BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern
menimbulkan berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan
kesehatan manusia, salah satu diantanranya stroke. Stroke merupakan
kurangnya aliran darah atau oksigen ke otak yang akan menyebabkan
serangkaian reaks
dikendalikan oleh jaringan itu. Berkurangnya darah ke otak bisa disebabkan
oleh tersumbat atau pecahnya pembuluh darah (Junaidi, 2011).
Stroke merupakan gangguan serebrovaskular utama di dunia.
Menurut Word Health Organization (WHO) (2007) 15 juta orang menderita
stroke di seluruh dunia setiap tahunnya. Jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan
5 juta lagi mengalami cacat permanen. Tekanan darah tinggi menyumbang
lebih dari 12,7 juta stroke di seluruh dunia. Penderita di Eropa rata-rata sekitar
650.000 kematian stroke setiap tahunnya (WHO, 2007), sedangkan di
Amerika Serikat menyebabkan kematian nomer tiga dengan jumlah kematian
sekitar 150.000 orang setiap tahun. Total pasien stroke di Amerika Serikat
tahun 2008 sekitar 65,5 juta orang (Bornstein, 2009), dengan peningkatan
Prevalensi stroke di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat tajam.
Jika pada tahun 1990 stroke masih di urutan ketiga pasca penyakit jantung dan
kanker tahun 2010 menjadi urutan pertama penyebab kematian di Indonesia
(Persatuan Dokter Persarafan Seluruh Indonesia (PDPERSI), 2010). Data
penderita rawat inap di bangsal neurologi Rumah Sakit Umum Daerah
Dr.Pirngadi Medan pada tahun 2009 diperoleh bahwa dari 622 orang yang
dirawat 346 orang merupakan stroke (Silaen, Rambe & Nasution, 2011). Data
tahun 2011 jumlah penderita diperoleh 389 orang penderita stroke
(Departemen Neurologi, 2011 dalam Nasya, 2012 ).
Stroke dapat berdampak pada berbagai fungsi tubuh. Gambaran klinis
dari tahapan stroke dapat berupa kehilangan motorik yaitu munculnya
hemiplegi maupun hemiparesis akibat dari gangguan kontrol motor volunter
pada salah satu sisi tubuh, hal ini menunjukan kerusakan pada neuron motor
atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Fungsi otak lain yang dipengaruhi
oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi seperti disartria, digambarkan
dengan bicara yang sulit dimengerti akibat paralisis otot yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara. Disfasia atau afasia digambarkan dengan
bicara defektif atau kehilangan bicara, sehingga kurang terjalin komunikasi
yang baik, hal ini menyebabkan pasien stroke menunjukan frustasi yang
berlebihan terhadap kekurangan yang dialaminya (Black & Hawks, 2009).
Penelitian yang dilakukan Pinzon, Asanti, Sugianto dan Widyo (2009) di
dapatkan 37% pasien stroke mandiri dalam melakukan kegiatan dan 21%
memerlukan bantuan sampai dengan enam bulan pertama (Linda, Hesook,
Arnstein, & Anners, 2011).
Penderita stroke dengan pemulihan total sekitar 460 orang dari 100.000
penderita 50-70% dari penderita stroke mengalami perbaikan fungsi tubuh,
namun 15-30% cacat permanen dan 20% memerlukan perawatan institusional
pada 3 bulan setelah serangan. Sebagian besar pasien stroke mengalami cacat
tetap stabil antara 6-9 bulan dan 5 tahun setelah stroke dan sepertiganya
memerlukan perawatan (Artal & Egido, 2009). Pasien stroke yang mengalami
gangguan kemampuan fungsi tubuh sangat sulit untuk mengungkapkan
perasaannya (Gupta, Pansari, & Shetty, 2002), dan lebih lanjut lagi pasien
akan merasa depresi dengan keadaannya. Depresi akan berdampak negatif
terhadap masa pemulihan dan hubungan sosial serta lingkungan sekitarnya,
bahkan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Ginkel, Gooskens,
Schuurmans, Lindeman, & Hafsteinsdottir, 2010).
Pasien stroke juga mengalami gangguan persepsi dengan
ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi baik berupa visual
maupun sensori. Selain itu juga kerusakan pada fungsi kognitif dan efek
psikologis dimana kerusakan dapat terjadi pada lobus frontal berupa kapasitas
memori atau fungsi intelektual, sehingga disfungsi ini menyebabkan lapang
pandang terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi.
Kerusakan kemampuan tubuh menyebabkan pasien frustasi dalam program
rehabilitasi mereka (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Kerusakan
gangguan emosional lainnya juga akan membuat pasien menghindar atau
menolak teman bahkan keluarga mereka (Taylor, 2006).
Menurut Spaletta (2001, dalam Taylor, 2006) mengatakan bahwa defisit
neurologi selain berakibat pada fisiknya juga emosinya. Pasien dengan
kerusakan otak sebelah kiri mengalami kecemasan maupun depresi.
Kerusakan otak sebelah kanan akan mengalami alexithymia yang melibatkan
gangguan dalam mengidentifikasi dan menggambarkan perasaannya.
Gangguan pada pasien stroke memberikan efek sosial pada pasien,
keluarganya, kontak sosial serta lingkungan sekitarnya menurun drastis,
sehingga akan mengganggu keharmonisan keluarga (Sarafino, 2006).
Penelitian yang dilakukan Haryanto dan Basuki (2013) mengatakan bahwa
dukungan keluarga yang diberikan pada pasien stroke dalam menjalani
rehabilitasi yaitu 51,6% dukungan perhatian secara emosi kurang, 54,8%,
dukungan bantuan instrumental kurang, 77,4% dukungan pemberian informasi
kurang dan 64,5% dukungan penghargaan kurang.
Dukungan keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang
menderita suatu penyakit sangat penting dalam proses penyembuhan dan
pemulihan pasien (Friedman, 1998). Dukungan keluarga tersebut berupa
dukungan keuangan, dukungan informasi, dukungan dalam melakukan
kegiatan rutin sehari – hari, dukungan dalam pengobatan dan perawatan,
dukungan psikologis, lebih lanjut dukungan keluarga dapat memberikan
dampak positif dalam peningkatan kualitas hidup (Nirmala, Divya, Dorairaj,
Bentuk dukungan keluarga yang terus menerus dibutuhkan pasien
karena pemulihan stroke memerlukan waktu yang lama dan proses yang sulit.
Program rehabilitasi yang diikuti oleh pasien stroke kadang dirasakan tidak
memberikan efek pada dirinya dan kurangnya bimbingan dari program
rehabilitasi sebelum mereka meninggalkan rumah sakit mengakibatkan
mereka mulai berfokus terhadap defisit yang terjadi pada dirinya. Kondisi ini
menambah semakin parah depresinya (Sarafino, 2006).
Penelitian Sit, Wong, Clinton, Li dan Fong (2004) tentang dampak
dukungan sosial pada kesehatan pasien stroke di rumah dengan dukungan
keluarga, didapatkan bahwa dukungan keluarga pada pasien pasca stroke
dapat meningkatkan kemampuan dan menjadi lebih baik dengan dukungan
dan dukungan sosial dari keluarga yang akan meningkatkan status kesehatan
psikososial pasien pasca stroke.
Pada umumnya pasien stroke yang tidak mendapat dukungan keluarga
akan mengalami dampak negatif secara psikologis berupa depresi pasca stroke
(Schub & Caple, 2010). Penelitian Li, Wang dan Lin (2003) yang meneliti
106 pasien lansia yang mengalami stroke, mengemukakan bahwa pada pasien
stroke yang mengalami depresi ringan mencapai 27,49% dan yang mengalami
depresi sedang sampai berat mencapai 7,5%. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Fuh (1997) menyatakan bahwa kejadian depresi terhadap 45 pasien lansia
yang mengalami stroke sebanyak 62,2%. Penelitian Sit, Wong, Clinton dan Li
(2007) mengatakan 95% pasien stroke menemukan kejadian depresi pada
48%. Penelitian yang dilakukan oleh. Bergersen (2010) di Norwegia yang
meneliti tentang kecemasan dan depresi 2 sampai 5 tahun pasca stroke
menemukan bahwa dengan menggunakan The Hospital and Depression Scale
(HADS) mengidentifikasi 36% mengalami kecemasan dan 28% mengalami
depresi
Mengingat adanya permasalahan akibat dari stroke maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kemampuan fungsi
tubuh dan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke,
sehingga dengan mengetahui secara jelas hubungan antara kemampuan fungsi
tubuh dan dukungan keluarga dengan depresi, maka data tersebut dapat
dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengembangkan intervensi keperawatan
yang dapat berkontribusi positif untuk pasien stroke, sebagai upaya
pencegahan maupun perawatan secara optimal.
1.2 Permasalahan
Stroke berkaitan dengan obstruksi aliran darah ke otak yang
mempunyai dampak pada fungsi tubuh. Salah satu dampak dari stroke itu
adalah kerusakan persyarafan pada anggota tubuh yang mengakibatkan
kemampuan fungsi tubuh terganggu. Kemampuan fungsi tubuh seperti
motorik, sensibilitas, saraf otonom, kesadaran, fungsi luhur. Penurunan
kemampuan fungsi tubuh tersebut perlu dukungan keluarga berupa dukungan
emosional, informasional, instrumental dan dukungan penghargaan untuk
mencapai proses penyembuhan. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan pasien
dan rasa percaya diri. Gejala psikologis ini akan berdampak negatif terhadap
masa pemulihan dan hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya,
Permasalahan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah hubungan antara
kemampuan fungsi tubuh dan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien
pasca stroke.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa
hubungan antara kemampuan fungsi tubuh dan dukungan keluarga dengan
depresi pada pasien pasca stroke.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui karakteristik status perkawinan, lama menderita stroke,
jenis kelamin, usia, pendidikan pada pasien pasca stroke.
2. Menganalisa kemampuan fungsi tubuh pada pasien pasca stroke.
3. Menganalisa dukungan keluarga pada pasien pasca stroke.
4. Menganalisa depresi pada pasien pasca stroke.
5. Menganalisa hubungan kemampuan fungsi tubuh dengan depresi pada
pasien pasca stroke.
6. Menganalisa hubungan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien
1.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
1. Ada hubungan kemampuan fungsi tubuh dengan depresi pada pasien pasca
stroke.
2. Ada hubungan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi pelayanan keperawatan
Menambah pengetahuan dan kesadaran perawat tentang pentingnya
memperhatikan aspek fisik, psikososial pada penanganan pasien stroke,
sehingga pelayanan yang diberikan semakin berkualitas dan profesional.
2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Sebagai landasan untuk melakukan deteksi dini terhadap gangguan fisik,
psikososial berupa kemampuan fungsi tubuh, dukungan keluarga dan depresi
yang dapat mempengaruhi prognosis dan proses pemulihan pasien pasca
stroke.
3. Manfaat untuk Pengembangan Ilmu Keperawatan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya
pada perawatan penyakit stroke dengan sudut pandang yang berbeda dengan