BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Dalam setiap kehidupan manusia pasti memiliki keluarga, baik itu keluarga
secara biologis maupun keluarga secara pergaulan dalam interaksi dan kehidupan
bersosialisasi. Keluarga merupakan suatu kelompok terkecil dalam suatu tatanan
kehidupan sosial, yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan
tinggal bersama serta berbagi fungsi sosial lainnya satu dengan yang lain.
Seiring perkembangan zaman fungsi keluarga juga mengalami perubahan dari
masa ke masa. Dahulu, pandangan tradisional mengatakan orang mengakui
pernikahan hanya untuk memperoleh keamanan ekonomi, penyediaan barang-barang
dan jasa, serta untuk memperoleh status sosial, dan juga untuk melanjutkan keturunan.
Kemudian terjadi perubahan pandangan mengenai fungsi keluarga, yakni orang
menginginkan pernikahan yang dilandasi cinta, keinginan untuk hidup bersama dan
memuaskan kebutuhan emosional, mampu membesarkan anak sebagai penerus
keturunan, selain juga ingin memiliki keamanan ekonomi. (Hal-hal tersebut kini
menjadi penting terkait dengan alasan mengapa seseorang menikah, cinta dan afeksi
merupakan harapan utama orang dalam pernikahan saat ini ( Degenova, 2008).
Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sudah menjadi hal yang biasa dalam
budaya Indonesia, jika dalam sebuah keluarga menginginkan kehadiran anak.
Kehadiran anak sebagai buah dari pernikahan dalam sebuah keluarga membawa
pasangan yang sudah menikah tersebut secara otomatis mempunyai pertambahan
tugas dan tanggung jawab, yakni tugas perkembangan sebagai orang tua.
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi anak
keluarga sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan anak karena
pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pola dan tingkah laku anak
terhadap diri sendiri dan orang lain dalam masyarakat. Keluarga terutama orang tua
memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak
Orang tua adalah orang yang bertangggung jawab penuh dalam anak. Dalam
arti sempit orang tua adalah bapak dan ibu. Tanggung jawab tersebut menyangkut
semua aspek dalam kehidupan anak bukan hanya menyangkut pemenuhan nafkah
anak secara fisik, namun menyangkut pemenuhan nafkah anak secara psikis.
Orang tua selalu mempunyai pengaruh yang paling kuat pada anak. Setiap
orang tua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungannya dengan anak-anaknya,
memiliki cara yang berbeda-beda dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka.
Dan baik buruknya hubungan serta cara mendidik dan mengasuh anak oleh orang tua
tersebut akan mempengaruhi perkembangan sosial anak. Secara umum proses menjadi
orang tua meliputi antara lain kelahiran anak, perawatan, dan memberi pengasuhan
pada anak.
Mengasuh anak berarti adanya sebuah proses yang menunjukkan suatu
interaksi antara orang tua dan anak secara berkelanjutan. Dari proses ini dihasilkan
suatu perubahan, baik perubahan pada orang tua maupun anak. Mengetahui seni
mengasuh anak merupakan salah satu tantangan yang dihadapi orang tua. Kebanyakan
orang tua belajar tentang seni dalam mengasuh anak melalui pengalamannya sendiri,
dari hasil observasi dan ingatan mengenai bagaimana dahulu orang tua mereka
mengasuh. Sehingga pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anaknya kurang
efektif karena setiap anak mempunyai sifat yang berbeda.
Seni mengasuh anak dapat disebut sebagai pola asuh orang tua dalam
tua meliputi tidak hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan
lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga
norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan
(Gunarsa, 2002).
Pola asuh merupakan suatu cara terbaik yang ditempuh orang tua ataupun
pendidik dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada
anak, dimana tanggung jawab untuk mendidik anak ini merupakan tanggung jawab
primer. Bentuk pola asuh orang tua terhadap anak tersebut juga merupakan interaksi
antara anak dengan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan, mendidik,
membimbing dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan
sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Schocib, 2000 :15).
Pola pengasuhan menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) mengandung dua
dimensi tingkah laku yakni, dimensi acceptance/resposiveness dan dimensi
demandingness/control. Dimensi acceptance/resposiveness menggambarkan
bagaimana orang tua merespon anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan
orang tua. Sedangkan dimensi demandingness/control menggambarkan bagaimana
standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan control perilaku
dari orang tua kepada anak-anaknya.
Kedua dimensi di atas akan membentuk beberapa jenis pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua kepada anak. Menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002)
pola asuh terdiri dari tiga jenis yakni, authoritative, authoritarian dan permissive,
kemudian Maccoby & Martin (1983) menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan
pola asuh Neglectful. Authoritarian parenting merupakan pola asuh yang
mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya
dimensi baik demandingness/control maupun acceptence/responsive. Selanjutnya
pada permissive parenting pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control
yang rendah dan acceptence/responsive yang tinggi. Terakhir neglectful parenting
merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/controldan
acceptence/responsiveyang rendah pula (Sigelmen, 2002).
Melalui pola asuh tersebut yang diberikan orang tua kepada anaknya, maka
setiap orang tua tersebut pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang
berkepribadian baik, sikap, mental yang sehat serta akhlak yang terpuji.Sekalipun
anak tersebut anak yang berkebutuhan khusus atau anak yang abnormal.
Ternyata dalam perjalanan sebuah keluarga, anak-anak yang dilahirkan tidak
selalu normal. Ditemui pula anak-anak yang dilahirkan dengan kebutuhan khusus.
Pada dasarnya setiap orang tua berharap akan memiliki anak-anak yang bertumbuh
kembang secara normal. Namun, sudah merupakan kodrat yang tidak dapat ditolak
atau dihindari bahwa manusia itu diciptakan dengan berbagai macam bentuk manusia
di dunia. Ada anak yang normal dan ada juga anak yang abnormal.
Seorang anak dikatakan normal apabila mampu berkembang dengan baik dan
seimbang seiring pertumbuhannya dan berlangsung seperti individu lain pada
umumnya. Sedangkan pada kondisi anak-anak dengan kebutuhan khusus akan
mengarah pada keterlambatan dan gangguan pada perkembangan dan tumbuh
kembangnya, salah satunya Autis. Autis dapat terjadi pada semua kelompok
masyarakat yakni mereka yang memiliki orang tua dengan latar belakang sosial,
ekonomi, budaya dan pendidikan yang beragam.
Autis merupakan salah satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa
gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan adanya kebiasaan untuk
melakukan pengulangan tingkah laku yang sama (Yusuf, 2003).
Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan
dunia. Di Kanada dan di Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di
California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per harinya. Di
Amerika Serikat disebutkan autis terjdi pada 15.000 – 60.000 anak dibawah 15 tahun.
Kepustakaan ini menyebutkan prevelensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang.
Bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002
bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat. Dicurigai 1 diantara
10 anak menderita autis.
Fakta membuktikan, autis bukanlah sesuatu hal yang baru, dan ada di
sekeliling kita. Sampai saat ini belum ada penelitian khusus yang dapat menyajikan
data autism pada anak di Indonesia. Bila diasumsikan dengan prevelensi autism pada
anak di Hongkong, dimana jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia mencapai
66.000.805 jiwa (BPS, 2010).
Meski belum ada angka pasti berapa sebenarnya jumlah anak autisme
di Indonesia, namun pemerintah merilis data jumlah anak penyandang autisme bisa
berada di kisaran 112 ribu jiwa. Jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang
signifikan. Jika tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, maka di 2012 terjadi
peningkatan yang cukup memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak
saat ini mengalami autisme. Di Indonesia, pada 2010, jumlah penderita autisme
diperkirakan mencapai 2,4 juta orang. Hal itu berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik. Pada tahun tersebut jumlah penduduk Indonesia mencapai
237,5 juta orang dengan laju pertumbuhan 1,14 persen. Jumlah penderita autisme di
ini diprediksi jumlah penyandang mencapai tiga juta orang dengan perbandingan 6 di
antara 10 ribu kelahiran (http://lintasfakta.com/2013/10/07/).
Di Indonesia yang berpenduduk sekitar 200 juta orang, hingga saat ini belum
diketahui berapa persisnya jumlah penyandang autis namun diperkirakan jumlah anak
autis dapat mencapai 150-200 ribu orang. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 4 : 1. Namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan
gejala yang lebih berat (Judarwanto, 2008). Penyebanya adalah karena laki-laki lebih
banyak memproduksi testosteron, sementara perempuan lebih banyak memproduksi
esterogen. Kedua hormon itu memiliki efek bertolak belakang terhadap suatu gen
pengatur fungsi otak yang disebut retinoic acid-related orphan receptor-alpha atau
RORA. Testosteron menghambat kerja RORA, sementara estrogen justru
meningkatkan kinerjanya.
Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang
menyebabkan interaksi sosial. Kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola
sikap yang tidak normal sebagai karakteristik mereka. Selain tidak mampu
bersosialisasi, anak-anak penyandang autis juga tidak dapat mengendalikan emosinya
(Veskarisyanti, 2008).
Ketidaknormalan perkembangan neuro pada anak autis sangat mempengaruhi
perilaku si anak tersebut, tentunya dengan perilaku anak yang abnormal juga. Perilaku
merupakan setiap cara reaksi atau respon manusia, makhluk hidup terhadap manusia
dan lingkungannya. Pada umumnya perilaku anak autis dikategorikan ke dalam dua
jenis perilaku, yaitu berperilaku berlebihan (hiperaktif) dan berperilaku kekurangan
(hipoaktif).
Dari karakteristik anak autis yang demikian dapat diketaahui bahwa anak autis
perilaku anak. oleh karena itu tentu saja orang tua yang memiliki anak autis
mempunyai cara dan pola asuh tersendiri dalam mengasuh dan membesarkan anaknya
tersebut. Salah satu dari karakteristik anak autis itu adalah pola sikap yang tidak
normal. Pola sikap ini sangat berkaitan dengan perilaku anak dalam kehidupannya.
Dan hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua si anak penyandang autis.
Menurut Akmal Taher (dalam tribun news.com), Penanganan anak autis
membutuhkan kesabaran dan konsistensi. Fenomena ini merupakan perjalanan yang
panjang, jadi orang tua seharusnya tidak berhenti pada ketidakmampuan anak. Namun
perlu upaya untuk menggali bakat-bakat serta potensi yang dimiliki. Intervensi yang
tepat bagi seorang anak yang telah terdiagnosis sebagai penyandang gangguan autis
adalah terapi untuk masalah-masalah yang dialami. Misalnya, terapi wicara untuk
masalah komunikasi, terapi perilaku untuk masalah afektif dan terapi okupasi untuk
mengatasi permasalahan perkembangan motorik yang berpengaruh pada kemampuan
komunikasi, perilaku dan kognitif. Karena itu, keberhasilan penanganan anak-anak
penyandang autis tergantung dari pendekatan holistic yang meliputi diagnosa akurat,
terapi dan pendidikan yang tepat, serta dukungan yang kuat dari keluarga terdekat,
terutama orang tua dan semua sektor terkait.
Ternyata baik pada kondisi anak normal maupun anak berkebutuhan khusus,
salah satunya anak dengan gangguan Autis, keterlibatan orang tua serta pemberian
pola asuh yang tepat memberikan pengaruh besar pada keberhasilan tumbuh kembang
anak. Sangat penting bagi orang tua mampu memberi pengasuhan yang tepat pada
anak, khususnya anak dengan gangguan Autis agar dapat membantu anak bertumbuh
kembang dengan lebih baik.
Autis pada anak bukan aib bagi keluarga, ia hanya satu dari begitu banyak
hari. Anak autis tetap seorang anak yang membutuhkan cinta kasih, perhatian,
disiplin, bimbingan, dan pengarahan. Karena ia milik masa depan. Sudah menjadi
kewajiban orang tua untuk mengantar anaknya ke masa depan yang lebih baik.
Namun, kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih,
khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa
anaknya mengalami gangguan Autis. Mereka menganggapnya sebagai bencana akibat
kesalahan masa lalu orang tua. Setiap orang tua pasti berbeda-beda reaksi
emosionalnya, bagaimanapun reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua
tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Khusus pada para ibu yang memiliki anak
dengan gangguan Autis perasaan bersalah dan merasa tidak adil lebih mereka rasakan.
Rasa bersalah sangat besar tersebut tentu saja bisa melumpuhkan semangatnya untuk
mengatasi masalah pada anaknya.
Masalah pada anak autis yang paling tampak adalah masalah perilaku. Anak
autis memiliki perilaku khas dan cenderung aneh jika dibandingkan dengan anak-anak
normal lainnya. Masing-masing anak autis memiliki perilaku aneh yang berbeda
antara yang satu dengan yang lain.
Salah satu terapi penting bagi anak autis adalah terapi perilaku (behavior
therapy). Terapi ini akan memberikan hasil yang lebih baik jika dipadukan dengan
terapi lainnya, seperti terapi wicara, terapi okupasi dan pendidikan khusus. Terapi
perilaku ini bertujuan untuk mengurangi perilaku aneh yang tidak wajar dan
menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat (Sunar, Dwi 2007:
233-240).
Sementara perilaku anak terbentuk dan berkembang melalui proses
komunikasi dari keluarga terutama dari orang tua. Pembentukan perilaku anak tidak
interaksi manusia, dalam hal ini interaksi dari manusia tersebut di dapatkan anak
adalah orang tua karena orang tua adalah tempat interaksi yang paling dekat dan tepat.
Di dalam komunikasi dan interaksi dari orang tua tersebut, orang tua perlu
menerapkan pola asuh kepada anak untuk dapat membentuk perilaku anak menuju
masa depannya.
Yayasan Tali Kasih merupakan salah satu tempat pusat terapi untuk anak-anak
autis yang ada di kota Medan dan merupakan pusat kegiatan belajar masyarakat untuk
anak berkebutuhan khusus yang pertama di Medan. Selain menjadi pusat terapi,
Yayasan ini juga sebagai wadah bagi anak-anak autis untuk mendapat pendidikan,
seperti membaca dan menulis. Sehingga Yayasan Tali Kasih Medan ini merupakan
Sekolah sekaligus untuk terapi anak autis.
Orang tua anak-anak autis yang diterapi di yayasan ini ikut serta menemani
anaknya tersebut. Orang tua anak memang mempercayakan anaknya kepada yayasan
tersebut untuk diterapi dan dididik, sekaligus sebagai tempat penitipan anak mereka.
Namun para orang tua tetap meluangkan waktunya untuk ikut serta dalam
mendampingi dan mengasuh anaknya di yayasan tersebut.
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku
Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan).
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah
yang dapat dirumuskan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana
pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak autis yang ada di Yayasan Tali
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada
atau tidaknya pengaruh pola asuh orang tua dalam membentuk perilaku anak autis
yang ada di Yayasan Ananda Karsa Mandiri Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat praktis : penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
memberikan konstribusi bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini mengenai
jenis pola asuh orang tua yang tepat kepada anaknya, terutama kepada anak
dishabilitas, seperti anak autis.
b. Manfaat teoritis : penelitian ini berguna untuk menambah konsep-konsep dan
teori keilmuan mengenai pembentukan perilaku anak autis dan tentang pola
1.4Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam
skripsi ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan
penelitian, dan kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi
operasional.
BAB III: METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan uraian metodologi penelitian yang terdiri dari tipe
penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik
pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan uraian tentang sejarah geographis dan gambaran
umum tentang lokasi dimana peneliti melakukan penelitian
BAB V: ANALISIS DATA
Bab ini berisikan mengenai uraian data yang diperoleh dari hasil
penelitian beserta analisisnya
BAB VI: PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran