BAB 2
GAMBARAN UMUM
2.1 Sejarah Daerah Riau
Menurut Syair, dkk (1978:8-9), Riau mendapatkan persoalan pra-sejarah
yang sulit dalam usaha memperoleh keterangan tentang asal-usul penghuni yang
pertama, demikian juga tentang hidup dan kehidupannya, karena kenyataannya di
Riau belum ditemukan fosil-fosil dan artefak-artefak. Suatu bukti bahwa daerah
Riau pernah dihuni oleh orang pada zaman pra-sejarah ialah dengan
diketemukannyan arca-arca perunggu yang ditemukan selama
penggalian-penggalian di bagian Barat Provinsi Riau, arca ini ada diruang pameran Museum
Pusat, Jakarta. Arca itu berasal dari Kuwu dekat Bangkinang.
Walaupun di Riau belum ditemukan fosil-fosil dan kurangnya
artefak-artefak sebagai sumber utama untuk mendapatkan keterangan tentang hidup serta
kehidupan manusia pertama di Riau, tetapi para peneliti masih dapat mengambil
manfaat dari terdapatnya suku-suku terbelakang yang hidup dibeberapa bagian
daerah Riau. Suku-suku dimaksud ialah suku Saksi, suku Kubu, suku Orang
Hutan, suku Akik dan suku Sakai. Suku Sakai mendiami daerah Minas, Duri,
Siak, Sungai apit. Semua suku-suku diatas berada di wilayah Kabupaten
Bengkalis (Syair, dkk, 1978:9).
Terdapatnya sisa-sisa manusia tertua di daerah ini yaitu suku-suku
terbelakang seperti yang dikemukaan diatas, dapatlah diperkirakan bahwa
kedatangan penduduk yang mula-mula kedaerah Riau ini terjadi secara
bergelombang disesuaikan dengan keadaan alam dan iklimnya. Gelombang utama
dan zaman mesolitikum yang kebanyakan para ahli mengatakannya sebagai suku
ras manusia pertama yang menghuni Nusantara ini. Corak-corak Weddoid
tersebut adalah orang Sakai dan Orang Kubu di Riau. ciri-cirinya ialah
mempunyai rambut yang berombak dengan warna kulit sawo matang, bertubuh
pendek (1,55m) dan berkepala mesocephal (Syair, dkk (1978:10-11).
Riau yang terletak di perairan Selat Malaka merupakan daerah yang
strategis dalam arus lalu-lintas Selat Malaka, dilengkapi pula dengan kekayaan
alamnya yang menghasilkan benda-benda dagang berharga, serta penduduknya
yang berdarah pelaut. Faktor-faktor itulah yang memungkinkan di Riau timbulnya
suatu bentuk kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan. Kerajaan yang terbentuk
antara lain Kerajaan Sriwijaya pada abad ke VII yang permulaan pusatnya di
Muaratakus. Disusul dengan Kerajaan-kerajaan Melayu seperti kerajaan Bintan,
Tumasik dan Malaka; kerajaan Kandis dan Kuantan; kerajaan Keritang dan
Inderagiri; kerajaan Gasib; kerajaan Rokan; kerajaan Segati; kerajaan Pekantua;
serta pemerintahan Andiko Nan 44 di Kampar (Syair, dkk, 1978:30-42).
Kemudian sekitar tahun 1500 M-1800 M terbentuk Kerajaan Malaka,
Kemaharajaan Melayu, Kerajaan Siak, Kerajaan Inderagiri, dan Kerajaan Kampar.
Pertumbuhan kerajaan-kerajaan yang berkuasa di Riau tersebut mendapat campur
tangan oleh Kompeni Belanda (Syair, dkk, 1978:79-96).
Pada sekitar tahun 1900 keadaan kerajaan di Riau sudah mulai menurun
kekuasaannya. Belanda dengan segala macam usahanya mengadakan perjanjian
dengan raja-raja dari kerajaan Riau. Perjanjian itu mengakibatkan semakin
berkurngnya kedaulatan dan semakin sempitnya kekuasaan raja-raja. Pada tahun
Perjanjian ini menetapkan Belanda mulai berkuasa di Riau. Perjanjian berikutnya
diadakan pada tanggal 26 November 1818 yang mempertegas bahwa daerah
kekuasaan Riau meliputi: Johor, Pahang, Riau/Lingga serta Rantau jajahan
tahkluknya. Akan tetapi dengan traktak London tahun 1824 yaitu perjanjian antara
Belanda dengan Inggris menyatakan bahwa Kerajaan Riau dan Lingga langsung
dibawah kekuasaan Belanda. Perjanjian pada tanggal 29 Oktober 1830 antara
Sultan Riau dengan Belanda semakin memperkuat kekuasaan Belanda di Riau.
Sejak saat itu kedaulatan Sultan Riau/Lingga merupakan lambang belaka (Syair,
dkk, 1978:154).
Mendaratnya bala tentara Jepang pada tahun 1942 mulanya mendapat
sambutan hangat dari rakyat Riau daratan karena Jepang dianggap sebagai tentara
yang membebaskan daerah ini dari penjajahan Belanda. Kedatangan mereka ini
sungguh sangat menarik sekali dan sangat ramah tamah sehingga memikat
perhatian rakyat. Tentara Jepang memerintahkan pembesar-pembesar Belanda
seperti asisten Residen Bengkalis, Kontrolur Siak, Kontrolur Bagansiapi-api, dan
pembesar lainnya untuk menyerah kepada Jepang di Istana Siak. Penyerahan
pembesar belanda itu dilakukan dimuka istana Sultan Siak dengan maksud supaya
dapat disaksikan oleh rakyat (Syair, dkk, 1978:185).
Setelah seluruh Riau dapat diduduki Jepang dan mereka telah mengadakan
konsolidasi tentaranya, suasana ramah tamah mulai hilang dan muncullah watak
militer fasisme yang sbenarnya. Bendera merah putih tidak lagi boleh dikibarkan.
Tindakan sewenang-wenang, tampar, sepak terjang dan maki-maki kasar sebagai
bagaro merupakan pandangan dan pendengaran setiap hari. Rakyat mulai kecut
para Sultan atau Raja di Riau boleh dikatakan tidak ada lagi. Mereka tidak
menjelaskan pemerintahan, hanya dianggap sebagai orang-orang terkemuka saja.
Pada akhirnya pemerintahan Sultan dan raja-raja dibekukan dan seluruh wilayah
Riau langsung dibawah pemerintahan Jepang (Syair, dkk, 1978:187).
Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung
Karno dan Bung Hatta atas nama Bnagsa Indonesia pada tanggal 17 Agustur 1945
di Jakarta, tidak dapat dengan serentak tersebar ke seluruh plosok Tanah Air
termasuk daerah Riau. Hal ini desebabkan karena Jepang mengadakan
pengawasan ketat terhadap alat kominikasi terutama radio karena Jepang terikat
dengan syarat yang telah ditentukan, ketika menyerah kalah pada pihak sekutu
yaitu antara lain bahwa jepang harus mempertahankan status quo negara-negara
bekas jajahannya sampai datangnya pasukan sekutu mengambil alih kedudukan
jepang di negeri-negeri tersebut (Syair, dkk, 1978:205).
Teks proklamasi lengkap baru diketahui dan diterima di Pekanbaru oleh
masyarakat pada tanggal 30 Agustus 1945 dalam bentuk selebaran/pamplet.
Selebaran itu dibawa dan ditempelkan oleh 3 orang anggota Gyu Gun yang datang
dari Bukit Tinggi.yaitu mansurdin, Nur Rauf, dan Rajab (Syair, dkk, 1978:206).
Pembentukan Provinsi Riau ditetapkan dengan Undang-Undang Darurat
No. 19 tahun 1957. Kemudian diundangkan dalam Undang-Undang No. 61 tahun
1958. Dalam Undang-Undang tersebut ditetapkan terbentuknya daerah swatantra
tingkat I Sumatera Brat, Jambi, dan Riau, Lembaran Negara tahun 1957 No. 75.
II yaitu Bengkalis, Kampar, Inderagiri, Kepulauan Riau dan Kotapraja Pekanbaru
(Syair, dkk, 1978:238).
Dengan surat Keputusan Presiden tanggal 27 Februari 1958, No
258/M/1958 setekah diangkat Mr.S.M.Amin selaku Gubernur KDH Provinsi Riau
yang pertama. Pada tanggal 20 Januari 1959 Menteri Dalam Negeri dengan surat
keputusan No. Des, 52/1/44 – 25, menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi
Riau yang baru (Syair, dkk, 1978:239).
2.2 Sejarah Dan Asal-Muasal Orang Sakai
Menurut Moszkowki (1908) dan kemudian dikutib oleh Loeb (1935)
Orang Sakai adalah Orang Veddoid yang bercampur dengan orang-orang
Minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau,
yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib di hulu sungai Rokan. Gasib kemudian
menjadi sebuah kerajaan dan kerajaan Gasib kemudian dihancurkan oleh Kerajaan
Aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke hutan-hutan di sekitar daerah
sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak.
Mereka adalah nenek moyang Orang Sakai. Sedangkan menurut keterangan dari
Bapak Boechary Hasny (1970) yang memperoleh keterangan mengenai
asal-muasal Orang Sakai dari para orang tua Sakai, dan juga menurut keterangan dari
Bapak Saepal, Mantan Batin Beringin Sakai yang diwawancarai oleh Parsudi
Suparlan, Orang Sakai berasal dari pagarruyung, Batusangkar, dan dari Mentawai
Dalam uraian mengenai asal-muasal Orang Sakai tercakup sejarah asal
mula adanya Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan (Suparlan, 1995: 73-81) :
1. Perbatinan Lima
Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Rajanya berusaha mencari
wilayah-wilayah pemukiman baru untuk menampung kepadatan penduduknya.
Yang dipilih adalah wilayah di sebelah timur Pagarruyung karena tampaknya
masih kosong penduduk dan hanya dipenuhi rimba belantara.sebuah rombongan
yang berjumlah 190 orang dikirim oleh raja untuk berangkat kearah timur. Mereka
menembus hutan rimba dan akhirnya mereka sampai di tepi sebuah anak sungai
yang mereka namakan Sungai Biduando.
Nama Biduando kemudian berubah menjadi Mandau. Rombongan 190
orang tersebut menyimpulkan bahwa wilayah disekitar sungai tersebut layak
untuk dijadikan pemukiman. Rombongan tersebut kemudian kembali pulang ke
Pagarruyung melaporkan hasil ekspedisi mereka. Raja Pagarruyung kemudian
mengirim lagi sebuah rombongan perintis. Setelah beberapa tahun dalam
perjalanan mereka bukannya sampai ke wilayah Mandau tetapi tiba di Kunto
Bessalam.
Mereka menyerahkan diri pada Raja Kunto Bessalam, dan setelah
beberapa lamanya tinggal dikerajaan tersebut mereka diangkat sebagai hulubalang
raja. Raja Kunto Bessalam bercita-cita menjadikan negerinya sebagai sebuah
kerajaan yang besar. Oleh karena itu diputuskan untuk mencari tambahan
penduduk dari Mentawai yang jumlahnya berlebihan. Oleh raja Kunto Bessalam
benteng, jalan-jalan, dan saluran-saluran air. Setelah selesai dikerjakan raja Kunto
Bessalam mengalihkan kegiatan pembangunan ke Kerajaan Rokan Kanan/Kiri
dengan mengirimkan 5 keluarga. Tetapi sebelum pembangunan dilaksanakan 5
keluarga tersebut melarikan diri masuk ke hutan. Rombongan tiba di desa Mandau
dan menyerahkan diri kepada Kepala DesaMandau.
Setelah beberapa tahun tinggal di Desa Mandau rombongan yang
berjumlah 5 keluarga ini memohon untuk diberi tanah/hutan untuk mereka
menetap dan hidup. Kepala Desa Mandau masing-masng keluarga diberi hak
ulayat atas tanah/hutan : (1) Minas; (2) Sungai Paneso; (3) Hulu Sungai Beringin;
(4) Sungai Belutu; dan (5) Sungai Tengganau. Masing-masing tempat pemukiman
tersebut dinamakan perbatinan yang dipimpin oleh batin.
2. Perbatinan Delapan
Beberapa lamanya setelah keberangkatan rombongan terakhir
meninggalkan Pagarruyung, kerajaan ini telah menjadi padat lagi penduduknya.
Mencari nafkah dirasakan sulit dan kehidupan dirasakan berat oleh sebagian dari
masyarakat. Secara diam-diam, tanpa meminta izin pada raja, sebuah rombongan
yang terdiri atas 15 orang pada suatu malam meninggalkan Pagarruyung. Tujuan
mereka adalah membuka daerah baru untuk tempat bermukim.
Setelah beberapa lama dalam perjalanan akhirnya mereka sampai ke hulu
Sungai Syam-Syam, di Mandau. Di Wilayah tersebut mereka berkeliling sampai
ke daerah yang dialiri tujuh anak sungai. Tanahnya datar dan digenangi air.
Kemudian rombongan tersebut bermaksud meninggalkan tempat tersebut mencari
daerah yang lebih baik. Setelah merambah hutan belantara dan rawa-rawa,
sampailah mereka di daerah Petani. Setelah menetap di Petani untuk beberapa
tahun lamanya, pimpinan batin memutuskan untuk memecah rombongan tersebut
ke dalam delapan tempat pemukiman yang letaknya saling berdekatan.
Mereka membuka hutan bagi tempat-tempat pemukiman baru,yaitu : (1)
Petani; (2) Sebanga; (3) Air Jamban; (4) Pinggir; (5) Semunai; (6) Syam-Syam;
(7) Kandis; (8) Balaimakam. Pemimpin batin mengutus pembantunya untuk
menghadap raja Siak dan memohon izin untuk dapat dijadikan rakyat Kerajaan
Siak Indrapura dan diberi pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan
tanah/hutan di wilayahnya. Oleh raja siak delapan tempat pemukiman tersebut
masing-masing disahkan sebagai sebuah perbatunan (dukuh) dengan kepalanya
seorang batin dan diterima sebgai bagian dari kekuasaan kerajaan Siak Indrapura.
2.3 Asal-Usul Nama Dusun Buluh Manis
Ada sebuah mitos yang berkembang pada Masyarakat Sakai mengenai
Dusun Buluh Manis. Nama Buluh Manis berasal dari mitos mengenai sebuah
pohon Bambu Kuning (Buloh Kuning) yang merupakan bambu tunggal bercabang
tujuh. Menurut masyarakat bambu ini terdapat didaerah puncak Agung atau
puncak Jurong yaitu didekat Waduk Air Hitam. Bambu tersebut tumbuh dipinggir
sungai sehingga dikelilingi oleh air. Masyarakat menganggap bahwa bambu
tersebut suatu barang aneh atau gaib karena memiliki cabang sebanyak tujuh
Ada pula kisah tujuh orang datok yang mencari kebenaran cerita dari
bambu tunggal bercabang tujuh tersebut. Mereka pergi selama tujuh hari tujuh
malam ke puncak Agung atau puncak Jurong yaitu didekat Waduk Air Hitam
tempat bambu tersebut. Mereka menemukan lokasi tumbuhnya bambu tetapi tidak
menemukan bambu tersebut. Menurut cerita tempat tersebut dijaga oleh ular besar
(punggu) dan tinggi.
Menurut masyarakat bambu tersebut adalah bambu mahal seharga Rp
500.000.000. Apabila seseorang mendapatkannya maka orang tersebut akan kaya
dan memiliki kekuatan gaib hingga bisa menembus kekuatan apapun. Menurut
masyarakat untuk dapat melihat bambu tersebut seseorang harus memiliki
kekuatan atau ilmu. Buluh Manis mengandung makna pengasih, penyayang, dan
penunduk. Oleh karena itu dinamakan Buluh Manis Desa Petani.
2.4 Sejarah Keberadaan Perusahaan Minyak Dan Perusahaan Perkebunan di Bumi Sakai
Thamrin (2003:179-182) menjelaskan pada Maret 1924 peneliti dari
Amerika menemukan minyak di tempat hidup ribuan suku Sakai. Standart Oil
Company of California (SCOAL) yang melakukan Supply eksplorasi dan
dilanjutkan oleh N.V Nederland Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM) pada
tahun 1930 dan 5 tahun kemudian April 1935 dimulai eksplorasi Geologis pada
tahun 1952 bulan Mei lapangan minyak Minas berproduksi.
Diatas peta kepemilikan Sakai yang dibuat Oleh Moszkowski ini berubah
1940), Wilayah Rokan-I dan Rokan-II, Rokan-I dan Rokan-III (peta 1960),
Pertamina C&T Area ‘A’, Peta 1968 Pekanbaru pun masuk daerah penggalian,
kemudian peta 1971 yang dikenal dengan Kontrak Production Sharing C&T -
CCP, tahun 1975 Kontrak Production C&T Mountain &Kuantan Block, tahun
1979 Kontrak Joint Venture C&T Jambi Selatan Block ‘B’, pada tahun 1981
Kontrak Production Sharing C&T Singkarak Block, tahun 1981 Kontrak
Production Sharing C&T Langsa block 52.
Dengan adanya kontrak Block-Block tersebut masyarakat Sakai hak-hak
tanahnya diambil begitu saja oleh PT Caltex dan hanya mendapat bayaran Rp
100-150 m saja. Dalam melantak luluhkan orang Sakai ini dengan alasan aspek
pertahanan, pemerintahan formal mengadakan gagasan “hak menguasai” negara
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas tanah, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Statmen ini digunakan sebagai alat legitimasi formal
untuk berbagai wewenang untuk menjarah tanah adat Orang Sakai.
Di Minas Kabupaten Siak Sri Indra Pura adalah daerah yang paling kaya
minyaknya dengan kualitas minyak yang paling tinggi dan kadar belerangnya
paling rendah. Setiap pembelian tanah Sakai tersebut Camat dan kepala Desa
meminta bagian 10% dari bagian yang didapat dari Sakai tersebut. tahun
1980-1985, adalah tahun yang paling banyak pengambilan tanah oleh PT Caltex, setelah
tahun 1985 orang Sakai tidak berani menuntut ganti rugi karena ditakuti oleh
aparat yang “berseragam loreng”. Jumlah tanah yang diambil meliputi daerah duri
hingga Minas meliputi ribuan hektar luasnya untuk keperluan eksplitasi minyak
Taktik Caltex untuk mengambil tanah Sakai, elalu mengirimkan informan
melalui RT atau RW dan kemudian dilakukan pengukuran yang dihadiri oleh
Camat, Aparat Polisi, dan selanjutnya pihak Caltex membayar kepada orang Sakai
Rp 100-150 per meter. Alangkah ironis dan malangnya nasib orang Sakai di atas
tanhanya yang berharga ini yang kelak akan menghasilkan uang milyaran dolar
yang akan mengalir kepada pihak Texaco dan Chevron. Selanjutnya dibagi-bagi
kepada aparat penguasa formal didaerah maupun di Pusat.
Ancaman berikutnya timbul kala PT. Caltex membuat pipa penghubung
antara Minas, Duri dan Dumai; disertai pembuatan jalan yang menggusur
pemukimand an hutan Sakai. Penemuan bahwa Minas ternyata ladang minyak
yang luas, menuntut skala pembangunan yang berskala besar. Meskipun minyak
Caltex mulai masuk pasar dunia pada tahun 1952.
Rab (2002:71-72) menjelaskan musibah perambahan hutan bermula di
Paneso yakni daerah yang paling sentral dari Sakai pada tahun 1990-an. Pencari
kayu liar pun masuk kekawasan hutan masyarakat Sakai. Mereka menebangi
hutan sesuka mereka. Masyarakat Sakai risau. Dimana-mana terdengar suara
gergaji mesin, menebangi kayu-kayu dalam hutan. Masyarakat risau dan takut
kalau hutan mereka habis, sebab di hutan itulah sumber seluruh mata pencaharian
masyarakat.
Kedatangan pencari kayu ini berdampak tidak baik bagi masyarakat.
pengusiran pun mereka lakukan. Namun entah ada yang mendalangi, pencari kayu
itu tetap saja melakukan aktivitasnya. Jadi dalam mengambil hasil hutan, tidak
Kerja sama dalam pemanfaatan hutan telah terbentuk antara masyarakat Sakai
yang diwakili Muhammad Yatim dengan PT. Arara Abadi. Dalam kerja sama itu
disepakati PT. Arara Abadi dibolehkan mengeksploitasi hutan, kemudian
menanaminya kembali dengan pohon Akasia, sebab pohon ini dibutuhkan oleh
perusahaan. Disini terjadi pemindahan bentuk hutan, dari hutan alami menjadi
hutan yang dipenuhi pohon Akasia.
Di samping mengeksploitasi kayu di hutan itu, mereka kemudian membuat
perkebunan untuk masyarakat setempat dengan perjanjian yang telah disepakati
yakni masyarakat dibuatkan kebun pohon karet di atas areal seluas 400 Ha. Dari
luas lahan itu, masyarakat mendapatkan lahan seluas dua nhektar per keluarga.
Masyarakat menyetujui perjanjian itu, sebab semua itu menurut mereka demi
meningkatkan taraf hidup mereka.
Dalam perjanjian itu juga disepakati bahwa perusahaan mempunyai hak
mengelola hutan selama 40 tahun. Selama itu lah hutan Sakai akan menjadi hutan
Akasia. Setelah sehabis 40 tahun, hak lahan kembali menjadi milik masyarakat
Sakai. Ini mereka lakukan, untuk mengantisipasi susahnya lahan di kemudian
hari, supaya anak cucu mereka mempunyai lahan garapan.
Tak terpikirkan bahwa waktu 40 tahun dapat mengubah segalanya, apa
lagi ditengah persaingan yang makin tidak sehat. Belum lagi Akasia yang hidup
akan menghancurkan humus tanah. Selain itu akibat kerjasama ini pula
masyarakat Sakai sudah berhadapan dengan berbagai kendala yakni rasa tidak
Rab (2002:75-81) menjelaskan adalah Menteri Kehutanan bernama Hasrul
Harahap. Gubernur ketika itu namanya Imam Munandar. Maka jika orang
menanya dimana letak izin perkebunan yang akan diberikan. Hasrul Harahap ini
ayahnya dulu di Siak maka dia pun merasa bagian dari Sakai dan merasa hutan
pemukiman Sakai itu adalah hutan dia. Hasrul Harahap ini pernah tinggal
dikisaran dan bertemulah dia dengan Tomi yang punya pabrik karet di Tebing
Tinggi. Dan PT nya bernamanya PT Adei. Kongkalingkong sang Menteri Hasrul
Harahap dengan Tomi putuslah untuk menggunakan tanah Sakai di atas peta yang
telah dibuat oleh Moszkowski ini seluas 24 ribu hektar untuk PT Adei dan
diputuskan pula 7 ribu hektar untuk karet dan sisanya 17 ribu hektar untuk sawit.
Dalam 17 ribu hektar tadi sudah dibangun 20 ribu hektar tinggallah 4 ribu hektar
daerah Alomo alias Benteng terakhir Sakai.
PT Adei ini bukan di sini saja, akan tetapi juga ada PT Adei Kota Tengah
dan PT Adei Pangkalan Bunut disamping PT adei Muara Basung. Jika PT minta
izin di Riau maka rekemendasinya dulu diberikan oleh Gubernur Soeripto dan
Kanwil Kehutanan sehingga dapatlah dibayangkan pundi-pundi pun penuh. Akan
tetapi dulu izin itu dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal lalu
dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Nasional sehingga PT adei ini pun mendapat
lebih kurang 40 ribu hektar lahan. Setiap pemohon lahan untuk perkebunan dulu
kayunya dijual kepad PT RAPP dan PT Indah. Kiat sehingga pundi-pundi harga
kayu ini dapat mengalir mengganti uang ke pundi Departemen Super Otonom
Kehutanan karena instansi seperti Bappeda dan BKPMD tak ada data yang tersisa
berapa untuk HPH, kapan HPH ini mati, bahkan surat Gubernur pun dipalsukan
INHUTANI IV yang hanya sebagai calok dari iyuran penebangan hutan artinya
alat tidak ada, dikontrkanlah ke Akong sementara pundi-pundi INHUTANI IV
dan oknumnya penuh pula bertriliun-triliun dan hutan Riau makin gundul.
2.5 Letak Geografis, Luas Wilayah, Dan Lingkungan Alam
2.5.1 Letak Geografis
Wilayah Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian pesisir Timur Pulau
Sumatera antara 207’37,2” - 0055’33,6” Lintang Utara dan 100057’57,6” -
102030’25,2” Bujur Timur. Kabupaten Bengkalis memiliki batas-batas yakni
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan Meranti, Sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, dan Kota
Dumai, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Meranti.
Wilayah Kabupaten Bengkalis dialiri oleh beberapa sungai. Diantara sungai yang
ada di daerah ini yang sangat penting sebagai sarana perhubungan utama dalam
perekonomian penduduk adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai
Siak Kecil 90 km dan Sungai Mandau 87 km5
Kecamatan Mandau yang ibukotanya Duri merupakan salah satu
kecamatan yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis, yang
memiliki batas-batas wilayah yakni sebelah Utara Berbatasan dengan Kecamatan
Bukit Batu & Kota Duma, sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Pinggir,
sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu, sebelah Timur .
5
Berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu. Sedangkan letak wilayahnya adalah
0°56'12 Lintang Utara s/d 1°28'17" Lintang Utara, 100°56'10 Bujur Timur s/d
101°43'26'' Bujur Timur6
Desa Petani merupakan salah satu diantara 15 Desa dan Kelurahan dalam
Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Desa Petani berbatasan
dengan Desa Sebangar di sebelah utara, Kelurahan Pematang Pudu di sebelah
selatan, Desa Balai Makam dan Kelurahan Air Jamban di sebelah timur, dan di
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu (Arsip ketua RT 01,
tahun 2010).
.
2.5.2 Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Bengkalis 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau
dan lautan. Tercatat sebanyak 17 pulau utama disamping pulau-pulau kecil
lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Bengkalis. Jarak terjauh antara ibukota
kecamatan dengan ibukota Kabupaten Bengkalis adalah ibukota Kecamatan
Mandau yaitu Kelurahan Air Jamban (Duri) dengan jarak lurus 103 km7
Luas wilayah Kecamatan Mandau 937,47 Km² terdiri dari 9 Kelurahan
dan 6 Desa. Adapun 9 kelurahan tersebut antara lain Talang Mandi, Gajah Sakti,
Batang Serosa, Balik Alam, Duri Barat, Duri Timur, Babussalam, Air Jamban, .
6
Kecamatan Mandau. pada 30 Oktober 2013, pukul 11.33 WIB)
7
dan Pematang Pudu. Sedangkan 6 desa tersebut antara lain Harapan Baru,
Sebangar, Balai Makam, Petani, Bumbung, dan Kesumbo Ampai8
Tabel I: Luas Wilayah Kecamatan Mandau Menurut Desa/ Kelurahan .
Sumber : Statis Kecamatan Mandau
Hanya disekitar sungai jurong Jembatan II Dusun Buluh Manis Desa
Petani yang merupakan daerah pemukiman dan selebihnya adalah hutan. Sungai
Jurong Jembatan II Desa Petani merupakan batas sebenarnya Kabupaten
Bengkalis. Sehingga pemukiman Orang Sakai di Jembatan II masuk kedalam
Kabupaten Rokan Hulu. Akan tetapi hal tersebut ditolak oleh masyarakat Sakai.
Kemudian batas wilayah tersebut digeser sehingga masyarakat Jembatan II masih
dalam wilayah Kabupaten Bengkalis. Masyarakat menolak masuk ke dalam
Kabupaten Rokan Hulu karena akan mempersulit mereka dalam mengurus
surat-surat kependudukan dan takut kurang diperhatikan oleh PT Chevron.
8
2.5.3 Lingkungan Alam
Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan dataran rendah denga rata-rata
ketinggian antara 2-6,1 meter diatas permukaan laut. Wilayah Kabupaten
Bengkalis sebagian besar merupakan tanah organosol, yaitu jenis tanah yang
banyak mengandung bahan organik. Kabupaten Bengkalis memiliki 34 sungai, 10
tasik atau danau dan 16 pulau besar dan kecil. Ke-16 pulau tersebut terdiri dari
dua pulau besar, yaitu pulau Bengkalis (938,40 Km2) dan Pulau Rupat (1.525
Km2). Sedangkan 14 pulau lainnya merupakan pulau kecil, yaitu pulau Atung,
Mampu Beso, Payung, Mentele, Baru, Rampang dan Mampu Kecik yang masuk
dalam wilayah Kecamatan Rupat Utara9
Jenis-jenis flora yang banyak terdapat di hutan-hutan wilayah Kabupaten
Bengkalis adalah Meranti, Punak, Sungkai, Bintangur, Api-api, Bakau, Nibung.
Kayu-kayu ini sebagian besar merupakan jenis kayu komersial yang digunakan
sebagai bahan baku industri kayu dan furniture. Hasil hutan lainnya adalah Rotan,
Damar dan Getah Jelutung. Disamping itu terdapat beberapa jenis anggrek hutan
dan berbagai jenis tanaman hias, seperti Pinang Merah dan Palm (Kepau).
Sedangkan jenis-jenis fauna yang masih terapat di kawasan hutan Bengkalis,
seperti Harimau Sumatera, Gajah, Beruang Madu, Beruk, Lutung, Kera, Rusa,
Kijang, Kancil, Ayam Hutan, Buaya, serta berbagai jenis ular dan burung .
10
.
9
Topografi. 2013, pukul 12:07 WIB)
10
2.6 Kependudukan
Berdasarkan Data Kependudukan dan Catatan Sipil tahun 2009 jumlah
penduduk Jembatan II RW 09 Desa Petani adalah 156 jiwa. Mereka terkelompok
dalam 39 KK yang terdiri atas 35 KK lengkap, seseorang KK berstatus duda dan 3
KK berstatus janda. Status duda dan janda terjadi karena pasangannya meninggal,
bukan karena cerai hidup. Data mengenai keadaan penduduk Jembatan II dapat
diketahui sebagai berikut:
Ditinjau berdasarkan Usia, di Jembatan II terlihat jumlah penduduk
terbanyak adalah penduduk remaja dan dewasa yang berusia 21-27 tahun
sebanyak 33 jiwa. Disusul dengan penduduk anak-anak yang berusia 0-6 tahun
sebanyak 30 jiwa. Jumlah keseleruhan penduduk yang tergolong dalam usia
produktif yakni 15-65 tahun berjumlah 109 jiwa. Sedangkan keseluruhan
penduduk yang tergolong dalam usia non produktif yakni 0-14 tahun dan 65 tahun
keatas yakni 48 jiwa. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel II: Data Penduduk Menurut Usia di Jembatan II Tahun 2009
NO Usia (Tahun) Jumlah (Jiwa)
Ditinjau berdasarkan jenis kelamin, penduduk yang berjenis kelamin
laki-laki dan wanita hampir seimbang jumlahnya yakni laki-laki-laki-laki sebanyak 87 jiwa dan
wanita sebanyak 70 jiwa. Jumlah wanita yang tergolong dalam usia produktif
yang berusia 15-65 tahun sebanyak 46 jiwa. Sedangkan jumlah laki-laki yang
tergolong dalam usia produktif sebanyak 63 jiwa. Data penduduk berdasarkan
jenis kelamin selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel III: Data Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Jembatan II Tahun 2009
Usia (Tahun) Pria (Jiwa) Wanita (Jiwa)
0 – 6
Sumber : Ketua RT 01 RW 09 Jembatan II Desa Petani
Ditinjau berdasarkan jenis mata pencaharian, dapat dilihat bahwa mata
pencaharian utama masayarakat Sakai di Jembatan II adalah wiraswasta, yakni
dalam usaha kilang kayu. Sedangkan mata pencaharian lainnya adalah petani/
pekebun dan nelayan/ perikanan. Data penduduk berdasarkan mata pencaharian
Tabel IV: Data Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian
di Jembatan II Tahun 2009
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah
1.
Sumber : Ketua RT 01 RW 09 Jembatan II Desa Petani
Tingkat pendidikan penduduk Jembatan II sangat rendah. Sekitar 74 jiwa
tidak/belum sekolah karena usia yang belum mencukupi maupun tidak ada
keinginan sekolah. Selain itu sekitar 34 jiwa yang menamatkan pendidikan di
Sekolah Dasar. Sementara yang menamatkan SLTP sekitar 7 Orang dan
menamatkan SLTA hanya 4 orang saja. Data kependudukan menurut tingkat
pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel V: Data Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
di Jembatan II Tahun 2009
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1.
Belum Tamat SD/ Sederajat
Tamat SD/ Sederajat
SLTP/Sederajat
SLTA/Sederajat
Tamat Akademi/Sederajat
Tamat Perguruan Tinggi/ Sederajat
74
2.7 Sarana dan Prasarana Desa
2.7.1 Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Petani terdiri dari Taman
Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah lanjutan Tingkat Pertama (SLTP),
Sekolah Menengah Umum (SMU) serta Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Sedangkan untuk melanjut ke jenjang yang lebih tinggi seperti Akademi atau
Perguruan Tinggi harus pergi ke Kota Duri, Bengkalis, Pekanbaru atau kota
lainnya. Di Jembatan II terdapat 1 buah SD yaitu SD 69 Petani. SD ini terdiri dari
8 ruangan, daya tampung bisa mencapai 300 siswa. Siswa yang akan melanjutkan
sekolah ke SMP maka harus ke km 10 jalan Rangau yaitu di SMP 5 Mandau dan
SMA 7 Mandau.
2.7.2 Sarana Kesehatan
Di desa Petani terdapat sebuah puskesmas. Bangunan Puskesmas di desa
Petani yang tepatnya berada di tepi jalan Rangau kilometer 11 merupakan
Puskesmas pembantu. Bangunannya tergolong permanen yakni berlantai keramik,
berdinding tembok dan beratap seng. Jarak Puskesmas dengan pemukiman
masyarakat Sakai di Jembatan II sekitar 12 km.
Masyarakat Sakai di Jembatan II jarang mengunjungi puskesmas apabila
sakit. Warga yang menderita sakit yang dianggap ringan mengobati dirinya
sendiri dengan obat yang dijual bebas di warung-warung atau membuat obat
tradisional. Alternatif lain yang dipilih oleh masyarakat Sakai adalah pergi ke
tetapi kadang-kadang dukun ini menyarankan orang yang sakit pergi ke
puskesmas setempat atau ke dokter kecamatan.
2.7.3 Sarana Jalan Desa
Ibu kota Kecamatan Mandau adalah Kota Duri berada di tepi jalan raya
Lintas Riau. Jarak pemukiman masyarakat Sakai di Jembatan II menuju kota Duri
sekitar 30 km. Kendaraan umum berupa bus besar dan kecil yang melalui jalan
raya ini dapat digunakan oleh orang-orang yang berpergian dari Kota Duri baik ke
arah Medan maupun ke arah Pekanbaru. Waktu tempuh Kota Duri – Kota
Pekanbaru dengan bus adalah sekitar 3 jam bila tidak sering berhenti mengambil
atau menurunkan penumpang selama perjalanan.
Kota Duri dan Desa Petani dihubungkan oleh jalan desa serta jalan PT
Chevron yang telah dikeraskan/diaspal. Sarana angkutan umum yang
menghubungkan kedua tempat tersebut belum ada walaupun kendaraan roda
empat dapat melewatinya. Jalan desa ini ditempuh orang dengan menggunakan
sepeda motor, sepeda atau jalan kaki. Waktu tempuh Jembatan II-Kota Duri
dengan sepeda motor adalah sekitar 45 menit.
2.8 Bahasa
Lubis (1985) menjelaskan nama Sakai berasal dari tujuh anak-anak sungai
dari sungai yang lebih besar yaitu sungai Samsam. Nama suku Sakai pertama kali
dengan nama anak sungai yang mereka temukan. Bahasa yang mereka pakai juga
mereka namai bahasa Sakai.
Bahasa Sakai berfungsi sebagai alat pergaulan sehari-hari, baik dalam
lingkungan keluarga dan dalam lingkungan masyarakat suku Sakai. Di samping
itu, karena keterbatasan pendidikannya, suku Sakai menggunakan bahasa Sakai
itu sebagai alat perhubungan dengan masyarakat yang berlainan etnis. Hal ini juga
berlangsung karena bahasa Sakaiitu dapat juga dipahami oleh masyarakat di
daerah itu. Perlu diketahui bahwa struktur dan kosa kata bahasa Sakai itu hampir
sama dengan struktur dan kosa kata bahasa Melayu maupun bahasa Minangkabau
yang banyak dipakai di daerah Mandau.
Bahasa Sakai juga berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah dan
lambang identitas daerah. Ternyata, suku Sakai apabila berhubungan dengan
masyarakat yang berlainan etnis dengan mereka, mereka merasa bangga memakai
bahasa Sakai. Suku Sakai tidak pernah menggunakan bahasa lain jika bertemu
dengan orang sedaerahnya walaupun orang itu telah merantau ke negeri lain. Jika
orang itu menggunakan bahasa lain, dia dianggap sebagai orang yang sombong.
Bahasa Sakai juga berfungsi sebagai alat pengembangan serta pendukung
kebudayaan daerah. Dalam upacara-upacara adat, kesenian, suku Sakai
menggunakan bahasa Sakai sebagai alat pengembangan kebudayaan. Akan tetapi