BAB II
PENGATURAN TENTANG KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Hukum yang mendasari pengaturan kewarganegaraan Republik Indonesia
adalah Undang-undang Dasar dan Peraturan Perundang-undangan antara lain:
UUD 1945 melalui pasal-pasal 26, 27, 28 B ayat (2), 28 D ayat (1) dan (4), 28 E
ayat (4), 28 I ayat (2), 28 J. Kemudian Undang-undang No 12 Tahun 2006.
Dalam sejarahnya, sebelum berlakunya UU No 12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia, ada banyak pengaturan mengenai
kewarganegaraan di Indonesia baik berupa Peraturan Perundang-undangan
maupun Peraturan Pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Instruksi Presiden.
Perubahan-perubahan itu dilakukan karena banyaknya permasalahan
Pengaturan Kewarganegaraan di Indonesia. Akan tetapi, beberapa perbedaan yang
sangat mencolok dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. UU No.3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara
Indonesia;
2. UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarnegaraan Republik Indonesia dan
UU No.3 Tahun 1976 tentang perubahan pasal 18 UU No.62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan26
3. UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ;
26
A. Undang Undang No.3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Pendudukan Indonesia ( Warga Negara Indonesia Pada Awal kemerdekaan)
Pada waktu Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus tahun
1945, Negara Republik Indonesia belum Mempunyai Undang-undang dasar (UUD1945)
sehari kemudian tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) mengesahkan UUD1945, mengenai kewarganegaraan UUD1945 menyebutkan
antara lain:
1. Pasal 26 Ayat (1) menentukan bahwa “Yang menjadi warga negara adalah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara Indonesia”,
sedangkan ;
2. Pasal 26 Ayat (2) menentukan bahwa, “syarat-syarat yang mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang”.
Secara otentik, penjelasan UUD 1945 mengenai ketentuan di atas
menerangkan sebagai berikut:
“Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, Peranakan
Tionghoa, dan peranakan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui
Indonesia sebagai Tanah Airnya, dan bersikap setia kepada negara Republik
Indonesia dapat menjadi warga negara27
27
Penjelasan UUD 1945 pasal 26
Sebagai pelaksanaan pasal 26 UUD1945, tanggal 10 April 1946,
diundangkan UU No.3 Tahun 1946. Adapun yang dimaksud dengan warga negara
Indonesia menurut UU No.3 Tahun 1946 adalah28
a. Orang-orang asli dalam wilayah daerah di Indonesia; :
b. Orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut diatas akan tetapi
turunan dari seseorang dari golongan itu dan lahir bertempat kedudukan
dan kediaman dalam daerah negara Indonesia, dan orang itu bukan turunan
seorang dari golongan termaksud yang lahir dan bertempat kedudukan dan
kediaman di selama sedikitnya 5 tahun berturut turut yang paling akhir
didalam daerah negara Indonesia yang telah berumur 21 tahun atau telah
kawin.
c. Orang yang mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dengan cara
Naturalisasi.
d. Anak yang sah, disahkan atau diakui dengan cara yang sah oleh bapaknya,
yang pada lahirnya bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
e. Anak yang lahir dalam waku 300 hari setelah bapaknya yang mempunyai
kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia.
f. Anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah yang pada
waktu lahirnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
g. Anak yang diangkat dengan cara yang sah oleh seorang warga negara
Indonesia.
28
h. Anak yang lahir di dalam daerah negara Indonesia yang oleh bapaknya
ataupun ibunya tidak diakui dengan cara yang sah.
i. Anak yang lahir didalam daerah negara Indonesia, yang tidak diketahui
siapa orang tuanya atau kewarganegaraan keduan orang tuanya.
j. Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam
negara Indonesia dan bertempat kedudukan didalam daerah negara
Indonesia.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dianut dalam
undang-undang tersebut adalah asas Ius soli. UU No.3 Tahun 1946 beberapa kali
mengalami perubahan tanggal 27 Februari 1947 pemerintah Indonesia dengan
persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)
mengeluarkan Undang Undang No.6 Tahun 1947 tentang Perbahan UU No.3
Tahun 1946 tentang warga negara dan pendudukan Indonesia. maka dari itu
perihal tentang kewarganegaraan Indonesia pada awal kemerdekaan diatur di
dalam UU No.3 Tahun 1946 jo29
29
Jo, merupakan kependekan dari kata “juncto” berarti bertalian dengan, berhubungan dengan “Kamus Hukum” , JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo,
UU No.6 Tahun 1947 jo UU No.8 Tahun 1947.
Pada perkembangan politik selanjutnya yaitu pada tahun 1949 Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melebur bersama dengan negara negara
bagian menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berbentuk republik
federal. Perubahan ini pada dasarnya merupakan hasil persetujuan antara
pemerintah Indonesia dengan Pemerintah kerajaan Belanda , bahwa Belanda
Dalam permasalahan orang-orang Belanda dan Eropa di Indonesia, negara
Republik Indonesia Serikat dengan kerajaan Belanda (Koninkrijk der
Nederlander) Melangsungkan Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag. Dalam
Persetujuan ini terdapat perihal pembagian Warga Negara , dari hasil KMB
tanggal 27 Desember 1949 antara Belanda dengan Negara Indonesia serikat
artinya kedua negara harus menentukan siapa saja yang menjadi warga negara
masing-masing, setelah Republik Indonesia Serikat berdaulat penuh, lepas dari
penjajahan Kerajaan Belanda. Maka ditentukanlah hak opsi dan hak repuidasi
dalam piagam persetujuan pembagian warga negara konfrensi meja bundar
tersebut.
Hak opsi dalam kewarganegaraan adalah hak seseorang untuk memilih
atau menerima tawaran kewargarganegaraan suatu negara tertentu. Sebaliknya,
hak repuidasi adalah hak seseorang menolak tawaran kewarganegaraan suatu
negara tertentu30
Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara (PPPWN) tersebut di atas
pada prinsipnya mengatur sebagai berikut .
31
1. Orang-orang Belanda dewasa tetap memegang kebangsaan Belanda.
Namun jika mereka dilahirkan di Indonesia atau bertempat tinggal di
Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan, dalam jangka waktu dua tahun
sesudah penyerahan kedaulatan mereka berhak menyatakan memilih
kebangsaan Indonesia;
:
30
Soetoprawiro, Koerniamanto,hukum kewarganegaraan dan keimigrasian, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,1996 hlm 4
31
2. Kawula negara Belanda bukan orang Belanda dewasa, yang menjelang
waktu penyerahan kedaulatan termasuk golongan penduduk orang-orang
asli Indonesia, memperoleh kebangsaan Indonesia. Namun jika mereka
lahir di luar Indonesia dan bertempat tinggal di Negeri Belanda atau luar
wilayah peserta Uni Indonesia Belanda, dalam jangka waktu dua tahun
sesudah penyerahan kedaulatan mereka berhak menyatakan bahwa mereka
memilih kebangsaan Belanda;
3. Kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang bertempat tinggal di
Suriname32
a. Jika mereka lahir di luar wilayah kerajaan Belanda, mereka
memperoleh kebangsaan Indonesia. Namun dalam jangka waktu dua
tahun sesudah penyerahan kedaulatan mereka berhak menyatakan
bahwa mereka memilih kebangsaan Belanda; atau antillen Belanda :
b. Jika mereka lahir di ;luar wilayah kerajaan Belanda , mereka tetap
memegang kebangsaan Belanda. Namun dalam jangka waktu dua
tahun sesudah penyerahan kedaulatan, mereka berhak memilih
kebangsaan Indonesia;
4. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang telah
dewasa menjelang waktu penyerahan kedaulatan dan yang lahir di
Indonesia atau bertempat tinggal di Republik Indonesia Serikat mendapat
32
kebangsaan Indonesia tetapi berhak menolaknya dalam jangka waktu dua
tahun sesudah penyerahan kedaulatan;
5. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang telah
dewasa menjelang waktu kedaulatan yang lahir tidak di Indonesia yang
bertempat tinggal di kerajaan Belanda tetap berkebangsaan Belanda, tetapi
dalam jangka waktu dua tahun sesudah penyerahan kedaulatan mereka
berhak menolak kebangsaan Belanda dan memilih kebangsaan Indonesia;
6. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda dari luar
negeri yang telah dewasa menjelang wajtu penyerahan kedaulatan yang
bertempat tinggal di wilayah peserta Uni Indonesia-Belanda dan yang lahir
di negeri Belanda. Tetapi jika orang tua mereka kawula negara Belanda
karena lahir di Indonesia, dalam jangka waktu dua tahun sesudah
penyerahan kedaulatan mereka berhak memilih kebangsaan Indonesia
dengan menolak kebangsaan Belanda itu.
Jangka waktu kesempatan untuk menggunakan hak opsi ataupun hak
repuidasi itu dengan demikian adalah sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai
B. UU No.62 Tahun 1958 Tentang Kewarnegaraan Republik Indonesia Dan UU No.3 Tahun 1976 Tentang Perubahan Pasal 18 UU No.62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Permasalahan Dwi Kewarganegaraan Orang Cina di Indonesia).
Masalah kewarganegaraan pada awal kemerdekaan negara Republik
Indonesia tidak hanya ada pada orang-orang Belanda dan Eropa yang ada di
Indonesia. Tetapi juga terhadap orang-orang TiongHoa yang merupakan Warga
Negara Republik Rakyat China (RRC) yang ada di Indonesia. Permasalahan itu
adalah adanya dwi kewarganegaraan orang-orang Cina .
Pada tahun 1949 kaum komunis berhasil merebut kekuasaan di China dari
tangan kaum Kuo Min Tang. Maka dari itu lahirlah negara RRC. Negara ini masih
mempertahankan Undang-Undang kewarganegaraan China Nasionalis yang
diundangkan pada tahun 1929. Undang-Undang ini menggunakan asas ius
sanguinis, berarti semua orang China dimanapun mereka berada diklaim sebagai
warga negara China. Hal ini mengakibatkan semua orang yang berstatus warga
negara Indonesia mempunyai Dwi kewarganegaraan. Artinya selain memiliki
kewarganegaraan Indonesia mereka juga mempunyai kewarganegaraan China.
Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara (PPPWN) yang dimulai pada
tanggal 27 Desember 1949 sampai tanggal 27 Desember 1951 dikenal juga
sebagai masa opsi 33
33
Masa opsi adalah masa untuk memilih dan menolak kewarganeraan Indonesia berdasarkan hasil dari perundingan KMB di Denhaag,berlaku dari tanggal 27 desember 1949 sampai 27 desember 1951.
, pada masa itu pula Duta Besar RRC untuk Indonesia Wang
RRC di Indonesia.Duta Besar ini secara aktif berkampanye guna menarik orientasi
orang-orang china di Indonesia ke RRC.terjadilah pengaruh perebutan antara
pihak RRC dengan Indonesia, sehingga Indonesia merasa terganggu karenanya.
Pada masa opsi berakhir tanggal 27 Desember 1951 dengan hasil
mengecewakan pihak Indonesia mengingat sekitar 40% orang China Indonesia
secara formal menolak kewarganegaraan Indonesia. kemudian munculah
kekecewaan dari berbagai pihak di Indonesia atas PPPWN itu 34
Peaceful Coexistence
. Sebagai akibat
memuncaknya ketidakpuasan terhadap PPPWN, disusunlah Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang kewarganegraan Indonesia. RUU tersebut selesai pada
bulan Februari 1954. Namun sebelum disahkan dan diberlakukan , Indonesia
terlebih dahulu harus melakukan pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak RRC.
Pokok dari permasalahan itu adalah perlunya diselesaikan banyaknya orang China
yang diklaim sebagai warga negaranya baik oleh Indonesia maupun oleh RRC
akibat dari opsi 1949-1951 dari hasil KMB di Denhaag.
Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara positif oleh
pemerintah RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC yang baru dikenal dengan
35
34
Soetoprawiro, Koerniamanto, Op.Cit , hlm 106
35 Peaceful coexentence atau Five principles Peaceful coexentence adalah kebijakan politik luar negeri China yaitu:1.saling menghormati kesatuan wilayah masing-masing, 2.tidak melakukan agresi , 3.tidak melakukan intervensi masalah dalam negri masing-masing, 4.kesamaan dan saling menguntungkan, 5.hidup damai berdampingan. (Flemming Cristhiansen and Shirin M ray, Chines politic and society and introduction, London,Prentince hall,199)
. maka dari itu dilakukanlah suatu persetujuan antara
menteri luar negeri Indonesia Sunario dan menteri luar negeri RRC Chou En-Lai.
Pada tanggal 22 April 1955 yang dikenal dengan perjanjian Dwi
Tujuan Pihak Indonesia dalam persetujuan ini adalah meniadakan
akibat-akibat masa opsi . Selain Itu, Indonesia juga menghendaki adanya kepastian akan
lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang China di Indonesia sebelum kepada
mereka diberikan kesempatan baru untuk memilih kewarganegaraan. Sementara
Itu RRC juga menerima baik keinginan Indonesia untuk menetukan sendiri siapa
saja orang China Indonesia yang harus memilih dan tidak ikut memilih, karena
telah secara implicit memilih kewarganegaraan Indonesia berdasarkan kedudukan
sosial politik mereka. Maka secara yuridis, isi persetujuan tersebut di ratifikasi
dalam bentuk undang-undang No.2 Tahun 1958.
Undang-Undang No.2 Tahun 1958 disahkan pada tanggal 11 januari
1958 diundangkan dalam Lembaran Negara 1958-5 pada tanggal 27 Januari 1958.
Termasuk ketentuan ini adalah Nota kesepakatan antara Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Chou-En-Lai tertanggal 3 juni 1955 di
Peking. Tujuan dari Undang-Undang ini dalah:
1. menyelesaikan masalah Dwi-Kewarganegaraan yang ada pada waktu
itu;
2. mencegah timbulnya Dwi-kewarganegaraan di kemudian hari.
Dalam Perjanjian ini , masalah Dwi-Kewarganegaraan yang ada itu
diselesaikan dengan cara menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang
serempak dimiliki seseorang. Untuk itu kedua belah pihak menyepakati hal-hal
berikut ini:
1. Suatu golongan diantara mereka yang berdwi-Kewarganegaraan
menurut pendapat pemerintah Indonesia kedudukan sosial politik mereka
membuktikan bahwa mereka dengan sendirinya (secara implicit) telah
melepaskan kewarganegaraan RRC nya. Dengan demikian pula halnya
dengan istri dan anaknya yang belum dewasa, diikutkan dalam anggapan
itu.
2. Mereka yang berkewarganegaraan rangkap selain butir a diatas, harus
memilih dengan kehendak sendiri salah satu kewarganegaraan yang akan
mereka pertahankan, dengan ketentuan bahwa mereka yang menyatakan
pilihannya, bagi Indonesia menjadi orang asing. Suami/isteri yang
berkewarganegaraan rangkap menetukan pilihannya masing masing.
sementara itu anak selama belum dewasa, mengikuti pilihan
bapak/ibunya. Jika kemudian telah dewasa anak tersebut harus memilih
salah satu kewarganegaraan. Apabila ia tidak menyatakan pilihannya, ia
dianggap tetap berkewarganegaraan seperti selama ia belum dewasa.
Khusus menyangkut masalah perkawinan, Pasal X perjanjian
Dwi-Kewarganegaraan menentukan bahwa apabila seorang warga negara Indonesia
kawin dengan seorang warga negara RRC, masing-masing tetap memiliki
kewarganegaraan asal . kecuali apabila salah satu dari mereka dengan kehendak
sendiri memohon dan memeperoleh kewarganegaraan partnernya. Jika ia
memperoleh kewarganegaraan dari partnernya, dengan sendirinya akan
Dalam hal hak opsi dan hak repuidasi ini seseorang yang memilih
kewarganegaraan Indonesia harus memiliki SBKRI (surat bukti kewarganegaraan
Indonesia)
Pasal 17 huruf (k) Undang-Undang No.62 Tahun 1958 memberikan
kewajiban bagi warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri lain
untuk menjalankan dinas negara, guna menyatakan keinginan untuk tetap menjadi
warga negara Indonesia dalam jangka waktu 5 (lima) Tahun yang pertama dan
selanjutnya 2 (dua) Tahun. Dalam masa itu tidak semua warga negara Indonesia
yang tinggal diluar negeri dapat memenuhi kewajiban tersebut bukan karena
kelalaian melainkan akibat dari suatu keadaan diluar kesalahannya, sehinga dia
terpaksa tidak dapat menyatakan keinginannya tersebut tepat pada waktunya.
Karena pasal 18 tidak menampung orang-orang tersebut ,maka perlu diadakan
perubahan terhadap pasal 18 Undang-Undang No.62 Tahun 1958.
Adapun mengenai orang yang berhak menggunakan kesempatan pasal 18
ayat (2) ini adalah orang yang pada waktu mulai berlakunya UU No.62 Tahun
1958 adalah warga negara Republik Indonesia dan selama ini menunjukan
kesetiaannya kepada negara Republik Indonesia.
Dengan demikian orang orang China perantauan (Hoa Kiau) juga tidak
dapat menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Undang-Undang ini.
Ketentuan berlakunya Undang-Undang ini terbatas pula yaitu: hanya berlaku 1
(satu) tahun, sehingga merupakan ketentuan yang berlaku satu kali saja. Jangka
waktu 2 (dua) tahun berlaku bagi mereka yang tempat tinggalnya tidak ada
Isi dari pasal 18 Undang-Undang No.62 Tahun 1958 adalah sebagai
berikut36
1. seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termasuk
dalam pasal 17 huruf (K) memeroleh kewarganegaraan Republik Indonesia
kecuali jika ia mau bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan kartu izin
masuk dan menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan
kepada pengadilan negeri dari tempat tinggalnya dari 1 (satu) tahun setelah
orang itu bertempat tinggal di indonesia. :
2. Seorang yang bertempat tinggal di luar negeri yang telah kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 17 huruf k,
karena sebab-sebab diluar kesalahannya, sebagai akibat dari keadaan di negara
tempat tinggalnya yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya kewajiban
sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut, dapat memperoleh kembali
kewarganegaraan Republik Indonesia:
a. jika ia melaporkan diri dan menyatakan keterangan untuk itu kepada
Perwakilan Republik Indonesia di negara tempat tinggalnya dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya
Undang-undang ini;
b. jika ia melaporkan diri dan menyatakan keterangan untuk itu kepada
Perwakilan RepublikIndonesia di negara yang terdekat dari tempat
tinggalnya dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya
Undang-undang ini;
36
3. Selain menyatakan keterangan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan
Republik Indonesia seperti tersebut dalam ayat (2), orang yang bersangkutan
harus:
a. menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh untuk menjadi
warganegara Republik Indonesia;
b. telah menunjukkan kesetiaannya terhadap Negara Republik Indonesia
4. Seorang yang telah menyatakan keterangan sesuai dengan ketentuan dalam ayat
(2), memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu 1
tahun setelah melaporkan diri dan menyatakan keterangan serta ternyata
memenuhi syarat-syarat tersebut dalam ayat (3) dan setelah mendapat
Keputusan Menteri Kehakiman. Keputusan Menteri Kehakiman yang
memberikan kembali kewarganegaraan Republik Indonesia mulai berlaku pada
hari pemohon menyatakan sumpah atau janji setia dihadapan Perwakilan
Republik Indonesia dan berlaku surut hingga hari tanggal Keputusan Menteri
Kehakiman tersebut.
Ketika orang cina (etnis tionghoa) yang ada di Indonesia memilih
kewarganegaraan Indonesia maka harus dibuktikan dengan SBKRI. Hal ini sangat
disayangkan karena dalam prakteknya kebijakan SBKRI hanya di berlakukan
terhadap etnis tionghoa saja. Apabila pada pemerintahan orde baru saat itu
memiliki pemahaman dan pengertian yang benar akan arti kewarganegaraan,maka
adalah bentuk lain dari apartheid (segregation) atau state sponsored rasial
discrimination yang di ekspresikan melalui perangkat hukum dan kebiasaan37
Di Malaysia dan Singapura untuk warga negara pewarganegaraan (By
Regisration) diberikan Bukti kewarganegraan yaitu certificate of Regisration dan
Certificate Of Naturalization untuk warga naturalisasi seperti juga di Filipina.
Untuk warga negara yang tidak mempunyai bukti kewarganegaraan di amerika
serikat diberikan Certificate of Nationality
.
SBKRI ini juga wajib dimiliki oleh anak anak orang tionghoa yang lahir
di Indonesia ,walaupun secara perundang undanganan mereka adalah warga
negara Indonesia. Pada umumnya warga negara By operation of law tidak
memerlukan bukti kewarganegaraan. Lain halnya dengan warga negara karena
pengangkatan, perkawinan, karena turut ayah ibunya karena pernyataan maka ia
memerlukan pembuktian jika membutuhkan demi kepastian hukum.
38
Ketika masa peralihan dari zaman Orde baru menuju reformasi, terjadi
demonstrasi besar-besaran yang memaksa presiden Soeharto untuk mundur hal itu
.
Perbedaan sangat dirasakan terhadap orang tionghoa dengan adanya
sebutan pribumi dengan non pribumi . Hal ini menyebabkan diskriminasi terhadap
golongan non pribumi mulai dari pengurusan izin sampai dalam hak haknya
sebagai warga negara. Tak lepas dari sejarah istilah non pribumi ini dahulunya ada
berdasarkan penggolongan hukum yang dilakukan oleh belanda didalam
ketentuan pasal 163 IS.
37In south Africa the separative aspect of apartheid is expressed in law as well as in action ,Encyclopedia Americana ,Grolier incorporated, 1984 hlm 88 ,diambil dari jurnal ilmiah,DR frans Winarta,SH,MH,SBKRI,sejarah dan masalahnya dalam praktek
berimbas terjadinya kerusuhan yang puncaknya pada Mei 1998. Pada kerusuhan
tahun 1998 ,orang Tionghoa yang dianggap non pribumi menjadi korban
diskriminasi akibat masih terasanya perbedaan dalam status kewarganegaraan di
Indonesia. Mereka dibunuh dan harta mereka dijarah massa. Hal itu di karenakan
orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan Korupsi Kolusi
Nepotisme (KKN) di Indonesia karena mereka sering
menggunakan sogokan
Instruksi presiden ini didasari oleh pertimbangan bahwa untuk lebih
meningkatkan perwujudan persamaan didalam hukum dan pemerintahan,
persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan, hak dan kewajiban warga negara,
dan perlindungan hak asasi manusia, serta lebih memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa, dipandang perlu memberi arahan bagi upaya pelaksanaannya. untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Hal ini
menyebabkan banyak orang Tionghoa memutuskan untuk pindah dari Indonesia.
Puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan
diri sebagai Presiden dan digantikan oleh presiden BJ.Habibie. Demi melindungi
hak-hak orang orang tionghoa di Indonesia presiden BJ Habibie tepatnya pada
tanggal 16 September 1998 mengeluarkan Instruksi Presiden No.26 Tahun 1998
Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi Dan Non Pribumi Dalam
Semua Perumusan Dan Penyelenggaraan Kebijakan, Kegiatan Pemerintah,
Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan sebagai wujud dari upaya
penghapusan diskriminasi terhadap permasalahan golongan dalam kearganegaraan
di Indonesia.
39
39
Diawali dengan adanya Inpres ini perlahan-lahan perbedaan antara
pribumi dengan non pribumi dirasakan hilang , pada masa pemerintahan presiden
keempat RI Abdul Rahman Wahid, beliau mulai memberikan kesempatan untuk
orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan mengangkat
Kwik Kian Gie Sebagai menteri perekonomian. Kebijakan pengahapusan
diskriminasi juga dapat diperhatikan dengan berbagai keputusan pemerintah
misalnya Inpres No.4 Tahun 1999 dan Kepres No.6 Tahun 2000 Tentang
pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang agama , kepercayaan dan adat
istiadat Cina seperti Barongsai dan sejenisnya tidak perlu lagi izin Khusus dari
Pemerintah karena secara kutural budaya dan etnis Tionghoa tetap dipandang
sebagai salah satu asset budaya bangsa yang secara yuridis harus dilindungi
keberadaannya.
Dalam prespektif SBKRI yang dianggap diskriminasi inpres No.4 Tahun
1999 adalah salah satu usaha Pemerintah menghapuskan diskriminasi di Indonesia
yaitu “Bagi Warganegara Repubik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda
Penduduk , atau Kartu Keluarga atau akte kelahiran ,pemenuhan kebutuhan
persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda
Penduduk Tersebut,Kartu Keluarga atau Akte Kelahiran Tersebut”40. “maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu yang
mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku lagi”41
Pada masa pemerintahan presiden Megawati hari Raya Imlek dijadikan
sebagai hari Libur Nasional, dengan demikian jelaslah sudah bahwa negara .
40 ketentuan pasal 4 ayat (2) inpres No.4 Tahun 1999 41
Indonesia telah menghapuskan penggolangaan antara pribumi dan non pribumi
dan dihapusnya diskriminasi terhadap etnis tionghoa. Pada Pemerintahan
Presiden SBY UU No.12 Tahun 2006 ditetapkan yang pada dasarnya UU ini
menghapuskan perbedaan antara orang pribumi dengan orang non pribumi sesuai
dengan asas khusus di dalam ketentuan ini yaitu penghapusan diskriminasi
(1). Penetapan Kewarganegaraan Republik Indonesia Bagi Penduduk Irian Barat
Pada masa berlakunya UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarnegaraan
Republik Indonesia terdapat pengaturan kewarganegaraan terhadap orang-orang
Irian Barat (Papua) karena Irian Barat sekarang disebut dengan Papua adalah
wilayah yang terakhir bergabung dengan Negara kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Empat tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap saja belum
mau hengkang dari Papua. Indonesia berusaha terus memaksa Belanda. Salah
satunya adalah melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi
ini berlangsung di Den Haag, Belanda tanggal 22 Desember 1949. Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah
Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke pangkuan
NKRI 2 (dua) tahun kemudian.
KMB itu diikuti dengan Pengakuan dan Penyerahan kekuasaan atas
wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Isi
kesepakatan KMB dalam kenyataannya diingkari oleh Belanda sendiri. Belanda
langkah-langkah untuk memisahkan Tanah Papua dari NKRI. Dewan nasional
Papua dibentuk dan kemerdekaan secara tergesa-gesa dideklarasikan tanggal 1
Desember 1961.
Pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan
wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Selanjutnya, PBB
merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan “New York Agreement” untuk
memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak
pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari
delapan kabupaten pada masa itu. Setelah Pepera dilaksanakan, Dewan
Musyawarah Pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian dengan suara bulat
memutuskan Irian Jaya tetap merupakan bagian dari Republik Indoenesia. Hasil
ini dibawa Duta Besar Ortiz Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB ke
24 bulan Nopember 1969. Sejak saat itu secara de jure Irian Barat sah menjadi
milik RI.
Dalam permasalahan kewarganegaraan ketentuan status warga negara
orang-orang Irian Barat , pemerintah Republik Indonesia menetapkan orang-orang
Irian Barat sebagai Warga Negara Indonesia. Hal ini diatur di dalam Keputusan
Presiden No 7 Tahun 1971 tentang pernyataan digunakannya ketentuan dalam UU
No 3 Tahun 1946 tentang warga negara dan penduduk negara Republik Indonesia
bagi penduduk Irian Barat.
Isi dari Keputusan Presiden tersebut yaitu:42
42
1. Untuk menentukan kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 1 sub a Undang-undang Nomor 62 Tahun
1958 bagi penduduk Irian Barat digunakan ketentuan-ketentuan
Undang-undang Nomor 3Tahun 1946 tentang Warganegara dan Penduduk Negara
Republik Indonesia, sebagaimana yang telah ditambah dan diubah dengan
undang-undang Nomor 6 Tahun 1947, Undang-undang Nomor 8 Tahun
1947 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1948 (Pasal 1).
2. Segala pernyataan yang berhubungan dengan Kewarganegaraan Indonesia
yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang
Warganegara dan Penduduk Negara sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 1 Keputusan Presiden ini dapat diajukan dalam waktu 1 Tahun
terhitung tanggal ditetapkannya Keputusan ini (pasal 2)
3. Pelaksanaan Keputusan Presiden ini akan diatur lebih lanjut oleh menteri
kehakiman (Pasal 3)
4. Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada pada tanggal ditetapkan (Pasal
4)
Keputusan Presiden ini ditetapkan tanggal 17 Februari 1971 oleh
Presieden Soeharto.
C. Undang-Undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pembentukan UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
yang memeberi tempat perlindungan yang luas terhadap HAM yang juga
berakibat terhadap perubahan pasal pasal mengenai hal hal yang terkait dengan
kewarganegaraan dan hak-haknya.
Undang-undang No.62 tahun 1958 secara filosofis, yuridis dan sosiologis
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan
Republik Indonesia. Secara filosofis, Undang-undang tersebut masih mengandung
ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila antara lain,
karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan
persamaan antar warga negara , serta kurang memberikan perlindungan terhadap
perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan
undang-undang tersebut adalah undang-undang dasar sementara tahun 1950 yang
sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangan nya Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang
lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara.
Secara sosiologis, Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki persamaan perlakuan
dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan
keadilan gender. Undang-undang No.12 Tahun 2006 Berbeda dengan undang
undang sebelumnya, undang-undang ini pada dasarnya menganut asas kelahiran
berdasarkan tempat negara kelahiran (ius soli) itu secara terbatas artinya asas ius
pada penjelasan warga Negara Indonesia adalah dalam pasal 4 huruf (I) “Anak
yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang tidak jelas status
kewarganegaraan ayah ibunya”, pasal 4 huruf (J) “Anak yang baru lahir di
temukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak
diketahui”, dan pasal 4 huruf (K) “Anak yang lahir di wilayah negara Republik
Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak
diketahui keberadaannya”, yang menjelaskan pengertian dari warga negara
menentukan bahwa asas ius soli itu hanya berlaku bagi seorang anak yang lahir di
wilayah Republik Indonesia selama orang tua mereka tidak diketahui
kewarganegaraannya. Jadi bukan berlaku apabila keberadaan tersebut sudah
terjadi jika yang ditemukan adalah seorang anak yang sudah dewasa.
Sementara untuk mencegah masalah status kewarganegaraan ganda
(bipatride) dan tanpa kewarganegaraan (apatride), baik dari status
kewarganegaraan yang lahir dari sistem kelahiran maupun sistem
perkawinan,maka UU kewarganegaraan mengakomodasi asas kewarganegaraan
tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas. Asas kewarganegaraan tunggal
adalah asas kewarganegaraan yang menentukan bahwa hanya ada satu
kewarganegaraan bagi setiap orang. Sedangkan asas kewarganegaraan ganda
terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak
yang belum dewasa (belum berusia delapan belas tahun atau belum pernah
menikah). Hal ini sifatnya merupakan suatu pengecualian, dengan suatu
yuridis dianggap belum memiliki kecakapan (handelingson-bekwaam) dalam lalu
lintas hukum.
Subtansi mendasar daripada UU No.12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan yang sekaligus menjadi prinsip adalah, bahwa dalam UU
kewarganegaraan ini tidak dikenal lagi permasalahan kewarganegaraan.
Ketentuan ini dapat dilihat dalam penjelasan umum undang-undang tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia, bahwa terdapat asas khusus juga yang
menjadi dasar penyusunan Undang-undang tentang kewarganegaraan Indonesia
yaitu43
1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan
kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang
bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang
memiliki cita –cita dan tujuannya sendiri. :
2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa
pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga
negara Indonesia dalam keadaan apapun baik didalam maupun diluar
negeri.
3. Asas persamaan didalam hukum dan pemerintah adalah asas yang
menentukan bahwa setiap warganegara mendapatkan perlakuan yang sama
didalam hukum dan pemerintahan.
43
4. Asas kebenaran subtantif adalah prosedur kewarganegaraan seseorang
tidak hanya bersifat administratif ,tetapi juga disertai subtansi dan
syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
5. Asas Non diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan
dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas
dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan
warganegara harus menjamin,melindungi,dan memuliakan hak asasi
manusia pada umumnya dan hak warganegara pada khususnya.
7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal
ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara
terbuka.
8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa sesesorang yang
memperoleh atau kehilangan warga negara Republik Indonesia
diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat
mengetahuinya.
Undang-undang No 12.Tahun 2006 berlaku sejak diundangkan tanggal 1
Agustus 2006 (dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2006 No 63). Dengan
demikian semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur
mengenai kewarganegaraan, dengan sendirinya tidak berlaku karena tidak sesuai
Oleh sebab itu, sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yaitu asas lex
posteriori derogat lex priori44
44
Asas peraturan perundang-undangan yang baru menggantikan yang lama