis (43.33%), Dermathophagoides pteronyssinus (18.66%), Cheyletidae (14.96%), Blomia spp (9.96%), Mesostigmata (8.31%), Dermathophagoides farinae (5.12%). Sebaran TDR di Asrama Mahasiswa IPB, di Asrama Putra terbanyak ditemukan pada lantai (45.95%) dan di Asrama Putri terbanyak pada perabot (48.50%). Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di Asrama Putra ditemukan pada lantai yaitu 17.57 ± 22.07 tungau/gram debu dan di Asrama Putri tertinggi ditemukan pada perabot yaitu 21.55 ± 22.40 tungau/gram debu, TDR berpotensi menggangu kesehatan penghuni asrama.

Saran

Pengelola asrama harus meningkatkan peraturan dan disiplin dalam menjaga kebersihan di dalam asrama seperti merapihkan barang-barang yang tidak digunakan kedalam kontainer atau kardus.

DAFTAR PUSTAKA

Arlian LG, Dippold JS. 1996. Development and fecundity of Dermatophagoides farinae (Acari: Pyroglyphidae). J Med Entomol. 33(2): 257-260.

Arlian LG, Morgan MS. 2015. Reproductive biology of Euroglyphus maynei with comparisons to Dermatophagoides farinae and D. pteronyssinus. Exp Appl Acarol. 66(1): 1-9.

Arlian LG, Morgan MS, and Neal JS. 2002. Dust mite allergens: ecology and distribution. Current Allergy and Astma Report. 2(5): 401-411.

Arlian LG, Platts-Mills TAE. 2002. The biology of dust mites and the remediation of mite allergrns in allergic disiase. J Allergy Clin immunol. 107(3): 406-413. Arlian LG, Veselica MM. 1982. Relationship between transpiration rate and

temperature in the mite Dermatophagoides farinae. Physiol Zool. 55 (4): 344-354.

Baratawidjaja IR, Baratawidjaja PP, Darwis A. 1998. Mites in Jakarta homes. Allergy. 53(12): 1226-1227.

Boquete M, Iraola V, Fernandez EC, Arenas LV, Carballada FJ, Gonzalez C, Lopez-Rico MR, Orjales RN, Parra A, Soto Mera MT, Varela S, Vidal C. 2006. House dust mite species and allergen levels in Galicia, Spain: a Cross-Sectional, Multicenter, Comparative Study. J Investig Allergol Clin Immunol. 16(3): 169-176.

Chua KY, Cheong N, Kuo IC, Lee BW, Yi FC, Huang CH, Liew LN. 2007. The Blomia tropicalis allergens. Protein Pept Lett. 14(9): 325-333.

(26)

14

Colloff MJ. 1987. Effects of temperature and relative humidity on development times and mortality of eggs from laboratory and wild populations of the European house-dust mite Dermatophagoides pteronyssinus (Acari: Pyroglyphidae). Exp Appl Acarol. 3: 279-289.

Colloff MJ, Spieksma FT. 1992. Pictorial keys for the identification of domestic mites. Clin Exp Allergy. 22: 823-830.

Colloff MJ. 2009. Dust Mites; Ecology, Control. CSIRO Publishing. Australia. Danny W, Scott DVM, Robert T, Horn JR. 2015. Zoonotic Dermatoses of Dogs and

Cats. Veterinary Clinics North America. 17(1): 117-144.

Denmark HA and Cromroy HL. 2014. House Dust Mites, Dermatophagoides spp (Acari: Pyroglyphididae). EENY. 59: 1-3.

Hadi UK & Soviana S. 2010. Ektoparasit; Pengenalan, Diagnosa dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.

Hadi UK. 2014. Tungau Debu, Dermatophagoides. Parasitologi dan Entomologi

Kesehatan . FKH IPB. Tersedia pada:

http://upikke.staff.ipb.ac.id/2014/06/25/tungau-debu-dermatophagoides

Hart BJ. 1998. Life cycle and reproduction of house-dust mites: environmental factors influencing mite populations. Allergy. 53(48): 13-17.

Hartini S, Dwibadra D, Takaku G. 2009. Tungau Macrochelidae (Acari: Gamasida) accociated with dung beetles in Mt Merapi National Park, Jogyakarta, Java, Indonesia. Entomological Science. 12: 416–426

Hartini S, Takaku G. 2003. Javanese Species of the Mite Genus Macrocheles (Arachnida: Acari: Gamasina: Macrochelidae). Zoological. 20(10): 1261-1272. Krantz GW, Walter DE. 2009. A Manual of Acarology 3rd ed.Texas Tech

University Press, Lubbock. America (USS): United States of America.

Krebs CJ. 1987. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance Third Edition. Harper and Row Publishers. New York..

Laisina AH, Takumansang D, Wantania JM. 2007. Faktor risiko kejadian asma pada anak sekolah dasar di Kecamatan Wenang kota Manado. Sari Pediatri. 8(4):299-304.

Liao EC, Ho CM, Lin MY, Tsai JJ. 2010. Dermatophagoides pteronyssinus and Tyrophagus putrescentiae allergy in allergic rhinitis caused by cross-reactivity not dual-sensitization. J Clin Immunol. 30: 830-839.

Mantu BG, Wahongan GJ, Bernadus JB. 2016. Hubungan kepadatan tungau debu rumah dengan derajat rinitis alergi. [Skripsi] Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran. Sam Ratulangi Manado.

Mariana A, Santhana Raj AS, Tan SN, Ho TM. 2007. Scanning electron micrographs of Blomia tropicalis (Acari: Astigmata: Echimyopodidae), a common house dust mite in Malaysia. Trop Biomed. 24(2): 29-37.

Milian EMS, Diaz AM. 2004. Allergy to house dust mites and astma. PRHSJ. 23(1): 47-57.

Natalia D. 2015. Peranan Alergen Tungau Debu Rumah (Der p 1 dan Der p 2) dalam Reaksi Alergi. CDK. 42(4): 251-256.

Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan dari buku Fundamentals of Ecology: Yogyakarta: UGM Press.

Oemiati R, Sihombing M dan Qomariah .2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penyakit Asma di Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 20(1) 41-49.

(27)

15 Ogg B. 2015. Managing Dust Mites. Hubslide. [internet] [diunduh 2015 Nov 19]. Tersedia pada: https://hubslide.com/hubslide/311-dusmi-s575676ab390ab8e8461b0ad8.html

Pawankar R, Bunnag C, Khaltaev N, Bousquet J. 2012. Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma in Asia Pacific and the ARIA Update 2008. WAO J. 5(3) 212-217.

Podder R, Biswas H, Gupta SK, Saha GK. 2009. Life-cycle of hause dust mite Dermatophagoides pteronyssinus (Acari: Pyrogylphidae) under laboratory conditions in kolkata metropolis. Acarina. 17(2): 239-242.

Potter MF. 2012. House dust mites. Entomology At The Kentucky Univesity. [internet].[diunduh 2015 Des 22]. Tersedia pada: https://entomology.ca.uky.edu/ef646

Roden AL. 2012. Exraction Efficiency and Identification Guide to Common House Dust and Storage Mites. Georgia: [Thesis] Graduate Faculty of the University of Georgia in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree.

Santoso H. 1998. The value of a single skin prick testing for specific IgE Dermatophagoides pteronyssinus to distinguish atopy from non-atopic asthmatic children in the tropics. Asian Pac J Allergy Immunol. 16:69-74. Solarz K. 2006. Allergenic mites in habitats associated with man in Poland.

Biological Lett. 43 (2): 299-306

Southcott RV. 1999. Larvae of Leptus (Acarina:Erythraeidae), free-living or ectoparasitic on arachnids and lower insects of Australia and Papua New Guinea, with description of reared post-larval instars. Zool. J. Linn. Soc. 127: 113-276. Sun J, Shen L, Chen J, Yu J, Yin J. 2014. Mite and Boolouse fauna from vacuumed

dust samples from beijing. Allergy Asthma Immunol. 6(3): 257-262.

Sungkar S. 2004. Di dalam Kolali FM, Sorisi A, Pijoh V. 2013. Tungau debu rumah di Kelurahan Ranotana Weru Kecamatan Wanea Kota Manado. Jurnal e-Biomedik (eBM). 1(2): 977-980.

Takai T, Okamoto Y, Okubo K, Nagata M, Sakaguchi M, Fukutomi Y, Saito A, Yasueda H, Masuyama K. 2015. Japanese Society of Allergology task force report on standardization of house dust mite allergen-vaccines Secondary publication. J Allergology. 64(2): 181-186.

Thomas WR. 2010. Geography of house dust mite allergen. Asian Pac J Allergy Immunol. 28: 211-24.

Wallace MMH, Holm E. 1983. Establishment and dispersal of the introduced predatory mite Macrocheles peregrinus Krants, in Australia. J Aus Ent Soc. 22: 345–348.

Walzl MG. 1992. Ultrastructure of the reproductive system of the house dust mites, Dermatophagoides farinae and D. pteronyssinus (Acari: Pyroglyphidae) with remarks on spermatogenesis and oogenesis. Exp Appl Acarol. 16(1-2): 85-116. Warner A, Bostrom S, Moller C, Kjelman NIM. 1999. Mite fauna in the home and

sensitivity to house-dust and storage mites. Allergy. 54: 681-690.

[WHO] World Health Organization. 1988. Dust mite allergens and asthma: a worldwide problem. Bulletin of the World Health Organizatio. 66 (6): 769-780. Zuzana Krumpálová, Matúš Kostrab, Peter Fenďa. 2015. Dust mites (Acarina: Pyroglyphidae) in university campus housing Central Europe. Institute of Zoology, Slovak Academy of Sciences. Biologia. 70(6): 797-801.

(28)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Shofan Amalul Haqi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Suyatno (alm) dan Nelmi Hauzani. Penulis dilahirkan di Way Jepara pada tanggal 18 Juli 1993. Pendidikan formal penulis sampai dengan tingkat SMA diselesaikan di Way Jepara, yaitu SDN 1 Braja Sakti, SMPN 1 Way Jepara dan SMAN 1 Way Jepara. Pada tahun 2011 Penulis diterima di jurusan Fakultas Kedokteran Hewan IPB Darmaga Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis tergabung dalam organisasi. Adapun organisasi yang diikuti yaitu Himpunan Minat Profesi Satwa Liar sebagai anggota (2012/2013) dan sebagai Anggota External (2013/2014).

(29)

17

Lampiran

Lampiran 1 Habitat Tungau Debu Rumah di Asrama

Gambar Habitat TDR di Asrama (A) Tempat tidur (B) Meja belajar (C) Lemari dan lantai

A B

Gambar

Tabel 1 Jumlah dan Presentase Jenis Tungau Debu Rumah di Asrama Mahasiswa  IPB 2015
Gambar 1 jenis-jenis Tungau Debu Rumah yang di temukan di Asrama.
Gambar  Habitat  TDR  di  Asrama  (A)  Tempat  tidur  (B)  Meja  belajar  (C)  Lemari dan lantai

Referensi

Dokumen terkait

Modifikasi tepung umbi gembili dengan cara kimiawi menggunakan asam asetat dapat meningkatkan kelarutan dalam air, meningkatkan daya serap minyak, dan menurunkan viskositas

(Jakarta: PT Bhratara Karya Aksara. hal.115 18 Suprihanto Notodarmojo.. Pertukaran anion umumnya terjadi pada partikel tanah dengan muatan positif. Pada tanah yang bermuatan

Perlakuan media sapih berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar,

John dan Bowyer (1986) menyatakan bahwa kulit batang akasia mengandung lignin dan polisakarida. Diharapkan bahan ini jika melapuk akan terurai menjadi bahan yang lebih

Sedangkan menurut Dantes (2012) populasi dapat didefinisikan sebagai sejumlah kasus yang memenuhi seperangkat kriteria tertentu, yang ditentukan peneliti, Jadi

Dari penjelasan teori diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian kafein dapat meningkatkan kadar glukosa darah melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis pada

Berdasarkan hasil uji anova ditemukan tidak ada perbedaan yang bermakna rerata kadar asam laktat pada kelima kelompok perlakuan setelah intervensi (p&gt;0,05)..

Walau bagaimanapun tukang sembelih boleh mendapatkan daging korban sama seperti orang lain, sama ada dari bahagian pemberian hadiah atau sedekah yang