• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam Di Tarutung Tahun 1962 – 2000

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Islam Di Tarutung Tahun 1962 – 2000"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Oleh :

Herry Setianto 060706006

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

ISLAM DI TARUTUNG TAHUN 1962 – 2000

Yang Diajukan Oleh :

Nama : Herry Setianto NIM : 060706006

Telah Disetujui Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi Oleh :

Pembimbing

Drs. J. Fachruddin Daulay Tanggal,

NIP. 194712251981121001

Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal,

NIP : 196409221989031001

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh :

Herry Setianto 060706006

Pembimbing

Drs. J. Fachruddin Daulay NIP. 194712251981121001

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan

Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

Disetujui Oleh :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP : 196409221989031001

(5)

PENGESAHAN :

Diterima Oleh :

Panitian Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sejarah Pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada : Hari : Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP : 195110131976031001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. ……….. ( ……... )

2. ……….. (……….. )

3. ……….. (………)

4. ……… …………. (………)

(6)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayahnya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi

untuk meraih gelar kesarjanaan. Tidak lupa salawat beriring salam saya limpakan

kepada Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan umat islam yang telah membawa

kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Adapun skripsi ini berjudul Islam di Tarutung Tahun 1962 – 2000 . Skripsi

ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sekaligus untuk

meraih gelar kesarjanaan di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Saya sangat

menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, saya

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulis

ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi saya maupun bagi kita semua.

Medan, Januari 2011

(7)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat

dan karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, meskipun banyak

hambatan dan kekurangan. Shalawat beriring salam penulis persembahkan kepada

junjungan Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan

Sarjana Sastra. Penulisan ini juga tidak akan pernah dapat terwujud tanpa bantuan,

kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, inilah saat yang tepat

bagi penulis untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada :

1. Ayahanda dan ibunda yang memberi dukungan dan semangat kepada penulis

dalam masa pendidikan baik itu dukungan moril maupun materil. Dan tidak lupa

penulis ucapkan terima kasih kepada kakanda dan adinda yang juga turut serta

membantu penulis selama masa penulisan skripsi ini dan memberi semangat.

2. Dekan Fakultas Sastra, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk dapat menjalani ujian meja hijau agar

mendapatkan gelar kesarjanaan.

3. Ketua Departemen Sejarah, Bapak Edi Sumarno, M.Hum, yang telah memberikan

banyak bantuan, kemudahan serta pengalaman selama penulis mejalani masa

perkuliahan. Terima kasih juga kepada sekretaris Departemen Sejarah, Ibu

Nurhabsyah, M.Si. yang terus memacu semangat penulis dalam menyelesaikan

(8)

iii

4. Bapak Drs. J. Fachruddin Daulay selaku dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan masukan ilmu hingga penulisan skripsi ini selesai tepat pada

waktunya. Tanpa kontribusi bapak dan dorongan semangat buat penulis, rasanya

skripsi ini jauh dari kesempurnaan.

5. Bapak Samsul Tarigan selaku dosen wali penulis yang telah banyak memberikan

nasehat terhadap penulis selama menjalani perkuliahan.

6. Seluruh staf pengajar di Departemen, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu

pengetahuan yang telah diberikan selama ini semoga nantinya menjadi manfaat

bagi penulis.

7. Kepada para informan yang sudah memberikan keterangan dan penjelasan selama

proses pengumpulan data di lapangan. Kepada Bapak Abdulrahman Nasution

salah satu pengurus PKM (Persatuan Kaum Muslim) Tarutung yang sudah

memberikan dorongan semangat kepada penulis.

8. Kepada Bang Ampera Wira yang banyak membantu penulis selama menjalani

perkuliahan.

9. Terima kasih banyak kepada teman-teman stambuk 2006 di ilmu sejarah yang

membantu dan memberi dukungan dan semangat dalam mengerjakan skripsi ini

seperti Kariani, Sancani, Anggi, Friyanti, Eva, Desi, Desmika, Risma, Erliana,

Yudha, Ramlan, Pa’i, Sonang, Hara, Kalvin dan buat sahabat-sahabat penulis Uci,

Derni, Degem, Ones, Ica semoga kalian tidak melupakan kebersamaan kita

(9)

pengumpulan data di lapangan.

Medan, Januari 2011

(10)

v

ABSTRAK

Kota Tarutung merupakan ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara, salah satu kabupaten di Sumatera Utara jika ditinjau dari segi administratif. Pada umumnya masyarakat yang ada di kota Tarutung merupakan etnis Batak Toba, salah satu sub etnis Batak. Mayoritas penduduk di Tarutung beragama Kristen. Kota Tarutung adalah kota di mana masyarakatnya cukup baik menerima kaum pendatang dari luar etnis Batak.

Di Tarutung juga terbentuk sebuah masyarakat Islam yang terdiri dari kaum pendatang dan juga orang Batak Toba sendiri. Sebuah bukti keharmonisan antarumat beragama. Kota Tarutung yang pada awalnya merupakan kota di mana agama Kristen berkembang pesat sejak masa pendudukan Belanda. Kota di mana dahulunya merupakan basis penyebaran agama Kristen dan agama Kristen berkembang pesat, namun di kota ini terbentuk sebuah masyarakat Islam.

Tulisan ini membahas latar belakang penyebab masuknya para pendatang ke Tarutung, juga membahas bagaimana kemudian terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. Kemudian membahas mengenai hubungsn sosiologis antara kaum pendatang dan juga etnis Batak Toba selaku tuan rumah. Terlebih lagi hubungan antara masyarakat Islam yang mayoritas pendatang dengan masyarakat Batak Toba yang non Islam.

Tujuan tulisan ini adalah mengetahui latar belakang banyaknya para pendatang yang masuk ke Tarutung, serta mengetahui bagaimana kemudian terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. Mengetahui bagaimana hubungan sosiologis antara kaum pendatang dan juga etnis Batak Toba, terutama Batak Toba non Islam.

Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana kehidupan masyarakat Islam di Tarutung yang terdiri dari berbagai etnis, terutama etnis Jawa dan Minangkabau. Etnis pendatang yang bisa di katakan yang mayoritas di Tarutung, dismping itu juga ada etnis Batak yang berasal dari Tapanuli bagian selatan yang juga berada di Tarutung sebagai kaum pendatang.

Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Pada tahap heuristik, penulis menggunakan dua metode penelitian yakni, metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research).

(11)

KATA PENGANTAR ...

i

UCAPAN TERIMA KASIH ...

ii

ABSTRAK ...

v

DAFTAR ISI ...

vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka ... 9

1.5 Metode Penelitian ... 10

BAB II MASUKNYA PENDATANG ISLAM DI TARUTUNG ... 13

2.1 Pendatang Dari Luar Tarutung ... 14

2.1.1 Etnis Minangkabau... 14

2.1.2 Pendatang Etnis Jawa ... 18

2.1.3 Orang Batak Dari Wilayah Tapanuli Bagian Selatan... 22

2.2 Faktor-faktor Pendorong Masuknya Pendatang ke Tarutung ... 25

2.2.1 Faktor Penarik Kota Tarutung ... 26

2.2.2 Faktor Pendorong Kedatangan Perantau ... 28

BAB III KEBERADAAN ISLAM DI TARUTUNG ... 32

(12)

vii

3.2 Sikap Masyarakat Batak (non-Islam) Terhadap

Keberadaan Masyarakat Islam... 44

BAB IV KEHIDUPAN KOMUNITAS ISLAM DI TARUTUNG 1962 – 2000 ... 49

4.1 Interaksi Masyarakat Islam dan Non-Islam ... 49

4.2 Kegiatan Agama ... 52

4.3 Pendidikan Agama Islam (Syiar Islam) ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

(13)

kabupaten di Sumatera Utara jika ditinjau dari segi administratif. Pada umumnya masyarakat yang ada di kota Tarutung merupakan etnis Batak Toba, salah satu sub etnis Batak. Mayoritas penduduk di Tarutung beragama Kristen. Kota Tarutung adalah kota di mana masyarakatnya cukup baik menerima kaum pendatang dari luar etnis Batak.

Di Tarutung juga terbentuk sebuah masyarakat Islam yang terdiri dari kaum pendatang dan juga orang Batak Toba sendiri. Sebuah bukti keharmonisan antarumat beragama. Kota Tarutung yang pada awalnya merupakan kota di mana agama Kristen berkembang pesat sejak masa pendudukan Belanda. Kota di mana dahulunya merupakan basis penyebaran agama Kristen dan agama Kristen berkembang pesat, namun di kota ini terbentuk sebuah masyarakat Islam.

Tulisan ini membahas latar belakang penyebab masuknya para pendatang ke Tarutung, juga membahas bagaimana kemudian terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. Kemudian membahas mengenai hubungsn sosiologis antara kaum pendatang dan juga etnis Batak Toba selaku tuan rumah. Terlebih lagi hubungan antara masyarakat Islam yang mayoritas pendatang dengan masyarakat Batak Toba yang non Islam.

Tujuan tulisan ini adalah mengetahui latar belakang banyaknya para pendatang yang masuk ke Tarutung, serta mengetahui bagaimana kemudian terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. Mengetahui bagaimana hubungan sosiologis antara kaum pendatang dan juga etnis Batak Toba, terutama Batak Toba non Islam.

Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana kehidupan masyarakat Islam di Tarutung yang terdiri dari berbagai etnis, terutama etnis Jawa dan Minangkabau. Etnis pendatang yang bisa di katakan yang mayoritas di Tarutung, dismping itu juga ada etnis Batak yang berasal dari Tapanuli bagian selatan yang juga berada di Tarutung sebagai kaum pendatang.

Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Pada tahap heuristik, penulis menggunakan dua metode penelitian yakni, metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research).

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas

peristiwa-peristiwa masa lalu umat manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu

kenyataan subjektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan

sudut pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi

yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh karena

itu, perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang pada

dasarnya adalah objektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi suatu kenyataan

yang relatif.1

Ditinjau dari segi administrasi pemerintahan, kota Tarutung dewasa ini adalah

ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Secara geografis kota Tarutung berbatasan

dengan Kecamatan Siborong-borong di sebelah utara, sebelah barat berbatasan

dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan

Adiankoting, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siatas Barita.

Pada umumnya masyarakat Tarutung adalah orang Batak Toba. Orang Batak

ini adalah salah satu dari sub etnik suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara yang

terdiri dari sub etnik Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola, dan Mandailing.2

1 Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah , Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group, 2007, hal. 16.

Kota Tarutung mayoritas penduduknya adalah orang Batak Toba yang beragama

(15)

Kristen Protestan dan Katolik. Tarutung merupakan kota di mana masyarakatnya

cukup baik untuk menerima pendatang dari luar suku Batak Toba sendiri.

Hal tersebut dapat dilihat sejak masuknya pengaruh Barat ke wilayah Silindung

khususnya ke wilayah Tarutung. Nommensen yang tiba di Tanah Batak (di Sibolga)

pertama kali tahun 1862 adalah salah seorang penginjil yang datang ke wilayah

Silindung yang berhasil menyebarkan agama Kristen di sana. Bahkan untuk

mengenang jasa Nommensen tersebut maka oleh masyarakat Kristen di Silindung

didirikan sebuah monumen yaitu Salib Kasih yang diresmikan dalam tahun 1997.

Pada awalnya memang terjadi konflik mengenai pengaruh Barat yang masuk, tetapi

akhirnya pangaruh tersebut dapat diterima.

Dengan adanya pengaruh Barat tersebut, menempa masyarakat Batak Tarutung

menjadi masyarakat yang menjalani perubahan budaya baru. Hal ini juga terjadi pada

saat banyaknya masyarakat pendatang dari luar Tarutung yang masuk ke Tarutung.

Para pendatang ini umumnya adalah orang-orang Minangkabau dan Jawa yang mulai

banyak berdatangan sekitar tahun 1960-an. Para pendatang ini dari segi budaya dan

agama sangat berbeda dengan orang-orang Batak di Tarutung. Dari pendatang inilah

muncul komunitas Islam di Tarutung. Mereka membawa kebudayaan dan agama dari

tempat asal mereka dan tetap menjalankannya di wilayah Tarutung.

Pada awalnya Islam di Tarutung juga ada orang Batak Toba sendiri yang sudah

menjadi Islam jauh sebelum para pendatang suku Minangkabau dan Jawa datang ke

Tarutung. Jika ditinjau secara garis besar kota Tarutung adalah kota yang mayoritas

(16)

3

berada di kota ini.3

Sebelumnya masyarakat Islam yang ada di Tarutung banyak berasal dari

daerah-daerah Tapanuli Selatan, yang juga pengaruh dari Minangkabau. Secara

lambat laun Islam juga berkembang di wilayah Silindung khususnya di kota

Tarutung. Islam yang masuk merupakan pengaruh dari pasukan Paderi yang datang

ke Tapanuli dengan niatan untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Batak. Namun

demikian usaha tersebut tidak berhasil dengan baik, tetapi tetap saja meninggalkan

jejak Islam di Silindung khususnya Tarutung dan sekitarnya terutama daerah Pahae

yang cukup dekat letaknya dengan Tarutung.

Kota Tarutung juga disebut sebagai kota Wisata Rohani dengan

salib Kasih sebagai monumen kebanggaannya, namun di sini dapat pula ditemukan

adanya masyarakat Islam.

Kota yang dahulunya sebagai ibu kota pemerintahan Afdeling Batak Landen,

yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tetapi kini Islam dapat berkembang

secara berdampingan dengan agama Kristen di kota ini. Suatu hal yang menarik,

sebuah kerukunan umat beragama yang berbeda yaitu Kristen dan Islam.

Adapun tentang Islam di Tanah Batak khususnya di Tarutung mempunyai

sejarah panjang. Agama Islam telah menyebar dengan cepat sekali ke seluruh

Tapanuli Selatan setelah kekalahan kaum Paderi. Meskipun invasi Islam di sana

sebelumnya mengalami kegagalan, namun para pemimpin Mandailing menganggap

bahwa agama asli mereka itu tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga mereka

kemudian menganut agama Islam dan mengikuti serta mencontoh unsur-unsur

(17)

budaya Melayu-Islam lainnya. Sementara ketika itu agama Kristen tidak mungkin

menjadi suatu pilihan. Pada waktu itu belum ada misionaris, apalagi sangat sulit bagi

Belanda untuk ikut aktif dalam menyebarkan agama Kristen, sebab tindakan

demikian akan sangat membahayakan seluruh strategi pemerintah kolonial Belanda

yang sangat mengharapkan dukungan dan bantuan golongan “hitam” ( Muslim

anti-Paderi dan pro-adat) di Sumatera Barat. Maka sejak sekitar tahun 1850-an

berbagai kelompok Kristen mengeluh bahwa kebijakan pemerintah amat mendukung

proses Islamisasi.4

Di kalangan orang-orang Belanda yang anti Islam dengan sebagian didasari

oleh pertimbangan imperialis dan sebagian lagi oleh pertimbangan kemajemukan

nasional menyatakan “orang Batak sangat terbuka pada peradaban”, seperti terlihat

pada orang Mandailing yang tidak hanya menerima Islam, tetapi juga sama

beradabnya dengan para tetangga mereka yang muslim, bahkan sekarang telah

melampaui orang Melayu (maksudnya orang Minangkabau). Orang Batak

menganggap kita sebagai sekutunya, sehingga kita juga harus memperlakukan

mereka layaknya sekutu.5

Perkembangan agama Kristen di Tanah Batak sejalan dengan penguasaan

Belanda atas wilayah ini menyusul didirikannya sekolah-sekolah. Pemerintah

Belanda membangun sekolah-sekolah gubernemen atau sekolah Melayu di Tanah

Batak bagian selatan hanya di kota-kota agak besar seperti Padangsidempuan,

Batunadua, Hutapadang, Angkola, Natal, Hutagodang, Kotanopan, Panyabungan,

4 Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915 – 1940, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001, hal. 18.

(18)

5

Siabu, Tanobato, Maga, Gunungtua, Sibuhuan, Sipirok, Bungabondar, Baringin,

Batangtoru, Sibolga, Barus, Singkil, dan lain-lain. Berbeda dengan Zending,

mendirikan sekolah hampir di setiap negeri atau kampung, yaitu di mana ada guru di

situ ada sekolah Zending.6

Setidaknya hingga dasawarsa kedua abad ke-20, Islam di Silindung mencakup

Tarutung penuh fenomena. Sifat mendua pemerintah dan “kebijakan penyekatan”

terhadap Islam diuji dalam pemilihan kepala negeri yang baru di Janji Angkola pada

tahun 1919. Yaitu dengan calon ketika itu adalah Haji Ibrahim (ketua SI di Pahae)

dan calon lain Aristarcus (putera seorang Pendeta Batak di Janji Angkola). Keduanya

sama-sama bermarga Sitompul dan merupakan tokoh paling berhak atas “harajaon” di

Janji Angkola. Sebenarnya Aristarcus bukanlah penduduk asli Janji Angkola, tetapi

ia berasal dari Sigompulon, yaitu beberapa kilometer di hulu sungai dan menjadi guru

sekolah di Tarutung. Begitupun akibat perbandingan jumlah rumah tangga Kristen

dan rumah tangga Islam mencolok sekali, ialah 400 berbanding 60, Aristarcus

berkeras mencalonkan diri. Pemerintah Belanda sangat kesal, karena pemenangnya

adalah Haji Ibrahim, meskipun dengan perbedaan angka tipis.

Kontrolir Silindung, Heringa, yang amat tidak senang melihat kenyataan

adanya isyarat keharmonisan antaragama di wilayah itu menyarankan kepada Asisten

Residen Vorstman untuk mengangkat Aristarcus dan bukan Haji Ibrahim. Memang

petunjuk Gubernur Jenderal bulan Agustus 1917 melarang pengangkatan seorang

muslim menjadi raja di daerah non-Muslim, Heringa menuding kemenangan Haji

(19)

Ibrahim itu berkat kerja sama antara SI dengan sebuah organisasi Kristen baru, yaitu

Hatopan Batak Kristen (HKB).

Menghadapi situasi demikian, Asisten Residen Vorstman yang lebih tua dan

arif serta telah merasakan pahit getirnya bergumul dengan kontroversi agama di

Sipirok, menjawab dengan melaksanakan pemungutan suara kedua pada bulan Juli

1919. Hasilnya Haji Ibrahim tetap menang dengan perbandingan perolehan suara 228

lawan 204. Oleh karena tidak ada penolakan dari Gubernur Jenderal dari Batavia,

Vorstman mengangkat Haji Ibrahim menjadi kepala negeri Janji Angkola. Dalam

kasus ini memang pemerintah Belanda adalah benar membatasi kegiatan misi demi

tercapainya “ketenangan dan ketertiban”.7

Uraian di atas menunjukkan bagaimana peran agama Islam dalam sejarahnya

di Silindung dengan pusatnya di Tarutung. Kemudian sebagaimana diketahui bahwa

di Tarutung akhirnya penduduknya mayoritas beragama Kristen, akan tetapi sejak

sekitar tahun 1960-an ke Tarutung masuk komunitas orang-orang Jawa dan

Minangkabau yang beragama Islam.

Apabila mobilitas Islam dalam tahun 1960-an tertuju pada ideologi, namun

munculnya small group orang-orang Jawa dan Minangkabau yang Islam di

tengah-tengah mayoritas orang-orang Batak yang beragama Kristen di Tarutung. Yang ingin

dikaji dalam skripsi ini adalah hubungan-hubungan sosiologis di antara etnis-etnis

tersebut dalam pergaulan kesehariannya.

Hal tersebut di ataslah yang membuat penulis tertarik untuk mendalami

kehidupan masyarakat Islam di Tarutung dengan judul “Islam di Tarutung Tahun

(20)

7

1962–2000 ”. Skop temporal yang diambil adalah antara tahun 1962 sampai 2000.

Sekitar tahun 1962 merupakan tahun di mana awal pesatnya para pendatang Islam

orang-orang Minangkabau dan orang-orang Jawa masuk ke Tarutung. Tahun 2000

merupakan batas akhir penelitian sebagai skop temporal penelitian sejarah ini.

Rentang waktu antara tahun 1962 sampai 2000 adalah masa di mana penulis

membahas bagaimana perkembangan masyarakat Islam di Tarutung.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan dari

penelitian adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Hal inilah yang

diungkapkan dalam pembahasannya. Akar permasalahan merupakan hal yang sangat

penting karena di dalamnya diajukan konsep yang dibahas dalam penelitian dan

menjadi alur dalam penulisan.

Sesuai dengan judul ”Islam di Tarutung Tahun 1962–2000”, maka dibuatlah

suatu batasan pokok masalah. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam

penelitian ini maka penulis menurunkan beberapa pokok permasalahan yang dikaji

dalam penelitian ke beberapa pertanyaan sebagai berikut.

1. Apa latar belakang masuknya para pendatang Islam ke Tarutung?

2. Bagaimana terbentuknya masyarakat Islam di Tarutung?

3. Bagaimana hubungan sosiologis masyarakat Islam di Tarutung khususnya

orang-orang Jawa dan Minangkabau serta interaksinya dengan masyarakat

(21)

1.3 Tujuan dan Manfaat

Setelah menetapkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas oleh

penulis, selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulisan dalam melakukan

panulisan ini serta manfaat yang dapat dipetik. Adapun tujuan penelitian ini adalah.

1. Menjelaskan latar belakang masuknya pendatang Islam ke Tarutung.

2. Menguraikan bagaimana terbentuknya komunitas Islam di Tarutung.

3. Menguraikan bagaimana hubungan sosiologis masyarakat Islam

orang-orang Jawa dan Minangkabau di Tarutung dan interaksinya dengan

masyarakat non-Islam selama kurun waktu 1962-2000.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi masyarakat Tarutung khususnya akan menyadari keberagaman etnis

semakin memperkaya berbagai kebutuhan yang diperlukan masyarakat.

Masyarakat agar bisa lebih memahami bahwa keragaman etnis dan budaya

adalah khasanah kekayaan dalam persatuan bangsa.

2. Bagi pemerintah, kedatangan masyarakat Islam yang minoritas ke

tengah-tengah masyarakat Tarutung yang mayoritas Kristen akan memperkuat simbol

kota Tarutung sebagai kota wisata rohani.

3. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa

(22)

9

1.4 Tinjauan Pustaka.

Ada beberapa literatur yang dapat digunakan dalam mendukung penelitian ini

di antaranya sebagai berikut.

Lance Castle dalam bukunya yang berjudul: “Kehidupan Politik Suatu

Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940”. Dalam buku ini diungkapkan

mengenai kehdupan masyarakat Islam di wilayah Silindung yang secara administratif

berpusat di Tarutung. Dalam buku ini juga diuraikan bagaimana sikap masyarakat

Batak Toba dan sikap mendua pemerintah Belanda terhadap agama Islam, bahkan

sempat terjadi penolakan yang diawali oleh penolakan pemerintah kolonial yang

berkedudukan di Silindung pada saat itu. Buku ini memang menguraikan mengenai

kehidupan masyarakat Tapanuli sebelum tahun 1962, tapi dipandang sangat berguna

untuk mengetahui latar belakang sejarah bagaimana kehidupan masyarakat Islam

pada masa sejak berakhirnya Perang Paderi terutama setelah pertengahan abad ke-19

sampai awal abad ke-20.

Kemudian Fritzjof Shuon dalam bukunya, “ Mencari Titik Temu

Agama-agama”, terjemahan Saafroedin Bahar, menjabarkan mengenai konsep agama, apa

pengertian dari agama. Buku ini mengungkapkan mengenai hubungan antara dua

agama yakni Islam dan Kristen. Dalam buku ini dijelaskan mengenai konsep

ketuhanan yang dimiliki antara Islam dan Kristen, ajaran Kristen lebih mementingkan

aspek Tritunggal dari Yang Ilahi. Tuhan menjelma sebagai manusia dan menebus

dunia. Azas turun dalam suatu wujud untuk menertibkan kembali keseimbangan

(23)

dengan Keesaan-Nya. Tuhan tidak menjelma menjadi manusia berdasarkan

perbedaan rahaniah.8

Ada sebuah buku lama terbitan tahun 1960 berjudul “Perihal Bangsa Batak”.

Meskipun buku lama tapi cukup penting karena mengungkapkan awal masuknya

ajaran-ajaran Kristen ke tengah-tengah masyarakat Batak oleh orang-orang Inggris

sebelum kedatangan Zending. Buku ini juga mengemukakan bagaimana Belanda

untuk menguasai Tarutung atau Silindung setelah terlebih dahulu menguasai Tanah

Batak bagian selatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah, tetapi lebih banyak

mendirikan sekolah-sekolah Zending dalam usaha Kristenisasi. Di sini dijelaskan

bahwa pada awalnya orang Belanda tidak membedakan orang Angkola, Mandailing

maupun Batak Toba sebagai orang Batak. Mereka yang pertama memperoleh

pengetahuan dari pengajaran Kristen di Sipirok adalah berupa kepandaian bertukang

dan sebagai guru.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah

sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah.

Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk

teknis.9

8 Frizjof Shuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj, Jakarta; Pustaka Firdaus. 1987. hal 119.

Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah

sangat membantu setiap penelitian di dalam merekonstruksi kejadian pada masa yang

telah lalu.

(24)

11

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah:

1. Heuristik, mengumpukan data atau sumber melalui studi kepustakaan (library

research) dari buku, arsip, artikel. Pengumpulan data tidak hanya berupa

literatur tetapi juga data yang didapatkan dari penelitian lapangan.

2. Kritik sumber, mengusahakan peneliti untuk lebih dekat dengan nilai

kebenaran dan keaslian sumber, terdiri dari kritik internal dan kritik eksternal.

Kritik internal yaitu menelaah tentang kebenaran isi atau fakta dari sumber,

baik sumber tersebut dari buku, artikel, maupun arsip serta wawancara lisan

dengan narasumber. Kritik eksternal dilakukan dengan cara pngujian untuk

menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun wawancara. Adalah

sangat penting untuk melakukan kritik eksternal demi menjaga objektifnya

suatu data.

3. Interpretasi, merupakan tahap di mana peneliti mencoba menafsirkan data

yang diperoleh yang diharapkan dapat menjdi data yang objektif. Dalam hal

ini adalah interpretasi dari hasil pengumpulan sumber, kritik tentang objek

kajian peneliti terhadap Islam di Tarutung. Interpretasi ini diharapkan dapat

menjadi data sementara sebelum peneliti menuangkannya ke dalam sebuah

tulisan.

4. Historiografi, adalah tahapan akhir dari penelitian atau dapat juga dikatakan

sebagai penulisan akhir. Dengan hasil akhir dari suatu penulisan yang

diperoleh dari fakta-fakta yang dilakukan secara sistematis dan kronologis

(25)

merupakan hasil dari pngumpulan sumber, kritik (baik kritik internal maupun

(26)

13

BAB II

MASUKNYA PENDATANG ISLAM DI TARUTUNG

Masyarakat Batak yang ada di kota Tarutung merupakan masyarakat yang

heterogen. Ada dua bentuk heterogenitas yang dimaksudkan. Pertama, Tarutung

sebagai kota yang didatangi berbagai etnis Batak lokal yang masing-masing

mempunyai kampung-kampung halaman sendiri dan marga seperti Hutabarat,

Panggabean, Hutapea, Sitompul, dan beberapa perkampungan marga lainnya di mana

mereka kemudian menjadi penduduk kota Tarutung. Di antara etnis Batak yang

mayoritas itu ada juga etnis-etnis pendatang, seperti orang-orang Minangkabau dan

orang-orang Jawa baik yang berasal dari pulau Jawa ataupun orang-orang Jawa

kelahiran Sumatera.

Keberagaman masyarakat yang ada di Tarutung diakibatkan oleh adanya kaum

pendatang tersebut yang masuk ke Tarutung. Etnis pendatang ini sebagian besar

tujuan mereka datang ke Tarutung adalah untuk merantau atau mencari nafkah.

Dari perpaduan berbagai etnis inilah masyarakat Islam Tarutung terbentuk.

Masyarakat menjalankan syariat dan hukum Islam, yaitu mereka yang memeluk satu

keyakinan yang sama ialah Islam. Walaupun mereka berbeda dari segi adat dan

budaya, tetapi dapat hidup rukun dalam satu kawasan tanah perantauan di Tarutung.

Selain dari etnis pribumi, ada juga yang merupakan warga keturunan Tionghoa yang

tinggal di Tarutung. Mereka juga menambah keberagaman penduduk di Tarutung.

Namun dalam tulisan ini, penulis lebih menekankan pembahasan pada etnis lokal

(27)

yang menjadi objek kajian penulis adalah Islam yang memang dikembangkan dan

disebarkan oleh kaum pribumi. Islam di Tarutung yang berkembang dan

menunjukkan keberadaannya setelah banyaknya kaum pendatang warga pribumi

yang masuk ke Tarutung. Meskipun ada juga seorang warga keturunan Tionghoa

yang kemudian tinggal di Tarutung yang juga ikut dalam kegiatan Islam di Tarutung.

Beliau juga merupakan seorang ulama Tionghoa.

2.1 Pendatang dari luar Tarutung

Orang-orang dari wilayah lain di luar dari kota Tarutung banyak yang datang

dan menetap di Tarutung. Kaum pendatang ini datang dengan berbagai alasan. Ketika

tinggal menetap di Tarutung mereka pun tetap menjalankan tradisi dan adat kebiasaan

serta juga agama yang mereka bawa dari daerah asal. Di antara kaum pendatang ini

adalah orang-orang yang berasal dari daerah Sumatera Barat atau etnis

Minangkabau, orang-orang Jawa dan juga orang-orang yang datang dari daerah

Tapanuli Selatan. Mereka ini adalah orang-orang yang masih dekat letak geografisnya

dengan daerah Silindung.

2.1.1 Etnis Minangkabau

Orang Minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya, di mana kaum

prianya merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah atau untuk mendapatkan

penghidupan yang lebih baik. Alasan mencari penghidupan inilah yang mendorong

(28)

15

Penyebaran orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya salah satunya

disebabkan oleh keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa

mempergunakan tanah-tanah yang telah ada. Ini dapat dihubungkan sebenarnya

dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai hak menggunakan tanah

warisan bagi kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin dapat menggunakan tanah

tersebut untuk kepentingan keluarga matriliniernya.19

Sistem matrilinial yang dipakai oleh orang Minangkabau merupakan sistem

garis keturunan yang didasarkan pada garis keturunan ibu. Pihak perempuan atau

isteri adalah orang yang berhak atas harta keluarga berupa warisan, sehingga bagi

laki-laki yang ingin menafkahi keluarganya, tidak boleh bergantung pada harta

warisan untuk dikelola, melainkan harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan

sendiri. Kebanyakan orang Minangkabau memang bekerja sebagai petani di daerah

asalnya, namun tidak semua. Keadaan alam Minangkabau yang berbukit-bukit sering

menjadi kendala untuk dijadikan lahan pertanian, sehingga mereka harus mencari

alternatif lain untuk mendapatkan penghasilan. Salah satunya adalah dengan cara

merantau ke daerah lain. Hal ini dimaksudkan agar dapat mencari nafkah di daerah

lain, bekerja sesui dengan keterampilan atau keahlian yang dimilikinya.

Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya orang Minangkabau sudah datang ke

Tarutung sejak masa ekspansi tentara Paderi ke Tanah Batak (1818 – 1820) . Untuk

ekspansi ke wilayah Tapanuli, tentara Paderi dipimpin oleh Tuanku Rao yang

disebut-sebut masih keturunan dari Sisingamangaraja, yaitu kemenakan

Sisingamangaraja. Tuanku Rao kemudian menunjuk beberapa orang pemimpin

(29)

pasukannya untuk memasuki beberapa wilayah di Tapanuli bagian utara. Pada saat itu

tentara Paderi yang masuk ke wilayah Silindung tempat kota Tarutung sekarang

dipimpin oleh Djagorga Harahap. Ia masuk ke Silindung dan mendirikan bangunan

tempat berkumpul tentara Paderi di Sigompulon. Di sinilah tentara Paderi yang terdiri

dari orang-orang Minangkabau bertahan.20

Pada saat itu kedatangan orang-orang Minangkabau ke Tarutung adalah dalam

misi penyebaran agama Islam dalam tentara Paderi, akan tetapi dari situ sudah dapat

dilihat bahwa Tarutung sudah disentuh oleh orang-orang Minangkabau sejak abad

ke-19. Selanjutnya orang-orang Minangkabau yang datang ke Tarutung untuk mengadu

nasib pertama kali sejak tahun 1950-an. Mereka memilih menetap di kawasan

Komplek Mesjid, sekarang termasuk dalam Kelurahan Hutatoruan X. Mereka bekerja

sebagai pedagang penjaja makanan seperti pedagang sate keliling, tukang tilam,

bahkan ada yang mengusahakan rumah makan. Lokasi Komplek Mesjid ini dipilih

untuk pemukiman karena letaknya di pinggir Aek Sigeaon, sehingga memudahkan

mereka yang beragama Islam untuk mandi dan bersuci guna melaksanakan sholat

pada masa itu ketika sarana air bersih belum sebaik sekarang penyalurannya. Selain

itu lokasi Komplek Mesjid juga berada di pusat kota Tarutung.

Dalam pasukan tentara Paderi memang

terdapat beberapa orang Batak, bahkan salah seorang pasukan tentara Paderi nantinya

akan menjadi orang yang dianggap sebagai salah satu penyebar Islam yang pertama

di Tarutung.

Berdagang adalah salah satu bidang usaha yang banyak digeluti oleh orang

Minangkabau. Keterlibatan orang Minangkabau dalam kegiatan perdagangan akan

(30)

17

semakin nampak di daerah rantau.21

Dari orang Minangkabau ini sedikit banyaknya Islam mulai tampak di

Tarutung. Orang Minangkabau yang ada di Tarutung keseluruhannya adalah pemeluk

agama Islam. Mereka juga sering melakukan kegiatan agama di Tarutung. PPM pada

dasarnya adalah sebuah perkumpulan tolong menolong, yang juga sebagai tempat

silaturahmi sesama perantau Minangkabau. Salah satu cara mempererat silaturahmi

adalah dengan melakukan pengajian ataupun perwiridan rutin yang dilakukan tiap

minggu. Kegiatan keagamaan ini sangat efektif untuk memperkenalkan ataupun

untuk menunjukkan keberadaan orang Minangkabau di Tarutung.

Hal ini yang menyebabkan kebanyakan orang

Minangkabau yang ada di Tarutung lebih memilih berdagang sebagai mata

pencahariannya. Pada awalnya memang belum begitu banyak orang Minangkabau

yang datang ke Tarutung, kemudian pada tahun 1960-an mulai banyak orang

Minangkabau yang ada di Tarutung. Bahkan orang Minangkabau ini sudah

membentuk perkumpulan mereka di Tarutung yaitu Persaudaraan Perantau Minang

(PPM) yang dibentuk pada tahun 1962. Perkumpulan ini dibentuk dengan tujuan

untuk menghimpun orang Minangkabau yang ada di Tarutung.

Orang-orang Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang tidak begitu besar

perannya dalam mengembangkan Islam di Tarutung. Memang pada awalnya

kebanyakan para pedagang yang menyebarkan agama Islam di Indonesia termasuk

orang-orang Minangkabau, tetapi tidak demikian dengan yang terjadi di Tarutung.

Sebelum para perantau Minangkabau datang ke Tarutung, orang-orang Batak di

Tarutung sudah banyak yang memeluk agama Kristen yang dibawakan oleh I. L.

(31)

Nommensen pada tahun 1863. Kristen berkembang pesat di Tarutung sehingga ketika

Islam mulai menunjukkan keberadaannya, lebih banyak kaum pendatangnya daripada

orang-orang lokal. Salah satu kaum pendatang yang dominan ini adalah orang-orang

Minangkabau, walau bukan berarti bahwa orang lokal tidak ada yang beragama

Islam. Orang lokal sendiri ada yang beragama Islam, di antaranya ada yang bermarga

Panggabean, Hutagalung, Hutabarat, dan masih banyak lagi orang Batak Toba yang

beragama Islam di Tarutung. Bahkan mesjid yang pertama berdiri di daerah Tapanuli

Utara adalah mesjid Al-Jihad yang ada di Tarutung, yang dibangun oleh Oppung

Bindu Hutagalung, seorang muslim yang juga adalah bekas tentara Paderi.

2.1.2 Pendatang Etnis Jawa

Pendatang lain yang masuk ke Tarutung adalah orang-orang Jawa, di antaranya

ada yang datang dari pulau Jawa. Ada banyak etnis Jawa di Tarutung terutama datang

dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Mereka datang ke Tarutung untuk

berdagang ataupun mencari penghidupan yang lebih baik.

Pada tahun 1970-an memang sedang marak penyebaran penduduk oleh program

pemerintah pada saat itu. Transmigrasi, sebuah program pemerintah untuk mengatasi

kepadatan penduduk terutama di pulau Jawa, dan banyak orang-orang Jawa yang

mengikuti program ini. Kepada mereka disediakan tempat di daerah tujuan

transmigrasi. Mereka juga dikenal dengan sebutan orang-orang trans.

Tetapi orang-orang Jawa yang datang ke Tarutung, mereka bukanlah yang

mengikuti program transmigrasi. Mereka hanyalah mengikuti persebaran penduduk

(32)

19

sampai di daerah tujuan, mereka berusaha sendiri dan membaur dengan masyarakat

setempat.

Migrasi spontan yang dilakukan penduduk dari pulau Jawa memang lebih

banyak dibanding dengan program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah.

Jumlah imigran spontan dari Jawa ke luar Jawa selama periode 1966 – 1970

diperkirakan sebanyak 371.000 orang, sebagian besar menetap di Sumatera (80%).22

Salah satu daerah tujuan yang mereka pilih adalah Tarutung, ibu kota

kabupaten Tapanuli Utara. Orang Jawa yang pertama kali datang dan menetap di

Tarutung diketahui pada tahun 1975, yakni orang Jawa yang berasal dari Jawa

Tengah. Mereka juga bermukim di Komplek Mesjid, karena letak daerahnya yang

strategis di tengah kota. Selanjutnya pada tahun 1980-an semakin banyak orang-orang

dari Jawa yang datang ke Tarutung. Mereka mayoritas bekerja sebagai pedagang, Begitu banyaknya orang-orang dari pulau Jawa yang tersebar di Sumatera, khususnya

Sumatera Utara, mereka kemudian menambah jumlah orang Jawa yang ada di

Sumatera Utara sebab sebelumnya memang sudah banyak orang Jawa yang menetap.

Mereka ini adalah orang-orang keturunan dari orang Jawa yang dibawa untuk

menjadi buruh di perkebunan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Di Sumatera

Utara, mereka kemudian tersebar hampir ke setiap kabupaten. Orang-orang Jawa

mencari daerah-daerah di Sumatera Utara yang dianggap bisa dijadikan tempat untuk

menetap dan bekerja untuk mencari nafkah. Banyak daerah tujuan yang dijadikan

tempat untuk mereka bekerja.

(33)

seperti berdagang bakal pakaian, membuka warung jamu, jamu gendong, tukang

bakso keliling, dan lain-lain.

Dalam tahun 1980-an, semakin banyak orang-orang Jawa berada di Tarutung.

Bahkan ada juga orang Jawa yang berasal dari Sumatera sendiri. Mereka adalah

keturunan dari orang Jawa yang dibawa ke Sumatera Timur pada masa pembukaan

perkebunan di Sumatera Timur. Setelah kontraknya di perkebunan selesai, tidak

semua mereka kembali ke tanah asalnya, melainkan tinggal menetap di berbagai

tempat di Sumatera Timur. Demikian juga dengan keturunan mereka. Orang Jawa ini

disebut juga Jawa Deli, yaitu orang Jawa yang tinggal di wilayah Deli (Sumatera

Timur) ataupun orang Jawa keturunan kuli kontrak pada masa perkebunan zaman

Belanda. Memang pada saat itu bukan hanya di wilayah Kesultanan Deli saja adanya

perkebunan tetapi di beberapa tempat di Sumatera Timur, namun orang-orang Jawa

keturunan buruh perkebunan ini di Tarutung lebih terkenal dengan sebutan Jawa Deli,

ada juga yang menyebutnya Jawa Medan. Dalam tulisan ini penulis lebih memilih

menggunakan istilah Jawa Medan untuk menyebut orang-orang Jawa keturunan

buruh perkebunan zaman Belanda yang sekarang tinggal di Tarutung.

Oran Jawa yang berasal dari wilayah Sumatera Timur datang dari tanah Deli

yang sesungguhnya adalah keturunan orang-orang yang berasal dari pulau Jawa.

Tetapi karena adanya pembukaan perkebunan di tanah Deli oleh Nienhuys, maka

orang-orang ini dibawa ke Sumatera Timur untuk dijadikan sebagai kuli perkebunan.

Banyak orang Jawa yang merupakan keturunan dari kuli perkebunan zaman

(34)

21

di berbagai wilayah seperti di Medan, Pematan Siantar, Kisaran, Rantau Prapat, dan

wilayah-wilayah lain, termasuk di Tarutung.

Antara orang Jawa yang berasal dari pulau Jawa langsung dengan orang Jawa

Medan tidak ada perbedaan ataupun perbenturan budaya. Walaupun orang Jawa

Medan sudah lama tinggal di Sumatera, tetapi mereka tidak melupakan kebudayaan

dan adat istiadat Jawa. Oleh karena itu ketika orang Jawa Medan ini bertemu dengan

orang Jawa yang datang langsung dari pulau Jawa langsung, mereka tetap satu yaitu

orang Jawa, orang-orang yang memiliki adat istiadat Jawa.

Dengan adanya pertemuan orang Jawa yang dari pulau Jawa dan orang Jawa

yang berasal dari wilayah Sumatera Timur, maka semakin banyaklah orang Jawa di

Tarutung. Pada tahun 1986 dibentuklah sebuah perkumpulan orang Jawa di Tarutung.

Perkumpulan ini pada awalnya adalah untuk menghimpun orang-orang Jawa yang

ada di Tarutung. Di perkumpulan ini orang Jawa yang ada di Tarutung dapat

berinteraksi dengan sesama orang Jawa lainnya. Perkumpulan ini dinamakan

Perkumpulan Tunggal Wargo.

Lambat laun perkumpulan ini berubah menjadi sebuah perwiritan untuk orang

Jawa. Hal ini dikarenakan sudah semua orang yang ada di perkumpulan ini adalah

orang Jawa yang beragama Islam. Ada juga orang Batak yang ikut dalam

perkumpulan ini, karena dia memiliki isteri orang Jawa. Jadi perkumpulan ini adalah

untuk mengumpulkan semua orang Jawa yang ada di Tarutung. Sekalipun ia adalah

isteri orang Batak, maka si suami orang Batak tersebut akan ikut perkumpulan ini.

Pada saat perkumpulan ini menjadi sebuah perkumpulan pengajian ataupun

(35)

diartikan sebagai berpindah. Hal ini seperti apa yang terjadi pada masa Rasulullah, di

mana pada saat mereka hijrah ke Madinah mereka disebut sebagai kaum Muhajirin.

Jadi Al-Muhajirin Tunggal Wargo adalah kaum pendatang yang berpindah atau hijrah

yang terdiri dari orang-orang atau warga Jawa yang dihimpun menjadi tunggal wargo

atau satu warga, satu perkumpulan di Tarutung.

Perkumpulan Tunggal Wargo juga pernah membuat sebuah koperasi simpan

pinjam bagi anggotanya. Hal ini dimaksudkan untuk membantu perekonomian setiap

anggotanya. Salah satu kegitannya adalah dalam bentuk peminjaman modal usaha,

sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan dari orang-orang Jawa ini adalah

berprofesi sebagai pedagang, yang membutuhkan modal usaha. Di samping itu

koperasi juga sebagai bentuk pengelolaan keuangan oleh Tunggal Wargo, yang

berazaskan dari anggota untuk anggota. Sedemikian terorganisirnya perkumpulan ini,

bukan hanya sekedar tempat berkumpul dan bersilaturahmi saja, tetapi lebih dari itu.

Di Tarutung orang-orang Jawa ini juga tetap menjalankan adat istiadat ataupun

kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari tanah asalnya. Contohnya adalah setiap malam

1 Suro, mereka akan melakukan pengajian ataupun syukuran. Bahkan pada tahun

1990-an pernah diadakan pertunjukan Jaran Kepang di Tarutung, salah satu bentuk

untuk menunjukkan tentang keberadaan orang Jawa di Tarutung.

Tidak semua orang Jawa yang ada di Tarutung adalah bertujuan datang untuk

berdagang. Tetapi ada juga yang memang ditugaskan di Tarutung. Mereka adalah

orang-orang yang bekerja di pemerintahan ataupun orang-orang militer yang memang

ditugaskan di Tarutung. Namun demikian mereka tetap disebut sebagai orang

(36)

23

2.1.3 Orang Batak dari Wilayah Tapanuli bagian Selatan

Orang-orang yang datang ke Tarutung bukan hanya orang-orang Minangkabau

dan orang-orang Jawa saja, tetapi juga sub etnis Batak lain yang datang ke Tarutung.

Sub etnis orang Batak lain yang dimaksudkan adalah orang-orang Batak Mandailing.

Kebanyakan orang-orang Batak yang berasal dari Tapanuli bagian selatan ini

datang ke Tarutung dikarenakan pindah tugas, tetapi ada juga di antaranya yang

memang sengaja untuk mengadu nasib di Tarutung. Sama seperti perlakuan terhadap

orang-orang Minangkabau, kedatangan mereka juga diterima baik oleh orang-orang

Batak yang ada di Tarutung, dikarenakan mereka masih satu etnis yaitu Batak. Selain

itu juga ada satu nilai budaya dasar yang dipegang teguh oleh orang Batak yaitu

Dalihan Na Tolu. Setiap sub etnis Batak memegang teguh Dalihan Na Tolu. Dalam

Dalihan Na Tolu tidak ada memandang perbedaan agama, semua satu yaitu etnis

Batak.

Berdasarkan sejarahnya, orang Batak tersebar ke berbagai wilayah yang pada

asalnya berasal dari Samosir. Perpindahan dari negeri Toba tua ke sekitarnya pada

umumnya dikarenakan adanya perselisihan di antara keluarga/marga yang

bersangkutan, misalnya karena masalah pembagian harta warisan.23

23 Batara Sangti, Sejarah Batak, Medan: Karl Sianipar Company, 1977, hal. 41.

Sehingga ada

beberapa dari keluarga tersebut yang kemudian pergi keluar tanah asalnya yang

kemudian mendirikan kampung-kampung baru atau huta di daerah lain. Persebaran

inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya orang-orang Batak yang tinggal di

luar Samosir, tempat orang Batak berasal. Persebaran ini sering juga disebut sebagai

(37)

Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa orang Batak yang di Tarutung pada

awalnya memiliki garis keturunan sejarah yang sama dengan orang-orang Batak yang

berasal dari Tapanuli bagian selatan. Ditambah lagi dengan konsep Dalihan Na Tolu

yang dipegang teguh oleh kedua belah pihak. Hal itu yang menyebabkan orang-orang

muslim dari Tapanuli bagian selatan diterima dengan baik di Tarutung. Memang

Dalihan Na Tolu bagi orang Batak berbeda-beda dalam penyebutannya. Tetapi pada

dasarnya, intinya adalah mengenai sistem kekerabatan yang diatur sedemikian rupa.

Sistem kekerabatan yang sangat erat, yang kemudian mempengaruhi hubungan antara

satu orang dengan orang yang lain dalam kehidupan kesehariannya. Sikap saling

menghormati, antara yang tua dan yang muda, antara keluarga yang satu dengan

keluarga yang lain yang kemudian terhubung karena adanya perkawinan. Hal inilah

yang terjadi pada orang Batak yang di Tarutung dengan orang Batak yang datang dari

Tapanuli Selatan.

Orang-orang yang datang dari Tapanuli bagian selatan sudah memeluk Islam

sejak adanya penyebaran Islam oleh tentara Paderi. Ketika mereka di Tarutung

mereka juga tetap menjalankan ajaran Islam bersama kaum pendatang lainnya dan

juga masyarakat lokal yang menganut agama Islam.

Pada tahun 1970-an sudah banyak orang-orang Islam dari wilayah Tapanuli

bagian selatan yang datang ke Tarutung. Setelah mereka semakin banyak jumlahnya,

maka dibentuklah sebuah perkumpulan untuk orang-orang yang berasal dari Tapanuli

bagian selatan. Perkumpulan ini dibuat dalam bentuk perwiridan atau pengajian, yang

juga sekaligus sebagai sarekat tolong menolong sesama orang-orang Tapanuli bagian

(38)

25

Angkola. Selain karena pindah tugas ataupun ditugaskan ke Tarutung, orang-orang

ini juga datang ke Tarutung untuk berdagang. Di Tarutung sendiri orang-orang

Tapanuli bagian selatan ini banyak berkecimpung dalam bidang perdagangan emas.

Banyak toko-toko emas yang ada di Tarutung adalah milik orang Tapanuli bagian

selatan. Kemudian ada juga beberapa orang Batak Toba yang juga ikut membuka

toko emas seperti yang dilakukan oleh orang-orang Batak dari Tapanuli bagian

selatan.

Perkumpulan orang-orang yang berasal dari Tapanuli Selatan dan sekitarnya ini

tergabung dalam pengajian Tapanuli Selatan. Kegiatan yang dilakukan sama seperti

perkumpulan lain yaitu mengadakan pengajian rutin setiap minggunya.

2.2 Faktor-faktor Pendorong Masuknya Pendatang ke Tarutung

Ada berbagai macam faktor yang menjadi penyebab mengapa banyak para

pendatang yang masuk ke Tarutung. Faktor pendorong yang berasal dari daerah asal

para pendatang dan juga faktor penarik yang ada di daerah tujuan adalah hal yang

sangat erat kaitannya. Pada tahun 1960-an dianggap sebagai saat-saat di mana

banyaknya kaum pendatang yang masuk ke Tarutung. Mereka datang dengan

berbagai alasan. Ada yang datang memang karena keinginan untuk mencari daerah

baru di luar daerah asalnya untuk dijadikan sebagai tanah perantauan, dan ada juga

yang datang memang karena penugasan atau karena urusan pekerjaan yang

mengharuskan dirinya tinggal di Tarutung, seperti yang terjadi pada para pendidik

atau guru yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil). Begitu juga yang terjadi pada

(39)

2.2.1 Faktor Penarik Kota Tarutung

Tarutung adalah sebuah kota kabupaten yang berada di sebuah lembah.

Masyarakat Tarutung sendiri biasa menyebut kota Tarutung sebagai Rura Silindung

(Lembah Silindung). Hal ini karena Kota Tarutung dikelilingi oleh jajaran perbukitan

yang di antaranya adalah bukit Siatasbarita, tempat berdirinya monumen Salib Kasih

sekarang, yaitu tempat di mana dahulunya Nommensen berdoa pada saat pertama kali

melihat wilayah Tarutung.

Orang Batak Toba adalah etnis lokal yang mendiami kota Tarutung, yang

belakangan menerima pengaruh Barat melalui misi penyebaran agama Kristen

Protestan yang masuk ke daerah ini.

Mayoritas mata pencaharian kaum pendatang di Tarutung adalah berdagang.

Hal ini juga bisa dikelompokkan berdasarkan etnisnya. Contohnya etnis Jawa yang

banyak berdagang makanan seperti bakso dan berdagang jamu. Sedangkan etnis

Minangkabau banyak yang berdagang sate dan juga sebagai tukang tilam atau kasur,

baik yang membuka toko maupun berkeliling dengan menggunakan sepeda. Bagi

pendatang yang berasal dari Tapanuli bagian selatan mereka banyak yang membuka

toko mas. Hal ini dikarenakan di daerah asal mereka merupakan tempat pendulangan

emas di mana mereka sudah punya kebiasaan mengolah bahan emas.

Para pedagang makanan yang ada di Tarutung mayoritas adalah kaum

pendatang, ada yang menjajakan makanan dengan berkeliling baik dengan gerobak

ataupun kendaraan seperti sepeda dan sepeda motor, ada juga yang membuka rumah

makan. Terdapat beberapa rumah makan muslim yang dikelola oleh kaum pendatang

(40)

orang-27

orang Batak di Tarutung memang merasa suka terhadap cita rasa khas masakan

Minangkabau maupun Jawa, sebab sangat berbeda dengan cita rasa makanan Batak.

Hal ini yang membuat pedagang makanan yang berasal dari kaum pendatang menjadi

sangat digemari. Bahkan ada beberapa orang dari kaum pendatang yang sudah

berhasil dengan kata lain memiliki penghidupa n yang lebih baik dari usaha berdagang

makanan. Ada juga dari pendatang yang sudah mampu membeli sebidang tanah dan

rumah di daerah Tarutung.

Mengenai makanan yang dijual, memang sudah sejak lama orang Minangkabau

yang membuka rumah makan. Bahan makanan yang dijual juga merupakan makanan

yang halal, seperti masakan daging kerbau yang juga halal sebab disembelih oleh

orang Islam. Di Tarutung memang ada terdapat rumah potong hewan sehingga orang

Islam yang ingin membeli daging kerbau tidak perlu khawatir sebab yang

menyembelih hewan adalah orang Islam, sehingga dagingnya halal untuk

dikonsumsi.

Kaum pendatang yang mendapat cerita dari orang-orang yang sudah merantau

ke Tarutung, kemudian mereka datang ke Tarutung. Setibanya di Tarutung, mereka

memulai usaha kecil-kecilan hingga kemudian berkembang menjadi penghasilan

yang cukup lumayan. Mereka pulang kampung ke daerah asalnya, biasanya ketika

lebaran tiba. Banyak dari kaum pendatang ini yang mudik ke kampung halaman

terlebih mereka dari etnis Jawa, di mana mereka membawa saudara ataupun

teman-temannya dari kampung saat kembali ke Tarutung. Dengan demikian semakin

(41)

teman-teman ataupun kerabat yang merantau ke Tarutung dan memiliki kehidupan yang

lebih baik sesudah mengadu nasib di Tarutung.

Tarutung bisa dikatakan sebagai daerah yang dapat untuk dijadikan tempat

mengadu nasib atau memperoleh penghidupan yang lebih layak. Walaupun Tarutung

bukanlah sebuah kota besar, sebagaimana anggapan selama ini bahwa kota besar

tempat untuk mengadu nasib, tetapi di Tarutung orang punya kesempatan mencari

nafkah dengan segala keahlian yang ada.

2.2.2 Faktor Pendorong Kedatangan Perantau

Selain faktor penarik daerah tujuan, dalam hal ini kota Tarutung, terdapat juga

beberapa faktor pendorong yang berasal dari daerah asal para perantau bahkan faktor

pendorong dari dalam diri mereka sendiri.

Kebanyakan kedatangan dari para pendatang ini dikarenakan faktor ekonomi

ataupun tidak adanya kepuasan dalam kehidupan di daerah asal. Atau justru karena

memang di daerah asal tidak ada pekerjaan yang bisa memperbaiki perekonomian

keluarga. Oleh sebab itu mereka memilih merantau atau melakukan migrasi ke tempat

lain.

Faktor adat juga menjadi faktor pendorong mengapa mereka merantau ke

daerah lain, seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau. Masyarakat

Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan

dipegang oleh pihak perempuan. Bahkan dalam hal pembagian harta warisan pihak

perempuan lebih punya peran dan pengaruh. Pihak laki-laki hanya sebagai wali dan

(42)

29

urusan mencari nafkah tidak bisa mengandalkan harta warisan semata. Mereka harus

bekerja, sementara di wilayah Minangkabau sangat terbatas lahan pertanian, sehingga

mayoritas mata pencaharian masyarakat Minangkabau adalah berdagang.

Semakin bertambahnya penduduk orang-orang Minangkabau, maka semakin

sedikit peluang untuk bekerja di daerah Minangkabau. Lahan yang terbatas yang

disebabkan karena faktor geografis alam Minangkabau yang terdiri dari perbukitan

berbatu sehingga tidak cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Akibatnya masyarakat

Minangkabau harus mencari pekerjaan di luar daerah Minangkabau khususnya bagi

kaum laki-laki, sehingga merantau menjadi pilihan untuk memperbaiki perekonomian

keluarga.

Bahkan setelah Belanda menaklukkan Paderi, menyusul keberhasilan sistem

Tanam Paksa di Sumatera Barat antara tahun 1850 dan 1870 adalah berkaitan erat

dengan daya ekonomi ketika itu. Yaitu alam dagang telah lama mendarah daging

dalam kehidupan Minangkabau, di mana jual-beli barter barang merupakan hal yang

amat penting.24

Dalam menentukan daerah yang akan dijadikan tanah perantauan, mereka

banyak mendengar cerita dari orang-orang yang sudah merantau. Demikian yang

terjadi ketika banyak orang Minangkabau yang datang ke Tarutung. Mereka banyak

mendengar cerita mengenai keadaan kota Tarutung dari orang-orang Minangkabau

yang sudah datang ke Tarutung.

Setelah di Tarutung, mereka membuka usaha dengan kemampuan yang

dimilikinya. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, orang-orang Minangkabau

(43)

di Tarutung misalnya banyak yang bekerja sebagai pedagang, baik pedagang

makanan ataupun pedagang barang-barang lain. Ada banyak orang Minangkabau

yang berhasil di Tarutung, mereka dapat meningkatkan taraf hidupnya, sehingga

mereka juga memutuskan untuk tinggal menetap di Tarutung.

Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabu,

demikian juga pada orang-orang Jawa yang datang ke Tarutung. Mereka merantau

karena ingin meningkatkan taraf hidup,yaitu untuk meningkatkan perekonomian

keluarga agar menjadi lebih baik. Jadi merantau karena kecilnya kesempatan bekerja

di daerah asal.

Pulau Jawa merupakan pulau yang terpadat penduduknya, di mana banyak

orang-orang Jawa yang pernah mengikuti program transmigrasi. Di antara mereka

sudah ada yang mengetahui tentang kota Tarutung, dan kemudian ada yang pulang ke

Jawa. Bagi mereka yang tidak mengikuti program transmigrasi, mereka datang ke

berbagai tempat di Sumatera Utara, juga memilih daerah tujuan Tarutung, karena

mendengar cerita dari orang-orang yang pernah merantau. Demikian juga halnya

mengapa banyak orang Jawa yang datang ke Tarutung. Mereka banyak mendengar

cerita dari orang-orang yang sudah pernah ke Tarutung.

Pada awalnya orang-orang Jawa yang pertama datang ke Tarutung adalah

mereka yang pada awalnya datang ke wilayah Medan dan sekitarnya. Selanjutnya

mereka mencoba memilih tempat lain di Sumatera Utara, salah satunya adalah

Tarutung. Setelah mereka cukup berhasil di Tarutung, mereka pun pulang ke Jawa

dan kembali dengan membawa kerabat ataupun teman mereka. Demikian seterusnya

(44)

31

Sementara bagi orang-orang dari Tapanuli Selatan, hampir sama halnya dengan

orang Jawa dan Minangkabau. Mereka berusaha mencari daerah untuk mencari

penghidupa n yang lebih baik. Orang-orang dari Tapanuli Selatan datang ke Tarutung

karena Tarutung juga tidak begitu jauh jaraknya dengan daerah asal mereka.

Ditambah lagi mereka juga masih tergolong dalam satu etnis dengan masyarakat lokal

yaitu etnis Batak.

Mayoritas alasan masuknya para pendatang ke Tarutung adalah karena faktor

ekonomi, yaitu ingin memperoleh pendapatan yang lebih baik dari segi ekonomi.

Selain itu faktor sosial atau prestise juga termasuk sebagai faktor pendorong, yaitu

menginginkan perubahan tingkat sosial dalam masyarakat setelah melakukan

perantauan di daerah lain. Yaitu untuk menambah pengalaman dan kepuasan dalam

diri sendiri karena dapat hidup di luar daerah asal, dapat hidup di daerah orang lain

(45)

Banyak pendapat mengemukakan tentang bagaimana masuknya Islam ke

Nusantara, akan tetapi kemudian berkembang ke berbagai wilayah di Nusantara

termasuk Sumatera. Di Sumatera salah satu tempat perkembangan Islam adalah

wilayah Minangkabau. Adapun seorang Muballig pertama yang mengembangkan

Islam di Minangkabau adalah Syekh Burhanuddin. Beliaulah yang menyiarkan Islam

secara dakwah di Minangkabau.

Belakangan muncullah tiga orang haji yang baru pulang dari Mekkah yaitu Haji

Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Sepulangnya dari Mekkah mereka

membawa faham Wahabi yang didapat dari tanah suci Mekkah. Lambat laun faham

inipun berkembang di Minangkabau. Hingga suatu saat lahirlah sebuah gerakan baru

yang dipimpin oleh Tuanku Nan Rentjeh, gerakan Paderi, yaitu gerakan yang

bertujuan memurnikan ajaran Islam sekaligus menyebarkan Islam.

Di Minangkabau memang terjadi pertentangan antara kaum muda dan kaum

tua, yaitu antara Tuanku Nan Rentjeh dengan gurunya Tuanku Kota Tua. Tuanku

Nan Rentjeh menginginkan bahwa untuk menyebarkan dan meluruskan ajaran Islam

adalah melalui jalan kekerasan dengan tindakan yang tegas. Sementara Tuanku Kota

Tua sebagaimana layaknya seorang guru, lebih memilih jalan damai, tidak perlu

dengan kekerasan tetapi dengan kelembutan dan kebijaksanaan. Sangat berbeda

dengan kaum muda yang dipimpin oleh Tuanku Nan Rentjeh.31

31 Muhammad Radjab, Perang Paderi, Jakarta: Balai Pustaka, 1964, hal. 16 – 17.

(46)

33

walaupun ada silang pendapat antara kaum tua dan kaum muda, gerakan Paderi tetap

saja terbentuk dan melancarkan misinya.

Gerakan Paderi yang dibentuk Tuanku Nan Rentjeh inipun lambat laun

semakin besar, bahkan melakukan pergerakan ke wilayah Tanah Batak. Untuk

wilayah Tanah Batak sendiri, Islam dibawakan tentara Paderi pertama kali masuk ke

wilayah Tapanuli Selatan. Setelah itu baru mulai masuk ke wilayah Tapanuli Utara.

Sebelumnya sudah disinggung mengenai persentuhan Islam di wilayah

Tapanuli Utara yakni di Silindung yang dipimpin oleh Djagorga Harahap. Di antara

tentara Paderi ini ternyata juga ada terdapat orang Batak yang bermarga Hutagalung,

yang kemudian menetap di Silindung dan tidak ikut pulang kembali ke Tanah

Minangkabau bersama tentara Paderi yang gagal menyebarkan Islam di Tanah Batak

pada saat itu (1818 – 1820). Ada beberapa faktor yang menyebabkan tentara Paderi

mundur dari Tanah Batak, salah satu sebabnya adalah adanya wabah penyakit yang

tersebar ketika itu. Pada saat itu agama Islam belum sempat berkembang dan tersebar

di Tanah Batak oleh tentara Paderi. Namun demikian ada juga orang-orang Paderi

yang tinggal menetap di Silindung dan tetap menjalankan Islam. Dari orang-orang

yang menetap di Tarutung inilah kemudian Islam berkembang, walaupun tidak begitu

pesat perkembangannya. Tetapi pada saat itu sudah muncul benih-benih Islam di

Tarutung dan dalam perjalanannya kemudian muncul tokoh-tokoh ulama di sana yang

(47)

3.1 Masyarakat Islam di Tarutung

Masyarakat Islam atau umat Islam adalah himpunan orang yang menyatakan

dirinya sebagai pemeluk agama Islam, menjalankan ritus-ritus keagamaan atau

upacara-upacara ibadat seperti sholat, haji, dan berzakat.32

Pengaruh Islam yang ada di Tarutung dapat dikatakan berasal dari Sumatera

Barat yang awalnya dibawa oleh tentara Paderi, hingga kemudian ada beberapa orang

Batak yang di Tarutung yang memeluk Islam dan secara lambat laun mengajarkan

Islam kepada orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Pada saat itu Islam terbilang

tidak begitu pesat perkembangannya, dikarenakan memang minat untuk lebih

memperluas ajaran Islam memang belum begitu besar. Di samping karena sedikitnya

orang-orang Islam yang ada di Tarutung, ditambah lagi pada saat itu orang Batak

masih memiliki kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang dipegang erat oleh

orang Batak. Namun demikian tetap saja Islam sudah ada di Tarutung sejak awal

abad ke-19. Hal ini bisa dibuktikan dari adanya sebuah perkampungan Islam yaitu

kampung Melayu yang disebut sebagai kampung bekas tentara Paderi yang tidak ikut

kembali ke tanah Minangkabau. Di kampung Melayu inilah para tentara Paderi yang

tertinggal menetap di Tarutung.

Masyarakat yang dalam

kesehariannya berpegang pada ajaran yang terkandung dalam Al-Quran, masyarakat

yang terikat dalam satu keyakinan yang dibawakan oleh Nabi Muhammad S.A.W.

Masyarakat inilah yang terbentuk di Tarutung, yang terdiri dari berbagai etnik yang

berbeda dan berasal dari wilayah yang berbeda, tetapi terhimpun dalam satu kawasan

dan membentuk suatu masyarakat Islam.

(48)

35

Kampung Melayu bukan berarti orang-orang yang ada di kampung ini adalah

orang-orang dari etnis Melayu, melainkan adalah perkampungan yang terdiri dari

orang-orang Batak yang beragama Islam. Disebut kampung Melayu karena pada saat

itu setiap orang yang Islam disebut Melayu, yaitu sebutan yang diberikan kepada

orang-orang Minangkabau karena semua orang Melayu adalah mereka yang

menganut agama Islam. Kampung Melayu ini menurut ceritanya adalah kampung

yang didirikan oleh seorang muslim yang bermarga Hutagalung. Masyarakat

setempat menyebutnya Oppung Bindu Hutagalung. Ada beberapa orang yang

dianggap sebagai ulama yang pertama kali menyuarakan syiar Islam di Tarutung, di

antaranya adalah Oppung Bindu, dan ada juga seorang ulama bermarga Panggabean,

yaitu Syekh Haji Syafii Panggabean. Namun yang lebih tampak kegiatan penyebaran

Islamnya adalah Oppung Bindu, karena beliau juga mendirikan sebuah mesjid di

daerah tempat tinggalnya di kampung Melayu.

Menurut keterangan keturunan beliau, Oppung Bindu juga pernah ikut

tergabung dalam tentara Paderi yaitu pada saat berada di Bonjol. Oppung Bindu juga

yang mendirikan mesjid pertama kali di Lembah Silindung, mesjid tersebut sampai

sekarang masih berdiri dan sudah mengalami renovasi. Mesjid Al-Jihad, mesjid yang

berada di kampung Melayu, mesjid yang didirikan oleh Oppung Bindu.

Mesjid Al-Jihad didirikan pada tahun 1514.33

33 Dalam sebuah surat kabar Metro Tapanuli yang terbit pada 27 Juli 2009, senyebutkan Mesjid Al-Jihad sudah ada sejak abad ke-16, yaitu tahun 1514. Mesjid ini dianggap sebagai mesjid yang pertama berdiri di Tapanuli Utara.

Sebuah angka tahun yang jauh

sebelum masuknya tentara Paderi ke Silindung. Orang-orang Batak memang ada

(49)

Tarutung atau Silindung. Seorang yang bermarga Hutagalung diketahui telah

memeluk Islam sejak tahun 1513 yaitu mazhab Syi’ah. Dia adalah seorang pedagang

garam yang membawa garam dari pelabuhan Sibolga yang kemudian dijual di Tanah

Batak.34

Hal tersebut membuktikan bahwa Islam sudah ada jauh sebelum agama Kristen

masuk ke Tarutung, namun pada saat itu memang belum begitu banyak orang Batak

yang beragama Islam. Oppung Bindu sendiri adalah orang Batak yang merantau ke

luar tanah Batak untuk berdagang. Beliau juga sempat ke Sibolga, hingga kemudian

ke wilayah Minangkabau, yaitu daerah Bonjol. Setelah dari Bonjol kemudian

Oppung Bindu kembali ke Tarutung dan mendirikan mesjid.

Dari kampung Melayu inilah Oppung Bindu mulai mengajarkan Islam kepada

penduduk di sekitar kampung. Kampung Melayu ini sekarang berada di luar kota

Tarutung terletak tidak jauh dari sungai Situmandi yang ada di Tarutung. Memang

tidak banyak yang menjadi pengikut Oppung Bindu, namun tetap saja Oppung Bindu

telah berhasil mendirikan perkampungan orang-orang Islam dan juga mendirikan

sebuah mesjid di kampung Melayu. Orang-orang Islam yang ada di kampung Melayu

diberi hak untuk mengelola tanah milik Oppung Bindu, di mana tanah itu hanya

untuk mereka yang memeluk Islam. Hal ini dimaksudkan agar mereka tetap setia

memeluk Islam dan juga memiliki perkerjaan untuk menghidupi keluarga mereka

dengan cara menggarap lahan.35

34 Mangaraja Onggang Parlindungan, Op.cit, hal. 75.

Orang-orang Batak yang Islam pada masa Oppung

Bindu inilah yang kemudian melanjutkan kiprah Islam di Tarutung hingga kemudian

(50)

37

masuknya para pendatang Islam yang berasal dari luar Tarutung. Mengenai sejarah

Oppung Bindu memang ada beberapa yang tidak begitu jelas, yaitu sejak kapan

Oppung Bindu masuk Islam. Sebab ketika Oppung Bindu tergabung dalam tentara

Paderi, beliau sudah memeluk agama Islam. Tetapi walaupun demikian, Oppung

Bindu sudah menjadi orang yang menegakkan Islam di Tarutung.

Ada beberapa hal yang sangat disayangkan, karena ada beberapa orang yang

beralih keyakinan dari Islam, yaitu mereka yang tadinya Islam kemudian memeluk

agama lain yang dibawakan oleh Nommensen yaitu Kristen.36

Dari masa Oppung Bindu, Islam di Tarutung memang belum begitu kelihatan

keberadaannya, hanya berupa sekumpulan orang-orang Islam yang rutin melakukan

ibadah wajib yaitu sholat dan ceramah agama. Hal ini disebabkan memang jumlah

orang Islam yang sedikit jumlahnya, tetapi dari sini sudah tampak Islam di Tarutung,

yang kemudian ditambah lagi dengan adanya kaum pendatang.

Walaupun

disayangkan, tetapi hal ini tidak berubah menjadi konflik, karena setiap orang berhak

memilih keyakinannya. Hal ini juga menunjukkan keragaman yang ada di Tarutung

dan rasa toleransi yang besar.

Secara lambat laun Islam mulai terbentuk di Tarutung, antara orang-orang

Batak yang sudah Islam dan juga kaum pendatang dari berbagai etnis yang ada di

Tarutung. Pada tahun 1962 sebuah perkumpulan Islam di Tarutung dibentuk, yaitu

PKM (Persatuan Kaum Muslim), sebuah perkumpulan yang dimaksudkan untuk

menghimpun seluruh umat Islam yang ada di Tarutung dan sekitarnya. Adapun PKM

merupakan sebuah perkumpulan Islam yang terorganisir dengan baik, memiliki

Referensi

Dokumen terkait

Selain dikenal dengan sebutan ”kota Santri”, Jombang secara akronim juga dapat disebut menjadi representasi atas budaya agamis atau santri ( Ijo ) serta kaum kejawen atau abangan

kesimpulan berdasarkan hasil penyelesaian akhir yang diperoleh dan disesuaikan dengan permasalahan dalam M3 dengan tepat (B04S1). Peneliti juga melakukan sebuah cara

Dari sudut lain, seorang guru yang juga menjadi pelanggan pedagang sayur tersebut menyerang pertanyaan Mernissi dengan sebuah hadis yang dihafalnya: “Suatu kaum

sebagai sebuah partai namun juga memprakarsai berdirinya Askar Perang Sabil, hal ini berawal dari kondisi bangsa yang kian mengkhawatirkan maka timbul keprihatinan dari kaum

7 Tahun 1989 dalam Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang kewarisan yang juga berkaitan dengan masalah pilihan

Hal ini secara implisit begitu relevan, yang pada kondratnya pendidikan Islam hanya lebih mengutamakan akhlak mulia dan mengamalkan ajaran beragama, namun juga mengutamakan sebuah