• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY: RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY: RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

eL-Hekam: Jurnal Studi Keislaman

https://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/elhekam/index P - ISSN: 2528-2506

E - ISSN: 2549-8940)

PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY: RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Muhammad Zulfikar Nur Falah1*, Miftahur Rohmah2, Singh Surbhi 3, Moh Amiir4

1Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah Lamongan, 2Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3Anna University, India, University of Mosul, Irak

Korespondensi: Jl. Sudirman No.137 Kuburajo, Limakaum, Batusangkar, Sumataera Barat e-mail: zulfikarnur2002@gmail.com

*) Corresponding Author

Abstrak: Tulisan ini mengurai dengan rinci tentang salah satu pemikiran filsuf John Dewey dalam memandang pendidikan progresif. Penulis mencoba merelevansikan antara pemikiran Dewey tentang pendidikan progresif dengan pendidikan Islam di Indonesia.

Dengan itu, metode penulisan ini menggunakan deskriptif analisis yang telah diperoleh dari library research, dengan sumber dari literatur yang relevan dan realibel, seperti buku, jurnal, artikel, dan lain sebagainya. Tetapi sebelum memperoleh pemahaman secara detail, lantaran demikian penulis memaparkan terlebih dahulu terkait biografi John Dewey itu sendiri beserta latar belakang dan substansi pendidikan guna mengetahui pola pemikirannya. Hal ini secara implisit begitu relevan, yang pada kondratnya pendidikan Islam hanya lebih mengutamakan akhlak mulia dan mengamalkan ajaran beragama, namun juga mengutamakan sebuah potensi dari pengalaman melalui Al-Qur’an, yang sebagaimana menurut John Dewey bahwa pendidikan disebut progresif bilamana setiap aspek per individu lebih diorganisir, bukan ditekan, terlebih dari itu sangat menitik beratkan pada pengalaman yang bekerja atas kemampuannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.

Kata Kunci: John Dewey, Pendidikan Progresif, Pendidikan Islam

Abstrak: This paper describes in detail one of the thoughts of the philosopher John Dewey in viewing progressive education. The author tries to reconcile Dewey's thoughts on progressive education with Islamic education in Indonesia. With that, this writing method uses descriptive analysis that has been obtained from library research, with sources from relevant and reliable literature, such as books, journals, articles, and so on. But before getting a detailed understanding, because of that, the author will explain in advance the biography of John Dewey itself along with the background and substance of education in order to know the pattern of his thinking. This is implicitly so relevant, that by nature Islamic education only prioritizes noble character and practicing religious teachings, but also prioritizes a potential from experience through the Qur'an, which as John Dewey said that education is called progressive if every aspect is per individual. more organized, not pressured, moreover it focuses on experience working on its ability to solve various existing problems.

Keyword: John Dewey, Progressive education, Islamic education

(2)

PENDAHULUAN

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwasannya akhir-akhir ini, berbagai problematika terhadap pendidikan sedang merambak luas. Hal ini diakibatkan dari hasil pendidikan itu sendiri yang tidak sejalan dengan harapan, sehingga banyak menimbulkan penyelewengan.

Contohnya, dampak negatif dari perkembangan teknologi yang terkadang memicu adanya pornografi dan pergaulan seks bebas baik di kalangan remaja maupun anak- anak (Wulandari, n.d.). Selanjutnya, ketika dicermati secara mendalam terkait akibat lainnya, fluktuasi dalam krisisnya moral sudah tidak bisa diperkirakan lagi akan mereda, sebagai tandanya yakni berupa maraknya kenakalan remaja, bullying, dsb. Terjadinya krisis moral ini, merupakan salah satu dari bentuk kegagalan dalam menerapkan sistem pendidikan yang terpaut pada aspek kognitif semata (Gunawati, 2018).

Mengingat banyaknya lembaga pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan berbasis Islam, maka setiap darinya bukan malah membiarkan problem-problem yang terjadi semakin mendarah daging, akan tetapi menyadari terhadap urgensitas pendidikan berperspektif global yang tentunya sejalan dengan cita-cita dari pendidikan progresif (Kurniawan, 2020). Karena, membangun manusia yang utuh dalam rangka moralitas dan bersikap keilmuan adalah tujuan dari pendidikan (Wathoni, 2018). Seorang tokoh pragmatisme atas nama John Dewey, memberi sumbangsih tentang model pendidikan progresif. Menurutnya, pendidikan progresif umumnya bertujuan atas yang terlibat di dalamnya supaya demokratis. Pendidikan progresif tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, tetapi harus disampaikan secara terintegrasi dalam unit (Gultom et al., 2022; Hendra et al., 2022).

Dengan perubahan yang selalu terjadi di lingkungan, maka harus dibutuhkan fleksibilitas dalam pelaksanaaan. Artinya, tidak menghindar dari perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu, toleran, dan berpandangan luas serta terbuka (Yuliani, 2019).

Berkaitan dengan persoalan pendidikan progresif, dalam aliran filsafatnya lebih dikenal dengan progresivisme. Dalam aliran ini,

sepenuhnya mendukung adanya pelaksanaan pendidikan yang dipusatkan pada peserta didik dan mengembangkan berbagai kemampuannya sebagai bekal menghadapi kehidupan sosial di lingkunngan. Adapun Jalaluddin dan Abdullah Idi, juga menjelaskan bahwa filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah manusia, yakni kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir (Fadlillah, 2017).

Kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir, tentu saja tidak bisa digali dengan cara berdiam diri, melainkan harus digali berdasarkan kemampuan yang diperoleh dari pengalaman masing-masing. Konsep yang ditawarkan John Dewey, bahwa pendidikan tidak mengenal kata “terlalu dini”, “terlalu tua”, atau “terlambat” dan lain sebagainya.

Dengan demikian, pengetahuan harus tetap digali secara terus menerus. Dalam pendidikan Islam dalam konteks di Indonesia, pendidikan progresif John Dewey dapat mendongkrak prinsip yang disusun untuk lebih luas. Hal ini tidak hanya terpaku pada akhlak semata, tetapi lebih memperoleh pengalaman dalam menyelesaikan suatu permasalahan (Sanusi et al., 2022; Susanto et al., 2022).

Dalam hal ini penelitian sebelumnya hanya berfokus pada manajemen pendidikan dalam konstelasi progresivisme (Supriatna, 2021).

Selain itu terdapat juga yang membahas pendidikan humanis John Dewey dalam perspektif pendidikan Islam (Mubarok, 2015).

Sedangkan penelitian dari Khairul Saleh (Saleh, 2012) lebih fokus menela’ah secara kritis pemikiran pendidikan John Dewey. Tetapi ada juga yang meneliti terkait relevansinya pada pendidikan di Indonesia (Arianto, 2020). Maka dari itu, dengan ini penulis berkeinginan untuk menelisik ulang sekaligus mengangkat pemikiran John Dewey tentang pendidikan progresif dengan menarik relevansinya terhadap pendidikan Islam di Indonesia.

Dengan bertujuan, supaya melihat lebih luas lagi tentang pemikirannya secara umum ketika ditarik ke dalam pendidikan yang berbasis Islam, terutama di Indonesia.

Sebelum menuliskan tujuan, penulis harus memaparkan latar belakang dan penelitian- penelitian terkait secara memadai untuk merekam solusi atau metode yang ada (Yul

(3)

Fanani et al., 2022; Zakaria et al., 2022), untuk menunjukkan hal-hal terbaik yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, kelemahan-kelemahan yang dimiliki, serta hal- hal baru yang dihasilkan lewat penelitian yang Anda lakukan. Hindari membuat ringkasan terhadap hasil penelitian.

METODE

Tulisan ini menggunakan jenis studi kepustakaan, sedangkan data dalam penyusunnya menggunakan literatur buku, jurnal, artikel yang terkait dengan pembahasan pemikiran pendidikan progresif John Dewey dengan mengkaitkan data juga terkait bagaimana relevansinya ketika di kontekskan di Indonesia dalam pendidikan Islam.

Sedangkan data yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif (Amrina et al., 2022;

Mudinillah, 2021). Kemudian metodenya menggunakan deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan kemudian menganalisa data- data yang telah diperolah dari library research dari berbagai literatur yang relavan dan realibel. Sumber-sumber yang ditemukan tersebut dideskripsikan sekaligus dianalisis, dengan demikian memperoleh temuan yang baru dan menjawab dari rumusan masalah pada tulisan ini. Tetapi sebelum lebih jauh mengetahui alur pemikiran John Dewey, penulis memaparkan biografi John Dewey beserta latar belakang dan substansi pendidikan gina untuk mengetahui pola pikir John Dewey.

HASIL DAN PEMBAHASAN Biografi John Dewey

John Dewey merupakan salah seorang tokoh yang sangat terkenal di dunia pendidikan. Di samping itu, gelar seorang filsuf juga melekat padanya. Dewey dilahirkan di Burlington, Vermont, Amerika Serikat pada tanggal 20 Oktober 1859 (Amirudin, 2018).

Tahun kelahirannya, sama persis dengan tahun lahirnya Edmund Husserl dan Henri Bergson.

Filsuf yang berpengaruh di Amerika ini, tak luput dari karir akademisinya yang luar biasa bahkan dipercaya sebagai pengajar di beberapa perguruan tinggi ternama, termasuk Chicago dan Columbia. Sebelum meninggal pada tahun 1952, Dewey telah memperoleh reputasi

Internasional tentang pendekatan pragmatisnya di bidang filsafat, psikologi dan politik liberal. Pengaruh pragmatismenya ini menjalar ke seluruh aspek kehidupan, terutama di dunia pendidikan.

Tepat tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setamat dari itu, Dewey mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881.

Bersama gurunya H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat dan mempelajari logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, seorang psikolog eksperimental Amerika. Di samping itu, Dewey melanjutkan studinya serta meraih gelar doctor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant (Aswasulasikin, 2018).

Hal yang diperoleh Dewey selama di Hopkins University, salah satunya adalah ide tentang perkembangan anak dan andolesens sebagai dasar penetapan metode mengajar yang tepat. Ide ini dipengaruhi oleh C.S. Hall (1844-1922), yang waktu itu Dewey masih menyandang seorang guru sekolah menengah atas di Oil City, Pennsylvania. Adapun Dewey yang belajar dari Charles S. Pierce (1839-1914), di sisi lain juga belajar bersama William James (1842-1910) dari Harvard University, salah satu motifnya adalah mengajukan landasan filosofis pragmatisme untuk menentang teori asosionist oleh Herbert, bahwa belajar terbentuk melalui kebiasaan. James yakin tentang perlunya dilakukan studi tentang saraf anak agar dapat memahami terhadap kebiasaan yang baik agar dimiliki anak melalui pemikiran, bukan hanya melaui ucapan verbal.

Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), sedangkan di tahun 1894, Dewey menjadi dosen di jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago. Di sana, Dewey hidup di tengah wilayah Barat (Midwest) dengan kondisi saat itu wilayahnya sedang bertransisi. Hal yang dilakukan Dewey yaitu mengambil hikmah filsafat hidupnya dari kehidupan masyarakat kota kampungnya dan di bagian Barat USA, serta dari filsafat Phytagoras, Locke, Rousseau, Kant, Herbert dan perintis pragmatisme di

(4)

USA (Charles S. Pierce) (Waini Rasyidin, 2009).

Pada tahun 1899, Dewey menulis buku berjudul “The School and Society”, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah dengan pembahasan tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktivitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York (Aswasulasikin, 2018). Sebagian besar hidup yang diemban Dewey, dengan serta merta dihabiskannya dalam dunia pendidikan.

Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahinya adalah University of Michigan, University of Columbia dan University of Chicago. Sementara gelar Professor of Philosophy, diperolehnya ketika di University of Chicago pada tahun 1894 (Aswasulasikin, 2018).

Hingga akhir hayatnya pada tanggal 1 Juni 1952 di New York, Dewey meninggalkan peran intelektualnya berupa sebanyak 50 buah buku, 750 Artikel, dan 200 karangan untuk ensiklopedia yang meliputi semua bidang filsafat tradisional mulai dari logika, epistemologi, metafisika, sampai dengan etika, filsafat politik, agama, dan pendidikan. Tentu saja dengan kehadirannya, pragmatisme telah menjadi filsafat hidup dan senjata sosial yang menegakkan kembali kebudayaan Amerika (Hani’ah, 2001).

Pendidikan Progresif, Latar Belakang, dan Substansi Gerakan

Makna pendidikan saat ini berkembang dari periode ke periode. Sudut pandang dan upaya untuk mendefinisikan pendidikan oleh beberapa pemikir dan filsuf pendidikan telah disintesis secara kolektif. Lantaran demikian, pada umumnya sejarah teori pendidikan ditandai melalui dua pandangan bertentangan dengan variasi antara pendidikan yang terbentuk dari luar (pandangan tradisional), serta pendidikan yang terbentuk dari dalam (pandangan lebih progresif).

Pendidikan dari luar didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan merupakan proses mengatasi apa yang dialami dan menggantikannya dengan rangsangan dari luar,

latihan-latihan moral, dan metode instruksi.

Tujuan utamanya adalah mempersiapkan orang muda untuk bertanggung jawab kewarganegaraan dewasa dalam masyarakat dan untuk sukses dalam hidup. Bahan utamanya yaitu dengan memandang masa lampau dan dialihkan dari luar, kemudian di dalam buku pegangan dan guru merupakan pelaku pendidik dalam menyampaikan pengetahuan dan dikomunikasikan kepada peserta didik (Mudinillah & Rizaldi, 2021; Rezi et al., 2022).

Adapun pendidikan progresif, melihat metode di atas sebagai suatu sarana pemaksaan dari luar. John Dewey menggambarkan pendidikan berdasarkan pemaksaan dari luar yang terdapat kebalikannya yaitu ekspresi dan pengolahan individualitas. Pendidikan progresif ini dimulai pada dua dekade abad ke- 20. Refleksi pendidikan progresif banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang memusatkan pada anak (child centered) (Dkk, 2020). Teori kurikulum berubah dari yang menekankan pada organisasi, kemudian diarahkan pada kehidupan psikologis anak saat ini. Anak menjadi pusat perhatian pendidikan (Waini Rasyidin, 2009). Selebihnya, setiap darinya akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran (Rasinus, 2021).

Pemicu lainnya adalah pandangan dari rakyat, terutama kaum pendidik yang mengumumkan bahwa sekolah tidak mampu untuk melestarikan langkah dari peradaban dengan tranformasi hidup yang terjadi dalam kehidupan komunitas Amerika. Dalam menghadapi kemajuan zaman yang ditopang oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang beredar di tengah masyarakat, maka pendidikan sangat membutuhkan kemajuan.

Tentu saja tidak bisa dipungkiri jika pendidikan progresif ini kurang menyetujui hal yang bercorak otoriter. Pendidikan yang bercorak otoriter, sebenarnya dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan, karena kurang memberikan tempat yang selayaknya diberikan kepada orang yang kemampuan dalam menjalani proses pendidikan. Hingga akhirnya, hal ini

(5)

diibaratkan sebagai motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan.

Waktu lahirnya asosiasi pendidikan progresif di tahun 1919 yang mempromosikan ide dan praktek Dewey, pada saat bersamaan pemikir di Eropa mulai berkembang.

Bertepatan di Italia, Maria Montessori (1970- 1952) menyajikan metode perkembangan spontan fisik, mental, dan spiritual anak melalui kegiatan pendidikan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sensori yang dapat tumbuh pesat selama masa sensitif pertumbuhan anak melalui metode didaktik yang tepat.

Hal yang diterapkan terhadap kemampuan anak, terutama kepada anak berkemampuan khusus dan miskin, Montessori menyadari tentang kondisi lingkungannya yang kurang kondusif pada perkembangan intelektual anak, seperti halnya ketidakadaan buku-buku dan tempat yang nyaman untuk belajar dengan tenang. Metode yang diajukan Montessori atas persoalan itu adalah pembelajaran individu yang bertujuan untuk membantu anak mengurus diri sendiri. Metode ini, tersebar luas ke seluruh dunia melalui latihan pendek selama enam bulan.

Berkaitan dengan kebutuhan, minat, dan keinginan alamiah setiap orang, yang dimaksudkan adalah bahwa skema kognitif setiap individu memungkinkan supaya membangun keteraturan dan prediktabilitas dalam dunia pengalaman. Adapun di saat pengalaman tidak sesuai dengan skema individu, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan kognitif yang memicu proses belajar. Ketidakseimbangan ini mengarah pada adaptasi.

Pendidikan progresif yang ditekankan kepada peserta didik, sudah semestinya dihadapi dengan rasa keyakinan bahwa belajar yang bermakna itu harus memiliki relevansi dengan kehidupan. Belajar yang efektif, tidak sepenuhnya berorientasi pada “materi subjek”

yang terisolasi dari penggunanya dalam kehidupan, seperti halnya sistem belajar dalam bertindak, terutama bertindak atas kepentingan diri sendiri. Keinginan diri sendiri tidak harus ditekan, melainkan diorganisir dan diarahkan agar berguna (Kurnia, 2019).

Manusia senantiasa bergerak dan berubah.

Jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan tersebut. Maka dari itu, pendidikan progresif lebih berfokus pada pembelajaran daripada pelajaran, menekankan pada pengalaman daripada kemampuan verbal dan matematis, mendorong pembelajaran kelompok secara kooperatif daripada pembelajaran individu yang kompetitif.

Progresivisme juga menanamkan relativisme budaya yang sering mengalami gesekan dengan nilai dan filosofi klasik (Nugroho, 2019).

Pendidikan progresif lebih dimanifestasi sebagai sarana meningkatkan aspek objek, serta memperkerjakan peserta didik agar produtif.

Pemikiran Pendidikan Progresif John Dewey

John Dewey adalah pendukung teori pengetahuan ganda (dual knowledge) yang diajukan William James. Dalam buku yang diterbitkan tahun 1934 berjudul Art as Experience, sepenuhnya menggunakan teori pengetahuan ganda milik James dengan tujuan untuk menjelaskan proses diri dan lingkungan yang ditransformasi melalui dialektika antar kegiatan rasional yang terkontrol dengan receptive undergoing, yaitu yang dipersepsikan berdasarkan keterkaitan antara hal yang dilakukan dengan gambaran yang dibentuk dalam proses kognitif. Sebelum individu puas dengan persepsi terhadap gambaran kegiatan yang dilakukan, individu akan terus melakukan perombakan dan pembentukan ulang persepsi tersebut. Proses ini hanya akan berakhir ketika hasilnya merupakan pengalaman yang dipersepsikan, baik pengalaman yang tidak hanya muncul dari penilaian internal maupun eksternal saja tetapi juga dalam persepsi langsung.

Sumbangsih pemikiran John Dewey terhadap dunia, dimulai ketika pendidikan progresif (progressive education movement) yang Dewey dirikan melalui pendirian sekolah laboraturium di Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1896. Pendidikan progresif yang diperkasai John Dewey ini, memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Kemudian terhadap

(6)

masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya, pasti direfleksikan sedemikian rupa. Berkat refleksi itu, setiap darinya dapat memahami dan menggunakannya untuk kehidupan (Haudi, 2020). Menurutnya pula, belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons yang berhubungan antara dua arah belajar dan lingkungan.

Sedangkan peran pendidik adalah lebih menekankan dalam metodologi perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan masing-masing (Dandas, 2021).

Lebih lanjutnya, pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu, John Dewey mengatakan pengalaman adalah key concept manusia atas segala sesuatu.

Pengalaman juga diartikan sebagai suatu realitas yang telah membina pribadi. Mind (pikiran) sebagai fungsi manusia yang unik, bahkan potensi intelegensi ini meliputi kemampuan mengingat, imajinasi, merumuskan, melambangkan dan memecahkan masalah serta komunikasi dengan sesamanya. Mind ini merupakan integrasi di dalam kepribadian, bukan suatu entity (kesatuan lahir) sendiri. Eksistensi dan realitas mind hanyalah di dalam aktivitas. Mind adalah apa yang dilakukan manusia dan prinsipnya berperan dalam pengalaman (Sagala, 2013).

Manusia tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan hidupnya, baik lingkungan fisik, hayati, sosial, budaya, politik, dan religious. Menurut Dewey, lingkungan hidup ini secara konstruktif dapat dimanfaatkan untuk merangsang kemajuan manusia. Baginya, lingkungan harus dipelajari dan menjadi sumber belajar yang tidak ada habisnya serta berfungsi sebagai labolaturium.

Namun demikian, jika lingkungan sekitar itu tidak dimanfaatkan bagi kepentingan pedagogis perkembangan anak, maka lingkungan sekitar justru akan menghambat perkembangan anak (Mihmidaty Al-Faizah Ya’coub, 2021).

Progresivisme Dewey di bidang epistemologi terletak dalam pembedaan antara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan itu merupakan kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dalam pengalaman dan siap untuk digunakan. Di

bidang aksiologi, bagi Dewey juga tidak membedakan antara nilai intrinsik dan instrumental. Tentu, nilai itu mempunyai kualitas sosial. Jadi, di situlah terdapat hubungan antara individu dan sosial (Mihmidaty Al-Faizah Ya’coub, 2021). Ajaran Dewey tentang pendidikan yang bersifat progresif dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Anak harus dibebaskan supaya mampu berkembang secara wajar.

2. Cara untuk merangsang minat peserta didik adalah dengan mengajaknya untuk mendapatkan pengalaman langsung.

3. Guru harus menjadi seorang peneliti dalam membimbing kegiatan belajar peserta didik. Guru dapat berpartisipasi bermain bersama, memberi contoh, membangkitkan kreativitas peserta didik, dsb.

4. Harus ada kerjasama yang baik antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Dengan terciptanya lingkungan yang kondusif bagi praktek pendidikan, maka bakat dan minat peserta didik dapat terpupuk dengan baik.

5. Sekolah progresif harus menjadi labolaturium untuk melakukan reformasi pedagogis dan eksperimentasi.

6. Kurikulum harus bersifat fleksibel dan berpusat pada anak yang didukung oleh pengalaman. Mata pelajaran yang relevan lebih diutamakan daripada mata pelajaran yang hanya bersifat informatif.

Pendidikan dianggap sangat penting oleh John Dewey, yaitu ketika dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat.

Di sisi lain, Dewey sangat meyakini bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Sehingga perlu diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang yakni pendidikan (Lukman Hakim, 2020).

Oleh karena itu, ciri pemikiran Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah, mengalir atau on going-ness. Tentu saja prinsip ini membawa konsekuensi yang

(7)

cukup jauh, yaitu bahwa bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi, semuanya pasti berubah. Selain itu, corak pemikiran Dewey adalah anti dualistik. Selanjutnya, Dewey juga menghargai pengalaman, yang bertujuan sebagai dasar bagi pengetahuan dan kebijakan dalam hubungan pendidikan (Sugianto, 2021).

Relevansinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia

Menelisik pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan Islam, dinamika perkembangannya justru diwarnai oleh adanya usaha pembaruan. Kosakata pembaruan yang mengandung arti mengganti pemikiran lama dengan pemikiran baru, merumuskan kembali, pengembangan, dsb, sesungguhnya lebih merupakan sifat atau keadaan, dan bukan salah satu jenis dari disiplin ilmu. Namun, karena dalam pembaruan ini terdapat banyak teori, maka pembaruan telah tumbuh menjadi sebuah disiplin ilmu dan digunakan jasanya oleh pendidikan Islam, sehingga menjadi pembaruan pendidikan Islam (Nata, 2019).

Dalam pembaruan pendidikan Islam, keberagaman pemikiran telah berdampak pada model pengembangan manajemen pendidikan Islam yang dinamis, progresif, dan mengharuskannya melakukan transformasi kelembagaan secara modern dan memberi solusi atas perkembangan globalisasi dan modernisasi. Muhammad Abduh mengatakan bahwa pengembangan pendidikan yang modern adalah upaya sistem pendidikan untuk memperkanalkan pentingnya sains dan teknologi modern Barat ke dalam kehidupan Islam, di sisi lain juga harus memegang etos ajaran klasik keislaman yang asli (Rachman, 2021).

Tujuan utamanya adalah mengupayakan kembali dalam menyandingkan perkembangan sains modern Barat dengan ilmu-ilmu keislaman klasik yang sesungguhnya diinginkan dalam modernisasi pengembangan manajemen pendidikan Islam dewasa. Dengan kata lain, supaya melahirkan Islam yang memiliki keunggulan intelektual dan kematangan profesionalitas sesuai ajaran-ajaran Islam (Rachman, 2021).

Mengingat masyarakat bangsa Indonesia yang condong terhadap bangsa yang pluralis, pendidikan Islam juga mengharuskan agar

mempunyai strategi dalam menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan berusaha memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan tata nilai, saling membahu antar peserta didik yang beranekaragam suku, bangsa, budaya dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog (Akrom, 2021).

Salah satu strategi adalah pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena hakikat pendidikan Islam adalah proses tanpa akhir yang sejalan dengan konsep lain seperti halnya life long education, sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi:

نيِقأيْلا أكأيِتْأيَ ٰىتَّأح أكىبأر ْدنبْعاأو Artinya: dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (QS. Al- Hijr: 99).

Bukan hanya ibadah saja, tetapi masalah pendidikan juga harus digali hingga ajal telah datang. Hal ini selaras dengan hadits Nabi Muhammad bahwa “tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahad”. Konsep pendidikan yang sejalan dengan konsep pertumbuhan tentu saja menjadikan pengalaman sebagai dasar pijakan untuk memberikan materi pendidikan. Belajar berdasarkan pengalaman dalam Islam juga ditekankan, setidaknya dengan sebuah ayat Al- Qur’an yang menganjurkan untuk selalu menjadikan pengalaman sebagai bahan perenungan bagi perbaikan pada hari berikutnya (Yuliani, 2019).

Tidak ada bedanya dengan pendapat Noeng Muhadjir, bahwa menurutnya belajar tanpa batas setidak-tidaknya mengandung tiga makna, yaitu pengembangan secara optimal terhadap kemampuan manusia, kreasi wahana kehidupan manusia, dan kesejahteraan manusia sebagai makhluk sosial serta makhluk ciptaan Allah. Dalam kaitan ini, konsep pendidikan seumur hidup, Dewey menyatakan bahwa hidup itu merupakan pendidikan atau pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri.

Bedanya, pendididkan Dewey memang tidak mengarah kepada peserta didik untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya (Mualifah, 2013).

Tinjauan jauhnya, Dewey mengartikan pendidikan sebagai proses pembaruan keseluruhan struktur budaya dan memberikan

(8)

suatu kejelasan bahwa pendidikan adalah proses di mana keterampilan, seni, dan ilmu pengetahuan dipelihara bahkan dikembangkan (Junaedi, 2017). Pendidikan Islam yang terkonstruk oleh pembaruan yang dipengaruhi oleh teori, sejatinya hal yang dikemukakan oleh Dewey sudah begitu relevan dengan pendidikan Islam sebagai pengembangan potensi, sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi:

نهأل او نعأقأ ف ي ِحونر ْنِم ِهيِف نتْخأفأ نأو نهنتْ يىوأس اأذِإأف أني ِد ِجاأس Artinya: Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS. Al-Hijr [15]: 29).

Pada dasarnya, pengembangkan potensi yang diberikan Allah kepada manusia, menunjukkan maksud bahwa Tuhan memberi manusia itu berbagai potensi atau kemampuan yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan. Sifat- sifat Tuhan yang disebut dalam Al-Qur’an sejumlah 99 tersebut diaktualisasikan pada diri dan perbuatan manusia niscaya itu merupakan potensi yang tak terkirakan jumlahnya. Jika sifat itu diambil satu per satu dan seterusnya sampai 99 dalam beragam bentuk, maka potensi itu akan berjumlah jutaan. Gambaran inilah yang menunjukkan kompleksitas potensi yang dimiliki manusia (Junaedi, 2017).

Allah sangat mendorong umatnya untuk belajar dan mengajar, di sisi lain Allah akan meninggikan derajat bagi mereka yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan serta memberikan tempat yang terpuji bagi mereka (Zainal Arif, 2021), Tentang hal ini, Allah berfirman:

ِفِ ا ونحىسأفأ ت ْمنكأل أليِق اأذِإ اوُنَمآ أنيِذىلا اأهُّ يأأ أيَ

اونزنشْنا أليِق اأذِإأو ۖ ْمنكأل نىللَّا ِحأسْفأ ي اونحأسْفاأف ِسِلاأجأمْلا أمْلِعْلا اونتونأ أنيِذىلاأو ْمنكْنِم اوننأمآ أنيِذىلا نىللَّا ِعأفْرأ ي اونزنشْناأف ريِبأخ أنونلأمْع أ ت اأِبِ نىللَّاأو ۚ ٍتا أجأرأد Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.

Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di

antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).

َءاَنآ ٌتِناَق َوُه ْنَّمَأ ْحَي اًمِئاَق َو اًد ِجاَس ِلْيَّللا

َة َر ِخ ْلْا ُرَذ

َةَمْح َر وُج ْرَي َو َلَ َنيِذَّلا َو َنوُمَلْعَي َنيِذَّلا يِوَتْسَي ْلَه ْلُق ۗ ِهِ ب َر

ِباَبْلَ ْلْا وُلوُأ ُرَّكَذَتَي اَمَّنِإ ۗ َنوُمَلْعَي Artinya: (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS.

Az-Zumar [39]: 9).

Singkat kata, semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan menjadi manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan berakhlak mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian, dan sosial sesuai dengan tuntutan kehidupan, perkembangan masyarakat dan harapan ajaran Islam itu sendiri, terutama dalam menjadikannya mampu menunaikan tugas sebagai khalifah dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt (Wathoni, 2018).

Pada saat sekarang, kemampuan memahami teknologi informasi belum dirasa cukup untuk memiliki ketahanan menghadapi perubahan dan segala problematikanya.

Pengalaman akan bekerja dalam segala ruang lingkup, kemampuan menyelesaikan persoalan, belajar membaca dengan kritis, dan berfikir kreatif adalah pengetahuan sekaligus pengalaman yang akan menunjang kesuksesan dan ketahanan seseorang. Semua jenis pengalaman itu telah disampaikan filosofi progresif John Dewey sebagai inti dari jenis pengalaman. Artinya, pada saat sekarang pengalaman inti bukanlah sebagai suatu pilihan yang dianggap kebetulan belaka ketika dimiliki seseorang, melainkan kemampuan wajib yang diperlukan seseorang. berdasarkan hal ini, ada yang disadari bahwa kemampuan berfikir dan bertindak memberikan sumbangan dalam membangun kecerdasan dan keberhasilan seseorang.

(9)

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan progresif merupakan pendidikan yang didasarkan kepada peserta didik dengan maksud supaya mampu mengatasi atau menemukan solusi sendiri dikala persoalan yang dihadapi melalui pengalaman langsung di lapangan yang berpusat pada kehidupan yang nyata. Pada prinsipnya, pendidikan ini muncul sebagai peranan penting dalam meragakan pendidikan yang semata-mata keinginan peserta didik mampu diorganisir, bukan ditekan. Dalam konteks keislaman, sebenarnya pendidikan progresif sudah jauh dikenal oleh umatnya.

Namun, melihat realitas pembaruan pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan Islam, secara tidak langsung pendidikan Islam mengkonstruk pola pikirnya dalam menyusun kurikulum ataupun tata cara mendidik berdasarkan pemikir-pemikir yang cukup relevan dalam menindak lanjuti persoalan- persoalan yang telah berkembang di era modern ini.

Salah satunya pemikir John Dewey, dalam ranahnya pendidikan sangat dianggap sebagai hal penting. Sehingga dibutuhkan usaha tentang kesadaran terhadap pentinganya sebuah rasa hormat kepada hak dan kewajiban yang fundamental dari setiap orang yakni pengalaman. Belajar yang disandarkan dengan pengalaman, dalam pendidikan Islam juga ditekankan. Melalui ayat Al-Qur’an, sebenarnya sudah menganjurkan agar dalam hidupnya dijadikan pengalaman sebagai perenungan untuk memperbaiki kesehariannya. Maka dari itu, pendidikan Islam yang semulanya berwujud dalam membangun akhlak yang mulia dan mengamalkan ajaran beragama, akan tetapi juga lebih mengumatakan perkembangan potensi melalui pengalaman masing-masing. Terlebih dari itu, mampu menjadikannya sebuah kebebasan yang diaktualisasi menjadi insan yang bermanfaat.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Akrom, M. (2021). Metamorfosa Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme. Guepedia.

Amirudin, N. (2018). Filsafat Pendidikan Islam.

Caremedia Communication.

Amrina, A., Mudinillah, A., & bin Mohd Noor, A. F. (2022). The Contribution of Arabic Learning To Improve Religious Materials for Students. Ijaz Arabi Journal of Arabic Learning, 5(1).

Arianto, D. (2020). Relevansi Pemikiran John Dewey pada Pendidikan di Indonesia.

Tarbiyatul Misbah : Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan, Vol.13 No.

Aswasulasikin. (2018). Filsafat Pendidikan Operasional. Deepublish.

Dandas, Y. (2021). Analisis Pengelolaan dan Kebijakan Pendidikan atau Pembelajaran.

Deepublish.

Dkk, D. H. (2020). Belajar Berfikir dan Bertindak secara Praktis dalam Dunia Pendidikan Kajian untuk Akademis. Insan Cendekia Mandir.

Fadlillah, M. (2017). Aliran Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia.

Dimensi Pendidikan Dan Pembelajaran, Vol.5 No.1, 17.

Gultom, E., Frans, A., & Cellay, E. (2022).

Adapting the Graphic Novel to Improve Speaking Fluency for EFL Learners. Al-Hijr: Journal of Adulearn

World, 1(2), 46–54.

https://doi.org/10.55849/alhijr.v1i2.1 3

Gunawati, D. (2018). Menelisik Penerapan Pendidikan Progresif (Studi Kasus di Sekolah Alam Bengawan Solo).

Prosiding Seminar Nasional PPKn, 01.

Hani’ah. (2001). Agama Pragmatis: Tela’ah atas Konsepsi Agama John Dewey.

IndonesiaTera.

Haudi. (2020). Dasar-Dasar Pendidikan.

CV.Insan Cendekia Mandiri.

Hendra, R., Jamilus, J., Dogan, R., & Gugler, T. K. (2022). Job Analysis Urgentity (Task) in Islamic Education. Al-Hijr:

Journal of Adulearn World, 1(2), 55–64.

https://doi.org/10.55849/alhijr.v1i2.1 5

Junaedi, M. (2017). Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam. Kencana.

Kurnia, A. R. D. (2019). Pengembangan Kurikulum IPA Terpadu SMP: Tinjauan

(10)

Filosofis, Teoritis dan Contoh Implementasinya. PT. Panca Terra Firma.

Kurniawan, S. (2020). Isu-Isu Kontemporer tentang Islam dan Pendidikan Islam. Ayunindya.

Lukman Hakim, D. (2020). Pendidikan Islam Integratif: Best Practice Integratif Pendidikan Agama Islam dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi. Gestalt Media.

Mihmidaty Al-Faizah Ya’coub, D. (2021).

Manajemen Kurikulum (Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits). Global Aksara Pres.

Mualifah, I. (2013). Progresivisme John Dewey dan Pendidikan Partisipatif Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.01 No., 119.

Mubarok, R. (2015). Pendidikan Humanis John Dewey Dalam Perspektif Pendidikan Islam. J-PAI : Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.2 No.1.

Mudinillah, A. (2021). Software untuk Media Pembelajaran (Dilengkapi dengan Link Download Aplikasi): Bintang Pustaka.

Bintang Pustaka Madani.

Mudinillah, A., & Rizaldi, M. (2021). Using the Canva Application as an Arabic Learning Media at SMA Plus Panyabungan. At-Tasyrih, 7(2), 17–28.

Nata, A. (2019). Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Prenadamedia Group.

Nugroho, L. A. (2019). Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia: Integrasi Visi Creative Minority dalam Kurikulum. Penerbit Laikeisha.

Rachman, F. (2021). Modernisasi Manajemen Pendidikan Islam. IRCiSoD.

Rasinus, D. (2021). Dasar-Dasar Pendidikan.

Yayasan Kita Menulis.

Rezi, M., Mudinillah, A., & Pahmi, P. (2022).

Alternative Media in Supporting Learning in Indonesia During The Covid-19 Pandemic. Jurnal Basicedu, 6(2), 3043–3054.

Sagala, S. (2013). Etika dan Moralitas Pendidikan:

Peluang dan Tantangan. Kencana.

Saleh, K. (2012). Pendidikan Humanis antara Barat dan Islam-Telaah Kritis Pemikiran Pendidikan John Dewey.

Dinamika Ilmu : Jurnal Pendidikan.

Sanusi, S., Musnandar, A., Sutomo, S., Rafiu Ibrahim, A., & Lantong, A. (2022).

Implementation of Character Education: Perspective of Love for All Hatred For None in Spiritual, Social and Humanitarian Characters Formation in SMU Plus Al-Wahid. Al- Hijr: Journal of Adulearn World, 1(2), 65–

70.

https://doi.org/10.55849/alhijr.v1i2.1 1

Sugianto. (2021). Pendidikan Kita: Pendekatan Teori dan Praktik. Guepedia.

Supriatna, U. (2021). Manajemen Pendidikan Dalam Konstelasi Progresivisme (Telaah Filsafat Pendidikan John Dewey). QALAMUNA : Jurnal Pendidikan Sosial Dan Agama, Vol.13 No.

Susanto, F., Pérez Ramos, P., & Alami, N.

(2022). Strategies of English Lecturers in Facilitating Interactional Communication of English Students During the New Normal Period of the Covid 19 Pandemic at UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu for the 2021-2022 Academic Year. Al-Hijr: Journal of Adulearn World, 1(2), 88–97.

https://doi.org/10.55849/alhijr.v1i2.1 2

Waini Rasyidin, D. (2009). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoritis. Bandung Imperial Bhakti Utama.

Wathoni, L. M. N. (2018). Integrasi Pendidikan Islam dan Sains: Rekonstruksi Paradigma Pendidikan Islam. CV. Uwais Inspirasi Indonesia Ponorogo.

Wulandari, M. D. (n.d.). Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia. Seminar Nasional Pendidikan PGSD UMS Dan HDPGSDI Wilayah Jawa, 319.

Yul Fanani, I., Prakoso, R. D. Y., Bissessar, C.,

& Gligorovic, M. (2022).

Implementation of the Jigsaw Type Cooperative Learning Model on Improving Achievement and Learning Motivation of Muhammadiyah in Mu’allimin Madrasah Muhammadiyah Yogyakarta. Al-Hijr: Journal of Adulearn

World, 1(2), 71–79.

https://doi.org/10.55849/alhijr.v1i2.1 6

(11)

Yuliani. (2019). Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MA Insan Cendikia Serpong Tangerang Selatan. UIN Syarif Hidayatullah.

Zainal Arif, D. (2021). Pendidikan Berbasis Al- Qur’an. Insan Cendekia Mandiri.

Zakaria, B. N. A., Fakih, M. N., Saifuddin, S., Imani, A., & Said, H. (2022).

Politeness Strategies Employed in Communication with Santri and Ustadz in an Islamic Boarding School in Indonesia. Al-Hijr: Journal of Adulearn World, 1(2), 80–87.

https://doi.org/10.55849/alhijr.v1i2.1 4

Referensi

Dokumen terkait

"Leverage is the use of fixed costs in an attempt to improve profitability" Van 2005 Definition of Market to Book Ratio Halim 2004: 9 in the journal "Empirical Effects of Market

Dengan teknik analisa data tersebut dapat diperoleh perbandingan dampak modal intelektual terhadap kinerja bank antara Bank Umum Nasional yang satu dengan Bank Umum Nasional lainnya