BAB III METODE PENELITIAN
3.6 Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.
Adapun langkah-langkah metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mengelompokkan data yang diperoleh dari lapangan.
2) Menerjemahkan data yang diperoleh dari lapangan ke dalam bahasa Indonesia.
3) Mengidentifikasi data-data yang diperoleh sesuai dengan objek penelitian.
4) Menganalisis data-data sesuai dengan rumusan masalah.
5) Membuat Kesimpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara
Partali Toruan adalah sebuah kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, menenun ulos dan beternak. Hasil bertenun ulos digunakan, cendramata, perlambang dalam suatu upacara adat tertentu, dan sekaligus menjadi mata pencaharian yang sangat menguntungkan.
Peta Kab.Tapanuli Utara
4.1.1 Marga-marga di Kelurahan Partali Toruan Kecamatan Tarutung Daerah Tarutung yang menjadi ibukota Tapanuli Utara dahulu merupakan wilayah Silindung. Sebuah wilayah yang dihuni oleh marga Pasaribu. Kumpulan marga-marga yang serumpun dengan Pasaribu disebut Siopat Pisoran. Mereka itu adalah Matondang, Tarihoran, Bonda dan Habeahan. Namun entah kenapa pada masa sekarang berdasarkan rapat Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat
Pisoran tersebut adalah Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.Kota Tarutung sendiri mulai dikenal saat marga Hasibuan mulai datang dan menikah dengan
boru Pasaribu yaitu Guru Mangaloksa Hasibuan.
Setelah itu GM Hasibuan mempunyai anak anak yaitu Si Raja Nabarat (Hutabarat), Si Raja Gabe (Panggabean), Si Raja Galung (Hutagalung), Si Raja Toruan (Hutatoruan). Berafiliasi menjadi Hutabarat, Panggabean anak-anaknya Panggabean dan Simorangkir, Hutagalung, Hutatoruan anak-anaknya Hutapea dan Lumbantobing. Dominasi komunitas muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi antara 1513-1818 M. Mesjid pertama di Silindung didirikan oleh marga Hutagalung pada abad empat belas. Komunitas muslim ini dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Pada abad ke enam belas marga Hutagalung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung. Marga Hutagalung ini juga yang diyakini pertama sekali membangun pelabuhan maritim di Sibolga yang menjadi cikal bakal kota Sibolga sekarang.
kesultanan Barus Raya (Hilir) dari rumpun marga ini. Dalam politik ekonomi, Kelompok Si opat Pisoran selalu berlawanan secara politik di era dinasti Sisingamangaraja. Alasannya adalah kompetisi dalam penguasaan jalur ekonomi dari dan ke tanah Batak. Persaingan itu terus berlanjut sampai zaman penjajahan Belanda dimana Raja Huta, Pontas Lumbantobing dari Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak, dan menjadi pihak pendukung Belanda. Dimasa sekarang, Keturunan Siopat Pusoran banyak yang berhasil dan menjadi tokoh penting di Indonesia.
Contohnya, Jenderal M. Panggabean dan F.L Tobing serta masih banyak lagi yang menjadi konglomerat dan bupati/walikota di Sumatera Utara. Hutagalung adalah salah satu marga dari suku batak, termasuk golongan batak toba. Hutagalung merupakan salah satu anak dari Hasibuan, memiliki 3 saudara, yaitu Tobing, Hutabarat, dan Panggabean. Keturunan marga Hutagalung dilarang menikah dengan sesama marga Hutagalung dan dengan marga Hasibuan.
Kelompok Marga Hutagalung di Tarutung merupakan elemen pertama Batak melakukan kontak dengan dunia luar di pesisir barat Sumatera. Mereka menjadi penghubung antara masyarakat pedalaman Batak dan dunia internasional karena profesi mereka yang pedagang. Di Tarutung, mereka membangun mesjid pertama pada abad empat belas dan beberapa mesjid berikutnya namun semuanya dihancurkan oleh penjajah Belanda pada abad ke sembilan belas. Keturunan Hutagalung, khususnyanya yang muslim dibasmi oleh Belanda dari Silindung.
Daerah lain di Tarutung adalah Sipoholon yang dihuni marga turunan Naipospos seperti Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun.
4.2 Peralatan Dalam Martonun Ulos Pada Masyarakat Batak Toba 1) Hoda-hoda
Gambar 1.Hoda-Hoda
2) Pamapan
Gambar 2. Pamapan
Fungsi dari pamapan ini adalah sebagai pemegang kain ulos yang akan ditenun.
3) Hapolotan
Gambar 3. Hapolotan Fungsi hapolotan mengatur kain agar rata saat ditenun.
4) Hatulungan
Gambar 4. Hatulungan
Fungsi hatulungan adalah alat yang berfungsi menyatukan benang ipahan ke kain yang akan ditenun.
5) Lili Pamutik
Gambar 5. Lili Pamutik
Fungsi dari lili pamutik adalah alat yang berfungsi membentuk jugia (motif).
6) Pargiunan
Gambar 6. Pargiunan
Fungsi dari pargiunan sama dengan hatulungan kedua alat ini berfungsi menyatukan benang ipahan ke kain yang akan ditenun.
7) Baliga
Gambar 7. Baliga
Fungsi dari baliga adalah memadatkan benang ipahan kedalam ulos yang ditenun.
8) Balobas
Gambar 8. Balobas
Fungsi dari balobas sama dengan lili jugia kedua alat ini berfungsi membentuk jugia (motif).
9) Hapit
Gambar 9. Hapit
Fungsi hapit adalah sebagai penjepit ulos yang sebagaian telah selesai ditenun.
10) Tundalan
Gambar 10. Tundalan
Fungsi tundalan adalah sebagai alat yang berfungsi merentangkan ulos yang ditenun dan diletakkan dipunggung seorang penenun ulos.
11) Turak
Gambar 11. Turak Fungsi turak adalah sebagai tempat benang ipahan.
12) Ipahan dihasoli
Gambar 12. Ipahan dihasoli
Ipahan adalah benang yang telah digulung dikelosan dan benang yang membentuk haid menjadi ulos.
13) Sokkar
Gambar 13. Sokkar
Fungsi sokkar adalah sebagai alat yang berfungsi menarik benang ipahan dari hait jika tidak rata.
14) Panokkaran
Gambar 14. Panokkaran
Fungsi panokaran adalah tempat sokkar.
15) Anian
Gambar 15. Anian
Fungsi anian adalah alat yang berfungsi membentuk benang yang akan ditenun.
16) Hulhulan
Gambar 16. Hulhulan
Fungsi hulhulan adalah alat penggulung benang untuk diani.
17) Kelosan
Gambar 17.
Kelosan Fungsi kelosan adalah alat penggulung benang untuk bonang ipahan.
18) Pangunggasan
Gambar 18. Pangunggasan
Fungsi pangunggasan adalah tempat mangunggas (melicinkan) benang.
19) Unggas
Gambar 19
. UnggasFungsi unggas adalah alat untuk menyisir benang agar halus.
20) Giling-giling
Gambar 20. Giling-Giling
Fungsi giling-giling adalah sebagai alat pemegang benang saat proses panggungasan
21) Hait
Gambar 21. Hait
Fungsi hait adalah sebagai badan dari ulos yang akan ditenun.
4.3. Tahapan Dalam Martonun Ulos
Tahapan dalam martonun ulos dimulai dari tahapan yang pertama yaitu:
1) Mangganti
Proses pembuatan ulos secara tradisional dimulai dengan pembuatan hapas (kapas) hapas dipilih, dipisahkan dari bijinya (mamipis) dan dikembangkan (mamusur). hapas yang telah diolah dipintal menjadi benang (bonang) disebut mangganti.
2) Marsigira
Benang diwarnai dengan warna putih, merah, dan hitam. Benang yang diwarnai dengan warna merah disebut proses manubar dan yang hitam disebut mangitom.
Warna putih diperoleh dengan rendaman tano buro, tanah kapur sedangkan warna merah dari bahan batu hula, kunyit dan kapur, warna hitam dari daun salaon, arang tumbuhan nila dan harimonting. Pewarnaan dilakukan dengan marsigira yakni dengan mencelup benang di aek harabu direbus agar tidak luntur.
3) Mangiran
Rangkaian grafis menggunakan motif khusus yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard. Untaian ini disebut
“humpalan”. Satuan jumlah penggunaan benang untuk bahan tenun disebut
“sanghumpal, dua humpal” dst. Manggatip dibuat setelah pewarnaan benang dilakukan. Manggatip adalah proses pemilihan benang dengan warna yang
diinginkan diikat dengan bahan pengikat terdiri dari serat atau daun serai disebut hait. Hait beragam ada hait magiring, hait sibolang, hait bintang maratur , hait sadum dll. Dan jenis-jenis hait ini lah yang sekaligus memberikan nama ulos yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.
4) Mangunggas
Mangunggas adalah proses pencerahan benang. Pada umumnyabenang yang selesai ditubar, warnanya agak kusam. Benang ini diunggas untuk lebih mudah ditenun. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “pangunggas” dengan peralatan “pangunggasan”. Benang dilumuri dengan nasi yang dilumerkan kemudian digosok dengan unggas (kuas bulat dari ijuk). Nasi yang dilumerkan itu
biasanya disebut “indahan ni bonang”.
Benang yang sudah diunggas sifatnya agak kenyal dan semakin terurai setelah dijemur dibawah sinar matahari terik.
5) Manghulhul Bonang
Manghulhul bonang adalah proses menggulung benang dengan menggunakan hulhulan (alat penggulung benang) dengan membentuk benang berbentuk bulatan supaya lebih mudah dipergunakan.
6) Mangani
Benang yang sudah selesai dihulhul (digulung) selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”.mangani adalah proses membentuk badan ulos yang akan ditenun. Namun untuk mempermudah mangani, benang sebelumnya “dihuhul” digulung dalam bentuk bola. Alat yang dibutuhkan adalah
“anian” yang terdiri dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai ukuran ulos yang dikehendaki. Dalam proses ini, kepiawaian pangani sangat menentukan keindahan ulos sesuai ukuran dan perhitungan jumlah untaian benang menurut komposisi warna.
Manonun (menenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani”
menjadi sehelai ulos. Orang yang menenun ulos disebut “partonun”.
8) Manirat
Proses terakhir menjadikan ulos yang utuh adalah “manirat”. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “panirat”. manirat adalah pembuatan hiasan pengikat ulos (rambu ni ulos). Biasanya dibentuk dengan motif gorga.
4.4 Jenis-jenis Ulos Pada Masyarakat Batak Toba
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak.
Mangulosi berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Dalam ulos Batak sangat banyak jenis jenisnya serta berbeda fungsinya ada ulos untuk meninggal dunia (Duka Cita), untuk pernikahan (Suka Cita) dan lain sebagainya. Skripsi ini akan menjelaskan jenis ulos yang terdapat pada masyarakat Batak Toba beserta gambar dan fungsinya :
Ulos Ragi Hotang 1) Ragi Hotang
Hotang berarti rotanyang mempunyai keistemawaan, ulos ini diberikan kepada sepasang pengantin dimana pas waktu pernikahannnya yang disebut ulos marjabu maksud agar ada ikatan batin terhadap sepasang pengantin. Sangat banyak makna
2) Ulos Sibolang
Sibolang berarti bisa dikatakan sebagai simbol duka cita, ulos nama yang panjang ini digunakan saat duka cita. Digunakan oleh keluarga yang mendapat suatu kemalangan misalnya meninggal dunia maka ulos ini dipergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah pihak keluarga yang dekat dari orang yang meninggal. Bukan hanya itu ulos sibolang juga diberikan kepada orang yang sangat berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati) pihak dari orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pihak pengantin laki-laki pada saat pernikahan adat Batak Toba.
3) Ulos Mangiring
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring, ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini diberikan kepada seorang anak pertama yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki tujuan sebagai simbol besarnya keinginan agar si anak kelak diiringi kelahirannya. Ulos ini juga dapat digunakan
Ulos Sibolang
untuk parompa (alat gendong) buat si anak baru lahir. Jadi ulos ini sangat penting kepada seorang anak pertama yang baru lahir yang memberikan makna agar si anak kelak dapat membingbing adik adiknya sesuai dengan tradisi Batak Toba.
4) Ulos Ragi Huting
Sesuai dengan perkembangan zaman ulos Ragi Huting ini susah untuk ditemukan sudah jarang dipakai oleh orang Batak, jaman dahulu ulos ini digunakan oleh gadis Batak, dengan cara melilitkan pada bagian dada (Hoba-Hoba), tidak hanya pada gadis Batak orang tua juga kadang memakai ulos ini saat bepergian.
Ulos Ragi Huting Ulos Mangiring
5) Ulos Bintang Maratur
Ulos sibolang simbol duka cita dan simbol suka citanya adalah Ulos Bintang Maratur yang digunakan dalam tradisi dan ritual Batak seperti mangulosi pengantin yang melakukan hajatan. Ulos ini menggambarkan jejeran Bintang yang teratur yang menunjukkan orang yang patuh, setia, rukun dalam suatu ikatan keluarga. Bukan hanya itu ulos bintang maratur juga diberikan kepada pahompu dalam bahasa Batak (cucu) yang mendapat baptisan di sebuah Gereja.
Ulos Bintang Maratur 6) Ulos Ragi Hidup
Ulos Ragi Hidup yang melambangkan kehidupan dan kebahagiaan terutama dalam keturunan,setiap keluarga panjang umur (saur matua). Ulos ragi hidup diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki sebagai "Ulos Pargomgom" yang artinya suatu saat agar terikat diberikan kebahagiaan dan diberkati Tuhan Yang Maha Esa (YME) melalui bersama sang menantu anak dari pemberi ulos. Ulos ragi hidup ini wajib dimiliki oleh setiap rumah tangga pada masyarakat Batak Toba.
Ulos Ragi Hidup 7) Ulos Pinuncaan
Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos. Kegunaan ulos ini dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai atau disandang oleh Raja-Raja Adat. Dan Ulos pinuncaan adalah salah satu ulos yang paling mahal pada masyarakat Batak, ulos ini dapat juga digunakan suka maupun duka dengan mematuhi beberapa ketentuan Adat.
Ulos Pinuncaan
8) Ulos Simarinjam Sisi
Biasanya disebut juga Panjolani, ulos ini dipakai dan digunakan buat kain dan juga di lengkapi dengan ulos pinunca yang dilarang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani (Mendahului di depan), yang memakai ulos ini adalah salah satu orang yang berada paling depan pada saat acara pesta.
Ulos Simarinjam Sisi 9) Ulos Lobu - Lobu
Jenis Ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang membutuhkannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama bagi orang yang sering mendapat kemalangan (Kematian Anak).
Ulos Lobu- Lobu
10) Ulos Sitolu Tuho
Ulos ini di fungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang digunakan sebagai pengikat kepala (tali-tali) oleh gadis Batak Toba.
11) Ulos Suri Ganjang
Ulos ini dikenal sebagai Ulos Gabe-Gabe ,yang fungsinya sebagai busana pemusik Batak. Namun kerap digunakan untuk bahan mangulosi (memberikan ulos kepada pengantin) oleh pihak parboru (pihak pengantin perempuan) kepada putrinya yang menikah. Ulos ini juga dipakai sebagai hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunan musik Batak) dan juga
dipergunakan oleh pihak hula-hula (orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunanya) karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe (Berkat).
Ulos Sitolu Tuho
Ulos Suri Ganjang
12) Ulos Tumtuman
Ulos ini dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai oleh anak yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (Tuan Rumah)
Ulos Tumtuman
13) Ulos Tutur - Tutur
Ulos Tutur - Tutur dipakai sebagai tali-tali (ikat kepala) dan sebagai hande-hande (selendang), yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).
Ulos Tutur - Tutur
14) Ulos Antak – Antak
Ulos ini dipakai sebagai selendang bagi orang tua untuk melayat melihat orang meninggal dunia, Selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).
Ulos Tutur-Tutur
4.5 Kearifan Lokal Yang Terdapat Dalam Tradisi Martonun Ulos Di Kelurahan Partali Toruan
Kearifan lokal merupakan kebijaksaan dan pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehiduapn masyarakat. Dalam hal ini kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi nilai budaya dapat dimamfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dalam mencapai peningkatan kesejahteraan dan pembentukan kedamaian.
Kerajinan tangan dan bagian menenun ulos merupakan hasil suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun. Bahkan, sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang mereka. Martonun ulos masyarakat Batak Toba juga tidak akan lepas dari kebiasaan bekerjasama yang disebut Marsiurupan. Masyarakat akan bekerja sama menenun ulos dan sebaliknya. Biasanya kerja sama akan akan dilakukan ketika memintal benang, menjemur benang, dan menenun ulos. Sebenarnya kearifan lokal tersebut haruslah tetap dijaga dan dilestarikan agar tidak menghilang, karena kearifan lokal tersebut menjadi cerminan dan identitas suatu daerah yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat banyak mengandung nilai luhur budaya bangsa, yang masih kuat menjadi identitas karakter warga masyarakatnya.
Namun disisi lain, nilai kearifan lokal sering kali dinegasikan atau diabaikan, karena tidak sesuai dengan perkembangan zamannya. Padahal dari nilai kearifan
lokal tersebut dapat dipromosikan nilai-nilai luhur yang biasa dijadikan model dalam pengembangan budaya bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, masyarakat adat yang masih tetap memelihara dan eksis dalam kearifan lokal nya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengembangan pendidikan karakter. Masih banyak masyarakat yang masih tetap memelihara kearifan lokal nya misalnya masyarakat Tarutung di Tapanuli Utara yang tetap melaksanaan tradisi martonun ulos.
4.5.1 Gotong royong
Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Kata gotong dapat dipadankan dengan kata pikul atau angkat. Kata royong dapat dipadankan dengan bersama-sama. Jadi kata gotong royong secara sederhana berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau juga diartikan sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Jadi, gotong royong memiliki pengertian sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap objek, permasalahan atau kebutuhan orang banyak di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.
Secara konseptual, gotong royong dapat diartikan sebagai suatu model kerjasama yang disepakati bersama. Dalam perspektif sosio budaya, nilai gotong royong
secara bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu.
Koentjaraningrat (1987) membagi dua jenis gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu: (a) gotong royong tolong menolong, (b) gotong royong kerja bakti. Kegiatan gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa bencana atau kematian. Sedangkan kegiatan gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum.
Sikap gotong royong yang dilakukan masyarakat dalam kehidupannya memiliki peranan dan manfaat yang sangat penting. Dengan adanya gotong royong, segala permaasalahan dan pekerjaan yang rumit akan cepat terselesaikan jika dilakukan kerjasama dan gotong royong diantara sesama penduduk di dalam masyarakat.
Gotong royong menjadi salah satu penguat karakter bangsa. Gotong royong merupakan perwujudan sila Pancasila yang ketiga, yakni Persatuan Indonesia.
Maka dengan gotong royong akan memupuk rasa kebersamaan, meningkatkan solidaritas sosial, mempererat tali persaudaraan, menyadarkan masyarakat akan kepentingan umum dan tanggung jawab sosial, menciptakan kerukunan, toleransi yang tinggi serta rasa persatuan dalam masyarakat Indonesia.
Di era yang serba cepat, instan dan canggih ini, diharapkan gotong royong mampu bertahan, tetap terpatri kuat, menancap dan mengakar pada jiwa masyarakat terutama generasi penerus bangsa. Oleh karenanya gotong royong perlu untuk dikuatkan kembali, mengingat betapa pasang surutnya gotong royong di masa sekarang, beberapa perwujudannya mungkin masih ada, namun sudah
semakin berkurang, menjadi berbeda, maupun telah mengalami pergeseran dan perubahan.
4.5.2 Pelestarian dan Kreativitas Budaya
Beragam wujud warisan budaya memberi kita kesempatan untuk mempelajari nilai kearifan budaya dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Hanya saja nilai kearifan budaya tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Akibatnya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jati dirinya dari ketinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru mengabaikan aset yang tidak ternilai tersebut sungguh kondisi yang kontradiktif. Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah 3 yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama.
Jadi upaya pelestarian warisan budaya berarti upaya memelihara warisan budaya tersebut untuk waktu yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable), bukan pelestarian
dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata dari kehidupan kita. Tradisi martonun ulos adalah kegiatan yang merupakan salah satu tradisi yang harus dilestarikan oleh masyarakat Batak Toba.
Karena tradisi martonun ulos dapat menghasilkan macam-macam jenis ulos yang beragam. Ulos merupakan alat perlambang dalam upacara adat pada masyarakat Batak Toba.
4.5.3 Rasa Syukur
Syukur di sini maksudnya menghargai nikmat, menghargai pemberi nikmat dan mempergunakan nikmat itu menurut kehendak dan tujuan pemberi nikmat.
Manusia yang tidak menghargai nikmat, tidak menghargai pemberi nikmat atau tidak mempergunakan nikmat itu menurut kehendak pemberi nikmat,. Banyak manusia yang tidak menghargai nikmat (pemberian) yang diterimanya atau ada yang menghargai nikmat, tetapi tidak menghargai, tidak bersyukur dan tidak ada perasaan terimakasih kepada yang memberikan nikmat kepadanya. Manusia yang menghargai nikmat dan pemberi nikmat, tetapi tidak mempergunakan nikmat itu dengan sebaik-baiknya menurut kehendak dan tujuan siapa yang memberi nikmat, ini belum boleh dinamakan syukur.
Nikmat itu akan tetap tumbuh dan berkembang, apabila disyukuri. Sebaliknya apabila nikmat itu tidak disyukuri, nikmat tadi akan bertukar dengan siksaan.
Siapa yang mensyukuri nikmat, dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri.
Siapa yang mensyukuri nikmat, dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri.