• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI MARTONUN ULOS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KELURAHAN PARTALI TORUAN KECAMATAN TARUTUNG KABUPATEN TAPANULI UTARA: KAJIAN KEARIFAN LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TRADISI MARTONUN ULOS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KELURAHAN PARTALI TORUAN KECAMATAN TARUTUNG KABUPATEN TAPANULI UTARA: KAJIAN KEARIFAN LOKAL"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI MARTONUN ULOS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KELURAHAN PARTALI TORUAN KECAMATAN TARUTUNG KABUPATEN TAPANULI UTARA: KAJIAN KEARIFAN LOKAL

SKRIPSI SARJANA

DISUSUN OLEH

NAMA : TORUS P SIMATUPANG

NIM : 140703006

PROGRAM STUDI SASTRA BATAK FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

▸ Baca selengkapnya: hata pasahat ulos sian tulang

(2)
(3)

ABSTRAK

Torus P. Simatupang, 2018. Judul skripsi: Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara: Kajian Kearifan Lokal.

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara: Kajian Kearifan Lokal. Masalah dalam penelitian ini adalah tahapan martonun ulos, jenis-jenis ulos yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba, dan kearifan lokal martonun ulos. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan martonun ulos, jenis-jenis ulos yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba, serta kearifan lokal yang terdapat dalam martonun ulos.

Metode yang dipergunakan dalam menganlisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif dan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori kearifan lokal. Adapun tahapan martonun ulos yaitu:

mangganti, mangiran dan manonun. Dan nilai kearifan lokal dalam tradisi martonun ulos ini meliputi kearifan lokal bergotong royong, nilai pelestarian dan kreativitas budaya, rasa syukur, pengelolan gender, pikiran positif, kejujuran, kerja keras, pendidikan, kesopansantunan, keuletan dan, disiplin.

Kata kunci: Tahapan martonun ulos, kearifan lokal

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan kasih dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara: Kajian Kearifan Lokal

Untuk memudahkan pemahaman skripsi ini, penulis membaginya lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab kedua merupakan tinjauan pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan. Bab ketiga merupakan metode penelitian mencakup metode dasar, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab keempat merupakan pembahasan tentang permasalahan yang ada pada rumusan masalah. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat menginginkan kritik dan saran dari bapak pembimbing yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2018

(5)

HATA PATUJOLO

Parjolo sahali mandok mauliate ma panurat tu Amanta Debata pardenggan basai Alana dilehon dope hahipason dohot hagogoon tu panurat laho pasaehon skripsi on na gabe sada syarat laho mandapapothon ima gelar sarjana sastra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Molo judul ni skripsi on ima Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara: Kajian Kearifan Lokal.

Asa hatop pangantusion tu skripsi on, panurat mambagi tu lima bindu.

Bindu na parjolo ima patoranghon latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dohot manfaat penelitian. Di bindu na paduahon ima patoranghon tinjauan pustaha, na mambahas kepustakaan na relevan dohot teori na dipangke. Udut ni muse bindu na patoluhon ima metodologi penelitian na patorangkon metode dasar, sumber data penelitian, instrumen penelitian, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, dohot metode analisis data. Bindu na paopathon dison ma sude masalah dipatorang na adong di rumusan masalah.

Bindu na palimahon ima kesimpulan dohot saran.

Dipanuraton ni skripsi on godang dope hahurangan ni panurat. Alani i panurat mangido pandapot manang hatorangan sian angka panjaha asa lam tu denggan na ma muse skripsi on. Manang aha pe dipatorang di skripsi on gabe pangantusion ma dihita saluhutna.

Medan, Juli 2018 Panurat,

Torus P. Simatupang NIM. 140703006

(6)

htpTjolo

pr\joloshlimn\dko\mUliatempNrt\Tamn

\tpr\de^gn\bsIalndilehno\dopehhipsno\dohto\

hgogono\TpNrt\lhopsaehno\s\k\rpi\siano\n gbesdsyrt\lho\mn\dpto\hno\Imgelr\sr\jns s\trdipKlts\Il\MBdyUnipre\sits\SmterUtr moloJdL\s\k\rpi\siano\Imt\rdisimr\tonN\U lso\pdms\yrkt\btk\tobkjian\kearipn\lok l\

ashtpo\p<n\Tsiano\Ts\k\rpi\sipNrt\m m\bgiTlimbni\Dbni\Dnpr\joloptor^hno\ltr\

belk^mslh\RMsn\mslh\TJan\penelitian\dohto

\mn\pat\penelitian\dibni\Dnp\DnpDahno\Im ptor^hno\tni\jUan\Psthnmm\bhs\kepS\tka n\nrelepn\dohto\teaorindip^keUDt\niMsebni\Dnp toLhno\Immetodologipenelitian\nptor^hno\metode dsr\sM\bre\penelitian\Ins\t\Rmne\penelitianl oksipenelitianmetodep<M\Pln\dtdohto\metodeanl issi\dtbno\DnpLmhno\Imkesmi\Pln\dohto\sr n\

dipNrtno\nis\k\rpi\siano\god^dopehHr<n\

nipNrt\alniIpNrtm<idopn\dpto\mn^htor<n\

sian\a^kpn\jhaslm\Tde^gn\nmMses\k\rpi\sia no\mn^ahpedipator^dis\r\rpi\siano\gbep<n\Tsi ano\mdihitasLhT\n

medn\, Jli2018 pNrt\

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, keran berkat dan karunia-Nya penulis diberikan kesehatan selama mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini hingga pada waktunya dan seperti yang diharapkan.

Pada kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah memberikan bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dala kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan segala hormat yang sebesar-besarnya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu, diantaranya :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Sastra Batak dan sekaligus penguji I yang telah banyak memberikan masukan-masukan yang bermamfaat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Sastra Batak.

4. Bapak Ramlan Damanik, M.Hum selaku dosen penguji II yang juga banyak memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Drs.Sumurung Simorangkir, SH, M.Pd, selaku Dosen Pembimbing yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

(8)

6. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua dosen dan staf Fakultas Ilmu Budaya, khususnya dosen-dosen Program Studi Sastra Batak yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat.

7. Yang teristimewa kepada orang tua tersayang, yaitu orang tua penulis, Bapak P. Simatupang dan Ibu R. Br.Tampubolon, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dan selalu memberikan perhatian, doa, dan nasehat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini, agar dalam prosesnya penulis lebih baik lagi dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada , seluruh keluarga yang selalu memberi semangat dan hiburan kepada penulis, dan selalu mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih kepada Selly Ginting, Rianta Simanjuntak, Davit Hutasoit , dan teman-teman seperjuangan lainnya stambuk 2014 yang turut memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

11. Kepada abang/kakak senior dan juga junior, penulis mengucapkan terima kasih untuk dukungan yang diberikan.

Akhir kata, penulis berharap semoga dukungan, bantuan, yang telah diberikan kepada penulis. Semoga Tuhan Yang Maha Esa yang membalas semuanya. Amin.

Medan, Juli 2018

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

HATA PATUJOLO... iii

htpTjolo... iv

UCAPAN TERIMA KASIH... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Kepustakaan yang relevan ... 6

2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan ... 8

2.1.2 Pengertian Martonun Ulos ... 10

2.2 Teori Yang Digunakan ... 12

BAB III METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Metode Dasar ... 16

3.2 Lokasi Penelitian ... 17

3.3 Sumber Data ... 17

3.4 Instrumen Penelitian ... 18

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 19

3.6 Metode Analisis Data ... 20

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 21

4.1 Gambaran Umum Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung... 21

4.1.1 Marga-marga di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung.. 22

(10)

4.2 Peralatan Peralatan Dalam Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak

Toba... 24

4.3 Tahapan Martonun Ulos... 35

4.4 Jenis-jenis Ulos Pada Masyarakat Batak Toba... 40

4.5 Kearifan lokal Dalam Tradisi Martonun Ulos Di Kelurahan Partali Toruan………... 49

4.5.1 Gotong royong... 50

4.5.2 Pelestarian dan Kreativitas Budaya... 52

4.5.3 Rasa Syukur... 53

4.5.4 Pengelolaan Gender... 54

4.5.5 Pikiran Positif... 55

4.5.6 Kejujuran... 56

4.5.7 Kerja Keras... 57

4.5.8 Pendidikan... 58

4.5.9 Kesopansantunan... 59

4.5.10 Keuletan... 59

4.5.11 Disiplin... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 61

5.1 Kesimpulan... 61

5.2 Saran... 64

DAFTAR PUSTAKA... 65

LAMPIRAN... 67

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yang majemuk yang terdiri atas berbagai macam suku dan etnik yang tersebar di tanah air. Tiap suku mempunyai kebudayaan dan tradisi-tradisi yang menjadi identitas atau ciri khas dari suatu suku tersebut.

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia.

Suku Batak berasal dari daerah Provinsi Sumatera Utara. Suku Batak terdiri dari : Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Mandailing Pada masyarakat Batak Toba sangat terkenal dengan benda berupa kain yang disebut dengan Ulos. Ulos adalah sejenis kain adat hasil kerajinan tradisional masyarakat Batak terutama yang mendiami daerah Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Simalungun, dan Tanah Karo.

Suku Batak, khususnya Batak Toba selain akrab dengan budaya bertani, terkenal juga dengan budaya bertenun yaitu bertenun kain Batak (ulos). Martonun ulos merupakan salah satu kerajinan tangan yang dijadikan warisan kebudayaan dan kebanggaan Indonesia khususnya suku Batak Toba. Ulos merupakan jenis kain adat tradisional yang diyakini sebagai syarat dalam melaksanakan upacara adat karena bersifat sakral dan memiliki nilai yang sangat tinggi dalam adat Batak Toba. Hal ini dapat dilihat dari usaha para penenun ulos terdahulu memanfaatkan sepenuhnya hasil alam seperti tumbuhan yang digunakan dalam pembuatan

(12)

benang dan pewarna alami. Seorang penenun ulos tentu memiliki keterampilan khusus dan pengetahuan dasar dalam membuat sebuah ulos. Para penenun harus mengetahui apa saja jenis ulos dan fungsi dari masing-masing jenis ulos tersebut.

Jenis ulos yang berbeda-beda memiliki tingkat kerumitan dan nilai yang berbeda pula, sebab sehelai kain tenun ulos memiliki berbagai jenis dan corak yang memiliki nilai-nilai budaya tertentu diantaranya ulos ragi idup, ragi hotang, sadum, bintang maratur, sibolang, mangiring, situhu tuho, bolean, tali-tali mangiring napirsunaan, dan lain-lain.

Bagi masyarakat Batak Toba ulos bukan hanya sekedar kain atau selendang hasil kerajinan kaum wanita untuk penutup badan, alat penggendong, hiasan atau berfungsi sehari-hari semacam itu saja, melainkan juga makna yang khusus dalam hidup bermasyarakat. Sampai saat ini salah satu daerah yang masih menghasilkan ulos Batak Toba salah satunya adalah daerah Tapanuli Utara.

Daerah Tapanuli Utara merupakan salah satu daerah yang penduduknya dominan suku Batak Toba, yang sangat menjunjung tinggi nilai budaya.

Kebudayaan masyarakat Batak Toba di daerah tersebut masih dipegang teguh.

Hal tersebut terlihat dari kebiasaan masyarakat dalam melaksanakan dan melestarikan tradisi-tradisi atau kebudayaan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Masyarakat tersebut masih benar-benar menjunjung tinggi budaya mereka.

Martonun ulos adalah salah satu seni tradisional Batak Toba yang masih dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di Desa Partali Toruan ,Kecamatan

(13)

ulos dikenal masyarakat Batak pada abad ke empat belas sejalan dengan masuknya alat tenun dari India. Artinya, sebelum masuknya alat tenun ke tanah Batak, masyarakat Batak belum mengenal ulos.

Pada umumnya yang melakukan martonun ulos adalah kaum perempuan, ibu-ibu atau anak gadis, tanpa ada unsur-unsur ritual dan magis. Hasil bertenun adalah kain “ulos” yang berfungsi sebagai pakaian sehari-hari yang dikenakan, dililitkan, disandang, cendramata, dan perlambang dalam suatu upacara adat atau ritual.

Proses martonun ulos dilakukan dengan menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Ulos hasil tenunan masyarakat tidak hanya sebatas hasil kerajinan seni budaya, tapi ulos juga memiliki arti yang mendalam bagi orang Batak Toba. Masyarakat Batak Toba menganggap kain tenun ulos adalah lambang ikatan kasih sayang, lambang kedudukan, dan lambang komunikasi dalam adat masyarakat Batak Toba.

Martonun ulos membutuhkan ketekunan, kesabaran, ketelitian dan keuletan, sekaligus menjadi pelatihan diri dan bagian sikap seorang wanita suku Batak tradisional, selain dari sikap ulet dan gigih. Tradisi Martonun ulos dapat dijumpai di Desa Partali Toruan, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara dan telah lama dikenal masyarakat tersebut. Kepandaian martonun ulos di Desa tersebut yang diperoleh secara turun-temurun sejak zaman dahulu dan sampai saat ini masih dipertahankan.

(14)

1.2 Rumusan Masalah

Untuk menghindari pembahasan atau pembicaraan yang menyimpang dari permasalahan, penulis membatasi masalah agar pembahasan terarah dan terperinci. rumusan masalah sangat penting dalam pembuatan skripsi ini, karena dengan adanya rumusan masalah ini maka deskripsi akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesain atau pemecahan.

Bentuk rumusan masalah berupa kalimat pertanyaan yang menarik atau dapat mengubah perhatian.

Adapun rumusan masalah yang ingin diteliti penulis sebagai berikut : 1) Bagaimanakah tahapan martonun ulos pada masyarakat Batak Toba ? 2) Apa saja jenis-jenis ulos pada masyarakat Batak Toba ?

3) Kearifan Lokal apa yang terdapat pada tradisi martonun ulos pada masyarakat Batak Toba?

1.3 Tujuan Penelitian

Suatu peenelitian yang dilakukan agar memperoleh hasil yang baik tentunya penelitian itu harus mempunyai sasaran ataupun tujuan. Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui tahapan martonun ulos pada masyarakat Batak Toba . 2) Untuk mengetahui apa saja jenis jenis ulos pada masyarakat Batak Toba . 3) Untuk mengetahui kearifan lokal yang terdapat pada tradisi martonun ulos

(15)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca khususnya terhadap penulis.

Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut :

1) Untuk peneliti sendiri untuk mengenal lebih dalam lagi mengenai martonun ulos pada siklus mata pencaharian.

2) Menunjang program pemerintah dalam upaya dan mengembangkan budaya nasional.

3) Untuk melestarikan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah sebagai salah satu aset kebudayaan negara.

4) Sebagai bahan referensi dan acuan bagi peneliti berikutnya yang memiliki topik yang menyerupai dan berkaitan dengan penelitian ini

5) Sebagai bahan inventaris masyarakat etnik Batak Toba yang mulai pudar karena perkembangan zaman.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah langkah penting dimana setelah seorang peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang berkaitan teori, teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan (Nazir 1998:112).

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku, jurnal, hasil-hasil penelitian (tesis) atau sumber-sumber lainnya (internet) dan lain-lainnya. Sebagai pendukung yang relevan dengan skripsi ini yang berjudul Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba ini. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang kearifan lokal, salah satunya pendapat Sibarani.

Selain itu digunakan sumber bacaan lainnya.

Adapun sumber bacaan lain yang digunakan dalam memahami dan mendukung penelitian penulis yaitu:

1) Sihombing, (2013), mengangkat topik tentang kearifan lokal yang berjudul

“Analisis Pola Ritmis Mambalbal Bagot pada Masyarakat Batak Toba di Desa Hutaimbaru Kecamatan Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah”, yang menjelaskan bahwa pohon enau adalah salah satu hasil pertanian yang tumbuh

(17)

enau tersebut untuk menghasilkan air nira yang kemudian diolah untuk dijadikan tuak. Dalam proses penyadapan nira ini terdapat beberapa proses untuk bisa menghasilkan air niranya. Salah satunya proses untuk menghasilkan air niranya adalah dengan cara memukul-mukul batang pohon enau tersebut yang disebut dengan mambalbal bagot.

2) Nababan, (2015), mengangkat topik “Kearifan Lokal Tradisi Bertani Padi Pada Masyarakat Batak Toba di Baktiraja”, yang menjelaskan bahwa kearifan lokal yang terdapat dalam tahapan menanam padi pada masyarakat Batak Toba di Baktiraja diantaranya yaitu kearifan lokal bergotong-royong, kearifan lokal kebersamaan musim tanam padi, dan orang-orang sawah yang masih ada. Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam tahapan bertani ialah nilai kekeluargaan, tanggung jawab, saling bekerja sama, tolong menolong dan saling menghargai.

3) Siahaan, (2015), mengangkat topik tentang kearifan lokal yang berjudul

“Tradisi Marsirimpa Batak Toba Pada Siklus Mata Pencaharian di Kecamatan Baktiraja”, menjelaskan bahwa representasi kearifan lokal marsirimpa pada ungkapan-ungkapan (peribahasa dan perumpamaan) pada siklus mata pencaharian Batak Toba di Kecamatan Baktiraja yakin dengan adanya kerja sama (sada roha) dan saling menopang (marsitungkol – tungkolan) telah menunjukan bahwa suatu langkah untuk mencapai kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran suatu masyarakat harus dengan kerja sama (sada roha) dan saling menopang (marsitungkol – tungkolan) satu sama lain.

(18)

4) Siagian, (2017), mengangkat topik “Representasi Kearifan Lokal Gotong – Royong (Marsirimpa) dalam Cerita Rakyat Batak Toba”, menjelaskan bahwa konsep yang sering muncul dalam kearifan lokal adalah saling bekerja sama, saling menyapakati dan saling mendukung. Di mana konsep ini awal terjadinya sebuah gotong-royong untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang terjadi. Gotong-royong yang terkandung dalam cerita rakyat Batak Toba berfungsi sebagai jembatan untuk mencapai sebuah kedamaian dan kemakmuran bagi para pelaku gotong-royong (marsirimpa) tersebut.

Adapun kontribusi yang penulis kutip dari skripsi ini ialah penjelasan tentang nilai kearifan lokal pada tradisi yang terdapat pada masyarakat Batak Toba . 2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan

Menurut etimologi kata tradisi adalah kata yang mengacu pada adat atau kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat. Kata tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” di mana keduanya adalah karya masyarakat yang dapat membawa pengaruh pada masyarakat tersebut karena kedua kata ini dapat dikatakan makna dari hukum tertulis dan tidak tertulis dan ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar adanya.

Kata tradisi berasal dari bahasa latin tradition (diteruskan) atau kebiasaan yang telah dilakukan dengan cukup lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi yaitu adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa

(19)

Nilai dan norma tradisi lisan dapat dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak memperkuat identitas dan karakter mereka dalam menghadapi masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Tradisi lisan merupakan kegiatan masa lalu yang berkaitan dengan keadaan masa kini dan perlu diwariskan pada masa mendatang untuk mempersiapkan masa depan generasi mendatang.

Tradisi lisan merupakan kegiatan luhur masa lalu yang berkaitan dengan keadaan masa kini dan yang perlu diwariskan pada masa mendatang untuk mempersiapkan masa depan generasi mendatang. Dengan demikian, sebagai sebuah tradisi budaya harus berusaha menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan-warisan budaya leluhur pada masa lalu Sibarani (2014:3).

Ada tiga karakteristik tradisi. Pertama, tradisi itu merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process) kegiatan yang dimiliki bersama suatu komunitas.

Pengertian ini mengimplikasikan bahwa tradisi itu memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan), materi, adat, dan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu. Kedua, tradisi itu merupakan sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan identitas.

Memilih tradisi memperkuat nilai dan keyakinan pembentukan kelompok komunitas. Ketika terjadi proses kepemilikan tradisi, pada saat itulah tradisi itu menciptakan dan mengukuhkan rasa identitas kelompok. Ketiga, tradisi itu merupakan sesuatu yang dikenal dan diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya.

Tradisi lisan dapat mengkaji berbagai bidang-bidang ilmu ilmu, salah satunya adalah dari bidang ilmu sastra. Sibarani (2014:251-252), tradisi lisan dapat dikaji

(20)

dari latar belakang ilmu sastra. Semua struktur seperti latar, alur, gaya bahasa, penokohan, dan unsur estetika lain sejak dulu menjadi fokus penting dalam kajian sastra. Pesan atau amanat sebagai kandungan tradisi lisan sari sudut ilmu sastra menjadi sangat penting diungkapkan, tetapi amanat atau pesan itu mesti dikaitkan dengan konteks tradisi. Kajian ilmu sastra tidak hanya mengkaji kesastraan dari tradisi lisan , tetapi lebih jauh harus mampu ,mengkaji keseluruhan tradisi lisan secara holistik dengan kekhasan kajian dari sudut ilmu sastra.

Wujud dari dari tradisi lisan sendiri berupa: (1) tradisi berbahasa dan beraksara lokal (2) tradisi kesusastraan lisan (3) tradisi pertunjukan dan permainan rakyat (4) tradisi upacara adat dan ritual (5) tradisi teknologi (6) tradisi pelambangan atau simbolisme (7) tradisi kesenian musik rakyat (8) tradisi pertanian tradisional (9) tradisi kerajinan tangan (10) tradisi kuliner atau masakan tradisional (11) tradisi pengobatan tradisional (12) tradisi panorama dan kondisi lokal (Sibarani, 2014:49). Dari kedua belas jenis-jenis tradisi lisan yang berkaitan dengan judul skripsi ini adalah tradisi kerajinan tangan.

2.1.2 Pengertian Martonun Ulos

Martonus ulos adalah salah satu seni atau hasil kerajinan tangan untuk membuat ulos tradisional Batak yang dilakukan oleh kaum perempuan, ibu-ibu atau anak gadis, tanpa ada unsur-unsur ritual atau magis. Hasil bertenun adalah kain “ulos”

yang berfungsi sebagai pakaian sehari-hari yang dikenakan (na niabithon), dililitkan (sitalihononton), dan disandang (sisadanghononton), cendra mata dan alat perlambang dalam suatu upacara adat atau ritual.

(21)

Proses pembuatan ulos secara tradisional dimulai dengan pembuatan kapuk (randu) atau kapas. Kapuk atau kapas dipilih, dipisahkan dari bijinya (mamipis) dan dikembangkan (mamusur). Kapuk atau kapas yang telah diolah dipintal menjadi benang (bonang) disebut mangganti.

Benang diwarnai dengan warna putih, merah, dan hitam. Benang yang diwarnai dengan warna merah disebut proses manubar dan yang hitam disebut mangitom. Warna putih diperoleh dengan rendaman tano buro, tanah kapur sedangkan warna merah dari bahan batu hula, kunyit dan kapur, warna hitam dari daun salaon, arang tumbuhan nila dan harimonting. Pewarnaan dilakukan dengan marsigira yakni dengan mencelup benang di aek harabu direbus agar tidak luntur dan benang kemudian digulung (dihulhul) dan siap ditenun.

Proses bertenun dimulai dengan merancang ukuran ulos, menyusun benang corak yang akan dibuat dengan alat yang disebut anian atau tudosan.

Bertenun dilakukan di halaman di bawah nenaungan bayangan rumah dengan merentangkan susunan benang pada alat tenun tradisional, satu disangkut ke kayu dan bagian lain di punggung petenun dengan alat tundalan. benang disusun, dijalin dan dirapatkan satu persatu dengan balobas (rol).

Martonun ulos membutuhkan ketekunan, kesabaran, ketelitian dan keuletan , sekaligus menjadi pelatihan diri dan bagian dari sikap seorang wanita suku Batak Toba, selain dari sikap ulet dan gigih. Proses menenun satu ulos sampai selesai membutuhkan waktu tiga minggu atau tergantung dengan variasi atau corak ulos.

(22)

2.2 Teori Yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini, teori yang digunakan untuk mendeskripsikan Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba adalah teori Kearifan Lokal.

Menurut Sibarani (2012:114) kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Istilah kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) berarti “kebijaksanaan” dan lokal (local) berarti “setempat”. Dengan demikian kearifan lokal atau kearifan setempat (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun- temurun di wariskan dan dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif dan bijaksana. Pengertian kearifan lokal ini sangat perlu dipahami agar dapat digali dari tradisi lisan sebagai warisan leluhur dan agar dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial pada generasi muda sekarang ini.

Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi.

(23)

Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas.

Menurut Balitbangsos Depsos RI (2005:5-15), kearifan lokal itu merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercemin dalam sikap, perilaku , dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik.

Didalam kearifan lokal tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berperilaku,dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tata sosial. Pada dasarnya, ada 5 (lima) dimensi kultural tentang kearifan lokal, yaitu pengetahuan lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, budaya, dan proses sosial lokal.

Pengetahuan lokal bertautan dengan data dan informasi tentang karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk menghadapi masalah dan kebutuhan serta solusinya. Budaya lokal bertautan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah terpolakan dan sekaligus sebagai tradisi lokal.

Keterampilan lokal bertautan dengan keahlian dan kemapuan masyarakat setempat untuk menetapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh.

Sumber lokal bertautan dengan ketersediaan akses, potensi dan sumber lokal yang unik. Proses sosial lokal bertautan dengan bagaimanakah masyarakat tertentu

(24)

menjalankan fungsi-fungsinya, sistem tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial diantara mereka, alat yang digunakan, serta kontrol sosial yang dilakukan.

Adapun jenis-jenis nilai kearifan lokal Sibarani (2012:135) yaitu kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan gotong-royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreatifitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan, penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur.

Kearifan lokal akan tetap bertahan apabila masyarakat tetap mempertahankan serta melaksanakan pandangan, aturan, nilai, norma yang ada. Perkembangan budaya ditengah jaman kadang membuat kearifan lokal semakin dilupakan oleh masyarakat, kearifan lokal yang terkandung semakin terlupakan dimana pada banyak kenyataan di masyarakat banyak yang bahkan tidak lagi mengetahuai apa itu kearifan lokal dan kegunaanya untuk kehidupan mendatang dikarenakan masyarakat lebih memilih kehidupan yang lebih berkembang tanpa mementingkan kebudayaan maupun kearifan lokal.

(25)

Jenis-jenis nilai kearifan lokal dalam bentuk bagan (di rujuk dari Sibarani,2012:248)

KEARIFAN LOKAL

KEDAMAIAN KESEJAHTERAAN

 Kesopansantunan

 Kejujuran

 Kesetiakawanan social

 Kerukunan &

Penyelesaian konflik

 Komitmen

 Pikiran positif

 Rasa syukur

 Kerja keras

 Disiplin

 Pendidikan

 Kesehatan

 Gotong royong

 Pengelolaan gender

 Pelestarian dan kreativitas Budaya

 Peduli lingkungan

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

Kata metode adalah bagian dari kata metodologi, metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metode artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; logos artinya ilmu pengetahuan. Metode penelitian adalah upaya untuk menghimpun data,dengan kata lain metode ini akan memberikan petunjuk terhadap pelaksanaan penelitian atau bagaimana suatu penelitian itu dilaksanakan.

Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai dengan menyusun laporan. Jadi, metode penelitian adalah ilmu mengenai jalan yang dilewati untuk mencapai suatu pemahaman.

Penelitian (research) merupakan usaha memahami fakta secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan cara yang ditentukan peneliti.

Dalam konteks penelitian, istilah fakta memiliki pengertian tidak sama dengan kenyataan (exact), dan sesuatu tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang seiring dengan pengalaman dan pemahaman seseorang terhadap yang dipikirkannya.

Sesuatu yang tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang yang belum tentu secara konkret dapat dilihat dan ditemukan dalam kenyataan yang sebenarnya.

3.1. Metode Dasar

Metode dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode atau pendekatan kualitatif. Maryaeni (2005:1), menjelaskan metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

(27)

kelompok yang diamati. Metode ini dilakukan agar dapat mengumpulkan dan menyajikan data secara faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerahnya.

Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini berdasarkan pada dua alasan.

Pertama permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini mengenai Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba membutuhkan sejumlah data lapangan yang sifatnya aktual dan kontekstual. Kedua, pemilihan pendekatan ini didasarkan pada keterkaitan masalah yang dikaji dengan sejumlah data. Dari kedua alasan tersebut penulis menyimpulkan bahwa dalam penelitian pendekatan kualitatif sangat cocok digunakan.

3.2 Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat mengenai objek yang akan di teliti penulis memperolehnya dari penelitian lapangan. Adapun lokasi penelitian dari penulis berada di Kelurahan Partali Toruan, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitian ini adalah karena Tradisi Martonun ulos di Kelurahan Partali Toruan, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara dan sampai saat ini tradisi martonun ulos masih dilestarikan oleh masyarakat yang berada di desa tersebut.

3.3 Sumber Data

Sumber data dikenal juga sebagai bahan analisis, yang terbagi atas dua bagian yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer disebut juga sumber data mentah yaitu data-data yang ditemukan di lapangan dan belum

(28)

pernah dianalisis sebelumnya. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang sudah pernah diteliti dan dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya dari sudut pandang orang lain.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis, menggunakan data primer dan sekunder berupa hal-hal yang mencakup keterangan tentang Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Partali Toruan, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.

3.4 Instrumen Penelitian

Sumber data penelitian ini adalah data lapangan yang melalui wawancara dengan beberapa informan yang tinggal di kelurahan itu. Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan.

Alat bantu yang digunakan yaitu : 1) Alat rekam (tape recorder)

Penulis gunakan untuk merekam data, karena tidak semua data dapat ditulis beruapa catatan-catatan lapangan mengingat waktu penelitian yang memakan waktu yang tidak sedikit.

2) Pulpen

Alat tulis digunakan untuk menulis atau mencatat data-data yang diperoleh dari lapangan.

(29)

3) Buku tulis

Catatan-catatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dalam proses observasi sehingga dapat mempermudah penulis untuk mengingat dan menemukan kembali data-data yang diperoleh yang selanjutnya akan dituangkan dalam penulisan skripsi ini.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam pengkajian data baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangannya.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Metode Observasi

Metode ini dilakukan untuk mengamati secara langsung daerah tempat penelitian untuk mendapatkan informasi yang mampu memberikan informasi data yang dibutuhkan, teknik yang dipergunakan penulis adalah teknik catat.

2) Metode Wawancara

Menurut Bungin (2012:133), Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan meresponden atau orang yang diwawancarai. Metode ini dilakukan langsung mewawancarai informan guna memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang Tradisi Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba dengan menggunakan alat rekam (tape recorder).

3) Metode Kepustakaan

Metode ini dilakukan untuk mendapatkan sumber acuan penelitian, agar data yang didapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan

(30)

yang digariskan. Dalam metode ini penulis juga mencari buku-buku pendukung yang berkaitan dengan masalah dalam penulisan skripsi ini nantinya, dengan menggunakan teknik catat.

3.6 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.

Adapun langkah-langkah metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mengelompokkan data yang diperoleh dari lapangan.

2) Menerjemahkan data yang diperoleh dari lapangan ke dalam bahasa Indonesia.

3) Mengidentifikasi data-data yang diperoleh sesuai dengan objek penelitian.

4) Menganalisis data-data sesuai dengan rumusan masalah.

5) Membuat Kesimpulan.

(31)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

Partali Toruan adalah sebuah kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, menenun ulos dan beternak. Hasil bertenun ulos digunakan, cendramata, perlambang dalam suatu upacara adat tertentu, dan sekaligus menjadi mata pencaharian yang sangat menguntungkan.

Peta Kab.Tapanuli Utara

(32)

4.1.1 Marga-marga di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung Daerah Tarutung yang menjadi ibukota Tapanuli Utara dahulu merupakan wilayah Silindung. Sebuah wilayah yang dihuni oleh marga Pasaribu. Kumpulan marga-marga yang serumpun dengan Pasaribu disebut Siopat Pisoran. Mereka itu adalah Matondang, Tarihoran, Bonda dan Habeahan. Namun entah kenapa pada masa sekarang berdasarkan rapat Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat

Pisoran tersebut adalah Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.Kota Tarutung sendiri mulai dikenal saat marga Hasibuan mulai datang dan menikah dengan

boru Pasaribu yaitu Guru Mangaloksa Hasibuan.

Setelah itu GM Hasibuan mempunyai anak anak yaitu Si Raja Nabarat (Hutabarat), Si Raja Gabe (Panggabean), Si Raja Galung (Hutagalung), Si Raja Toruan (Hutatoruan). Berafiliasi menjadi Hutabarat, Panggabean anak-anaknya Panggabean dan Simorangkir, Hutagalung, Hutatoruan anak-anaknya Hutapea dan Lumbantobing. Dominasi komunitas muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi antara 1513-1818 M. Mesjid pertama di Silindung didirikan oleh marga Hutagalung pada abad empat belas. Komunitas muslim ini dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Pada abad ke enam belas marga Hutagalung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung. Marga Hutagalung ini juga yang diyakini pertama sekali membangun pelabuhan maritim di Sibolga yang menjadi cikal bakal kota Sibolga sekarang.

(33)

kesultanan Barus Raya (Hilir) dari rumpun marga ini. Dalam politik ekonomi, Kelompok Si opat Pisoran selalu berlawanan secara politik di era dinasti Sisingamangaraja. Alasannya adalah kompetisi dalam penguasaan jalur ekonomi dari dan ke tanah Batak. Persaingan itu terus berlanjut sampai zaman penjajahan Belanda dimana Raja Huta, Pontas Lumbantobing dari Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak, dan menjadi pihak pendukung Belanda. Dimasa sekarang, Keturunan Siopat Pusoran banyak yang berhasil dan menjadi tokoh penting di Indonesia.

Contohnya, Jenderal M. Panggabean dan F.L Tobing serta masih banyak lagi yang menjadi konglomerat dan bupati/walikota di Sumatera Utara. Hutagalung adalah salah satu marga dari suku batak, termasuk golongan batak toba. Hutagalung merupakan salah satu anak dari Hasibuan, memiliki 3 saudara, yaitu Tobing, Hutabarat, dan Panggabean. Keturunan marga Hutagalung dilarang menikah dengan sesama marga Hutagalung dan dengan marga Hasibuan.

Kelompok Marga Hutagalung di Tarutung merupakan elemen pertama Batak melakukan kontak dengan dunia luar di pesisir barat Sumatera. Mereka menjadi penghubung antara masyarakat pedalaman Batak dan dunia internasional karena profesi mereka yang pedagang. Di Tarutung, mereka membangun mesjid pertama pada abad empat belas dan beberapa mesjid berikutnya namun semuanya dihancurkan oleh penjajah Belanda pada abad ke sembilan belas. Keturunan Hutagalung, khususnyanya yang muslim dibasmi oleh Belanda dari Silindung.

Daerah lain di Tarutung adalah Sipoholon yang dihuni marga turunan Naipospos seperti Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun.

(34)

4.2 Peralatan Dalam Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba 1) Hoda-hoda

Gambar 1.Hoda-Hoda

(35)

2) Pamapan

Gambar 2. Pamapan

Fungsi dari pamapan ini adalah sebagai pemegang kain ulos yang akan ditenun.

3) Hapolotan

Gambar 3. Hapolotan Fungsi hapolotan mengatur kain agar rata saat ditenun.

(36)

4) Hatulungan

Gambar 4. Hatulungan

Fungsi hatulungan adalah alat yang berfungsi menyatukan benang ipahan ke kain yang akan ditenun.

5) Lili Pamutik

Gambar 5. Lili Pamutik

Fungsi dari lili pamutik adalah alat yang berfungsi membentuk jugia (motif).

(37)

6) Pargiunan

Gambar 6. Pargiunan

Fungsi dari pargiunan sama dengan hatulungan kedua alat ini berfungsi menyatukan benang ipahan ke kain yang akan ditenun.

7) Baliga

Gambar 7. Baliga

Fungsi dari baliga adalah memadatkan benang ipahan kedalam ulos yang ditenun.

(38)

8) Balobas

Gambar 8. Balobas

Fungsi dari balobas sama dengan lili jugia kedua alat ini berfungsi membentuk jugia (motif).

9) Hapit

(39)

Gambar 9. Hapit

Fungsi hapit adalah sebagai penjepit ulos yang sebagaian telah selesai ditenun.

10) Tundalan

Gambar 10. Tundalan

Fungsi tundalan adalah sebagai alat yang berfungsi merentangkan ulos yang ditenun dan diletakkan dipunggung seorang penenun ulos.

11) Turak

(40)

Gambar 11. Turak Fungsi turak adalah sebagai tempat benang ipahan.

12) Ipahan dihasoli

Gambar 12. Ipahan dihasoli

Ipahan adalah benang yang telah digulung dikelosan dan benang yang membentuk haid menjadi ulos.

13) Sokkar

(41)

Gambar 13. Sokkar

Fungsi sokkar adalah sebagai alat yang berfungsi menarik benang ipahan dari hait jika tidak rata.

14) Panokkaran

Gambar 14. Panokkaran

Fungsi panokaran adalah tempat sokkar.

15) Anian

Gambar 15. Anian

(42)

Fungsi anian adalah alat yang berfungsi membentuk benang yang akan ditenun.

16) Hulhulan

Gambar 16. Hulhulan

Fungsi hulhulan adalah alat penggulung benang untuk diani.

17) Kelosan

(43)

Gambar 17.

Kelosan Fungsi kelosan adalah alat penggulung benang untuk bonang ipahan.

18) Pangunggasan

Gambar 18. Pangunggasan

Fungsi pangunggasan adalah tempat mangunggas (melicinkan) benang.

19) Unggas

(44)

Gambar 19

. UnggasFungsi unggas adalah alat untuk menyisir benang agar halus.

20) Giling-giling

Gambar 20. Giling-Giling

Fungsi giling-giling adalah sebagai alat pemegang benang saat proses panggungasan

21) Hait

(45)

Gambar 21. Hait

Fungsi hait adalah sebagai badan dari ulos yang akan ditenun.

4.3. Tahapan Dalam Martonun Ulos

Tahapan dalam martonun ulos dimulai dari tahapan yang pertama yaitu:

1) Mangganti

Proses pembuatan ulos secara tradisional dimulai dengan pembuatan hapas (kapas) hapas dipilih, dipisahkan dari bijinya (mamipis) dan dikembangkan (mamusur). hapas yang telah diolah dipintal menjadi benang (bonang) disebut mangganti.

2) Marsigira

Benang diwarnai dengan warna putih, merah, dan hitam. Benang yang diwarnai dengan warna merah disebut proses manubar dan yang hitam disebut mangitom.

Warna putih diperoleh dengan rendaman tano buro, tanah kapur sedangkan warna merah dari bahan batu hula, kunyit dan kapur, warna hitam dari daun salaon, arang tumbuhan nila dan harimonting. Pewarnaan dilakukan dengan marsigira yakni dengan mencelup benang di aek harabu direbus agar tidak luntur.

3) Mangiran

Rangkaian grafis menggunakan motif khusus yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard. Untaian ini disebut

“humpalan”. Satuan jumlah penggunaan benang untuk bahan tenun disebut

“sanghumpal, dua humpal” dst. Manggatip dibuat setelah pewarnaan benang dilakukan. Manggatip adalah proses pemilihan benang dengan warna yang

(46)

diinginkan diikat dengan bahan pengikat terdiri dari serat atau daun serai disebut hait. Hait beragam ada hait magiring, hait sibolang, hait bintang maratur , hait sadum dll. Dan jenis-jenis hait ini lah yang sekaligus memberikan nama ulos yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.

4) Mangunggas

Mangunggas adalah proses pencerahan benang. Pada umumnyabenang yang selesai ditubar, warnanya agak kusam. Benang ini diunggas untuk lebih mudah ditenun. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “pangunggas” dengan peralatan “pangunggasan”. Benang dilumuri dengan nasi yang dilumerkan kemudian digosok dengan unggas (kuas bulat dari ijuk). Nasi yang dilumerkan itu

biasanya disebut “indahan ni bonang”.

Benang yang sudah diunggas sifatnya agak kenyal dan semakin terurai setelah dijemur dibawah sinar matahari terik.

(47)

5) Manghulhul Bonang

Manghulhul bonang adalah proses menggulung benang dengan menggunakan hulhulan (alat penggulung benang) dengan membentuk benang berbentuk bulatan supaya lebih mudah dipergunakan.

(48)

6) Mangani

Benang yang sudah selesai dihulhul (digulung) selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”.mangani adalah proses membentuk badan ulos yang akan ditenun. Namun untuk mempermudah mangani, benang sebelumnya “dihuhul” digulung dalam bentuk bola. Alat yang dibutuhkan adalah

“anian” yang terdiri dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai ukuran ulos yang dikehendaki. Dalam proses ini, kepiawaian pangani sangat menentukan keindahan ulos sesuai ukuran dan perhitungan jumlah untaian benang menurut komposisi warna.

(49)

Manonun (menenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani”

menjadi sehelai ulos. Orang yang menenun ulos disebut “partonun”.

8) Manirat

Proses terakhir menjadikan ulos yang utuh adalah “manirat”. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “panirat”. manirat adalah pembuatan hiasan pengikat ulos (rambu ni ulos). Biasanya dibentuk dengan motif gorga.

4.4 Jenis-jenis Ulos Pada Masyarakat Batak Toba

(50)

Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak.

Mangulosi berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan- kebaikan lainnya.

Dalam ulos Batak sangat banyak jenis jenisnya serta berbeda fungsinya ada ulos untuk meninggal dunia (Duka Cita), untuk pernikahan (Suka Cita) dan lain sebagainya. Skripsi ini akan menjelaskan jenis ulos yang terdapat pada masyarakat Batak Toba beserta gambar dan fungsinya :

Ulos Ragi Hotang 1) Ragi Hotang

Hotang berarti rotanyang mempunyai keistemawaan, ulos ini diberikan kepada sepasang pengantin dimana pas waktu pernikahannnya yang disebut ulos marjabu maksud agar ada ikatan batin terhadap sepasang pengantin. Sangat banyak makna

(51)

2) Ulos Sibolang

Sibolang berarti bisa dikatakan sebagai simbol duka cita, ulos nama yang panjang ini digunakan saat duka cita. Digunakan oleh keluarga yang mendapat suatu kemalangan misalnya meninggal dunia maka ulos ini dipergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah pihak keluarga yang dekat dari orang yang meninggal. Bukan hanya itu ulos sibolang juga diberikan kepada orang yang sangat berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati) pihak dari orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pihak pengantin laki-laki pada saat pernikahan adat Batak Toba.

3) Ulos Mangiring

Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring, ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini diberikan kepada seorang anak pertama yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki tujuan sebagai simbol besarnya keinginan agar si anak kelak diiringi kelahirannya. Ulos ini juga dapat digunakan

Ulos Sibolang

(52)

untuk parompa (alat gendong) buat si anak baru lahir. Jadi ulos ini sangat penting kepada seorang anak pertama yang baru lahir yang memberikan makna agar si anak kelak dapat membingbing adik adiknya sesuai dengan tradisi Batak Toba.

4) Ulos Ragi Huting

Sesuai dengan perkembangan zaman ulos Ragi Huting ini susah untuk ditemukan sudah jarang dipakai oleh orang Batak, jaman dahulu ulos ini digunakan oleh gadis Batak, dengan cara melilitkan pada bagian dada (Hoba-Hoba), tidak hanya pada gadis Batak orang tua juga kadang memakai ulos ini saat bepergian.

Ulos Ragi Huting Ulos Mangiring

(53)

5) Ulos Bintang Maratur

Ulos sibolang simbol duka cita dan simbol suka citanya adalah Ulos Bintang Maratur yang digunakan dalam tradisi dan ritual Batak seperti mangulosi pengantin yang melakukan hajatan. Ulos ini menggambarkan jejeran Bintang yang teratur yang menunjukkan orang yang patuh, setia, rukun dalam suatu ikatan keluarga. Bukan hanya itu ulos bintang maratur juga diberikan kepada pahompu dalam bahasa Batak (cucu) yang mendapat baptisan di sebuah Gereja.

Ulos Bintang Maratur 6) Ulos Ragi Hidup

Ulos Ragi Hidup yang melambangkan kehidupan dan kebahagiaan terutama dalam keturunan,setiap keluarga panjang umur (saur matua). Ulos ragi hidup diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki sebagai "Ulos Pargomgom" yang artinya suatu saat agar terikat diberikan kebahagiaan dan diberkati Tuhan Yang Maha Esa (YME) melalui bersama sang menantu anak dari pemberi ulos. Ulos ragi hidup ini wajib dimiliki oleh setiap rumah tangga pada masyarakat Batak Toba.

(54)

Ulos Ragi Hidup 7) Ulos Pinuncaan

Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos. Kegunaan ulos ini dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai atau disandang oleh Raja-Raja Adat. Dan Ulos pinuncaan adalah salah satu ulos yang paling mahal pada masyarakat Batak, ulos ini dapat juga digunakan suka maupun duka dengan mematuhi beberapa ketentuan Adat.

Ulos Pinuncaan

(55)

8) Ulos Simarinjam Sisi

Biasanya disebut juga Panjolani, ulos ini dipakai dan digunakan buat kain dan juga di lengkapi dengan ulos pinunca yang dilarang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani (Mendahului di depan), yang memakai ulos ini adalah salah satu orang yang berada paling depan pada saat acara pesta.

Ulos Simarinjam Sisi 9) Ulos Lobu - Lobu

Jenis Ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang membutuhkannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama bagi orang yang sering mendapat kemalangan (Kematian Anak).

Ulos Lobu- Lobu

(56)

10) Ulos Sitolu Tuho

Ulos ini di fungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang digunakan sebagai pengikat kepala (tali-tali) oleh gadis Batak Toba.

11) Ulos Suri Ganjang

Ulos ini dikenal sebagai Ulos Gabe-Gabe ,yang fungsinya sebagai busana pemusik Batak. Namun kerap digunakan untuk bahan mangulosi (memberikan ulos kepada pengantin) oleh pihak parboru (pihak pengantin perempuan) kepada putrinya yang menikah. Ulos ini juga dipakai sebagai hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunan musik Batak) dan juga

dipergunakan oleh pihak hula-hula (orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunanya) karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe (Berkat).

Ulos Sitolu Tuho

(57)

Ulos Suri Ganjang

12) Ulos Tumtuman

Ulos ini dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai oleh anak yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (Tuan Rumah)

Ulos Tumtuman

(58)

13) Ulos Tutur - Tutur

Ulos Tutur - Tutur dipakai sebagai tali-tali (ikat kepala) dan sebagai hande-hande (selendang), yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).

Ulos Tutur - Tutur

14) Ulos Antak – Antak

Ulos ini dipakai sebagai selendang bagi orang tua untuk melayat melihat orang meninggal dunia, Selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).

Ulos Tutur-Tutur

(59)

4.5 Kearifan Lokal Yang Terdapat Dalam Tradisi Martonun Ulos Di Kelurahan Partali Toruan

Kearifan lokal merupakan kebijaksaan dan pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehiduapn masyarakat. Dalam hal ini kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi nilai budaya dapat dimamfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dalam mencapai peningkatan kesejahteraan dan pembentukan kedamaian.

Kerajinan tangan dan bagian menenun ulos merupakan hasil suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun. Bahkan, sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang mereka. Martonun ulos masyarakat Batak Toba juga tidak akan lepas dari kebiasaan bekerjasama yang disebut Marsiurupan. Masyarakat akan bekerja sama menenun ulos dan sebaliknya. Biasanya kerja sama akan akan dilakukan ketika memintal benang, menjemur benang, dan menenun ulos. Sebenarnya kearifan lokal tersebut haruslah tetap dijaga dan dilestarikan agar tidak menghilang, karena kearifan lokal tersebut menjadi cerminan dan identitas suatu daerah yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat banyak mengandung nilai luhur budaya bangsa, yang masih kuat menjadi identitas karakter warga masyarakatnya.

Namun disisi lain, nilai kearifan lokal sering kali dinegasikan atau diabaikan, karena tidak sesuai dengan perkembangan zamannya. Padahal dari nilai kearifan

(60)

lokal tersebut dapat dipromosikan nilai-nilai luhur yang biasa dijadikan model dalam pengembangan budaya bangsa Indonesia.

Dalam konteks ini, masyarakat adat yang masih tetap memelihara dan eksis dalam kearifan lokal nya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan pendidikan karakter. Masih banyak masyarakat yang masih tetap memelihara kearifan lokal nya misalnya masyarakat Tarutung di Tapanuli Utara yang tetap melaksanaan tradisi martonun ulos.

4.5.1 Gotong royong

Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Kata gotong dapat dipadankan dengan kata pikul atau angkat. Kata royong dapat dipadankan dengan bersama-sama. Jadi kata gotong royong secara sederhana berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau juga diartikan sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Jadi, gotong royong memiliki pengertian sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap objek, permasalahan atau kebutuhan orang banyak di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.

Secara konseptual, gotong royong dapat diartikan sebagai suatu model kerjasama yang disepakati bersama. Dalam perspektif sosio budaya, nilai gotong royong

(61)

secara bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu.

Koentjaraningrat (1987) membagi dua jenis gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu: (a) gotong royong tolong menolong, (b) gotong royong kerja bakti. Kegiatan gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa bencana atau kematian. Sedangkan kegiatan gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum.

Sikap gotong royong yang dilakukan masyarakat dalam kehidupannya memiliki peranan dan manfaat yang sangat penting. Dengan adanya gotong royong, segala permaasalahan dan pekerjaan yang rumit akan cepat terselesaikan jika dilakukan kerjasama dan gotong royong diantara sesama penduduk di dalam masyarakat.

Gotong royong menjadi salah satu penguat karakter bangsa. Gotong royong merupakan perwujudan sila Pancasila yang ketiga, yakni Persatuan Indonesia.

Maka dengan gotong royong akan memupuk rasa kebersamaan, meningkatkan solidaritas sosial, mempererat tali persaudaraan, menyadarkan masyarakat akan kepentingan umum dan tanggung jawab sosial, menciptakan kerukunan, toleransi yang tinggi serta rasa persatuan dalam masyarakat Indonesia.

Di era yang serba cepat, instan dan canggih ini, diharapkan gotong royong mampu bertahan, tetap terpatri kuat, menancap dan mengakar pada jiwa masyarakat terutama generasi penerus bangsa. Oleh karenanya gotong royong perlu untuk dikuatkan kembali, mengingat betapa pasang surutnya gotong royong di masa sekarang, beberapa perwujudannya mungkin masih ada, namun sudah

(62)

semakin berkurang, menjadi berbeda, maupun telah mengalami pergeseran dan perubahan.

4.5.2 Pelestarian dan Kreativitas Budaya

Beragam wujud warisan budaya memberi kita kesempatan untuk mempelajari nilai kearifan budaya dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Hanya saja nilai kearifan budaya tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Akibatnya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jati dirinya dari ketinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru mengabaikan aset yang tidak ternilai tersebut sungguh kondisi yang kontradiktif. Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah 3 yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama.

Jadi upaya pelestarian warisan budaya berarti upaya memelihara warisan budaya tersebut untuk waktu yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable), bukan pelestarian

(63)

dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata dari kehidupan kita. Tradisi martonun ulos adalah kegiatan yang merupakan salah satu tradisi yang harus dilestarikan oleh masyarakat Batak Toba.

Karena tradisi martonun ulos dapat menghasilkan macam-macam jenis ulos yang beragam. Ulos merupakan alat perlambang dalam upacara adat pada masyarakat Batak Toba.

4.5.3 Rasa Syukur

Syukur di sini maksudnya menghargai nikmat, menghargai pemberi nikmat dan mempergunakan nikmat itu menurut kehendak dan tujuan pemberi nikmat.

Manusia yang tidak menghargai nikmat, tidak menghargai pemberi nikmat atau tidak mempergunakan nikmat itu menurut kehendak pemberi nikmat,. Banyak manusia yang tidak menghargai nikmat (pemberian) yang diterimanya atau ada yang menghargai nikmat, tetapi tidak menghargai, tidak bersyukur dan tidak ada perasaan terimakasih kepada yang memberikan nikmat kepadanya. Manusia yang menghargai nikmat dan pemberi nikmat, tetapi tidak mempergunakan nikmat itu dengan sebaik-baiknya menurut kehendak dan tujuan siapa yang memberi nikmat, ini belum boleh dinamakan syukur.

Nikmat itu akan tetap tumbuh dan berkembang, apabila disyukuri. Sebaliknya apabila nikmat itu tidak disyukuri, nikmat tadi akan bertukar dengan siksaan.

Siapa yang mensyukuri nikmat, dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri.

Setiap orang hendaklah pandai mensyukuri nikmat, menghargai jasa dan menghargai orang yang berjasa. Ada faktor yang menyebabkan manusia itu tidak

(64)

mau mensyukuri nikmat Tuhan, Rasa syukur atau berterima kasih yang dimaksud dalam tradisi martonun ulos ini adalah seseorang yang menenun ulos harus mensyukuri apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang kepada kita.

4.5.4 Pengelolaan Gender

Gender dan Sumber Daya Alam (SDA) merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, sejak awal proses manusia mulai memanfaatkan alam untuk bertahan dan melanjutkan hidup maka sejak itu pulalah nilai-nilai gender terintegrasi dan terbukti mampu menjaga keseimbangan alam selama bertahun- tahun. Ketika nilai-nilai tersebut dianggap melekat pada perempuan, artinya perempuan telah memiliki pengalaman yang lebih dalam tentang martonu ulos, telah juga memiliki akses dan kontrol dalam mengelola warisan budaya, dan tidak hanya merawat dan menjaga namun mempertahankan warisan nenek moyang terdahulu.

Perempuan harus memperoleh akses dan kontrol dalam pengelolaan bahkan sampai pengambilan keputusannya, karena dalam pembagian kerjanya secara gender perempuan terlibat dalam proses produksi, pemeliharaan dan perawatan.

Realitasnya perempuan adalah pemeran utama dalam mempertahankan keberlangsungan hidup keluarga yang berbasis pada sumber daya alam. Dengan upayanya memanfaatkan, menjaga dan melestarikan.

Di Kelurahan Partali Toruan dalam tahap martonun ulos tidak semua dapat

(65)

menenun ulos karena sejak jaman dahulu yang dapat melakukan tahapan tersebut hanyalah kaum wanita, sedangkan tahapan yang tidak bisa dilakukan pihak wanita adalah tahapan mangganti (memintal kapas menjadi benang) karena hanya pihak laki-laki saja yang dapat melakukan tahapan tersebut.

4.5.5 Pikiran Positif

Muatan pikiran harus positif dengan kriteria benar baik dan bermanfaat Sering kali seseorang tidak menyadari muatan-muatan apa yang dimasukkan kedalam pikirannya. Ini sangat penting, karena muatan pikiran itulah yang nantinya akan mengkristal menjadi kenyataan. Jadi dengan mengisi hal-hal yang positif ke dalam pikiran, minimal akan memunculkan sikap yang positif. Dari sikap yang positif akan melahirkan tindakan yang positif. Kalau tindakan ini dilakukan setiap saat setiap hari, akan menjadi kebiasaan yang positif dari kebiasaan ini melahirkan karakter diri.

Pengawasan pikiran hal ini penting karena tidak ada orang di dunia ini yang muatan pikirannya selalu positif setiap saat. Apalagi ketika seseorang mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan keinginan/target. Kebanyakan orang, pada awalnya akan menyalahkan pada kondisi atau orang lain yang diajak berinteraksi yang menyebabkan hasilnya tidak seperti yang diharapkan (pemikiran negatif). Pemikiran negatif tidak akan terjadi bilamana kedalam pikiran kita sudah dimasukkan nilai-nilai hidup atau falsafah hidup yang mampu membentuk jatidiri dan karakter positif. Pemikiran disini bukanlah pemikiran yang muncul saat-saat tertentu, melainkan pemikiran yang sudah menjadi budaya hidup. Berfikir positif

Gambar

Gambar 1.Hoda-Hoda
Gambar 3. Hapolotan  Fungsi hapolotan mengatur kain agar rata saat ditenun.
Gambar 4. Hatulungan
Gambar 6. Pargiunan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kertas karya ini, penulis mencoba mengemukakan beberapa bagian dari adat yaitu pakaian adat dan rumah adat Batak Toba yang menjadi ciri khas suku Batak Toba yaitu Ulos

Pelestarian ini dapal terwujud melalui mengenal.kan berbagai jenis ulos, arti dan fungsi ulos itu sendiri. Melihat peranan umpasa dan ulos pada masyarakat Batak Toba.,

Tradisi makan hare tidak semua dilakukan oleh masyarakat Batak Toba karena bagi suku Batak Toba di Desa Pakpahan Kecamatan Pangaribuan tradisi ini merupakan

Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam pemberian ulos pada perkawinan adat Batak Toba, ialah nilai kekeluargaan, nilai kasih sayang, nilai kesetian, nilai

Simbol yang dimaksud dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.. ialah pada saat

Pangan pokok adalah makanan yang dijadikan sebagai makanan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi oleh masyarakat setempat.Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Baktiraja ini di

(Bentuk budaya Suku Batak Toba dan Batak Simalungun yakni memberikan Ulos kepada pengantin yang disebut dengan Titim Marangkup ).. (Peta Kabupaten Simalungun

APLIKASI AUGMENTED REALITY UNTUK MEMPERKENALKAN ULOS BATAK