• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEUROGENIC BLADDER. Penyusun Sri Wulandari dr. Putu Gede Sudira, Sp.S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NEUROGENIC BLADDER. Penyusun Sri Wulandari dr. Putu Gede Sudira, Sp.S"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

NEUROGENIC BLADDER

Penyusun

Sri Wulandari

dr. Putu Gede Sudira, Sp.S

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016

(2)

2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Neurogenic bladder adalah suatu gangguan pada lower urinary tract yang

disebabkan oleh kerusakan pada sistem saraf yang dapat terjadi akibat trauma, infeksi atau kongenital. Di Amerika Serikat, kasus neurogenic bladder ditemukan pada 40-90% pasien dengan multiple sclerosis, 37-72% dengan penyakit Parkinson, 15% dengan stroke, 70-80% dengan spinal cord injury, 40% pada anak usia 5 tahun dengan spina bifida, dan 60,9% pada remaja dengan spina bifida. Penyebab umum lainnya dapat ditemukan diabetes melitus dengan neuropati otonom, gejala sisa operasi punggung, cauda equina syndrome karena tulang belakang lumbal yang patologi (Ginsberg, 2013).

Pasien yang mengalami neurogenic bladder memiliki risiko dan insiden yang tinggi untuk mengalami infeksi jalur urin maupun obstruksi dinding luar kandung kemih. Apabila tidak ditangani dengan optimal, pasien dengan

neurogenic bladder berisiko mengalami sepsis dan gagal ginjal. Selain itu, pasien

juga dapat mengalami inkontinensia urin yang akan memberi dampak negatif pada kualitas hidupnya karena rasa malu, depresi, dan terjadinya isolasi sosial (Dorsher & McIntosh 2012).

Mengingat tingginya morbiditas neurogenic bladder, oleh karena itu topik mengenai neurogenic bladder ini penting untuk dibahas dalam student project kali ini, agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat diantisipasi dengan diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat. Adapun dalam student project ini akan dibahas mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, manajemen, dan prognosis neurogenic bladder.

1.2 Rumusan masalah

1. Apakah defisini dari neurogenic bladder?

2. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem perkemihan?

3. Bagaimana patofisiologi dan diagnosis dari neurogenic bladder? 4. Apakah gejala klinis dan manajemen dari neurogenic bladder?

(3)

3

1.3 Tujuan

1. Mengetahui dan memahami definisi dari neurogenic bladder

2. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi sistem perkemihan 3. Mengetahui dan memahami patofisiologi dan diagnosis dari neurogenic

bladder

4. Mengetahui dan memahami gejala klinis dan manajemen dari neurogenic

bladder

1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan student project ini adalah sebagai berikut :

1. Mahasiswa

Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi, anatomi dan fisiologi sistem perkemihan, patofisiologi, diagnosis, gejala klinis dan manajemen dari neurogenic bladder.

2. Dosen

Student project ini dapat dijadikan tolak ukur kemampuan mahasiswa serta

(4)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi

Neurogenic bladder adalah gangguan pada saluran kemih bagian bawah

(ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra) yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf. Neurogenic bladder biasanya mempengaruhi otot sfingter (otot yang mengatur dalam pengosongan kandung kemih). Kandung kemih yang kurang aktif akan kehilangan kemampuannya untuk mengosongkan urin sebagaimana mestinya dan mengisinya melewati kapasitas normal. Terkait dengan hal tersebut, tekanan urin pada kandung kemih secara berlebihan akan membuat otot sfingter tidak bisa menahannya dan urin akan merembes keluar. Sedangkan, kandung kemih yang terlalu aktif dapat melakukan pengisian dan pengosongan tanpa kendali karena berkontraksi dan mengendur tanpa disadari, sehingga seseorang bisa merasakan keinginan untuk buang air secara tiba-tiba atau pergi ke kamar kecil lebih sering dari biasanya (Ginsberg, 2013).

2.2 Etiologi

Beberapa penyebab dari neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius yang akut seperti myelitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor otak, penyakit Parkinson, multiple sclerosis, demensia), alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti SLE, keracunan logam berat, herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada medulla spinalis dan penyakit vaskuler. Dari beberapa penyebab tersebut, yang tersering adalah penyakit infeksius yang akut, kelainan serebral, gangguan metabolik, dan penyakit atau trauma pada medula spinalis (Ginsberg, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh European Association of Urology (EAU) melaporkan bahwa neurogenic bladder terjadi pada 24% pasien tumor otak, 28-48% pasien demensia, 12-65% pasien retardasi mental, dan 30-40% cerebral

palsy. Pada cerebrovascular pathology disertai hemiplegia dengan remnant incontinence, neurogenic bladder dilaporkan terjadi pada 20-50% pasien.

Penyakit pada diskus dilaporkan menyebabkan neurogenic bladder pada 28-87% pasien. Pada SLE, prevalensi dari neurogenic bladder termasuk jarang,

(5)

5

sedangkan insidennya 1%. Neurogenic bladder terjadi pada 12% yang terinfeksi HIV. Sedangkan reseksi abdominoperineal dari rektum menyebabkan neurogenic

bladder pada lebih dari 50% pasien (Pannek, et al., 2013).

2.3 Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan 2.3.1 Neuroanatomi Traktus Urinarius

Serabut saraf eferen simpatis ke kandung kemih dan uretra berasal dari

the intermediolateral gray column dari segmen T10-L2 ke ganglia

paravertebral simpatis lumbal serabut postganglion di nervus hipogastrikus untuk bersinaps di reseptor alfa dan beta adrenergik pada kandung kemih dan uretra. Neurotransmiter postganglion utama untuk sistem simpatis adalah norepinefrin.

Eferen simpatis menstimulasi fasilitasi penyimpanan kandung kemih. Reseptor beta adrenergik mempersarafi fundus kandung kemih. Stimulasi reseptor ini menyebabkan relaksasi otot polos sehingga dinding kandung kemih berelaksasi. Reseptor alfa adrenergik mempersarafi sfingter interna dan uretra posterior. Stimulasi pada reseptor ini menyebabkan kontraksi otot polos pada sfingter interna dan uretra posterior, meningkatkan resistensi saluran keluar dari kandung kemih dan uretra posterior. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kebocoran selama fase pengisian urin.

Eferen parasimpatik (motorik) berasal dari medulla spinalis di S2-S4 ke nervus pelvikus dan memberikan inervasi ke otot detrusor kandung kemih.

Reseptor parasimpatik kandung kemih disebut kolinergik karena

neurotransmiter postganglion utamanya adalah asetilkolin. Reseptor ini terdistribusi di seluruh kandung kemih. Peranan sistem parasimpatik pada proses berkemih berupa kontraksi otot detrusor kandung kemih. Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior medula spinalis S2-S4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot skeletal sfingter uretra eksterna dan otot-otot dasar panggul.

Perintah dari korteks serebri secara disadari menyebabkan terbukanya sfingter uretra eksterna pada saat berkemih. Sistem aferen (sensoris) berasal dari otot detrusor, sfingter uretra dan anal eksterna, perineum dan genitalia,

(6)

6

melalui n.pelvikus dan n.pudendus ke conus medullaris; dan melalui n.hipogastrikus ke medula spinalis thoracolumbal. Aferen ini terdiri atas dua tipe: A-delta (small myelinated A-delta) dan serabut C (unmyelinated C

fibers). Serabut A-delta berespon pada distensi kandung kemih dan esensial

untuk berkemih normal. Serabut C atau silent C-fibers tidak berespon terhadap distensi kandung kemih dan tidak penting untuk berkemih normal. The silent

C fibers memperlihatkan firing spontan ketika diaktifkan secara kimia atau

iritasi temperatur dingin pada dinding kandung kemih. Serabut C berespon terhadap distensi dan stimulasi kontraksi kandung kemih involunter pada hewan dengan CMS suprasakral.

Fasilitasi dan inhibisi berkemih berada di bawah 3 pusat utama yaitu pusat berkemih sakral (the sacral micturition center), pusat berkemih pons (the pontine micturition center), dan korteks serebral. Pusat berkemih sakral pada S2-S4 merupakan pusat refleks dimana impuls eferen parasimpatik ke kandung kemih menyebabkan kontraksi kandung kemih dan impuls aferen ke

sacral micturition center menyediakan umpan balik terhadap penuhnya

kandung kemih. The pontine micturition center terutama bertanggung jawab terhadap koordinasi relaksasi sfingter ketika kandung kemih berkontraksi. CMS suprasakral menyebabkan gangguan sinyal dari pontine micturition

center, sehingga terjadi dissinergi detrusor sfingter. Efek korteks serebral

menginhibisi sacral micturition center. Karena CMS suprasakral juga mengganggu impuls inhibisi dari korteks serebral, sehingga CMS suprasakral seringkali memilki kapasitas kandung kemih yang kecil dengan kontraksi kandung kemih involunter (Tortora & Derrickson 2014)

2.3.2 Fisiologi Proses Miksi (Rangsangan Berkemih)

Distensi kandung kemih oleh urin dengan jumlah kurang lebih 250 cc akan merangsang reseptor tekanan yang terdapat pada dinding kandung kemih. Akibatnya akan terjadi refleks kontraksi dinding kandung kemih oleh otot detrusor, pada saat yang sama terjadi relaksasi sfingter internus, diikuti oleh relaksasi sfingter eksternus, dan akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih.

(7)

7

Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi sfingter interus dihantarkan melalui serabut-serabut parasimpatik. Kontraksi sfingter eksternus secara volunter bertujuan untuk mencegah atau menghentikan miksi. Kontrol volunter ini hanya dapat terjadi bila saraf-saraf yang menangani kandung kemih uretra medula spinalis dan otak masih utuh.

Bila terjadi kerusakan pada saraf-saraf tersebut maka akan terjadi inkontinensia urin (kencing keluar terus-menerus tanpa disadari) dan retensi urin (kencing tertahan). Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako lumbar dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torako lumbar berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter interna (Guyton & Hall 2013).

Gambar 1. Fisiologi Proses Miksi (Guyton & Hall 2013)

2.4 Patofosiologi Neurogenic Bladder

Pada disfungsi uninhibited neurogenic bladder, terjadi lesi otak di atas pusat mikturisi pontin sehingga terjadi penurunan kesadaran dari penuhnya kandung kemih dan kapasitas kandung kemih yang rendah. Karena pusat mikturisi pontin intak, tonus detrusor dan sfingter tetap terjaga sehingga tidak ada tekanan kandung kemih tinggi yang dapat memicu kerusakan saluran urin bagian atas.

Disfungsi upper motor neuron neurogenic bladder ditandai dengan adanya dissinergi detrusor-sfingter, dimana kontraksi destrusor dan sfingter menimbulkan tekanan tinggi pada kandung kemih. Tekanan ini dapat mengakibatkan refluks vesikoureteral yang dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Lesi pada medula

Kontraksi detrusor

Relaksasi sfingter

(8)

8

spinalis dapat mengakibatkan spastik pada kandung kemih dan sfingter, terutama jika lesi berada di atas T10 (di atas system saraf simpatetik untuk kandung kemih). Kapasitas kandung kemih biasanya berkurang karena tingginya tonus detrusor (overaktivitas detrusor).

Studi pada hewan menunjukkan overaktivitas detrusor pada neurogenic

bladder dapat terjadi karena aktivasi reseptor prejunction M1 yang memfasilitasi

pelepasan asetilkolin, sehingga terjadi pelepasan neutrotransmiter berlebih.. Ketika tekanan detrusor melebihi tekanan sfingter internal/eksternal pada uretra proksimal, inkontinensia urin akan terjadi.

Pada mixed type A neurogenic, kerusakan pada nukleus detrusor akan mengakibatkan flaccid detrusor (detrusor areflexia), sedangkan nukleus pudendal yang masih intak akan menyebabkan hipertoni dari externar sfingter. Kandung kemih menjadi besar dan memiliki tekanan yang rendah, sehingga akan terjadi retensi urin. Karena tekanan detrusor rendah, maka tidak terjadi kerusakan saluran urin bagian atas dan inkontinensia jarang terjadi.

Mixed type B neurogenic bladder ditandai oleh sfingter eksternal yang flaccid karena lesi nucleus pudendal, sedangkan kandung kemih akan menjadi

spastik karena nucleus detrusor yang tidak terhambat. Kapasitas kandung kemih akan menjadi rendah, tetapi tekanan vesikuler tidak meningkat, sehingga karena ada sedikit tahanan pengeluaran urin akan menyebabkan inkontinensi.

Pada lower motor neuron neurogenic bladder, kerusakan terjadi pada pusat mikturisi maupun saraf tepi sedangkan sistem saraf simpatetik pada sistem urin masih intak. Kapasitas kandung kemih besar sedangkan tonus detrusor rendah (detrusor areflexia) dan inervasi sfingter internal intak. Meskipun tekanan detrusor rendah, inkontinesia urin dan infeksi saluran urin jarang terjadi (Dorsher & McIntosh 2012).

(9)

9

Gambar 2. Patofisiologi Neurogenic Bladder (Dorsher & McIntosh 2012)

2.5 Klasifikasi Neurogenic Bladder

Beberapa klasifikasi digunakan untuk mengelompokkan jenis-jenis dari

neurogenic bladder, masing-masing tipe memiliki potensi kegunaan klinis

tersendiri. Klasifikasi dapat berdasarkan penemuan urodinamik, kriteria neurologi atau fungsi saluran kemih bawah (Ginsberg, 2013). Klasifikasi berdasarkan tipe kerusakan membagi neurogenic baldder menjadi (Merk Sharp & Dohme Corporation 2016) :

A. Neurogenic Bladder Tipe Flaksid

Kerusakan terjadi pada saraf tepi atau medula spinalis yaitu pada level S2-S4 yang mengakibatkan hilangnya kontraksi otot detrusor. Hal ini menyebabkan tekanan menjadi rendah walaupun volume urin banyak. Setelah kerusakan akut, flaksid inisial dapat diikuti dengan flaksid berkepanjangan atau spastik.

B. Neurogenic Bladder Tipe Spastik

Kerusakan terjadi pada otak dan medula spinalis diatas level T12. Hal ini menyebabkan kontraksi involunter kandung kemih yang diikuti dengan

(10)

10

kehilangan koordinasi akibat dissinergi sfingter-detrusor. Kontraksi kandung kemih akan memicu pengeluaran urin walaupun volume urin masih sedikit.

C. Neurogenic Bladder Tipe Campuran

Disebabkan oleh banyak gangguan seperti sifilis, diabetes militus, tumor otak atau medulla spinalis, stroke, intervertebral disc rupture, dan gangguan degeneratif (multiple sclerosis, amytrophic lateral sclerosis).

2.6 Manifestasi Klinis Neurogenic Bladder

Berdasarkan tipenya kerusakannya, neurogenic bladder memiliki manifestasi klinis yang bervariasi. Berikut perbedaan manifestasi klinis pada masing-masing tipe dari neurogenic bladder (Saputra, 2012) :

A. Neurogenic Bladder Tipe Flaksid

Pada tipe ini, manifestasi yang akan muncul diantaranya :  Inkontinensia overflow

 Berkurangnya tonus sfingter ani

 Distensi hebat kandung kemih yang disertai rasa penuh pada kandung kemih

B. Neurogenic Bladder Tipe Spastik

Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut :  Urinasi involunter atau urinasi yang kerapkali hanya sedikit tanpa

rasa penuh pada kandung kemih

 Kemungkinan spasme spontan lengan dan tungkai  Peningkatan tonus sfingter ani

C. Neurogenic Bladder Tipe Campuran

Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut  Tumpulnya persepsi akan kandung kemih yang penuh

 Berkurangnya kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih  Gejala urgensi yang tidak dapat dikembalikan

(11)

11

2.7 Diagnosis Neurogenic Bladder

Dalam mendiagnosis neurogenic bladder dapat dilakukan dengan tiga tahap seperti mendiagnosis penyakit yang lain yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (Pannek, et al., 2013). Walaupun sebagian besar pemeriksaan yang dilakukan pada ketiga jenis neurogenic bladder sama, akan tetapi perlu dilakukan pemeriksaan khusus agar dapat menegakkan diagnosis sehingga dapat diberikan terapi yang tepat (Merk Sharp & Dohme Corporation 2016).

A. Diagnosis Neurogenic Bladder Tipe Flaksid

Anamnesis yang dilakukan mengacu pada Sacred Seven dan Basic

Four. Beberapa hal penting yang perlu ditanyakan kepada pasien antara lain

mengenai kondisi genitourinary, riwayat berkemih, dan riwayat pengobatan (Ginsberg, 2013). Pada pasien yang mengalami neurogenic bladder tipe flaksid akan mengalami gejala sulit berkemih. Sehingga saat anamnesis dapat ditanyakan apakah terdapat kesulitan saat berkemih atau mengenai jumlah berkemih dalam sehari serta volume saat berkemih (Merk Sharp & Dohme Corporation 2016).

Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah pemeriksaan neurologis yang meliputi status mental, kekuatan, sensasi, dan refleks pada area urogenital (Pannek, et al., 2013; Ginsberg, 2013). Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan urinalisis, serum Blood Urea

Nitrogen (BUN), serum kreatinin, Postvoid Residual Urine (PVR), Uroflow Rate, Filling Cystometrogram (CMG), Voiding Cystometrogram (Pressure-Flow Study), Cystogram, Electromyography (EMG), dan Cystoscopy (Pannek,

et al., 2013).

Pemeriksaan CT scan pada bagian sakral sangat penting dilakukan karena pasien neurogenic bladder tipe flaksid mengalami kerusakan pada saraf tepi atau sumsum tulang belakang, yaitu pada bagian S2-S4 (Merk Sharp & Dohme Corporation 2016).

B. Diagnosis Neurogenic Bladder Tipe Spastik

Anamnesis spesifik yang perlu dilakukan adalah menanyakan apakah terdapat riwayat sering berkemih dalam satu hari atau mengalami

(12)

12

inkontinensia karena penderita penyakit ini mengalami kontraksi kandung kemih yang diikuti dengan tidak adanya koordinasi otot sfingter yang memicu pengeluaran urin walaupun urin masih sedikit. Selain menanyakan adanya inkontinensia, ditanyakan pula berapa volume urin saat berkemih (Ginsberg, 2013).

Pemeriksaan neurologik yang dilakukan meliputi status mental, kekuatan, sensasi dan refleks pada area yang dipersarafi oleh saraf spinal diatas T12 karena kerusakan terjadi pada medula spinalis diatas level T12 (Patrick J, 2014). Untuk pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan Postvoid

Residual Urine (PVR), Uroflow Rate, Filling Cystometrogram (CMG),

Voiding Cystometrogram (Pressure-Flow Study), Cystogram,

Electromyography (EMG), dan Cystoscopy (Pannek, et al., 2013).

Pemeriksaan CT scan yang dapat dilakukan selain CT scan servikal dan torakal juga dilakukan CT scan kepala karena spastik juga bisa terjadi akibat kerusakan pada otak (Merk Sharp & Dohme Corporation 2016).

C. Diagnosis Neurogenic Bladder Tipe Campuran

Anamnesis tentang riwayat berkemih tiap hari pada pasien dapat memberikan informasi mengenai pola berkemih dari pasien itu sendiri (waktu berkemih, volume berkemih, jumlah berkemih, dan inkontinensia) (Ginsberg, 2013) Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus berfokus pada status neurologi dan anatomi pelvis pasien (Pannek, et al., 2013; Ginsberg, 2013).

Pemeriksaan laboratorium umum yang dilakukan yaitu Postvoid

Residual Urine (PVR), Uroflow Rate, Filling Cystometrogram (CMG),

Voiding Cystometrogram (Pressure-Flow Study), Cystogram,

Electromyography (EMG), dan Cystoscopy. Sedangkan untuk CT scan kepala

dan badan juga dapat dilakukan (Pannek, et al., 2013).

2.8 Manajemen Neurogenic Bladder

Secara umum, terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien

neurogenic bladder adalah perubahan gaya hidup. Perawatan ini adalah suatu

perubahan yang pasien dapat lakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengontrol gejala. Perubahan gaya hidup meliputi :

(13)

13

 Bladder diary : rekomendasi total asupan cairan dan formasi urin per hari sekitar 1.800 ml dan 1.600 ml. Hal ini dapat dilakukan dengan cara minum 400 ml pada setiap makan dan tambahan 200 ml pada pukul 10.00 pagi, 02.00 siang, dan 04.00 sore (Dorsher & McIntosh 2012; Li & Oh 2012).

 Diet : mempertahankan berat badan ideal dan membatasi asupan makanan maupun minuman yang dapat mengiritasi kandung kemih dapat membantu (Liao, 2015).

Terapi neurogenic bladder dapat diterapkan berdasarkan klasikifasi tipe kerusakan dan gejala yang ditimbulkan yaitu :

A. Neurogenic Bladder Tipe Flaksid

Gejala yang di timbulkan pada kerusakan tipe flaksid ialah kehilangan kontraksi otot detrusor. Pengobatan yang dapat diberikan yaitu kateterisasi interminten. Intervensi ini diberikan pada pasien jika hasil USG menunjukan adanya volume residu urine sebanyak 100 ml, atau lebih dari sepertiga kapasitas kandung kemih pasien. Jadwal kateterisasi dimulai segera sesaat bangun di pagi hari, setiap 3-4 jam sepanjang hari, dan saat sebelum tidur (Liao, 2015).

B. Neurogenic Bladder Tipe Spastik

Tipe kerusakan yang ditimbulkan dapat menyebabkan kontraksi involunter kandung kemih yang diikuti dengan kehilangan koordinasi akibat dissinergi sfingter-detrusor. Pengobatan dengan antimuskarinik dapat menurunkan reflex involunter aktivitas detrusor. Antimuscarinik : oxybutynin merupakan pilihan obat pertama untuk pengobatan bladder

detrusor overactivity. Sediaan berupa oral, transdermal, dan topikal gel

(Dorsher & McIntosh 2012). Untuk lansia, dosis awal 2,5-5 mg, 2x/hari dapat ditingkatkan sampai 5 mg. Anak-anak di atas 5 tahun, adanya ketidakstabilan kandung kemih neurogenik, 2,5 mg 2x/hari dapat ditingkatkan sampai 5 mg 2x/hari, maksimal 5 mg, 3x/hari. (Cameron,

2016). Efek samping yang ditimbulkan seperti mulut kering, bingung, dan

mata kering. Terapi lain seperti alpha-2 adrenergic agonis dapat digunakan pada disfungsi kandung kemih neurogenik ketika sfingter

(14)

14

mengalami spastik dan terjadi dissinergi pada saraf motorik atas (Dorsher & McIntosh 2012). Selain pengobatan diatas, adapula pengobatan non farmakologis yaitu bladder retraining. Pasien dapat memulai dengan menetapkan interval waktu selama 15 menit lebih lama dari interval waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika pasien merasakan dorongan untuk berkemih sebelum tambahan 15 menit maka alihkan perhatian dengan cara kontraksikan otot panggul. Kontaksi ini dikenal sebagai latihan Kegel (Liao, 2015).

C. Neurogenic Bladder Tipe Campuran

Tipe kerusakan campuran dapat disebabkan oleh banyak gangguan, salah satunya trauma pada medula spinalis. Terapi yang dapat digunakan ialah clonidine dan tizanidine yang termasuk golongan alpha-2 agonis. Efek samping yang ditimbulkan seperti kelelahan, pusing, dan mulut kering (Dorsher & McIntosh 2012). Terapi obat lainnya seperti urecholine dapat mendorong kontraksi detrusor pada tipe campuran atau pada saraf motorik bawah. Urecholine dapat diberikan pada pasien dengan asma, penyakit paru kronik obstruktif, hipertiroid, obstruksi jalur kemih, dan penyakit arteri koronari atau Parkinson. Efek samping yang di timbulkan seperti hipotensi, bradikardi, bronkokontraksi, mual/muntal, serta diare.

Pembedahan merupakan alternatif terakhir. Terapi pembedahan yang dapat dilakukan adalah sistoplasti augmentasi, miomektomi detrusor/ autoaugmentasi, dan diversi urin (Myers, et al., 2016).

2.9 Prognosis Neurogenic Bladder

Prognosis dari pasien neurogenic bladder cenderung baik karena adanya alat medis yang modern, staff medis terlatih, dan kemajuan dalam pengetahuan medis. Jika tidak ditangani dengan baik, neurogenic bladder dapat menimbulkan (Clarck & Welk 2016) :

A. Disfungsi Permanen

Dengan adanya dari disfungsi secara permanen maka prognosis dari pasien cenderung buruk.

(15)

15

B. Kerusakan Ginjal

Pasien dengan neurogenic bladder yang sudah mengalami kerusakan pada kedua ginjal memiliki prognosis yang cenderung buruk.

C. Kerusakan pada Dinding Uretra

Pasien dengan neurogenic bladder namun mengalami kerusakan pada dinding uretra memiliki prognosis yang cenderung buruk.

(16)

16

BAB III KESIMPULAN

Neurogenic bladder adalah gangguan pada saluran kemih bagian bawah

yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf. Fasilitasi dan inhibisi berkemih berada di bawah 3 pusat utama, yaitu pusat berkemih sakral (the sacral

micturition center), pusat berkemih pons (the pontine micturition center), dan

korteks serebral. Pada lower motor neuron neurogenic bladder, kerusakan terjadi pada pusat mikturisi maupun saraf tepi sedangkan sistem saraf simpatetik pada sistem urin masih intak.

Klasifikasi dari neurogenic baldder, yaitu neurogenic bladder tipe flaksid,

neurogenic bladder tipe spastik, dan neurogenic bladder tipe campuran. Terdapat

tiga tahap dalam mendiagnosis neurogenic bladder, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Manajemen neurogenic bladder dilakukan melalui intervensi nonfarmakologis meliputi perubahan gaya hidup, bladder

retraining, kateterisasi interminten, dan pembedahan, sedangkan farmakologis

meliputi obat-obatan antikolinergik atau antimuskarinik dan alpha adrenergic

(17)

17

Daftar Pustaka

1. Cameron, AP 2016, ‘Medical management of neurogenic bladder with oral therapy’, Translational Andrology and Urology, vol. 5, no. 1, pp. 51-62. 2. Clark, R, Welk, B 2016, ‘Patient reported outcome measures in neurogenic

bladder’, Translational Andrology and Urology., vol. 5, no. 1, pp. 22-30. 3. DeMaagd, GA & Davenport, TC 2012, ‘Management of urinary

incontinence’. Pharmacy and Therapeutics, vol. 37, no. 6, pp. 345-61. 4. Dorsher, PT & McIntosh, PM 2012, ‘Neurogenic Bladder’, Advances in

Urology, vol. 2012, no. 2012, pp. 816274.

5. Ginsberg, D 2013, ‘The epidemyology and phatophysiology of neurogenic bladder’, The American Journal of Manage Care, vol. 19, no. 10, pp. 191-6.

6. Guyton, AC & Hall, JE 2013. Buku ajar fisiologi kedokteran. 12th edn.

Jakarta, EGC.

7. Li, WJ & Oh, SJ 2012, ‘Management of lower urinary tract dysfunction in patients with neurological disorders’, Korean Journal of Urology, vol. 53, no. , pp. 583-92.

8. Liao, L 2015, ‘Evaluation and management of neurogenic bladder: what is new in china?’, International Journal of Molecular Sciences, vol. 16, no. 8, pp. 18580-600.

9. Merk Sharp & Dohme Corporation 2016, NJ, USA, viewed June 7 2016,

https://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary-disorders/voiding-disorders/neurogenic-bladder

10. Myers, JB, Mayer, EN & Lenherr, S 2016, ‘Management options for sphincteric deficiency in adults with neurogenic bladder’, Translational

Andrology and Urology, vol. 5, no. 1, pp. 145-57.

11. Pannek, J, Blok, B, Castro-Diaz, D, Popolo, GD, Kramer, G, Radziszewski, P, Reitz, A, Stohrer, M, Wyndaele, JJ 2013, ‘Guidelines on Neurogenic Lower Urinary Tract Dysfunction’, European Association of

(18)

18

12. Saputra 2012, Buku saku kepererawatan pasien dengan gangguan fungsi

renal dan urologi disertai contoh kasus klinik., Bina Rupa Aksara

Publisher, Tanggerang, viewed 7 June 2016,

http://digilib.ubaya.ac.id/data_pustaka-238370.html

13. Tortora, GJ & Derrickson, BH 2014. Principles of anatomy and

Gambar

Gambar 1. Fisiologi Proses Miksi (Guyton & Hall 2013)  2.4 Patofosiologi Neurogenic Bladder
Gambar 2. Patofisiologi Neurogenic Bladder (Dorsher & McIntosh 2012)  2.5 Klasifikasi Neurogenic Bladder

Referensi

Dokumen terkait