• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HEWAN BOGOR 20111

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS HEWAN BOGOR 20111"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

RESI

DARI

IDU ANT

PASAR T

M

FAK

IN

TIBIOTIK

TRADISI

MOCHAM

KULTAS

NSTITUT

K PADA D

IONAL D

MMAD R

KEDOK

T PERTA

BOGO

2011

DAGING

DI PROVI

RIFQI WI

KTERAN

ANIAN BO

OR

1

G AYAM D

INSI JAW

IJAYA

HEWAN

OGOR

DAN SAP

WA BARA

N

PI

AT

(2)

ABSTRACT

MOCHAMMAD RIFQI WIJAYA. Antibiotic residues of chicken and beef in traditional market of West Java Province. Under direction of HERWIN PISESTYANI.

This study was aimed to observe the occurance of antibiotic residues in chicken and beef which sold in traditional markets of West Java Province. Thirty six chicken samples and 24 beef samples were collected from twelve districts. The antibiotic residues were determined using bioassay method. The results showed that none of the 36 chicken samples were positive of penicillin, macrolides, aminoglycosides, and tetracyclines. Three samples of beef were positive of macrolides, those samples derived from Bandung City and Tasikmalaya District.

(3)

RINGKASAN

MOCHAMMAD RIFQI WIJAYA. Residu antibiotik pada daging ayam dan sapi dari pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh HERWIN PISESTYANI.

Daging merupakan pangan hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, terutama mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh untuk (1) pertumbuhan sel-sel baru, (2) pergantian sel-sel yang rusak, serta (3) proses metabolisme tubuh. Daging sangat bermanfaat untuk kesehatan, pertumbuhan, dan kecerdasan manusia, namun juga dapat mengandung bahaya biologis, kimiawi, dan fisik. Salah satu bahaya kimiawi yang dapat dijumpai pada daging adalah residu antibiotik. Ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat, residu antibiotik dalam pangan asal hewan dapat mengancam kesehatan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik pada daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional Provinsi Jawa Barat. Sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam diambil secara purposif di 12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat. Pengujian sampel daging ayam dan daging sapi menggunakan metode screening test secara bioassay. Keberadaan residu antibiotik dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan di sekitar kertas cakram.

Sampel daging ayam dan sapi yang akan diperiksa diiris dengan skalpel dan dimasukkan kertas cakram ke dalam irisan tersebut. Cawan Petri diisi dengan media biakan dan didiamkan sampai media memadat. Kertas cakram yang telah dimasukkan ke dalam daging diambil dan diletakkan secara hati-hati di atas permukaan media biakan yang telah memadat dengan menggunakan pinset steril. Setiap cawan Petri terdapat 5 kertas cakram, yang terdiri dari 4 kertas cakram dari sampel daging yang berbeda dan 1 kertas cakram dari larutan antibiotik sebagai larutan standar. Larutan standar sebanyak 75 µl diteteskan di atas kertas cakram secara tegak lurus dengan menggunakan pipet mikro. Larutan standar digunakan sebagai kontrol positif setiap golongan antibiotik dengan konsentrasi tertentu dalam setiap mililiter larutan.

Larutan standar dari golongan penisilin diwakili oleh natrium penisilin (0.01 IU/ml), golongan tetrasiklin diwakili oleh oksitetrasiklin (1.0 µg/ml), golongan aminoglikosida diwakili oleh kanamisin (1.0 µg/ml), dan golongan makrolida diwakili oleh tilosin (1.0 µg/ml). Cawan Petri tersebut diinkubasikan ke dalam inkubator dengan suhu yang berbeda untuk setiap antibiotik (grup tetrasiklin suhu inkubator 30 ºC, grup makrolida dan aminoglikosida 36 ºC, dan grup penisilin 55 ºC) selama 18 sampai 24 jam. Pembacaan hasil dilakukan dengan mengukur zona hambat yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang diduga mengandung residu antibiotik dengan menggunakan jangka sorong. Sampel dinyatakan positif mengandung residu antibiotik apabila terbentuk zona bening (daerah hambatan) minimal 2 mm lebih besar dari diameter kertas cakram. Golongan penisilin dinyatakan positif maka harus dilakukan uji ulang dengan menggunakan enzim penisilinase sebagai peneguhan.

(4)

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah tidak ditemukan residu antibiotik dalam daging ayam yang berasal dari beberapa pasar tradisional di 12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat. Sebanyak 3 sampel daging sapi positif ditemukan residu antibiotik golongan makrolida yaitu Kota Bandung (2) dan Kabupaten Tasikmalaya (1). Secara umum keberadaan residu antibiotik pada

sampel daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional di 12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat memenuhi standar batas maksimum residu

yang sesuai dengan petunjuk teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan.

Kata Kunci: metode bioassay, residu antibiotik, daging ayam, daging sapi

(5)

RESIDU ANTIBIOTIK PADA DAGING AYAM DAN SAPI

DARI PASAR TRADISIONAL DI PROVINSI JAWA BARAT

LE

MOCHAMMAD RIFQI WIJAYA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

                       

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBERINFORMASI

 

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Residu Antibiotik pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

   

Bogor, November 2011

Mochammad Rifqi Wijaya B04070106

       

(7)

           

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

     

   

(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Peneltian : Residu Antibiotik pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Mochammad Rifqi Wijaya

NRP : B04070106

Disetujui

drh. Herwin Pisestyani, M.Si Pembimbing

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul penelitian adalah Residu Antibiotik pada Daging Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat. Terimakasih penulis sampaikan kepada ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah tanpa lelah dan penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Dr. drh Nurhidayat, MS selaku dosen pembimbing akademik, Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si, Ibu Prof. Dr. drh. Agatha Winny Sanjaya, MS, Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B Sudarwanto, Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si, dan Ibu Maya Masita N, SPt, M.Si atas dukungan dan bimbingannya selama penelitian. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Bapak Tedi Subarkah, AMd, Bapak Yuhendra yang telah banyak membantu penelitian ini. Kepada teman-teman satu penelitian (Fuji, Inda, Ellangga, Eddy, Putra, Wulan, Ningrum) penulis berterima-kasih atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, dan adik tersayang (Marisa dan Ravi), serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) dan keluarga Gianuzzi 44 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

 

Bogor, November 2011 Mochammad Rifqi Wijaya

(10)

RIWAYAT HIDUP

 

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 28 Agustus 1989 dari ayah Dadang Suparyan dan ibu Rundiasih. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN Babakan Tarogong 3 Kota Bandung dan lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke SMPN 3 Kota Bandung dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMAN 11 Kota Bandung dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Mayor yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB sebagai Ketua (2009-2010), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan (IMAKAHI) Cabang FKH IPB sebagai anggota Divisi Zoonosis dan Lingkungan Pengabdian Masyarakat (2008-2010), Komunitas Seni Steril FKH IPB sebagai Wakil Ketua (2008-2009), Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman sebagai anggota Divisi Teater (2008-2009).

(11)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR………... PENDAHULUAN Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... xi xii 1 2 2 TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan ... Bahaya dalam Keamanan Pangan ... Data yang Terkait Keamanan Pangan Daging ... Residu Antibiotik ... Jenis Antibiotik yang Digunakan ... Tujuan Penggunaan Antibiotik ... Prevalensi Residu Antibiotik ... Dampak Residu Antibiotik bagi Kesehatan Masyarakat ...

3 4 4 6 7 9 10 12 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian ... Pengambilan dan Jumlah Sampel ... Alat dan Bahan ... Cara Pengujian Residu Antibiotik ...

13 13 14 14 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan Residu Antibiotik... Residu Penisilin... Residu Makrolida... Residu Aminoglikosida... Residu Tetrasiklin... Pencegahan dan Pengendalian Residu Antibiotik pada Daging...

17 18 19 21 22 24 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan... Saran...

27 27 DAFTAR PUSTAKA... 28

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di Kota

Accra dan Kumasi tahun 2007-2008 (Karabudak et al. 2008)... 11 2 Prevalensi residu antibiotik pada daging ayam, daging babi, dan

daging sapi di wilayah Florence, Italia (Pesavento et al. 2007)... 11 3 Lokasi dan jumlah sampel daging ayam dan sapi yang diambil dari

beberapa pasar tradisional di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat... 13 4 Hasil uji residu penisilin pada daging ayam dan sapi di 12

kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat... 18 5 Hasil uji residu makrolida pada daging ayam dan sapi di 12

kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat... 19 6 Hasil uji residu aminoglikosida pada daging ayam dan sapi di 12

kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat... 21 7 Hasil uji residu tetrasiklin pada daging ayam dan sapi di 12

kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat... 22 8 Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging ayam

dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010... 24

       

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Contoh hasil uji residu antibiotik pada sampel daging dengan menggunakan metode bioassay... 16

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging merupakan pangan hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, terutama mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh untuk (1) pertumbuhan sel-sel baru, (2) pergantian sel-sel yang rusak, serta (3) proses metabolisme tubuh (Ikhwan 1997). Daging sangat bermanfaat untuk kesehatan, pertumbuhan, dan kecerdasan manusia. Daging yang umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba, kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, kuda, rusa, babi).

Banyaknya masakan khas Indonesia yang menggunakan daging sebagai bahan dasar, misalnya soto daging, rendang, rawon, empal, dan sate, menjadikan daging merupakan salah satu makanan yang disenangi masyarakat di Indonesia. Daging dapat diolah atau dimasak dengan berbagai cara antara lain rebus, goreng, panggang, bakar, atau dikeringkan. Tingkat konsumsi daging dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun 2005 tingkat konsumsi daging mencapai 5.2 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2008 menjadi 7.8 kg/kapita/tahun (Ditjennak 2009).

Daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah busuk (perishable food) dan pangan yang berpotensi membawa bahaya (potentially hazardous food) (Lukman et al. 2009). Daging dapat mengandung bahaya biologis, kimiawi, dan fisik. Salah satu bahaya kimiawi yang dapat dijumpai pada daging adalah residu antibiotik. Ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat, residu antibiotik dalam pangan asal hewan dapat mengancam kesehatan masyarakat. Ancaman kesehatan masyarakat akibat residu antibiotik dalam pangan asal hewan antara lain resistensi bakteri, gangguan kesehatan konsumen seperti alergi atau keracunan.

Masalah residu antibiotik pada pangan asal hewan berkaitan dengan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiotik di peternakan. Antibiotik saat ini banyak digunakan untuk pengobatan (terapi) dan pemacu pertumbuhan (growth promotor). Penggunaan antibiotik yang tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal time), akan menimbulkan residu antibiotik pada produk hewan (Donkor et al. 2011).

(15)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik dalam daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional Provinsi Jawa Barat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk penentuan kebijakan dan program dalam rangka jaminan keamanan pangan di Provinsi Jawa Barat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik pada daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional Provinsi Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang bahaya residu antibiotik pada daging ayam dan sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional Provinsi Jawa Barat kepada masyarakat dalam rangka program jaminan keamanan pangan asal hewan.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Keamanan Pangan

Keamanan pangan didefinisikan dalam Undang-Undang Pangan RI Nomor 7 tahun 1996 sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim 1997). Menurut Codex Alimentarius Commission (1997), keamanan pangan adalah semua kondisi dan ukuran kebutuhan untuk menjamin keamanan dan kesesuaian pangan dalam semua tingkat rantai pangan. Keamanan pangan pada dasarnya merupakan proses yang komplek, yang berkaitan erat dengan aspek kebijakan, toksisitas, kimiawi, status gizi, kesehatan, dan ketentraman batin (Indraningsih 2006). Masalah keamanan pangan perlu pengawasan yang komprehensif di sepanjang rantai pangan dari sejak pangan diproduksi sampai dikonsumsi oleh masyarakat (from farm to table). Keamanan pangan menjadi perhatian dunia karena dampak terhadap kesehatan masyarakat sangat besar. Keamanan pangan dan masalah gizi berpengaruh terhadap perkembangan kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang (Gartini et al. 2009).

Kedudukan masyarakat dalam keamanan pangan berperan sebagai konsumen dan penghubung terakhir dalam rantai pangan setelah melewati proses produksi, pengolahan, dan distribusi ke penjual pangan. Faktor yang mempengaruhi keamanan pangan pada konsumen antara lain: umur, gaya hidup, kesehatan, pengetahuan, kebudayaan, jenis kelamin, pandangan politik, kebutuhan nutrisi, daya beli, status ekonomi, status keluarga, pekerjaan, dan pendidikan (Seward 2003b). Terjaminnya keamanan pangan di masyarakat perlu pengawasan yang ketat dan secara terpadu dari pemerintah maupun departemen yang bergerak di bidang pangan. Pengawasan terhadap produk pangan bertujuan untuk mencegah munculnya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

(17)

Bahaya dalam Keamanan Pangan

Menurut National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Food (1997), yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya dalam keamanan pangan terdiri dari bahaya biologis, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Bahaya biologis dapat menyebabkan infeksi (pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit) dan intoksikasi (penyakit yang disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh mikroorganisme). Contoh dari agen biologis pangan asal hewan yang ditransmisikan kepada manusia antara lain: Salmonella, Campylobacter, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Toxoplasma, Leptospira, Coxiella burnetii (Q fever), Brucella, Mycobacterium, Yersinia enterolitica, prion (bovine spongiform encephalopathy agent), dan parasit (Taenia solium, Taenia saginata, dan Trichinella spiralis), agen tersebut dapat menyebabkan foodborne disease (OIE 2006).

Bahaya kimia berasal dari: (1) bahan pertanian seperti pestisida, antibiotik, dan hormon pertumbuhan, (2) industri kimia seperti cleaning agent, sanitizers, dan peralatan industri yang berhubungan dengan minyak, bensin, dan pelumas. Bahaya kimia yang lainnya seperti toksikan alami (mikotoksin) dan kontaminasi dari lingkungan antara lain: dioxins, polychlorinated biphenyls (PCBs), polyaromatic hydrocarbons (PAHs), logam berat (arsenik, merkuri, timbal, dan cadmium merupakan toksik logam berat pada hewan domestik), dan isotop radioaktif (Seward 2003a; OIE 2006; Andree et al. 2010). Menurut Corleet (1998) yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya fisik terdiri dari gelas, kayu, plastik, batu, logam, dan tulang. Bahaya fisik merupakan kontaminasi yang tidak disengaja berasal dari penanaman, pemanenan, proses industri, distribusi, dan penyimpanan.

Data yang Terkait Keamanan Pangan Daging

Keamanan pangan pada daging dapat ditinjau dari aspek kimia, biologi, dan fisika. Aspek paling penting berada di rumah potong hewan dan proses industri yang menerapkan program hazard analysis and critical control point (HACCP). Implementasi program HACCP pada semua bahaya dapat mempengaruhi

(18)

keselamatan manusia, maka dari itu setiap bahaya harus diidentifikasi, dipantau, dikurangi, dan dihilangkan ketika dianggap kritis (Dwinger et al. 2009).

Menurut Schreuder (1994) dan Bernard et al. (1999) yang diacu dalam Dwinger et al. (2009), sekitar tahun 1990 kepercayaan konsumen di Eropa terancam karena sejumlah makanan terkontaminasi terutama daging sapi. Sapi di Inggris terjangkit bovine spongiform encephalopathy (BSE) dan di Belgia ditemukannya polychlorinated biphenyls dan dioxins pada pakan ternak.

Penelitian mengenai penanganan daging sapi di Turki dilakukan pada bulan September sampai Desember 2004. Wawancara dilakukan pada konsumen yang berjumlah 1090 orang yang terdiri dari konsumen yang diet daging sapi, pembeli daging sapi, dan konsumen yang menangani daging sapi di rumah. Hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak dapat menyimpan dan mencairkan daging sapi pada suhu yang baik dan benar. Praktik penanganan pangan dipengaruhi oleh pendidikan, sosial ekonomi, dan pengetahuan keamanan pangan. Konsumen daging sapi di Turki harus diberitahu mengenai penanganan

daging sapi yang baik dan benar untuk mencegah foodborne disease (Karabudak et al. 2008).

American Meat Institute (AMI) melakukan survei untuk mengetahui opini

konsumen mengenai pengemasan dan proses pengolahan daging ayam dan sapi pada awal tahun 2007. Survei ini dilakukan di kota Illinois (Chicago) yang terdiri dari dua kelompok yaitu fokus grup dan survei internet. Beberapa kesimpulan utama dari survei ini adalah (1) sekitar 90% konsumen setuju, bahwa produk daging yang diproduksi di Amerika Serikat merupakan produk yang paling aman di dunia, (2) sekitar 74% konsumen setuju, bahwa daging sapi yang diproduksi di Amerika Serikat paling terjangkau di dunia, (3) hampir 60% konsumen setuju, bahwa daging ayam dan sapi yang dipotong di Amerika Serikat diperlakukan secara manusiawi, (4) sekitar 50% konsumen mendengar mengenai kejadian khusus masalah keamanan pangan daging pada tahun lalu, (5) sekitar 33% konsumen mengatakan, bahwa isu keamanan pangan daging pada tahun lalu

mencegah konsumen untuk membeli daging ayam dan sapi (Seward 2009).

Keamanan pangan daging berada pada barisan terdepan yang menjadi perhatian masyarakat dalam beberapa tahun terakhir dan tantangan ini akan

(19)

berlanjut di masa yang akan datang. Isu terbesar dalam keamanan pangan daging yaitu tantangan yang terkait kebutuhan maupun pencegahan terhadap munculnya dan berkembangnya mikroorganisme patogen. Salah satu bahaya kimia yang

terdapat dalam daging yaitu ditemukannya residu antibiotik (Sofos 2008).

Residu Antibiotik

Residu antibiotik adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari antibiotik tersebut, sehingga residu dalam bahan makanan (terutama jaringan ternak untuk konsumsi) meliputi senyawa asal yang tidak berubah (non-altered parent drug), metabolit dan/atau konjugat lainnya. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang/tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik (Haagsma 1988). Sesuai dengan petunjuk

teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan, residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau bahan kimia dan atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian obat atau bahan kimia untuk tujuan pencegahan atau pengobatan atau sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan.

Antibiotik yang diberikan pada hewan ternak akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan berinteraksi dengan reseptor di dalam tubuh. Interaksi tersebut dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) aksi antibiotik terhadap tubuh yang diwujudkan dalam bentuk efek obat, (2) reaksi tubuh terhadap antibiotik atau cara tubuh menangani senyawa eksogen. Secara simultan antibiotik didistribusikan ke dalam tubuh setelah diabsorbsi. Umumnya antibiotik bersifat mudah larut dalam lemak dan dapat dengan mudah melewati membran-membran sel atau jaringan sehingga dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk ke hati dan ginjal (Murtidjo 2007). Pengeluaran antibiotik terjadi melalui proses biotransformasi dan eliminasi yang berlangsung lama sehingga pada waktu pemotongan jika antibiotik yang telah diberikan masih tersisa dalam bentuk metabolit atau bahan aktifnya terdapat di dalam produk hewan ternak yaitu

(20)

daging, hati, ginjal, dan paru-paru. Timbunan dari senyawa atau metabolit dari antibiotik dalam tubuh dapat menyebabkan residu (Siregar 1990).

Keberadaan residu antibiotik dalam produk hewani diakibatkan oleh beberapa faktor (1) tidak diperhatikannya waktu henti obat, (2) penggunaan antibiotik melebihi dosis yang dianjurkan dan tidak di bawah pengawasan dokter hewan, (3) pengetahuan yang kurang akan dampak pada kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik, (4) tidak ada penyuluhan dalam penggunaan antibiotik yang baik dan benar di peternakan, dan (5) tipe dari peternakan ada yang intensif atau ekstensif (Lukman 1994; Donkor et al. 2011).

Jenis Antibiotik yang Digunakan

Menurut Ganiswarna et al. (1995) dan Kennedy et al. (1998), antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi baik secara alami maupun buatan (sintetik) yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Berdasarkan sifat toksisitas selektif ada antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakterisidal (Ganiswara et al. 1995). Menurut Reig dan Toldra (2009), antibiotik dibagi menjadi sembilan golongan tetapi yang sering digunakan dalam bidang peternakan ada lima golongan yaitu:

1. Sulfonamida

Antibiotik ini merupakan turunan dari sulfanilamid. Sulfonamida merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan aktif dalam melawan bakteri Gram positif dan negatif. Mekanisme kerja dari antibiotik ini adalah menghambat sintesis DNA bakteri. Antibiotik ini digunakan untuk pengobatan penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri. Jenis antibiotik yang banyak digunakan dari golongan sulfonamida adalah sulfametazin. Menurut Dixon (2001) yang diacu dalam Reig dan Toldra (2009), sulfametazin digunakan untuk hewan karena harganya murah, cara memperolehnya mudah, dan tingkat efisiensi tinggi.

(21)

Golongan sulfonamida yang terdiri dari sulfametazin, aquinoksalin, dan sulfamethoksazol memiliki peranan penting di bidang kedokteran hewan yaitu dalam pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan protozoa (Mamani et al. 2009).

2. β-Laktam

Antibiotik ini mempunyai struktur β-laktam melingkar, yang termasuk golongan ini adalah penisilin, β-laktamase inhibitor, sephalosporin, ampisilin, dan amoksilin. Antibiotik ini digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dengan cara merusak dinding sel bakteri. Golongan β-laktam terutama penisilin merupakan antibiotik yang bersifat non-toksik. Antibiotik tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan pada hewan ternak (Verdon et al. 2000). 3. Tetrasiklin

Derivat antibiotik ini berasal dari Streptomyces sp. Tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas dengan aktivitas yang tinggi dalam melawan bakteri Gram positif dan negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri. Dalam bidang peternakan antibiotik ini digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan dan jika dosisnya rendah dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan. Golongan tetrasiklin yang banyak digunakan di bidang kedokteran hewan adalah oksitetrasiklin dan klortetrasiklin.

4. Aminoglikosida

Antibiotik ini mempunyai struktur gugus gula amino yang berikatan dengan glikosida yang termasuk golongan ini adalah gentamisin, neomisin, streptomisin, kanamisin, dan spektomisin. Aminoglikosida merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan aktif dalam melawan bakteri Gram negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri. Neomisin merupakan golongan aminoglikosida yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pencernaan pada sapi, kambing, domba, babi, dan unggas yang diaplikasikan secara per oral. Antibiotik ini dapat digunakan untuk

pengobatan mastitis yang diaplikasikan secara intramamari (Wang et al. 2009).

(22)

5. Makrolida

Antibiotik ini mempunyai gugus makrosiklik lakton yang mengikat gugus gula. Golongan makrolida adalah eritromisin, tilosin, spiramisin, dan linkomisin. Makrolida dapat digunakan untuk pengobatan penyakit saluran respirasi khususnya eritromisin dapat melawan bakteri Gram positif. Tilosin, spiramisin, dan linkomisin dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan.

Tujuan Penggunaan Antibiotik

Penggunaan obat-obatan terutama antibiotik, belakangan ini tidak dapat dihindari lagi karena usaha peternakan telah dioperasikan secara intensif dan dalam skala industri (Lukman 1994). Pemakaian obat-obatan tersebut memiliki alasan atau tujuan yang berbeda-beda yaitu (1) mencegah dan mengobati penyakit pada hewan ternak dan manusia, (2) menyelamatkan ternak dari kematian, (3) meningkatkan efisiensi pakan, memacu pertumbuhan, dan mengurangi penderitaan hewan (misalnya obat-obat sedasi), (4) menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen, (5) pengawet makanan, (6) mengembalikan kondisi ternak untuk berproduksi penuh kembali dalam waktu yang relatif singkat, (7) mengurangi atau menghilangkan penderitaan ternak dan mencegah penyebaran mikroorganisme patogen ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan ternak dan manusia (Haagsma 1988; Wiryosoehanto 1990; Lukman 1994;

Drosinos et al. 2009; Mamani et al. 2009; Pikkemaat et al. 2009; Pericas et al. 2010).

Antibiotik yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) biasanya diberikan sebagai imbuhan pakan (feed additive) yang bermanfaat untuk meningkatkan produksi (terutama unggas dan babi) dan mengurangi biaya pakan (Wiryosoehanto 1990; Martinez 2009). Manfaat penggunaan antibiotik dalam pakan adalah sebagai berikut (1) antibiotik secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam amino, (2) antibiotik dapat membunuh atau menghambat mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan, (3) meningkatkan penyerapan kalsium, fosfor, dan magnesium dari pakan ternak

(23)

yang dikonsumsi, (4) mengurangi kebutuhan zat-zat gizi seperti vitamin B12, mineral, dan asam amino (Siregar 1990).

Prevalensi Residu Antibiotik

Menurut Kruse et al. (1994), Klein dan Teuber (1999), dan Mayrhofer (2004) yang diacu dalam Pesavento et al. (2007), daging merupakan vektor utama untuk transfer resistensi bakteri dari hewan ke manusia. Resistensi bakteri selalu menjadi masalah besar untuk infeksi nasokhomial di lingkungan rumah sakit. Mekanisme transfer antibiotik melalui tiga cara yaitu: (1) ditemukan residu antibiotik dalam makanan, (2) penyebaran melalui transfer resistensi dari foodborne pathogens, (3) penyebaran ingesti dari bagian resistensi mikroflora makanan alami dan transfer resistensi ke mikroorganisme patogen.

Menurut Hernandez et al. (2002) yang diacu dalam White et al. (2004), salah satu penelitian di Spanyol untuk menentukan tingkat resistensi antibiotik menggunakan 112 isolat Salmonella sp dari 691 sampel daging ayam beku dan segar. Hampir setengah dari isolat yang diuji (46%) sensitif terhadap semua antibiotik yang diuji. Resistensi yang diamati terhadap kloramphenikol (45%), ampisilin (35%), dan tetrasiklin (34%). Resistensi terhadap beberapa antibiotik diamati pada 44% dari isolat S. Typhimurium, isolat ini cenderung lebih tahan dari serotipe lain yang diuji.

Bulan Januari 2007 sampai November 2008, dilakukan pengujian residu antibiotik pada daging dan telur di Ghana. Sampel tersebut berasal dari peternakan, konsumen dari Kota Accra dan Kota Kumasi yang diambil secara acak untuk diuji residu antibiotik golongan β-laktam, tetrasiklin, kloramphenikol, makrolida, aminoglikosida, sulfonamida, dan quinolon. Total sampel yang diuji berjumlah 634 sampel yang terdiri dari 156 sampel daging sapi, 99 sampel daging kambing, 84 sampel daging babi, 75 sampel daging domba, dan 220 sampel telur. Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di kota Accra dan Kota Kumasi disajikan pada Tabel 1.

(24)

Tabel 1 Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di Kota Accra dan Kumasi tahun 2007-2008 (Karabudak et al. 2008)

Jenis Sampel Accra Kumasi Total

JS SP %P JS SP %P JS SP %P Daging Sapi 60 9 15 96 39 41 156 48 30.8 Daging Kambing 41 7 17.1 58 22 38 99 29 29.3 Daging Domba 19 4 21.1 56 14 25 75 18 24 Daging Babi 20 2 10 64 22 34 84 24 28.6 Telur 120 12 10 100 3 3 220 15 6.8

Keterangan: JS: Jumlah Sampel SP: Sampel Positif

%P: Prevalensi

Pengujian residu antibiotik yang dilakukan di Italia dengan pengambilan sampel yang berasal dari pedagang daging dan supermarket di sekitar wilayah Florence (Italia). Jumlah sampel daging sebanyak 176 sampel yang terdiri dari 42 daging ayam, 68 daging sapi, dan 66 daging babi. Pengujian ini menggunakan isolat Staphylococcus aureus dan 12 jenis antibiotik. Hasil pengujian residu antibiotik disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Prevalensi residu antibiotik pada daging ayam, daging babi, dan daging sapi di wilayah Florence , Italia (Pesavento et al. 2007)

Antibiotik

Resistensi Daging ayam

(12/42) Daging babi (10/66) Daging sapi (20/68) (42/176) Total

N (%) N (%) N (%) N (%) Sefalotin 0 0 1 10 0 0 1 2.38 Oksasilin 8 66.66 1 10 6 30 15 35.17 Ampisilin 7 58.33 2 20 9 45 18 42.86 Tetrasiklin 1 8.33 2 20 5 25 8 19.04 Trimetoprim 1 8.33 1 10 0 0 2 4.76 Eritromisin 1 8.33 2 20 5 25 8 19.04 Klindamisin 1 8.33 3 30 5 25 9 21.43 Gentamisin 2 16.66 1 10 1 5 4 9.52 Methisilin 0 0 0 0 0 0 0 0 Teikoplanin 0 0 0 0 0 0 0 0 Penisillin G 3 25 2 20 2 10 7 16.66 Vankomisin 0 0 0 0 0 0 0 0

(25)

Dampak Residu Antibiotik bagi Kesehatan Masyarakat

Residu antibiotik di dalam daging serta produk hewan lainnya, dapat menimbulkan ancaman potensial terhadap kesehatan masyarakat bila dikonsumsi dalam waktu yang lama (Lukman 1994), ancaman tersebut dapat berupa (1) aspek toksikologis, yaitu residu antibiotik dapat bersifat racun terhadap hati, ginjal, dan pusat hemopoitika, (2) aspek mikrobiologis, yaitu residu antibiotik akan menggangu keseimbangan mikroflora di dalam saluran pencernaan sehingga dapat menggangu metabolisme tubuh, (3) aspek imunopatologis, yaitu residu antibiotik dapat menjadi faktor pemicu timbulnya reaksi alergi dari yang bersifat ringan sampai berat dan bersifat fatal, (4) menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan kerusakan jaringan (Haagsma 1988; Donkor et al. 2011).

Haagsma (1988) memandang masalah residu obat dalam bahan makanan dan penggunaan obat dalam bidang veteriner berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat, aspek teknologi, dan aspek lingkungan. Ditinjau dari aspek teknologi, keberadaan residu antibiotik dalam bahan makanan dapat mengganggu atau menggagalkan proses fermentasi. Ditinjau dari aspek lingkungan, penggunaan obat pada ternak akan mencemari lingkungan karena senyawa asal obat atau metabolit akan diekskresikan melalui urin dan feses. Ekskreta obat atau metabolit tersebut akan terlibat pada proses mikrobiologik dalam manur dan tanah, serta dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme, yaitu dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan untuk terapi (Martaleni 2007). Kemungkinan ancaman residu obat dalam bahan makanan terhadap kesehatan masyarakat adalah mutagenik, karsinogenik, dan imunosupresif.

(26)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan September sampai Oktober 2009. Sampel

daging ayam dan sapi diambil dari beberapa pasar tradisional di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat (Tabel 1). Uji tapis (screening test) residu

antibiotik pada daging ayam dan sapi menggunakan metode bioassay dilakukan di Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian.

Tabel 3 Lokasi dan jumlah sampel daging ayam dan sapi yang diambil dari beberapa pasar tradisional di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Daging sapi Daging ayam Jumlah

1. Kota Bekasi 2 3 5 2. Kabupaten Purwakarta 2 3 5 3. Kabupaten Bogor 2 3 5 4. Kota Bogor 2 3 5 5. Kota Sukabumi 2 3 5 6. Kabupaten Bandung 2 3 5 7. Kota Bandung 2 3 5 8. Kabupaten Cianjur 2 3 5 9. Kabupaten Sumedang 2 3 5 10. Kabupaten Tasikmalaya 2 3 5 11. Kota Cirebon 2 3 5 12. Kabupaten Indramayu 2 3 5 24 36 60

Pengambilan dan Jumlah Sampel

Jumlah sampel ditentukan secara tidak acak (purposif) dari pasar tradisional yang telah ditentukan oleh peneliti di setiap kabupaten/kota, yaitu masing-masing 2 sampel daging sapi dan 3 sampel daging ayam. Jumlah keseluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam (Tabel 3).

Berat sampel daging sapi yang diambil minimum 300 g dan sampel daging ayam setengah karkas. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.

(27)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah penangas air, autoklaf, lemari pendingin, timbangan analitik, tiga jenis inkubator (30 ºC, 36 ºC, dan 55 ºC), magnet pengaduk, pH meter, pipet mikro 50-300 µl, jangka sorong, ose, pinset, gunting, skalpel, cawan Petri 100 x 12 mm, tabung reaksi (7 ml dan 20 ml),

tabung sentrifus ukuran 50 ml, labu ukur (50 ml dan 100 ml), gelas ukur (100 ml dan 500 ml), Erlenmeyer (250 ml dan 500 ml), botol timbang ukuran

20 ml, pipet volumetrik (1 ml, 2 ml, 3 ml, 5 ml, 10 ml, dan 18 ml), pipet graduasi (1 ml, 5 ml, 7 ml, 10 ml, 20 ml), dan botol media.

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bacto peptone (Difco 21667), bacto agar (Difco 214010), beef extract (Difco 212610), yeast extract (Difco 212750), dextrose (Difco 215530), glucose (Merck 1.08342.100), air destilata, larutan buffer terdiri dari NaOH (Merck 1.06498.0500), HCl (Merck 1.00316.2500), KH2PO4 (Merck 1.04783.1000), Na2HPO4 (Merck 1.065.86.0500), KOH (Merck 1.05033.0500), H3PO4 (Merck 1.00573.1000), K2HPO4 (Merck 1.051.04.1000).

Mikroorganisme uji terdiri dari bakteri Bacillus stearothermophilus American Type Culture Collection (ATCC) 7953 (Oxoid 0871P) untuk golongan penisilin, bakteri Bacillus cereus ATCC 11778 (Oxoid 0256P) untuk golongan tetrasiklin, bakteri Bacillus subtilis ATCC 6633 (Oxoid 0486P) untuk golongan aminoglikosida, dan bakteri Micrococcus luteus ATCC 9341 (Oxoid 6888P) untuk golongan makrolida. Larutan baku pembanding terdiri dari natrium penisilin (Sigma P-7794) untuk penisilin, oksitetrasiklin hidroklorida (Sigma O-5875) untuk tetrasiklin, kanamisin sulfat (Sigma K-4000) untuk aminoglikosida, serta tilosin tartat (Sigma T-6134) untuk makrolida.

Cara Pengujian Residu Antibiotik

Residu antibiotik pada daging ayam dan sapi diuji menggunakan metode uji tapis (screening test) secara bioassay dengan standar normal diameter zona hambatan yang digunakan 20 ± 1 mm dari diameter kertas cakram 8 mm sesuai dengan petunjuk teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 7424:2008

(28)

tentang metode uji tapis (screening test) residu antibiotik pada daging, telur, dan susu secara bioassay.

Pemeriksaan terhadap antibiotik golongan makrolida menggunakan bakteri Micrococcus luteus ATCC 9341 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang mengandung bacto agar 18 g, peptone 6 g, beef extract 1.5 g, yeast extract 3 g, glukosa 1 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 8.5 ± 0.1 dan dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.

Antibiotik golongan tetrasiklin diperiksa dengan menggunakan bakteri Bacillus cereus ATCC 11778 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang mengandung bacto agar 15 g, peptone 6 g, beef extract 1.5 g, yeast extract 3 g, KH2PO4 1.35 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 5.7 ± 0.1 dan dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.

Antibiotik golongan penisilin diperiksa dengan menggunakan bakteri Bacillus stearothermophilus ATCC 7953 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang mengandung bacto agar 15 g, peptone 5 g, yeast extract 3 g, dextrose 1 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 5.7 ± 0.1 dan dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.

Antibiotik golongan aminoglikosida diperiksa dengan menggunakan bakteri Bacillus subtilis ATCC 6633 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang mengandung bacto agar 15 g, peptone 5 g, beef extract 3 g, air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 8.5 ± 0.1 dan dididihkan sampai bacto agar tersebut

larut. Keempat media tersebut disterilkan ke dalam autoklaf pada temperatur 121 ± 1 ºC, dengan menggunakan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Sampel daging ayam dan sapi yang akan diperiksa diiris dengan skalpel dan dimasukkan kertas cakram ke dalam irisan tersebut. Kertas cakram yang telah dimasukkan ke dalam daging diambil dan diletakkan secara hati-hati di atas permukaan media biakan yang telah memadat dengan menggunakan pinset steril. Setiap cawan Petri berisi 5 kertas cakram, yang terdiri dari 4 kertas cakram dari sampel daging yang berbeda dan 1 kertas cakram dari larutan antibiotik sebagai larutan standar. Larutan standar sebanyak 75 µl diteteskan di atas kertas cakram secara tegak lurus dengan menggunakan pipet mikro. Larutan standar digunakan

(29)

sebagai kontrol positif setiap golongan antibiotik dengan konsentrasi tertentu dalam setiap mililiter larutan.

Larutan standar dari golongan penisilin diwakili oleh natrium penisilin (0.01 IU/ml), golongan tetrasiklin diwakili oleh oksitetrasiklin (1.0 µg/ml), golongan aminoglikosida diwakili oleh kanamisin (1.0 µg/ml), dan golongan makrolida diwakili oleh tilosin (1.0 µg/ml). Biakan tersebut diinkubasikan ke

dalam inkubator dengan suhu yang berbeda untuk setiap antibiotik (grup tetrasiklin suhu inkubator 30 ºC, grup makrolida dan aminoglikosida 36 ºC,

dan grup penisilin 55 ºC) selama 18 sampai 24 jam. Pembacaan hasil dilakukan dengan mengukur zona hambat yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang diduga mengandung residu antibiotik dengan menggunakan jangka sorong. Sampel dinyatakan positif mengandung residu antibiotik apabila terbentuk zona bening (daerah hambatan) minimal 2 mm lebih besar dari diameter kertas cakram. Golongan penisilin dinyatakan positif maka harus dilakukan uji ulang dengan menggunakan enzim penisilinase sebagai peneguhan. Berikut adalah salah satu gambar hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dengan menggunakan metode bioassay disajikan pada gambar 1.

 

 

Gambar 1 Contoh hasil uji residu antibiotik pada sampel daging dengan menggunakan metode bioassay.

Sampel 1

Sampel 2

Sampel 3

Kontrol positif Kontrol negatif

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan Residu Antibiotik

Pengujian residu antibiotik pada daging ayam dan sapi dalam penelitian ini dilakukan dengan metode uji tapis (screening test) secara bioassay, sesuai dengan SNI 7424:2008 yang membahas mengenai metode uji tapis (screening test) residu antibiotik pada daging, telur, dan susu secara bioassay. Uji tapis (screening test) adalah suatu cara melakukan pengujian untuk mendeteksi kandungan residu antibiotik secara kualitatif sesuai dengan batas deteksi tertentu pada daging, telur, dan susu. Bioassay adalah suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif. Prinsip dari pengujian, apabila terdapat residu antibiotik maka menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan (zona bening) di sekitar kertas cakram. Besarnya

diameter daerah hambat menunjukkan konsentrasi residu antibiotik (Pikkemaat et al. 2009). Keuntungan dari pengujian residu antibiotik dengan

metode uji tapis (screening test) secara bioassay yaitu: (1) mudah digunakan dan ditangani, (2) biaya tidak terlalu mahal, (3) waktu pengerjaannya singkat dan cepat, (4) memungkinkan automatisasi, (5) memiliki sensitivitas dan spesifisitas

baik, (6) deteksi capability (CCβ) dengan eror probability (β) < 5% (Reig & Toldra 2008).

Berdasarkan hasil uji residu antibiotik bahwa semua sampel daging ayam negatif mengandung residu antibiotik baik dari golongan penisilin, makrolida, aminoglikosida, dan tetrasiklin. Tiga dari 24 Sampel daging sapi positif mengandung residu antibiotik dari golongan makrolida yaitu Kota Bandung (2) dan Kabupaten Tasikmalaya (1). Hasil pengujian dari kandungan residu antibiotik golongan penisilin, makrolida, aminoglikosida, dan tetrasiklin pada daging ayam dan daging sapi yang berasal dari beberapa pasar tradisional di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat dikelompokkan berdasarkan golongan antibiotik yang dapat dilihat pada Tabel 4-7.

(31)

Residu Penisilin

Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu penisilin. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan residu penisilin dari semua sampel daging ayam maupun daging sapi. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus stearothermophilus pada media agar. Hasil pengujian residu penisilin disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji residu penisilin pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Positif penisilin

Daging sapi (%) Daging ayam (%)

1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0)

Tidak ditemukannya keberadaan residu penisilin pada daging ayam dan sapi kemungkinan karena pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai

dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati

(1997), waktu henti pensilin G yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 5 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara injeksi adalah 30 hari. Antibiotik golongan β laktam yang sering digunakan sebagai obat pilihan pertama di peternakan adalah penisilin. Penisilin sering digunakan karena tidak menimbulkan efek samping yang toksik dan bersifat bakterisidal. Antibiotik tersebut di peternakan ayam dan sapi pedaging digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan (Verdon et al. 2000). Batas maksimum residu antibiotik penisilin pada daging adalah 0.1 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

(32)

Pensilin dapat digunakan untuk pengobatan penyakit aktinomikosis (lumpy jaw) yang disebabkan oleh Actinomyces bovis dan wooden tongue yang

disebabkan oleh Actinobacillus lignieresi pada sapi. Penisilin setelah melewati proses absorbsi dan transportasi akan didistribusikan dengan cepat dari plasma ke dalam jaringan tubuh. Difusi penisilin terjadi saat konsentrasi plasma yang tidak terikat lebih tinggi dalam jaringan dan cairan. Rute utama ekskresi penisilin adalah melalui ginjal dan juga melalui susu (Vaden & Riviere 2001).

Residu Makrolida

Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu makrolida. Berdasarkan hasil pengujian ditemukan keberadaan residu makrolida pada sampel daging sapi yang berasal dari Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Kocuria rizophila pada media agar. Hasil pengujian residu makrolida disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji residu makrolida pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Daging sapi (%) Positif makrolida Daging ayam (%)

1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 2/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya ½ 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 3/24 (12.5) 0/36 (0)

Persentase residu makrolida pada sampel daging sapi di Kota Bandung sebesar 100% (2/2) sedangkan di Kabupaten Tasikmalaya sebesar 50% (1/2). Jumlah keseluruhan dari persentase residu makrolida pada daging sapi di Provinsi Jawa Barat sebesar 12.5% (3/24). Keberadaan residu makrolida yang ditemukan pada daging sapi dimungkinkan karena farmakokinetika antibiotik pada fase

(33)

farmakokinetika yaitu, absorpsi, transportasi, biotransformasi, distribusi, dan ekskresi (Martaleni 2007). Antibiotik makrolida setelah melewati proses absorbsi dan transportasi akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk otot, hati, dan ginjal. Pengeluaran antibiotik ini terjadi melalui proses biotransformasi yang cukup lama dimana tubuh akan merombak antibiotik menjadi metabolit tidak aktif dan bersifat hidrofil agar mudah diekskresikan melalui ginjal (Murtidjo 2007). Eritromisin merupakan obat pilihan untuk penyakit saluran pernafasan sedangkan tilosin digunakan untuk pencegahan mikoplasmosis, chronic respiratory disease (CRD), dan coryza pada sapi. Golongan makrolida sering ditambahkan dalam pakan (feed additives) untuk pemacu pertumbuhan (Yuningsih et al. 2005; Reig & Toldra 2009). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti makrolida (eritromisin) yang diaplikasikan secara injeksi pada sapi adalah 14 hari. Batas maksimum residu antibiotik golongan makrolida pada daging untuk eritromisin, linkomisin, dan tilosin 0.1 ppm, sedangkan spiramisin 0.05 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Ditemukan keberadaan residu makrolida pada daging sapi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (1) peternak belum paham mengenai masa henti (withdrawal time) antibiotik makrolida artinya ternak dipotong sebelum masa henti antibiotik habis di dalam tubuh ternak dan belum diekskresikan secara sempurna, (2) penggunaan antibiotik tidak didasari peneguhan diagnosa yang benar dan tepat, (3) penggunaan jenis antibiotik tidak sesuai dengan spesies ternak (Donkor et al. 2011). Penyebab lainnya adalah kurangnya penyuluhan mengenai penggunaan antibiotik yang baik dan benar di peternakan Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Faktor lain yang tidak menutup kemungkinan karena desakan ekonomi yang berarti peternak memotong ternaknya dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhannya, padahal peternak itu mengetahui tentang ilmu dan cara penggunaan antibiotik (Murdiati 1999). Kejadian seperti ini sering ditemui karena peternak tidak berpikir panjang akan dampak yang terjadi pada kesehatan masyarakat apabila mengkonsumsi produk ternak yang mengandung residu antibiotik.

(34)

Residu Aminoglikosida

Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu aminoglikosida. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan keberadaan residu aminoglikosida. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis pada media agar. Hasil pengujian residu aminoglikosida disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji residu aminoglikosida pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Daging sapi (%) Positif aminoglikosida Daging ayam (%)

1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0)

Tidak ditemukannya keberadaan residu aminoglikosida pada daging ayam dan sapi, kemungkinan disebabkan pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti aminoglikosida (streptomisin) yang diaplikasikan secara per oral pada ayam adalah 4 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara per oral adalah 2 hari. Waktu henti obat dipengaruhi oleh proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi dari obat yang bersangkutan. Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain umur, jenis hewan, status kesehatan, nutrisi hewan, serta sifat kimia dan fisika dari obat seperti bobot molekul, kelarutan dalam air maupun lemak dan ikatannya dengan protein tubuh (Murdiati 1997). Neomisin merupakan golongan aminoglikosida yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pencernaan pada sapi, kambing, domba, babi, dan unggas yang diaplikasikan

(35)

secara per oral (Wang et al. 2009). Batas maksimum residu antibiotik golongan aminoglikosida pada daging untuk streptomisin dan gentamisin 0.1 ppm, neomisin

0.05 ppm, dan spektomisin 0.4 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Absorpsi aminoglikosida lebih baik melalui parenteral sehingga absorpsi terjadi sangat cepat dan tuntas. Distribusi aminoglikosida terjadi dalam waktu 1 jam setelah injeksi. Polikationik dari antibiotik ini menyebabkan penetrasi aminoglikosida melalui membran barrier dengan cara difusi sederhana sangat terbatas sehingga konsentrasi aminoglikosida yang ditemukan di cairan sekresi sangat sedikit. Rute ekskresi utama dari aminoglikosida adalah melalui ginjal (Riviere & Spoo 2001b).

Residu Tetrasiklin

Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu tetrasiklin. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan keberadaan residu tetrasiklin. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus cereus pada media agar. Hasil pengujian residu tetrasiklin disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil uji residu tetrasiklin pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Daging sapi (%) Positif tetrasiklin Daging ayam (%)

1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0)

(36)

Tidak ditemukannya keberadaan residu antibiotik tetrasiklin pada daging ayam dan sapi, kemungkinan karena pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti tetrasiklin yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 15 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara per oral adalah 30 hari. Tetrasiklin dalam bidang peternakan digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan dan jika dosisnya rendah dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (Reig & Toldra 2009). Batas maksimum residu antibiotik golongan tetrasiklin pada daging adalah 0.1 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Golongan tetrasiklin secara umum diabsorbsi dalam saluran cerna. Semua golongan tetrasiklin diabsorbsi di dalam plasma dan diikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Tetrasiklin secara luas didistribusikan ke jaringan tubuh setelah diaplikasikan secara oral atau intravena. Tetrasiklin mampu berpenestrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh dengan cukup baik. Sekitar 60% antibiotik ini diekskresikan melalui ginjal dan 40% diekskresikan melalui feses (Riviere & Spoo 2001a).

Keberadaan residu antibiotik pada daging ayam dan sapi yang diperoleh dalam penelitian ini sama dengan hasil uji Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) pada tahun 2009 dan 2010 yaitu ditemukan residu makrolida pada sampel daging sapi. Data yang diperoleh dari hasil uji BPMPP pada tahun 2009 dan 2010, ditemukan keberadaan residu antibiotik golongan makrolida pada sampel daging sapi sebanyak 4 sampel atau 7.27% (4/55) dan tidak ditemukan keberadaan residu antibiotik golongan apapun pada sampel daging ayam. Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010 disajikan pada Tabel 8.

(37)

Tabel 8 Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010

Asal Sampel Tahun Jenis sampel Total sampel PC’s TC’s AG’s ML’s

Jawa Barat 2009 Daging ayam 76 0 0 0 0 Daging sapi 30 0 0 0 3 Jawa Barat 2010 Daging ayam 44 0 0 0 0 Daging sapi 25 0 0 0 1

Keterangan: PC’s: Penisilin TC’s: Tetrasiklin

AG’s: Aminoglikosida ML’s: Makrolida

Makrolida merupakan obat pilihan untuk penyakit saluran pernafasan dan digunakan untuk pencegahan mikoplasmosis, chronic respiratory disease (CRD), dan coryza pada sapi (Reig & Toldra 2009). Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat veteriner keberadaan residu antibiotik dalam pangan asal hewan perlu mendapat perhatian serius mengingat bahaya yang ditimbulkannya terhadap konsumen. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik adalah reaksi alergi, resistensi mikroorganisme, menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan kerusakan jaringan, dan mungkin keracunan (Verdon et al. 2000; Yuningsih et al. 2005; Donkor et al.2011). Disamping itu produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik akan sulit untuk di ekspor ke negara-negara yang sangat ketat dalam menerapkan batas maksimum residu (BMR) (Widiastuti & Murdiati 1999).

Pencegahan dan Pengendalian Residu Antibiotik pada Daging

Mengingat bahaya potensial yang akan diterima oleh masyarakat akibat mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung residu antibiotik, maka Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan daftar batas maksimum residu obat dalam produk pangan asal hewan dan masa henti beberapa obat yang beredar di Indonesia. Batas maksimum residu obat dalam produk pangan asal hewan disusun sebagai implementasi dari Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 91/Kpts/KP.150/2/1993 tanggal 3 Pebruari 1993 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Ambang Batas Cemaran Mikroba dan Residu di dalam Bahan Pangan

(38)

Asal Hewan. Tujuan dari standar tersebut adalah (1) untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat terutama dalam aspek keamanan dan kesehatan, (2) mewujudkan jaminan mutu dari bahan pangan asal hewan, (3) mendukung perkembangan agroindustri dan agrobisnis (SNI 2000).

Pencegahan residu antibiotik di Negara Amerika Serikat di bawah pengawasan National Residue Program (NRP) yang diatur oleh Food Safety and Inspection Service (FSIS). FSIS mempunyai dua program yaitu pengujian sampel residu produk domestik dan impor. Pengujian sampel residu produk domestik berfokus pada pencegahan terhadap keberadaan residu dalam produk pangan asal hewan. Pengujian sampel residu produk impor sebagian besar menentukan operativeness dan effectiveness untuk mencegah produk residu dari negara eksportir (Reig & Toldra 2009). Pencegahan residu antibiotik di Negara Eropa dilakukan secara komprehensif dengan menetapkan kerangka legislasi yang efektif. Hal tersebut telah disetujui oleh dokter hewan yang bergerak dalam bidang produk pangan asal hewan. Aktivitas yang dilakukan dengan menetapkan batas maksimum residu dan monitoring produk pangan asal hewan yang beredar di masyarakat (Pikkemaat et al. 2009).

Cara lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan dan pengendalian residu antibiotik yaitu (1) mengembangkan dan menerapkan kampanye pendidikan kepada masyarakat untuk mempublikasikan penggunaan antibiotik yang bijaksana sebagai prioritas kesehatan nasional, (2) bekerjasama dengan asosiasi profesional dan pemangku keputusan lainnya untuk mengembangkan, menyebarluaskan, dan mengevaluasi gejala klinis yang ditimbulkan dari penggunaan antibiotik secara tidak bijaksana, (3) konsultasi dengan pemangku keputusan, dalam mengembangkan dan menerapkan kerangka yang diusulkan oleh Food Drug Association (FDA) untuk persetujuan antibiotik baru yang digunakan pada hewan yang memproduksi produk pangan dan jika perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap antibiotik yang sudah disetujui, (4) mendukung proyek percontohan untuk mengevaluasi strategi yang komprehensif dengan menggunakan berbagai intervensi untuk mempublikasikan penggunaan antibiotik yang bijaksana dan mengurangi tingkat infeksi untuk menilai bagaimana intervensi ditemukan dalam studi penelitian sehingga efektif,

(39)

sistematis, dan ekonomis diterapkan pada skala besar (Woteki & Henney 2000). Pengendalian dan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat terhadap keberadaan residu antibiotik pada produk pangan asal hewan khususnya daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat dapat mewujudkan jaminan keamanan pangan asal hewan di masyarakat.

(40)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Keberadaan residu antibiotik golongan makrolida ditemukan pada daging sapi yang berasal dari Kota Bandung sebesar 100% (2/2) dan Kabupaten Tasikmalaya sebesar 50% (1/2). Residu antibiotik golongan penisilin, aminoglikosida, dan tetrasiklin tidak ditemukan pada seluruh daging sapi. 2. Tidak ditemukan adanya residu antibiotik golongan penisilin, makrolida,

aminoglikosida, dan tetrasiklin pada daging ayam yang berasal dari beberapa kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat.

Saran

Berdasarkan penelitian ini, disarankan beberapa hal terkait pencegahan dan pengendalian residu antibiotik pada pangan asal hewan, khususnya daging, sebagai berikut:

1. Diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan pengawasan terhadap mutu dan keamanan pangan asal hewan mulai dari peternakan hingga ke konsumen.

2. Penggunaan antibiotik pada hewan ternak seharusnya di bawah pengawasan dokter hewan agar tidak menimbulkan residu antibiotik pada produk pangan asal hewan.

3. Penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keamanan pangan asal hewan.

4. Diharapkan dari penelitian berikutnya sampel yang diambil tidak hanya di pasar tradisional, akan tetapi juga dapat diambil dari supermarket dan rumah potong hewan (RPH) sehingga dapat menggambarkan kondisi keamanan daging dari residu antibiotik di Indonesia.

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Andree S, Jira W, Schwind KH, Wagner H, Schwagele F. 2010. Chemical safety of meat and meat products. Meat Sci 86:38–48.

[Anonim]. 1997. Undang-Undang Pangan RI Nomor 7 1996 Cetakan 1. Jakarta: Sinar Grafika.

[BPMPP] Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. 2009. Laporan hasil pengujian residu antibiotika dalam produk peternakan tahun 2009. Bogor: Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan, Bogor.

[BPMPP] Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. 2010. Laporan hasil pengujian residu antibiotika dalam produk peternakan tahun 2010. Bogor: Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan, Bogor.

[CAC] Codex Alimentarius Comission. 1997. Basic Texts on Food Hygiene. Roma Itali: FAO/WHO Food Standards Programme.

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik peternakan 2009. [terhubung berkala]. http://www.ditjennak.go.id [20 Agustus 2009].

Donkor ES et al. 2011. Investigation into the risk of exposure to antibiotic residues contaminating meat and egg in Ghana. Food Cont 22:869-873. Drosinos EH, Panagsiotis N, Skandamis, Mataragas M. 2009. Antimicrobial

treatment. Di dalam: Toldra F, editor. Safety of Meat and Processed Meat. Spanyol: Springer Science. hlm 255-296.

Dwinger RH, Golden TE, Hatakka M, Chalus T. 2009. Regulations on meat hygiene and safety in the European Union. Di dalam: Toldra F, editor.

Safety of Meat and Processed Meat. Spanyol: Springer Science. hlm 631-648.

Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD, Astuti P, Nafrialdi. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Gartini T et al. 2009. Direktori Keamanan Pangan Indonesia. Jakarta: Direktorat SPKP Deputi III Badan POM RI.

Haagsma N. 1988. Control of veterinary drug residues in meat–a contribution to the development of analytical procedures [thesis]. Netherlands: The University of Utrecht.

Ikhwan. 1997. Pemeriksaan residu antibiotika pada daging dan hati sapi dari rumah potong hewan Kotamadya Bogor dan Kota Bekasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, InstitutPertanian Bogor.

(42)

Indraningsih. 2006. Sumber kontaminan dan penanggulangan residu pestisida pada pangan produk peternakan. Wartazoa 16: 92-1108.

Karabudak E, Bas M, Kiziltan G. 2008. Food safety in the home consumption of meat in Turkey. Food Cont 19:320–327.

Kennedy DG, McCracken RJ, Cannavan A, Hewitt SA. 1998. Use of liquid chromatopography – mass spectrometry in the analysis of residues of antibiotics in meat and milk. J Chroma 812:77–98.

Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H. Soejoedono RR. 2009. Higiene Pangan. Bogor: Bagian Kesmavet FKH IPB.

Lukman DW. 1994. Periode residu doksisiklin pada daging dan jeroan serta pengaruh pemanasan terhadap kandungan residunya [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor.

Mamani MCV, Reyes FGR, Rath S. 2009. Multiresidue determination of tetracyclines, sulphonamides, and chloramphenicol in bovine milk using HLPC-DAD. Food Chem 117:545–552.

Martaleni. 2007. Deteksi residu antibiotika pada karkas, organ, dan kaki ayam pedaging yang diperoleh dari pasar tradisional Kabupaten Tanggerang [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Martinez JL. 2009. Enviromental pollution by antibiotics and by antibiotic resistance determinants. Environ Pollut 157:2893–2902.

Murdiati TB. 1997. Pemakaian antibiotik dalam usaha peternakan. Wartazoa 6: 18-22.

Murdiati TB. 1999. Pemakaian obat hewan dan residu yang ditimbulkan dalam produk peternakan. Di dalam: Prosiding Kongres Pertama Himpunan Toksikologi Indonesia; Jakarta, 22-23 Februari 1999. Jakarta: Himpunan Toksikologi Indonesia.

Murtidjo BA. 2007. Pemotongan, Penanganan, dan Pengolahan Daging Ayam. Yogyakarta: Kanisius.

[OIE] Office International Epizootica. 2006. Guide to good farming practise for animal production food safety. Rev sci tech off int Epiz 25: 823-836.

Pericas CC, Maquieira A, Purchades R. 2010. Fast screening methods to detect antibiotic residues in food samples. Trends in Anal Chem 29: 9.

(43)

Pesavento G, Ducci B, Comodo N, Nostro LA. 2007. Antimicrobial resistance profile of Staphylococcus aureus isolated from raw meat: A research for

methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Food Cont 18: 196–200.

Pikkemaat MG, Rapallini MLBA, Van Dijk SO, Elfrink JWA. 2009. Comparison of three microbial screening methods for antibiotics using routine monitoring samples. Anal Chem Act 637:298-304.

Reig M, Toldra F. 2008. Veterinary drug residue in meat: concerns and rapid method for detection. Meat Sci 78: 60-67.

Reig M, Toldra F. 2009. Veterinary drugs and growth promoters residues in meat and processed meats. Di dalam: Toldra F, editor. Safety of Meat and Processed Meat. Spain: Springer Science. hlm 365-390.

Riviere JE, Spoo JW. 2001a. Tetracycline antibiotics. Di dalam: Adams HR, editor. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. Iowa: Iowa State Univ Pr. hlm 828-840.

Riviere JE, Spoo JW. 2001b. Aminoglycosides antibiotics. Di dalam: Adams HR, editor. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. Iowa: Iowa State Univ Pr. hlm 841-867.

Seward RA. 2003a. Characterization of food hazards. Di dalam: Schimidit RH, Rodrick GE, editor. Food Safety Handbook. Kanada: J Wiley. hlm 11-18. Seward RA. 2003b. Definition of food safety. Di dalam: Schimidit RH, Rodrick

GE, editor. Food Safety Handbook. Kanada: J Wiley. hlm 3-10.

Seward RA. 2009. Regulations on meat hygiene in the USA. Di dalam: Toldra F, editor. Safety of Meat and Processed Meat. Spain: Springer Science. hlm 649-684.

Siregar SB. 1990. Residu antibiotika dalam daging. Di dalam: Makalah Seminar Nasional Penggunaan Antibiotika Dalam Bidang Kedokteran Hewan, Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2000. SNI Nomor 01-6366-2000 Tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. SNI Nomor 7442: 1995 Tentang Metode Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu Secara Bioassay. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Sofos JN. 2008. Challenges to meat safety in the 21st century. Meat Sci 78: 23–13.

Gambar

Tabel 1  Hasil pengujian residu antibiotik pada sampel daging dan telur di Kota  Accra dan Kumasi tahun 2007-2008 (Karabudak et al
Tabel  4  Hasil uji residu penisilin pada daging ayam dan sapi di 12  kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat
Tabel 7  Hasil uji residu tetrasiklin pada daging ayam dan sapi di 12  kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat
Tabel 8  Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging  ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010

Referensi

Dokumen terkait

Interview, 26 April 2017... dalam proses belajar mengajar. Salah satu faktor penyebab rendahnya pemahaman konsep belajar peserta didik adalah proses belajar Fiqih

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) evaluasi program MGMP IPA.Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan analisis

Hubungan ini merupakan hubungan yang positif, yang artinya jika dukungan keluarga semakin baik maka kemampuan sosialisasi anak retardasi mental juga akan semakin baik

Dari perspektif dalil ontologis Ibnu Sina, pandangan bahwa alam dan segala yang ada di dalamnya esensinya adalah kebaikan merupakan suatu keniscayaan dari wujud Tuhan

1) Memperluas upaya dengan memasukkan kelompok-kelompok lokal sebagai community-based groups yang mengerti mengenai permsalahan yang sedang dihadapi. 2) Melakukan

Terdapat hubungan tidak langsung yang positif dan signifikan antara pola asuh, interaksi teman sebaya dan interaksi guru dan siswa dalam proses belajar secara

Kondisi itu dapat menggerakkan perempuan untuk turut mencari penghasilan keluarganya (Suman, 2007). Program Secercah Hati dirancang untuk dilaksanakan selama tiga tahun, mulai

Setelah penulis memberikan kesimpulan dari hasil penelitian tentang pengaruh independensi auditor dan profesionalisme auditor terhadap kualitas audit, maka penulis