• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pendahuluan - PENGEMBANGAN SISTEM EKONOMI KERAKYATAN DALAM PERSPEKTIF NEGARA HUKUM KESEJAHTERAAN BERDASARKAN UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "A. Pendahuluan - PENGEMBANGAN SISTEM EKONOMI KERAKYATAN DALAM PERSPEKTIF NEGARA HUKUM KESEJAHTERAAN BERDASARKAN UUD 1945"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan

Berbicara tentang konsepsi negara hukum kesejahteraan dan sistem ekonomi kerakyatan, kita diperhadapkan pada dua permasalahan yang berbeda. Perbedaan ini itu terjadi oleh karena kedua hal tersebut berada pada dua disiplin ilmu yang berbeda. Konsepsi negara hukum kesejahteraan berada dalam lingkup ilmu hukum, dan lajim dibicarakan oleh para ahli hukum, sedangkan sistem ekonomi kerakyatan berada pada disiplin ilmu ekonomi, dan lajim dibicarakan oleh para ahli ilmu ekonomi.

Sudut pandang terhadap kedua hal tersebut di atas, tidak dapat dipersalahkan. Akan tetapi, jika dilihat dari hakekat keduanya, maka baik para ahli ilmu ekonomi maupun para ahli hukum wajib mengetahui dan memahaminya. Bahkan menurut penulis, semua orang seharusnya wajib mengetahui dan memahaminya, dengan alasan bahwa keduanya menyangkut kelangsungan hidup

masyarakat banyak pada abad modern ini. Ada hal yang menggelitik hati, dimana banyak para ahli maupun politikus membicarakan konsepsi negara hukum dan sistem ekonomi kerakyatan, akan tetapi mereka tidak pernah menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan konsepsi negara hukum kesejahteraan dan sistem ekonomi kerakyatan tersebut. Dalam pada itu, konsepsi negara hukum kesejahteraan dan sistem ekonomi kerakyatan, sering dijadikan oleh para politikus sebagai kendaraan politik dalam meraih kursi di DPR dan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Menjelang pemilihan umum yang lalu, b a i k u n t u k p e m i l i h a n D P R d a n Presiden/Wakil Presiden periode 2009-2 0 1 0 , P ra b owo S u b i a n to d a l a m mempromosikan dirinya sebagai calon presiden dan partainya yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), melontarkan issu sistem ekonomi kerakyatan sebagai issu dalam pencitraan

Abstract

In the prosperity law state, the most priority is a guarantee for human rights of peoples' social economy. In creating human rights of peoples' social economy, the state or government is given authority, task or responsibility to get involved and participate in individual or social lives. Then, it produces economy democracy ideology in the field of economy.

Keywords: law state, democracy, economy

PENGEMBANGAN SISTEM EKONOMI KERAKYATAN

DALAM PERSPEKTIF NEGARA HUKUM

KESEJAHTERAAN BERDASARKAN UUD 1945

Marojohan S. Panjaitan

Dosen Tetap Sekolah Tinggi Hukum Bandung

(2)

dirinya dan partainya kepada masyarakat. Ketika itu, hampir setiap saat melalui iklan televisi, maupun dalam setiap kesempatan diseminar-seminar dan pertemuan, Prabowo Subianto dan partainya mempromosikan sistem ekonomi kerakyatan. Usaha Prabowo menjadikan issu ekonomi kerakyatan sebagai maskot dalam kampanye Partai Gerindra pada akhirnya membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Sebagai partai baru, Partai Gerindra mampu meraih 26 kursi dari 560 kursi yang diperebutkan. Dengan perolehan kursi tersebut, Partai Gerindra dapat memenuhi kuota untuk bisa duduk di DPR. Pada hal, ada partai yang sudah lama berdiri, seperti Partai Bulan Bintang misalnya, harus tersingkir dari gedung DPR karena tidak mampu memenuhi kuota kursi yang ditentukan.

Issu ekonomi kerakyatan yang dikumandangkan oleh Prabowo ini, ternyata secara diam-diam diikuti oleh partai dan calon presiden yang lain dalam kampanyenya. Hanya yang menjadi persoalan ketika itu adalah tidak ada penjelasan yang rinci tentang apa yang dimaksud dengan sistem ekonomi kerakyatan itu. Penggambaran ekonomi kerakyatan hanya terlihat dalam iklan d i t e l e v i s i a n t a r a l a i n d e n g a n mempertontonkan petani yang sedang panen raya, membenturkan pasar tradisional dengan pasar modem, mempertontonkan industri rumah tangga, dan lain sebagainya. Masyarakat sendiri tidak pemah paham dengan apa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan. Permasalahan kemudian muncul, ketika i s s u e ko n o m i ke ra k ya t a n m u l a i dibenturkan dengan sistem ekonomi neo

liberal. Sistem ekonomi neo liberal ini dibenturkan dengan sistem ekonomi kerakyatan ketika Susilo Bambang Yudoyono memilih Budiono menjadi pendampingnya sebagai calon wakil presiden. Pihak-pihak yang tidak merestui Budiono menjadi wakil presiden melontarkan issu bahwa Budiono adalah seorang penganut ekonomi neo liberal.

Sama halnya dengan sistem ekonomi kerakyatan, masyarakat juga tidak memahami apa itu sistem ekonomi neo liberal. Di tengah masyarakat hanya terbangun suatu opini, bahwa sistem ekonomi neo liberal itu tidak baik, maka harus ditolak.

Apa yang disebutkan di atas hanya penggambaran tentang ketidak pahaman masyarakat terhadap sistem ekonomi kerakyatan tersebut. Pemahaman terhadap ekonomi kerakyatan itu sangatlah diperlukan, agar masyarakat tidak keliru dalam menafsirkannya. Di samping itu, memahami ekonomi kerakyatan itu juga penting, dalam kita ingin memahami ide negara hukum kesejahteraan sebagaimana dianut hampir seluruh negara di dunia, termasuk I n d o n e s i a . I d e n e g a r a h u k u m kesejahteraan dapat dilihat di dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai cita hukum (recht ide) dalam pelaksanaan

pembangunan di Indonesia.

B. Pembahasan

1. K o n s e p s i N e g a r a H u k u m Kesejahteraan

Berkenaan dengan tema sentral yang diangkat dalam tulisan ini, maka terlebih dahulu akan dijelaskan konsepsi negara hukum kesejahteraan. Menurut penulis,

(3)

konsepsi negara hukum kesejahteraan merupakan landasan pemikiran dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan. Sebab, di dalam konsepsi negara hukum kesejahteraan termuat nilai-nilai keadilan yang merupakan rohnya pembangunan ekonomi.

Paham negara hukum kesejahteraan sering juga disebut sebagai negara hukum

1

modern dalam arti material. Bagir Manan mengatakan bahwa konsep Negara hukum kesejahteraan, adalah:

“Negra atau pemerintah tidak semata­ mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyurakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar­besarnya kemakmuran rakyat”.

Apabila diamati, konsepsi negara hukum kesejahteraan sesungguhnya merupakan pengembangan dari konsepsi negara hukum material. Dalam upaya menciptakan kesejahteraan rakyat muncul konsepsi negara hukum kesejahteraan yang diintrodusir oleh Otto Bar sebagaimana dikutip oleh Amran

2

Muslimin, bahwa:

Negara hukum modern menjadi Negara yang bersifat Negara Kebudayaan

(Cultuurstaaf) atau Negara Kesejahteraan (Welvaarstaat). Negara dianggap sebagai

perusahaan yang medatangkan manfaat bagi rakyat, karena menyelenggarakan kepentingan umum dan melalui saluran-saluran hukum (Wetmatigheid van

udministratie). Saluran-saluran hukum ini

dibuat oleh Raja bersama-sama dengan rakyat. Jadi rakyat ikut menentukan kepentingan umum, bukan raja sendiri seperti dalam Polizeistaat.

Tentang keikutsertaan rakyat turut menentukan kepentingan umum tidak terlepas dari pemikiran Jean Jacques Rousseau yang terkenal dengan teorinya yaitu: Teori kontrak sosial (contract social)

atau perjanjian masyarakat. J J. Rousseau berpendapat bahwa kekuasan tertinggi dalam negara ada pada rakyat, jadi yang berdaulat adalah rakyat, sedangkan penguasa-penguasa negara hanya m e r u p a k a n wa k i l - wa k i l ra k ya t . Perwujudan dari kedaulatan rakyat itu dituangkan atau menjelma di dalam konstitusi. Rousseau mengemukakan ada

3

empat sifat kedaulatan rakyat, yakni : 1. Kesatuan (unite); semangat

Rakyat berhak memerintah dan tak mau diperintah itu adalah satu. Kesatuannya itu adalah satu. Kesatuannya itu kelihatan pada permbuatan undang-undang, m e n y a t a k a n p e p e r a n g a n , penuntutan keadilan, dan yang menjunjungnya selalulah pula satu negara atau Rakyat.

2. B u l a t , t i d a k t e r b a g i - b a g i

(indivisibilite); kedaulatan tidak

dapat dipecah-pecah, misalnya d i l a k s a n a k a n s e b a g i a n daripadanya oleh seorang-seorang. Dalam kerajaan maka

1 Bagir Manan, Politik Perundang­undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian, FH UNLA, Bandar Lampung, 1996, hlm. 9.

2 Amran Muslimin, Beberapa Asas­asas Dan Pengertian­pengertian Pokok Tentang Administrasi Dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 87.

3

(4)

rajalah, dan apabila kedaulatan ada ditangan rakyat, maka hanya R a k y a t i t u l a h y a n g melaksanakannya dan memegang segala upacara kedaulatan. Sifat ini ialah wujud kedaulatan.

3. T i d a k b o l e h d i s e r a h k a n

(inalienabilite). Kedaulatan tidak

boleh dijual, digadai atau dihadiahkan; kedaulatan adalah kepunyaan segala bangsa turun-temurun. Sifat ini ialah menurut tabiat kedaulatan itu sendiri. 4. Tetap tidak berubah-ubah

(impreecriptibilite). Walaupun

bagaimana sekali lamanya, kedaulatan itu tetap dalam tangan Rakyat, tidak susut dan tidak berkurang. Kedaulatan itu bukanlah hak atau benda kepunyaan yang boleh hilang-timbul, melainkan ialah keinginan umum atau kekuasaan tertinggi yang kekal-abadi, sama timbul-tenggelam kehidupannya dengan Rakyat. (ejaan diseuaikan penulis dengan ejaan baru)

Teori kontrak sosial dari Rousseau ini selanjutnya oleh beberapa pakar hukum dan politik disebutkan sebagai “Teori

4

Kedaulatan Rakyat”. Wirjono Prodjodikoro

mengatakan, bahwa:

Menurut teori kedaulatan rakyat

(volkssouvereiniteit), segala kekuasaan

dalam suatu Negara didasarkan pada kekuasaan rakyat bersama yang terkenal dalam hal ini seorang Perancis bernama

Jean Jaques Rousseau, yang menganggap adanya suatu contract social yaitu suatu

perjanjian antara seluruh rakyat, yang menyetujui pemerintah mempunyai kekuasaan dalam suatu Negara.

5

Dalam pada itu, I Gde Pantja Astawa mengemukakan, bahwa:

Berdasarkan teori perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh Rousseau, muncul konsep atau ajaran kedaulatan rakyat. Dalam teori perjanjian masyarakat, rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam Negara (kedaulatan rakyat). Itu berarti sekelompok orang (pemerintah/ penguasa) merupakan mandataris r a k y a t u n t u k m e l a k s a n a k a n kedaulatan rakyat tersebut. ...Bahkan pelaksanaan kedaulatan rakyat diwajibkan untuk memperjuangkan d a n m e m b e l a h a k - h a k d a n kepentingan anggota masyarakat serta mengusahakan terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa teori kedaulatan rakyat adalah merupakan dasar l a h i r n y a k o n s e p s i n e g a r a kesejahteraan. Akan tetapi, apabila ditelusuri, seperti dikemukakan oleh

6

Bagir Manan, bahwa konsepsi negara kesejahteraan lahir sebagai reaksi terhadap gagalnya konsepsi negara hukum klasik dan negara hukum sosialis. Kedua konsepsi dan tipe negara hukum tersebut memiliki pandangan yang berbeda tentang

448 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 26 No. 01 Februari 2012

4 Terpetik dari Muhamat Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Penerbit Djambatan, Djakarta/Amsterdam, 1951, hlm. 62-63.

5

I Gde Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut Undang-undang Dasar 1945, (Disertasi), Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2000, 1982, hlm. 87.

(5)

dasar dan bentuk penguasaan negara atas sumber daya ekonomi. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh pengaruh ideologi yang dianutnya. Paham negara hukum liberalis klasik dipengaruhi oleh paham liberalisme, sedangkan paham negara hukum sosialis dipengaruhi oleh paham Marxisme.

Penguasaan negara atas sumber daya alam dan segala isinya, oleh paham tersebut dibatasi. Negara tidak boleh turut campur tangan lebih jauh tentang urusan-urusan ekonomi masyarakat. Hal yang tampak dari paham tersebut adalah, bahwa secara tidak seimbang kemerdekaan dipuja-puja dan kebebasan berkompetisi secara perorangan terutama di lapangan ekonomi yang dianggap paling super sesuai dengan latar belakang ajaran ekonomi. Dalam konteks ini, yang diutamakan adalah terjaminnya hak asasi berupa kemerdekaan, baik dalam bidang politik maupun bidang sosial ekonomi, serta adanya jaminan kebebasan dan kemerdekaan untuk mendapatkan hak milik. Konsekuensi logis dari paham tersebut adalah, negara dapat saja dipandang sebagai subyek hukum yang dapat bertindak dan mempunyai hak milik atas sumber daya alam. Perkembangan lebih lanjut dari paham tersebut adalah, adanya jaminan pemilikan secara perorangan yang juga dijamin kebebasan dalam penggunaannya. Hal tersebut menyebabkan timbulnya kelompok

usaha besar dengan modal yang memadai untuk menguasai ekonomi dan sumber daya alam dengan segala isinya. Keadaan ini menimbulkan ketimpangan antara pemilik modal dengan warga masyarakat yang kekurangan modal atau antara kaum kapitalis dengan para buruh. Dengan demikian, konsepsi negara hukum tersebut semakin memperkuat posisi kaum kapitalis dan melemahkan posisi kaum buruh, yang pada gilirannya akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat banyak.

Selanjutnya, mengenai konsepsi negara hukum sosialis mempunyai paradigma bahwa pada mulanya secara alamiah, manusia menguasai dan memiliki segala potensi sumber daya alam dengan segala isinya. Lambat laun, pemilikan atau penguasaan tersebut menimbulkan perbedaan di antara sesama manusia dalam melakukan usaha, yang pada akhimya melahirkan kelas-kelas dalam masyarakat. Perbedaan tersebut timbul karena perbedaan kekuatan, seperti kekuatan modal usaha. Kelas-kelas dalam masyarakat tersebut, oleh Karl Marx dan Friedrich Engels disebut golongan borjuis dan

7

g o l o n g a n p r o l e t a r. S e b a g a i

implikasinya, lahirlah suatu kondisi dalam masyarakat, di mana kekayaan menentukan kekuasaan atau kekuasan oleh kaum borjuis (kapitalis). Walaupun negara dan hukum digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan, tidak berarti bahwa usaha

(6)

ke arah perjuangan untuk mengakhiri kekuasaan itu berhenti, justru sebaliknya, semakin kuat dalam mempertahankan kekuasaan.

Menurut konsepsi sosialis, terutama aliran sosialis ilmiah yang dipelopori Karl Marx, bahwa kelemahan-kelemahan sosial ekonomi yang timbul dalam sistem kapitalis, berakar pada dilegalkannya kebebasan berusaha tanpa batas bagi pengusaha perorangan untuk mengejar

8

kepentingan pribadi. Paham Marxisme dengan tesis yang mengatakan bahwa semua sumber daya alam harus dikuasai oleh negara untuk menjamin distribusi, sedangkan antithesisnya adalah pemilikan perorangan atas sumber daya alam dihapuskan atau dilarang, dan sithesisnya adalah sumber daya alam menjadi milik bersama yang secara konkrit dimiliki negara (etatisme). Pada negara sosialis

yang berpaham Marxisme, pemilikan individual atas sumber daya alam tidak dikenal dan tidak pernah diakui secara hukum.

Teori pemilikan negara atas sumber daya alam yang dikemukakan Karl Marx dan Friedrich Engels, pada kenyataannya bertolak belakang dengan teori-teori ekonomi, khususnya tentang nilai buruh yang di atasnya diletakkan ajaran hukum dan negara. Menurut teori ini, hanya dengan pemilikan negara atas sumber daya alam dapat menciptakan suatu sistem baru dalam hubungan produktif berdasarkan produksi untuk penggunaan bersama dan

9

tidak untuk keuntungan perorangan. Namun demikian, pemilikan negara yang

pada mulanya bertujuan untuk menjamin distribusi hasil produksi sumber daya ekonomi bagi kepentingan rakyat banyak, secara perlahan-laban dimanfaatkan oleh penguasa negara untuk mempertahankan kekuasaan dan diubah menjadi monopoli negara. Bagi negara tipe ini, hal tersebut dimungkinkan, karena bentuk hukumnya mencerminkan aturan-aturan yang selalu memberi tempat pada negara untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangannya, monopoli negara yang begitu besar terhadap sumber d a y a e k o n o m i m e n g a k i b a t k a n k e t i d a k s e i m b a n g a n d a n t i d a k berkembang, sehingga kebutuhan sosial ekonomi masyarakat menjadi beban dan tanggung jawab negara. Hal itu menimbulkan penderitaan bagi rakyat.

Berbagai kekurangan dan kelebihan tipe-tipe negara sebagaimana disebutkan di atas, telah menimbulkan perhatian dan reaksi dengan mencoba menggantikan sistem tersebut dengan suatu sistem yang baru. Perkembangan selanjutnya, muncul suatu konsepsi yang bersifat pragmatis, yang berusaha mempertahankan kebebasan dalam negara hukum sekaligus membenarkan perlunya campur tangan negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat (citizenry welfare)

dan kesejahteraan umum (public welfare).

Konsepsi ini merupakan perpaduan antara beberapa konsepsi, yaitu paham liberalisme-individualisme dengan konsepsi sosialis-kolektivitas.

Paham di atas, pada akhimya melahirkan konsepsi tentang socio

450 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 26 No. 01 Februari 2012

(7)

10 Ibid., hlm. 21.

11 Mac Iver, The Modern State, Oxford University Press, London, 1950, p.4. 12 Loc. Cit.

13 Loc.Cit. 14

Terpetik dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif, Liberty, Yogyakarta, 1977, hlm. 166 15 De Haan P et. al, Bestuursreht in de sociale rechstaat, Del I Onttwikkeling, Organisatie, Instrumentarium,

Kluwer-Deventer, 1986, p.15.

16 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 38.

capitalis state atau new liberalism yang

10

mengutamakan fungsi welfare. Dalam

11

konsepsi demikian, menurut Mac Iver, nagara tidak dipandang lagi sebagai alat kekuasaan (instrument of power) semata,

tetapi lebih dari itu, dipandang sebagai alat pelayanan (an agency of services). Paham

yang pragmatis ini, kemudian melahirkan konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara hukum modern atau

negara hukum material, yang menurutnya

12

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. D a l a m n e g a r a h u k u m kesejahteraan, yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak asasi sosial ekonomi rakyat;

b. Pertimbangan-pertimbangan efsiensi dan manajemen lebih diutamakan daripada pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peran eksekutif lebih besar daripada peran legislatif;

c. Hak milik tidak bersifat mutlak; d. Negara tidak hanya menjaga

ketertiban dan keamanan, tetapi juga turut serta dalam usaha-usaha sosial dan ekonomi;

e. K a i d a h - k a i d a h h u k u m administrasi semakin banyak mengatur sosial-ekonomi dan m e m b e b a n k a n k e w a j i b a n tertentu kepada warga negara; f. Peran hukum publik condong

mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi semakin luasnya peran negara;

g. Lebih bersifat negara hukum material yang mengutamakan keadilan sosial yang material pula. Dari uraian di atas, tampak bahwa peran negara telah ditempatkan pada posisi yang kuat dan lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan umum (public welfare) dan keadilan sosial (social justice).

Konsepsi negara demikian, dalam berbagai literatur disebut dengan istilah, antara lain: social services state atau an agency of

13

services (negara sebagai alat pelayanan)

atau social reehtsstaat (negara hukum

14

sosial). Lemaire menyebutnya dengan terminologi “bestuurzorg” (negara

menyelenggarakan kesejahteraan umum) a t a u “ v e r z o r g i n g s t a a t ” ( n e g a ra

15

kesejahteraan). Konsepsi negara hukum modern ini, selain menghendaki setiap tindakan negara atau pemerintah harus berdasarkan hukum, juga negara diserahi peran, tugas, dan tanggung jawab yang lebih luas untuk mensejahterakan rakyat.

b. Sistem Ekonomi Kerakyatan

Tentang lahirnya sistem ekonomi kesejahteraan tidaklah dapat dipisahkan dari pemikiran dari konsepsi Negara hukum kesejahteraan. Pendapat ini dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh

16

(8)

dalam konsepsi negara hukum modern memuat tiga hal pokok, yaitu:

a. aspek politik, menghendaki

adanya pembatasan kekuasaan Negara.

b. konsep hukum, dan antara lain

supremasi hukum, asas legalitas, dan the rule of law.

c. aspek sosial ekonomi, adalah

keadilan sosial (social justice) dan

kesejahteraan umum (public welfare).

Korelasi dari ketiga aspek tersebut di atas adalah, hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Konsepsi tersebut berseberangan dengan konsepsi negara hukum klasik yang meletakkan hak asasi manusia hanya pada hak politik. Hal tersebut tentu tidak memuaskan, sehingga hak asasi perlu diperluas ke lapangan sosial, yaitu hak asasi sosial (sociale g r o n d r e c h t e n a t a u s o c i a l e menchenrechten). Sebab, hak sosial

memberikan wewenang, tugas dan tanggung jawab pada negara atau pemerintah untuk memasuki atau ikut serta dalam perikehidupan individu maupun masyarakat. Pengertian tersebut, melahirkan paham demokrasi ekonomi

17

atau kerakyatan di bidang ekonomi.

Dalam praktek sehari-hari, keadilan sosial dibatasi hanya pada keadilan ekonomis saja, sehingga menurut Bagir

18

Manan, bahwa keadilan sosial harus mencakup pula segala segi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun demikian, keadilan ekonomis merupakan hal yang sangat menonjol

dalam bentuk kewajiban negara dan p e m e r i n t a h u n t u k m e w u j u d k a n kesejahteraan umum dan kemakmuran

19

rakyat. W. Friedmann melihat hal tersebut dengan mengemukakan beberapa fungsi negara dalam kaitan dengan aspek-aspek di atas sebagai berikut:

a. Negara memiliki fungsi sebagai

p r o v i d e r ( p e n j a m i n )

kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya;

b. Negara memainkan peran dan fungsinya juga sebagai regulator

(pengatur);

c. Negara memainkan perannya juga sebagai entrepreneur (pengusaha)

atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui badan usaha milik negara; dan

d. Negara memainkan perannya juga sebagai pengawashvasit (umpire).

Pertanyaan yang harus diajukan adalah bagaimana negara dan pemerintah m e w u j u d ka n ke s e j a h te ra a n d a n kemakmuran rakyat itu. Seperti diuraikan di atas, bahwa munculnya konsep negara hukum kesejahteraan adalah sebagai pengembangan dari teori kedaulatan rakyat, dan gagalnya konsepsi nagara hukum klasik dan negara hukum sosialis dalam memberi kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyat. Berdasarkan pemikiran ini, maka peran masyarakat untuk terlibat lebih banyak dalam pembangunan ekonomi amatlah penting. Terhadap hal ini adalah tepat gagasan Almarhum Mubyarto yang menggagas penerapan ekonomi kerakyatan dalam

452 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 26 No. 01 Februari 2012

17 Loc.Cit.

18 Bagir Manan, Peranan Hukum Dalam Pergeseran Nilai Sosial Budaya Masyarakat Memasuki Era Refornasi, (Makalah), FISIP-UNPAD, 1999, hlm. 7.

19

(9)

mewujudkan konsepsi negara hukum kesejahteraan. Konsep ini juga didukung oleh Sri Edy Swasono, dan bahkan oleh

20

Prabowo Subianto.

Tentang konsep ekonomi kerakyatan, maka yang perlu mendapat pengkajian adalah apa makna kata rakyat secara utuh.

Apabila diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi, kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat ditangkap untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat. Memahami kata rakyat ini sangat penting dalam kita ingin mengetahui konsep ekonomi rakyat. Sebab, ketika berbicara ekonomi rakyat, maka akan muncul pertanyaan, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, dimana dan berapa jumlahnya.

Dalam konsep bernegara, semua orang berhak menyandang predikat rakyat. Haruslah dijelaskan, yakni rakyat yang mana yang harus ditempatkan dalam r u a n g e ko n o m i ke ra k ya t a n i t u . Selanjutnya, harus pula dijelaskan bagaimana memperlakukan rakyat dimaksud. Dalam hal ini, harus diperhatikan tentang perlakuan terhadap rakyat apakah selama ini sudah benar, serta upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi apakah sudah berada pada koridor yang benar.

Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satu individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau

diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragam ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara membuat perbedaan yang tegas antara ekonomi rakyat dengan ekonomi kerakyatan. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragam perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang

21

mendominasi struktur dunia usaha.

Di Indonesia, kata rakyat dalam k o n t e k s i l m u e k o n o m i d a p a t diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, manajemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Sebab, kelompok usaha seperti dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha Indonesia. Ekonomi rakyat tumbuh secara n a t u ra l k a re n a a d a nya p o t e n s i disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Atas dasar itulah, maka kata rakyat dalam ekonomi kerakyatan sering disinonimkan dengan rakyat miskin. Sehingga, konsep ekonomi kerakyatan adalah konsep ekonomi yang berpihak

20 Lihat Ign. Gatut Saksono, Neoliberalisme vs Sosialisme Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan, Forkoma PMKRI, Yogyakarta, 2009, hlm. 163.

(10)

kepada rakyat miskin.

Kelompok ekonomi kerakyatan ini berbeda dengan pelaku ekonomi dengan modal besar yang disebut dengan

konglomerat. Kelompok konglomerat ini

mempunyai bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Sebab, kelompok konglomerat ini memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan manajemen usaha modern. Kelompok ini tentu tidak digolongkan dalam ekonomi kerakyatan, sebab jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena membangun patner usaha yang baik dengan pengusaha lainnya sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah s a t u n ya ) m e l a l u i p e n g o n t r o l a n perusahaan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan. Lahimya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan manajemen bisnis yang baik

menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Kelompok ini tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam ekonomi pasar. Padahal, ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi

tawar-menawar yang imbang.

Mubyarto dan Sri Edi Swasono menyebut ekonomi kerakyatan itu dengan istilah Sistem Ekonomi Pancasila. Menurut

22

Mubyarto, sistem ekonomi Pancasila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral.

2. Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan p e m e r a t a a n s o s i a l

(egalitarianisme), sesuai

asas-asas kemanusiaan.

3. Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh, yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijaksanaan ekonomi. 4. Koperasi merupakan soko guru

perekonomian dan merupakan bentuk paling kongkret dari usaha bersama.

5. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di t i n g k a t n a s i o n a l d e n g a n desentralisasi dalam pelaksanaan k e g i a t a n e k o n o m i u n t u k menjamin keadilan sosial.

23

Sedangkan menurut Sri Edi Swasono sistem ekonomi Pancasila dapat

454 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 26 No. 01 Februari 2012

(11)

digambarkan sebagai sistem ekonomi yang berorientasi atau berwawasan pada sila-sila Pancasila-sila, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya atau diberlakukannya etik dan moral agama, bukan materialisme; manusia beragama melaksanakan syariah berkat iman sebagai hidayah Allah);

2. Ke m a n u s i a a n ( k e h i d u p a n berekonomi yang humanistik, adil dan beradab, tidak mengenal pemerasan, penghisapan ataupun riba);

3. Persatuan (berdasarkan sosio-n a s i o sosio-n a l i s m e I sosio-n d o sosio-n e s i a ; kebersamaan dan berasaskan kekeluargaan, gotong royong, bekerja sama, tidak saling mematikan);

4. Ke ra k ya t a n ( b e r d a s a r k a n demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan hajat hidup orang banyak, ekonomi r a k y a t s e b a g a i d a s a r perekonomian nasional);

5. Keadilan sosial secara menyeluruh (kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran orang-s e o r a n g , b e r k e a d i l a n , berkemakmuran).

Konsep ekonomi kerakyatan atau sistern ekonomi Pancasila di atas sangatlah tepat dikembangkan di Indonesia, dengan suatu asumsi bahwa rakyat (pelaku ekonomi) di Indonesia masih berskala miskin. Dalam kondisi seperti ini, peran negara sebagai provider, regulator, entepreneur, dan umpire sebagaimana

dikemukakan W. Friedmann sangat diharapkan. Prinsip ekonomi yang

memberi kesejahteraan lebih banyak k e p a d a m a s ya r a k a t m e r u p a k a n pengejawatahan dari prinsip ekonomi berdasarkan UUD 1945, khususnya Pasal 33 yang dijiwai Pembukaan dan didukung dan dilengkapi oleh Pasal 18, 23,27 ayat (2), dan 34.

Pasal 33 UUD 1945 mengatakan, bahwa:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(12)

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Ketentuan ini akan

dijadikan sebagai landasan dalam p e n g e m b a n g a n s i s t e m e ko n o m i kerakyatan di Indonesia.

c. Cita Hukum Pancasila Sebagai K a i d a h P e n u n t u n D a l a m Pengembangan Sistem Ekonomi Kerakyatan Di Indonesia

Berbicara dalam pelaksanaan

24

pembangunan, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa:

Pembangunan dalam arti seluas­ luasnya meliputi segala dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi dari kehidupan masyarakut dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka­karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkut pembangunan segi­segi kehidupan lainnya.

Apa yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja di atas adalah benar, mengingat pemahaman yang sering berkembang selama ini dimasyarakat bahwa pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan ekonomi. Akhirnya, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih ditonjolkan pada pembangunan ekonomi.

Tidak dapat disangkal bahwa kehidupan manusia itu sangat ditunjang

dengan perbaikan ekonomi. Namun d e m i k i a n , d a l a m m e l a k s a n a k a n pembangunan dalam negara, tidak hanya pembangunan ekonomi yang perlu diperhatikan, akan tetapi pembangunan aspek kehidupan lain juga perlu mendapat

25

perhatian, sebab seperti dikemukakan

2 6

oleh J.C.T. Simorangkir bahwa:

“Membangan dalam rangka pembangunan nasional menyangkut segala aspek daripada persoalan keseluruhan". Untuk

itu, istilah yang paling tepat dipergunakan adalah pembangunan nasional. Bertalian dengan pengertian pembangunan nasional tersebut, maka agar pembangunan itu dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, hal tersebut harus dilakukan secara sinergis satu dengan yang lainnya. Berdasarkan visi, misi, dan strategi pembangunan sebagaimana tercantum di dalam Peraturan Presiden No, 7 Tahun 2004 tentang RPJMN, maka disusun tiga agenda pembangunan nasional tabun 2004-2009, yaitu:

1. Menciptakan Indonesia yang Aman dan Damai.

2. Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis.

3. Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia

Berdasarkan visi, misi, dan strategi di atas, maka dalam konteks pembangunan

27

nasional, menciptakan Negara yang aman dan damai, adil dan demokratis, peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan bagian integral dari

456 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 26 No. 01 Februari 2012

24 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep­konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, him. 19.

25 Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999. hlm. 208. lihat pula Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001, hlm. 20-21. lihat pula Philip Nonet L Philip Selznik,

(13)

pembangunan itu. Konsep pembangunan ini selaras dengan konsepsi pembangunan nasional yang meliputi pembangunan b i d a n g k e s e h a t a n , p e n d i d i k a n , perumahan, pertahanan dan keamanan, politik (proses demokratisasi), hukum dan

28

lain sebagainya, Pembangunan nasional sebagai suatu kebijakan dalam negara menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.

Adalah suatu kenyataan bahwa semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan. Untuk itu

2 9

M o c h t a r K u s u m a a t m a d j a mengemukakan, bahwa:

P e r u b a h a n t e r s e b u t h a r u s l a h dilakukan secara teratur, sebab perubahan yang teratur melalui prosedur hukum baik berwujud perundang­undangan atau keputusan badan­badan peradilan lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata­mata.

Karena baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses

30

pembanganan.

Berdasarkan pendapat di atas,

M o c h t a r K u s u m a a t m a d j a i n g i n menekankan bahwa perubahan yang terjadi sebagai akibat dari pembangunan itu harus ada hukum sebagai alat pengendalinya. Dalam pada itu Soetandyo

3 1

Wignjosoebroto dengan mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja t e r s e b u t b e r p e n d a p a t b a h w a pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menurut skenario kebijakan pemerintah (dalam hal ini eksekutif) amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara yang sedang berkembang, jauh melebihi kebutuhan yang dirasakan negara-negara industri maju yang telah mapan. Negara-negara maju memiliki mekanisme hukum yang telah “jalan” untuk mengakomodasikan p e r u b a h a n - p e r u b a h a n d i d a l a m masyarakatnya, sedangkna negara-negara yang tengah berkembang tidaklah demikian. Sedangkan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang akan terwujudnya perubaban yang membawa perbaikan taraf hidup amatlah besamya, melebihi harapan-harapan yang diserukan oleh masyarakat-masyarakat di negara-negara yang telah maju.

Bertalian dengan peranan hukum

32

dalam pembangunan, Satjipto Rahardjo mengatakan, bahwa:

Penggunaan perundang­undangan secara sadar oleh pemerintah sebagai sarana untak melakukan tindakan sosial yang terorganisir telah merupakan ciri khas

28 Lihat Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

29 Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hlm. 19. Lihat pula J.T.C. Simorangkir, Op.Cit. hlm. 67. 30 Ibid, hlm. 20.

31

Soetaadyo Wignjosoebroto, Dinamika Sosial­Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 231-232.

(14)

negara modern. Dalam tingkatan penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tujuan­tujuan sosial yang dikehendaki seperti yang dialami oleh negara modern sekarang ini maka persoalannya bergeser kepada tegangan antara idea kepastian hukum dan penggunaan hukum untuk melakukan perubahan­peruhahan. Idea kepastian hukum menghendaki adanya stabilitas di dalam musyarakat, sedangkan penggunaan hukum secara instrumental adalah untuk m e n c i p t a k a n p e r u b a h a n m e l a l u i p e n g a t u r a n t i n g k a h l a k u w a r g a masyarakat menuju sasaran yang dikehendaki.

Tentang peranan hukum dalam pembangunan, di dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun tahap pertama yang diusulkan oleh pemerintah tahun 1969 juga diakui. Dalam naskah rencana pembangunan itu dikatakan bahwa tanpa pembangunan di bidang hukum maka pembangunan ekonomi akan sia-sia. Naskah itu merujuk pada penjelasan UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini juga diakui dalam rencana pembangunan selanjutnya hingga di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009 sesuai Perpres No. 7 Tahun 2005.

Berdasarkan uraian di atas, tampak apa yang menjadi peranan dan fungsi hukum dalam pembangunan itu yakni

menciptakan keteraturan. Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup berkepastian. Artinya, dengan adanya h u k u m o ra n g d a p a t m e n i k m a t i pembangunan, dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Keteraturan yang intinya kepastian ini apabila dihubungkan dengan kepentingan penjagaan keamanan diri maupun harta milik, akan terlihat fungsi hukum yang lainnya yakni ketertiban. Namun demikian, seperti

33

dikemukakan oleh Soerjono Soekanto , bahwa:

Di samping ketertiban, maka hukum juga bertujuan untuk mencapai keadilan yang pada hakekatnya berakar pada kondisi yang pada suatu waktu tertentu diinginkan oleh sesuatu masyarakat yang tertentu.

Apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto ini adalah benar, sebab unsur

34

keadilan tidak bisa dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaedah yang menjamin adanya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat. John Rawls mengatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama institusional sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.

Artinya, bahwa unsur keteraturan (kepastian), ketertiban, dan keadilan

adalah tiga pilar yang menopang hukum,

35

dan merupakan rohnya hukum, yang akan

dijadikan sebagai kaidah penuntun dalam p e m b a n g u n a n , t e r m a s u k d a l a m

458 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 26 No. 01 Februari 2012

33

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1975, hlm. 5. lihat pula Soerjono Soekanto, Efektifikasi Hukum dan Peranan Sanksi,

Remadja Karya, Bandung, 1985, hlm. 1-4. lihat pula Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Grasindo, Jakarta, 1999, hlm. 121 ...dst.

(15)

p e n g e m b a n g a n s i s t e m e ko n o m i kerakyatan di Indonesia. Hal ini penting sekali dipahami bukan hanya bagi suatu kehidupan masyarakat yang teratur, akan tetapi merupakan suatu syarat yang mutlak bagi suatu organisasi yang melampaui batas-batas waktu masa kini. Tanpa adanya kepastian hukum, ketertiban, dan keadilan, manusia tidak akan bisa mengembangkan kemampuan-kemampuannya di dalam masyarakat, dan tidak akan bisa menikmati hasil pembangunan. Dalam pelaksanaan program pembangunan nasional, ketiga unsur ini harus diimpletasikan di dalamnya, agar pembangunan tersebut dapat memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sebab, seperti dikemukakan oleh

36

Satjipto Rahardjo bahwa “hukum pun ikut m e n c i p t a ka n ke s e j a h te ra a n d a n kebahagiaan masyarakat”.

Jika berbicara tentang pembangunan, maka perlu dicari apa yang menjadi cita hukum (recht idee) sebagai dasar

fundamental dalam melaksanakan pembangunan itu. Hal itu penting dilakukan, agar pembangunan itu selaras dengan cita hukum sebagaimana telah diletakkan oleh para pendiri negara sebelum Indonesia merdeka. Tujuannya adalah agar pembangunan dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Bertalian dengan cita-hukum tersebut,

37

Rudolf Stammler berpendapat bahwa cita-hukum adalah konstruksi pikir yang harus mengarahkan hukum pada cita-cita

yang dinginkan masyarakat. Cita-hukum berfungsi sebagai pemandu (Leitstern)

bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Cita-hukum itu mengandung prinsip-prinsip yang berlaku sebagai norma bagi keadilan atau ketidakadilan hukum. Dengan demikian, cita-hukum secara serentak memberikan manfaat ganda. Dengan cita-hukum kita dapat menguji cita-hukum positif yang berlaku, dan pada cita-hukum pula dapat mengarahkan hukum positif menuju hukum yang adil. Dikatakan bahwa hukum yang adil ialah hukum positif yang memiliki sifat yang di arahkan oleh cita-h u k u m u n t u k m e n c a p a i t u j u a n masyarakat. Secara lebih spesifik Stamler mengidentifikasikan cita-hukum itu sebagai “kemauan yuridis” yang berada di

atas kemauan subyektif orang-orang pribadi. Kemauan yuridis adalah suatu kemauan obyektif. Kemauan yuridis m e n d o r o n g o r a n g - o r a n g u n t u k membentuk peraturan-peraturan bagi masyarakat dalam hukum positif. Di sini tampaklah bahwa kemauan yuridis merupakan dasar dan syarat dari seluruh hukum positif dan semua pengalaman tentang hukum. Tanpa kemauan yuridis ini, hukum tidak ada artinya, bahkan sama sekali tidak ada. Bila terdapat kemauan yuridis, maka ketentuan-ketentuan hukum positif juga menjadi terang dan jelas. Juga ditegaskannya bahwa kemauan yuridis yang menjadi bintang pemandu bagi pembentukan tata hukum ini, jangan dipandang sebagai suatu realitas psikologis yang disadari sebagai kemauan.

35

Lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm. 97-98. 36

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006. hlm. 11.

(16)

Kemauan yuridis bersifat transendental, yaitu bahwa kemauan ini berfungsi sebagai prinsip terakhir segala pengertian tentang

38

hukum. Arief Sidharta mengatakan, bahwa:

Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita­ hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).

Lebih lanjut Arief Sidharta dengan mengutip hasil seminar nasional “Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional” disebutkan, bahwa:

Cita Hukum (rechtsidee) mengandung arti bahwa pada hakekatnya hukum s e b a g a i a t u r a n t i n g k a h l a k u mesyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan pikiran dari

39

masyarakat itu sendiri.

Jadi, cita-hukum itu adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur: k e a d i l a n , k e h a s i l ­ g u n a a n (doelmatigheid) dan kepastian hukum. Cita

hukum itu terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan masyarakat yang diproyeksikan pada proses p e n g k a i d a h a n p e r i l a k a u w a r g a masyarakat yang mewujudkan tiga unsur tersebut. Dalam dinamika kehidupan

kemasyarakatan, cita-hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yung memedomani (guiding principle), norma­kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam

40

penyelenggaraan hukum.

Bertalian dengan uraian di atas, apabila dihubungkan dengan cita-hukum Bangsa Indonesia, hal tersebut harus dikembalikan pada Pembukaan UUD 1945 sebagai cita-hukum (Rechtsidee) yang

menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis maupun hukum tidak tertulis. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD itu secara singkat digambarkan, yakni persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian, cita-hukum itu tidak lain Pancasila. Artinya, Cita hukum Bangsa Indonesia berakar pada Pancasila. Pancasila sebagai cita-hukum berfungsi mengarahkan, dan menjadi kaidah penuntun bagi seluruh sistem norma hukum. Arief Sidharta mengemukakan cita hukum Pancasila berintikan:

(a) Ketuhanan Yang Maha Esa;

(b) Penghormatan atas martabat manusia;

(c) Wa w a s a n ke b a n g s a a n d a n Wawasan Nusantara;

(d) Persamaan dan kelayakan; (e) Keadilan Sosial;

(f) Moral dan budi pekerti yang luhur; (g) Partisipasi dan transparansi dalam

proses pengambilan putusan

460 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 26 No. 01 Februari 2012

38

Arief Sidharta, Refleksi ... Op. Cit, hlm. 180. 39 Ibid., hlm. 181.

(17)

publik.

B e r t a l i a n d e n g a n k o n s e p p e m b a n g u n a n e k o n o m i s e p e r t i dikemukakan di atas, apabila dihubungkan dengan pengembangan sistemn ekonomi kerakyatan di Indonesia, kerangka pikir seperti disebutkan di atas akan dijadikan sebagai kaidah penuntun. Sebagaimana diketahui bahwa kemajuan ilmu dan teknologi telah membawa perubahan, tidak hanya dalam cara manusia saling berinteraksi, namun juga mempengaruhi seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kemajuan ilmu dan teknologi telah menjadi salah satu faktor pendorong semakin cepatnya globalisasi, yang seringkali diartikan sebagai peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui berbagai bentuk interaksi yang mengaburkan batas-batas negara.

Globalisasi telah melahirkan kesempatan bagi pelaku usaha untuk memperoleh pasar atau konsumen yang lebih besar lagi. Pada abad ke 21, setiap negara dihadapkan pada kompetisi global yang sangat ketat. Suatu negara harus mampu memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada. Setiap negara harus bisa 'menjual' kekuatan/ kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, setiap negara perlu melakukan penilaian tentang hal-hal apa saja yang merupakan kelemahan atau kelebihan yang mereka miliki dengan menggunakan teori-teori marketing. Semakin mudahnya aktifitas perdagangan, investasi dan berbagai aktifitas ekonomi lain yang melibatkan semakin banyak pihak di berbagai negara yang berbeda, memaksa semua negara untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, dengan

melakukan liberalisasi ekonomi. Di Indonesia, liberalisasi ekonomi ini ditandai dengan banyaknya deregulasi dan debirokratisasi dalam merespon issu globalisasi tersebut.

Sejak Indonesia meratifikasi kesepakatan-kesepakatan di WTO, maka asas – asas yang melandasi kesepakatan tersebut dengan sendirinya harus direfleksikan dalam peraturan hukum nasional, seperti liberalisasi ekonomi, transparansi, pengelolaan ekonomi pasar, privatisasi, termasuk mengurangi peranan negara dalam badan-badan usaha. Peranan negara yang semula menentukan kebijakan, mengatur sekaligus menjadi p e n y e l e n g g a r a u s a h a , d a l a m perkembangannya negara hanya menitik beratkan pada pembinaan kebijakan, p e n g a t u r a n , p e n g a w a s a n d a n p e n g e n d a l i a n , s e d a n g k a n penyelenggaraan usaha negara hanya di arahkan untuk lebih memberdayakan masyarakat. Dalam merefleksi asas-asas yang disepakati di WTO ke dalam kebijakan pembangunan, maka hal tersebut haruslah sinergis dengan sistem ekonomi kerakyatan yang dikembangkan di Indonesia. Memadukan asas-asas yang terkandung di dalam WTO dengan sistem ekonomi kerakyatan, adalah sangat penting agar konsepsi negara hukum kesejahteraan sebagaimana dianut di dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat terwujud. Sebagai kaidah penuntun dalam memadukan kedua hal tersebut adalah cita hukum Pancasila dan UUD 1945.

C. Penutup

(18)

negara hukum kesejahteraan di Indonesia adalah merupakan harapan dalam mengatasi dampak ekonomi global yang tidak mungkin dihindarkan. Sebagai kaidah penuntun pengembangan sistem ekonomi kerakyatan dalam mewujudkan konsepsi negara hukum kesejahteraan tersebut adalah cita hukum Pancasila dan UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Hukum Pertambangan, UII Press,

Jogyakarta, 2002

Amrah Muslimin, Beberapa Asas­asas Dan Pengetian­Pengertian Pokok tentang A d m i n i s t r a s i D a n H u k u m Administrasi, Alumni, Bandung, 1982.

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

_________, Politik Perundang­undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian, FH.

UNILA, Bandar Lampung, 1996.

_________, Penelitian di Bidang Hukum,

dalam Jurnal Hukum Puslitbangkum Nomor: 1-1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999.

_________, Pe ra n a n H u ku m D a l a m Pergeseran Nilai Sosial Budaya Masyarakat Memasuki Era Reformasi,

(Makalah), FISIP-UNPAD, 1999.

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,

Bandung, 1999.

Budiono, Ekonomi Indonesia Mau Ke Mana?

Kumpulan Esai Indonesia, Gramedia,

Jakarta, 2009

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Grasindo, Jakarta, 1999.

De Haan P et. al., Bestuursreht in de sociale rechstaat, Del I. Onttwikkeling,

Organisatie, Instrumentarium, Kluwer-Deventer, 1986.

Firmanzah, Globalisasi, Sebuah Proses Dialektika Sistemik, Yayasan Sad

Satria Bhakti, Jakarta 2000.

Friedmann, W, The State and The Rule of Lou in A Mixed Economy, Stevens and

Sons, London,1997.

Fredrik Benu, Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Suatu Kajian Konseptual, (Artikel – Th

I – No. 10-Desember 2002

H. Anton Djawamaku, Cita­cita Hukum dan Langkah Strategis Pembangunan Hukum, (Jurnal) CSIS Tahun XXII, No.

1 Januari-Februari 1993.

I Gde Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut Undang­Undang Dasar 1 9 4 5 , ( D i s e r t a s i ) , P m g r a m

Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2000.

Ign. Gatut Saksono, Neoliberalisme vs Sosialisme Membangkitkan Ekonomi

Kerakyatan, Forkoma PMKRI,

Yogyakarta, 2009.

J.T.C. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia I, Gunung Agung, Jakarta,

1988.

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, CV Mandar Maju,

Bandung, 2002.

(19)

Mac Iver, The Modern State, Oxford

University Press, London, 1950.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976.

__________, Konsep­konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung,

2002.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001.

Muhamat Yamin, Proklamasi dan Konstitusi R e p u b l i k I n d o n e s i , Pe n e rb i t

Djambatan, Djakarta/Amesterdam, 1951.

Philip Nonet & Philip Selznik, Law and Society in Transtition Toward Responsive Law, Harper and Row,

New York, 1978, et passim.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam L i n t a s a n S e j a r a h , K a n i s i u s ,

Yogyakarta, 1982.

Rawls, John, Teori Eeadilan (A Theory of Justice), (alih bahasa) Uzair Fauzan –

Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat,

Angkasa, Bandung, 1986.

_________, Hukum Dalam Jagat Ketertiban,

UKI Press, Jakarta, 2006.

_________, Membedah Hukum Progresif,

Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.

_________, Membedah Hukum Progresif,

Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi 1U'egara dan Upaya Administratif,

Liberty, Yogyakarta, 1977

S o e r j o n o S o e k a n t o , B e b e r a p a Pe r m a s a la h a n H u ku m Da la m Kerangka Pembangunan di Indonesia,

Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1975.

_________, Efektifikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung,

1985.

Soetandyo Wignjosoebroto, Dinamika Sosial­Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1994.

Sri Edi Swasono, Menegakkan Ekonomi Pancasila, Yogyakarta: Universitas

Gajah Mada, 2009.

Wirjono Prodjodikom, Asas­asas Hukum Tata Negara, Dian Rakyat, Jakarta,

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan buruknya tata kelola keuangan negara selama ini sebagai akibat penerapan politik hukum keuangan negara yang bias paradigmatik, telah melahirkan suatu

“Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial Di Indonesia.” Jurnal Equilibirium 3 (2006). Persoalan Ekonomi Sosialis. Sistem Dan Moral Ekonomi Indonesia. Otto, Jan

Manfaat teoritis, yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangsih masukan terhadap ilmu pengetahuan hukum yaitu khususnya Hukum Tata Negara,

Merupakan kesimpulan, bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi salah satu caranya diwujudkan melalui pemilihan umum sebagai bentuk perjanjian umum hukum

14 tinjauan umum tentang tumpang tindih (overlapping) sertifikat hak atas tanah, konsep umum tentang putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tinjauan umum tentang

…… 16) ; Sunaryati Hartono menggunakan istilah negara hukum sama dengan the rule of law, yang mengatakan :…... membawa keadilan bagi seluruh rakyat …..Penegakan

Konsepsi ini jika dicontohkan ke dalam keadaan Indonesia, kehendak untuk memiliki sebuah konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia

Rumusan Pancasila di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan pendapat KC Wheare dan Podsnap dalam teori hukum konstitusi bahwa materi muatan suatu