BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA
A. Jabatan Notaris
Jabatan merupakan subyek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban. Oleh
Hukum Tatanegara kekuasaan tidak diberikan kepada pejabat, tetapi diberikan kepada
jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai subyek hukum yaitu badan hukum, maka
jabatan itu dapat menjamin kontinuitet hak dan kewajiban. Pejabat (yang menduduki
jabatan) selalu berganti-ganti, sedangkan jabatan terus menerus.
Jabatan notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya, bukan jabatan yang
sengaja diciptakan kemudian baru disosialisaikan kepada khlayak. Jabatan notaris ini
tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif karena notaris
diharapkan memiliki posisi netral. Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya
dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani
masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai
keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.Pengertian notaris menurut Pasal 1 angka
(1) UUJN adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Kedudukan notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada
pada notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, selama sepanjang
kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain. Sesuai dengan
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki
untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
atau orang lain.
Pejabat lain yang diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris,
antara lain:32
1) Consul (berdasarkanConculair Wet)
2) Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman (Pasal 2 PJN S1860-3)
3) Notaris Pengganti
4) Juru Sita pada Pengadilan Negeri.
5) Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum akan
tetapi mereka itu bukan Pejabat Umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih
lanjut Soegondo Notodisoerjo, menyatakan: bahwa untuk dapat membuat akta
otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “penjabat umum”. Di
Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak
berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan
sebagai “penjabat umum”. Sebaliknya seorang “Pegawai Catatan Sipil” (Ambtenaar
van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat
akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta-akta kelahiran, akta-akta
perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan
sebagai “pejabat umum” dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.33
Penjelasan UUJN menerangkan bahwa akta otentik sebagai bukti terkuat dan
terpenuh mempunyai peranan penting dalam hubungan hukum dalam kehidupan
masyarakat. Akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin
kepastian hukum dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa.
Selanjutnya dijelaskan, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi
pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik adayang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dalam rangka kepastian, ketertiban atau perlindungan hukum.
Selain akta otentik yangdibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh
pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihakdemi
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan
sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dibatasi oleh umur, sehingga
Notaris memiliki batas waktu dalam menjalankan tugas jabatannya. Hal ini sesuai
dengan Pasal 8 UUJN yang berbunyi:
(1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena:
a. meninggal dunia;
b. telah berumur 65 tahun;
c. permintaan sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas
jabatan Notaris secara terus-menerus lebih dari 3 tahun;
e. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.
(2) Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang
sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang
bersangkutan.
B. Akta Notaris
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 UUJN, bahwa salah satu kewenangan
notaris adalah membuat akta autentik. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat
umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan
lainnya yang diatur oleh UUJN.34
Pasal 1 UUJN tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas notaris.
Menurut Lumban Tobing, bahwa selain untuk membuat akta-akta autentik, notaris
juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau
akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga memberikan nasihat hukum dan
penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.35
Menurut Setiawan, inti dari tugas notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara
tertulis dan autentik hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat meminta jasa
notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan
keadilan diantara para pihak yang bersengketa.36
Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Acte. Dalam mengartikan akta
ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat dan
pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Pitlo mengartikan akta
sebagai: surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk
dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.37
Subekti mengartikan akta sebagai perbuatan hukum, yang mengartikan Pasal
108 KUHPerdata bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan perbuatan
hukum.38Selanjutnya Sudarsono menguatkan pendapat yang menyatakan Acte atau
akta dalam arti luas merupakan perbuatan hukum (recht handeling), suatu tulisan
yang dibuat untuk dipahami sebagai bukti perbuatan hukum.39
Akta adalah surat yang disengaja dibuat sebagai alat bukti, berkenaan dengan
perbuatan-perbuatan hukum di bidang keperdataan yang dilakukan oleh pihak-pihak.
Akta-akta yang dibuat menurut ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata Jo ketentuan UU
35G.H.S. Lumban Tobing,Op.Cit,hlm. 37
36Setiawan Wawwan, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHAP (suatu
No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.Akta itu disebut sebagai otentik bila
memenuhi unsur sebagai berikut :
1) Dibuat dalam bentuk menurut ketentuan Undang-undang;
2) Dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum;
3) Pejabat Umum itu harus berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat.
Berdasarkan pihak yang membuatnya, untuk akta otentik dapat dibagi menjadi
2 (dua) yaitu :
a) Akta para pihak (partij akte), adalah akta yang berisi keterangan yang
dikehendaki oleh para pihak untuk dimuatkan dalam akta bersangkutan.
Termasuk kedalam akta ini misalnya ; akta jual beli, akta perjanjian pinjam
pakai, akta perjanjian kridit, akta perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain.
Dengan demikianpartij akteadalah :
1) Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan
2) Berisi keterangan para pihak.
b) Akta Pejabat(Ambtelijk Akte atau Relaas Akte)
Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat berwenang, tentang apa yang
dia lihat dan saksikan dihadapannya. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari
satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Yang termasuk kedalam
akta diantaranya; Berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas; Berita
acara lelang; Berita acara penarikan undian; Berita acara rapat direksi perseroan
mengemudi; Ijazah; Daftar inventaris harta peninggalan dan lain-lain. Jadi
Ambetelijk AkteatauRelaas Aktemerupakan :
1) Inisiatif ada pada pejabat;
2) Berisi keterangan tertulis dari pejabat(ambetenaar)pembuat akta.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa, perbedaan
antara akta otentik dengan akta dibawah-tangan adalah :
1) Akta Otentik dibuat dengan bantuan Notaris atau pejabat umum yang
berwenang untuk itu dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang.
2) Akta dibawah tangan dibuat oleh para pihak yang berkepentingan untuk itu
tanpa campur tangan dari Notaris atau Pejabat umum, sehingga bentuknyapun
bervariasi (berbeda-beda).
Akta Otentikitu merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1870 KUH Perdata. Ia memberikan diantara para pihak termasuk para
ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu buktiyang
sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan dalamakta ini. Ini berarti
mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupakarena dianggap melekatnya pada akta
itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi Hakim itu merupakan
“BuktiWajib/Keharusan”.
Kekuatan pembuktian akta otentik (akta Notaris) adalah akibat langsung yang
otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang
kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu.40
Menurut G.H.S. Lumban Tobing, akta otentik dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu :
1) Akta yang dibuat oleh notaris atau yang biasa disebut dengan istilah Akta
Relaasatau Berita Acara,
2)Akta yang dibuat dihadapan notaris, biasa disebut dengan istilah Akta Pihak
atauAkta Partij.41
Notaris tidak dapat membuat akta atas kemauan sendiri, tetapi akta-akta
tersebut dibuat atas dasar permintaan para pihak/penghadap, tanpa adanya permintaan
para pihak. Akta Relaas merupakan akta yang dibuat oleh Notaris atas permintaan
para pihak. Dalam hal ini para pihak meminta agar Notaris mencatat atau menuliskan
segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau
tindakan lainnya yang dilakukan oleh para pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau
dituangkan dalam suatu akta Notaris. Oleh karena itu, para pihak tersebut harus
menghadap notaris.Dalam Akta Relaas ini Notaris menulis atau mencatatkan semua
hal yang dilihat atau didengar sendiri secara langsung oleh Notaris yang dilakukan
para pihak.
Akta Pihak adalah akta yang dibuat dihadapan Notaris atas permintaan para
pihak, Notaris berkewajiban untuk mendengarkan pernyataan atau keterangan para
pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak dihadapan Notaris.
Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta
Notaris.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN, bahwa dalam
membuat akta-akta tersebut Notaris berwenang untuk memberikan penyuluhan
ataupun saran-saran hukum kepada para pihak tersebut. Ketika saran-saran tersebut
diterima dan disetujui oleh para pihak kemudian dituangkan kedalam akta, maka
saran-saran tersebut harus dinilai sebagai pernyataan atau keterangan para pihak
sendiri. Selanjutnya berdasarkan Pasal 38 UUJN, akta-akta yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris tersebut harus menurut bentuk yang sudah ditetapkan. Prosedur
atau tata cara penyusunan akta-akta tersebut sudah ditentukan berdasarkan Pasal
39-53 UUJN. Berdasarkan ketentuan bentuk dan prosedur pembuatan akta tersebut,
maka unsur dan syarat-syarat atau ciri-ciri yang harus dipenuhi, agar lahir, tercipta
atau mewujud adanya suatu akta otentik adalah:
a) Bentuk akta otentik itu harus ditentukan oleh undang-undang, artinya jika
bentuk tidak ditentukan oleh undang-undang, maka salah satu unsur akta
otentik itu tidak terpenuhi, dan jika tidak terpenuhi unsur dari padanya, maka
b) Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Adapun yang dimaksud dengan
pejabat umum adalah organ Negara, yang dilengkapi dengan kekuasaan
umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan Negara untuk
membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata;
c) Pembuatan akta itu harus dalam wilayah kewenangan dari pejabat umum yang
membuat akta itu, artinya tidak boleh dibuat oleh pejabat yang tidak
mempunyai kewenangan untuk itu dan ditempat itu.
C. Pertanggungjawaban Notaris
Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara
mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka
berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang
tersebut yang menimbulkan kerugian itu.42 Hal tersebut diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, sebagai berikut : Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan
melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam
ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai
berikut:43
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian)
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian
Menurut Hans Kelsen, terdapat empat macam pertanggungjawaban, yaitu:44
a. Pertanggung jawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
b. Pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
c. Pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggung jawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja
dan tidak diperkirakan.
Selanjutnya Shidarta menjelaskan bahwa secara umum prinsip-prinsip
tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:45
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
44Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia Bandung, 2006, hlm. 140.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atauliability
based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana
dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367,
prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan
melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan
hukum.Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang
tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak
disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata,
sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum diatas merupakan tanggung
jawab perbuatan melawan hukum secara langsung, dikenal juga dikenal
perbuatan melawan hukum secara tidak langsung menurut Pasal 1367 ayat (1)
KUHPerdata : Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Tanggung jawab tersebut berakhir, jika seseorang itu membuktikan bahwa dia
tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung
jawab (Pasal 136 ayat (5) KUHPerdata).
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak
bersalah. Menurut E. Suherman sebagaimana dikutip Sonny Pungus46, kata
“dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada
kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia
dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang
diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.
46Sonny Pungus, Teori Pertanggungjawaban,
Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini
tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of
innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas
demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk
membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat
harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja
konsumen tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen
sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia
gagal menunjukkan kesalahan tergugat.
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak
selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang
sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum
pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan,
yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung
jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan
kesalahan itu ada pada konsumen.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan
para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang
menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab,
misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah
prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Menurut E. Suherman,strict liabilitydisamakan denganabsolute liability, dalam
prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab,
kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan
sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.47 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan.
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini
sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Konsep pertanggungjawaban ini apabila dikaitkan dengan profesi notaris,
maka notaris dapat dipertanggung jawabkan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam
pelaksanaan tugas dan jabatannya. Notaris tidak bertanggung jawab atas isi akta yang
dibuat di hadapannya, melainkan notaris hanya bertanggung jawab terhadap bentuk
formal akta otentik sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-undang.48
47Ibid.
48Ima Erlie Yuana, Tanggungjawab Notaris Setelah Berakhir Masa Jabatannya terhadap Akta
Tanggung jawab notaris bila dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris adalah sangat erat kaitannya dengan tugas dan
pekerjaan notaris. Dikatakan demikian oleh karena selain untuk membuat akta
otentik, notaris juga ditugaskan dan bertanggung jawab untuk melakukan pendaftaran
dan mensahkan (waarmerken dan legalisasi) surat-surat/akta-akta yang dibuat di
bawahtangan.
Pasal 1 UUJN dan Pasal 15 UUJN telah menegaskan, bahwa tugas pokok dari
Notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada
pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang sempurna. Hal ini dapat
dilihat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti
yangsempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Disinilah letaknya arti yang
penting dari profesi Notaris ialah bahwa ia karena undang-undang diberi wewenang
menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang
tersebut dalam otentik itu pada pokoknya dianggap benar.49
Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti
Verlijden, yaitu menyusun, membacakan dan menandatangani dan Verlijkden dalam
Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, hlm. 42.
49Rahmad Hendra, Tanggungjawab Notaris Terhadap Akta Otentik yang Penghadapnya
arti membuat akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana
yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan
terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, yaitu adanya kewajiban terhadap
Notaris untuk memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat hukum dan
penjelasan mengenai ketentuan undang-undang kepada pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pertanggungjawaban Notaris sebagai pejabat umum meliputi bidang: hukum
privat, hukum pajak, dan hukum pidana. Ada kemungkinan bahwa
pertanggungjawaban disatu bidang hukum tidak menyangkut bidang hukum yang
lain. Sebaliknya, tindakan yang menimbulkan tuntutan berdasarkan perbuatan
melawan hukum (Pasal1365 KUHPerdata) dapat menimbulkan pengambilan tindakan
dibidang hukum pidana. Pertanggungjawaban Notaris terutama terletak dibidang
hukum privat.
Abdul Ghofur Anshori menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan
kebenaran materil, maka tanggung jawab notaris selaku pejabat umum dibedakan
menjadi empat, yaitu :50
1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materil terhadap
akta yang dibuatnya,
Tanggung jawabperdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang
dibuatoleh notaris dilihat dari perbuatan melawan hukum, yang dapat
dibedakan berdasarkan sifat aktif maupun pasif. Perbuatan melawan hukum
yang bersifat aktif adalah melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian
pada pihak lain. Perbuatan melawan hukum yang bersifat pasif dalam arti
tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain
menderita kerugian. Oleh karena itu, dalam hal ini unsur dari perbuatan
melawan hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan
dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu pebuatan tidak
saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan
atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan
dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut:
a. Melanggar hak orang lain;
b. Bertentangan dengan aturan hukum;
c. Bertentangan dengan kesusilaan;
d. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri
dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.51
Menurut Ima Erlie Yuana, penjelasan UUJN menunjukan bahwa notaris hanya
sekedar bertanggung jawab terhadap formalitas dari suatu akta otentik dan
tidak terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan notaris untuk
bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam nasihat hukum
bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada notaris yang bersangkutan.
Sejalan dengan hal tersebut maka notaris dapat dipertanggungjawabkan atas
kebenaran materiil suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata
dikemudian hari merupakan suatu yang keliru. Melalui konstruksi penjelasan
UUJN tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa notaris dapat dimintai
pertanggungjawaban atas kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya bila
ternyata notaris tersebut tidak memberikan akses mengenai suatu hukum
tertentu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak
merasa tertipu atas ketidaktahuannya.Untuk itulah disarankan bagi notaris
untuk memberikan informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui
klien sepanjang yang berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut
dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh notaris,
yaitu yang berkaitan dengan perlindungan hukum notaris itu sendiri, dengan
adanya ketidak hati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan notaris,
sebenarnya notaris telah membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh
undang-undang harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang
dilakukan oleh notaris dapat dibuktikan, maka notaris dapat dikenakan sanksi
berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang.52
2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materil dalam akta
yang dibuatnya.
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak luput dari kesalahan, baik
yang disengaja maupun yang tidak disengaja.Kesalahan-kesalahan yang
dilakukan notaris tersebut memungkinkan notaris berurusan dengan
pertanggungjawaban secara hukum baik secara perdata, administratif. Maupun
pidana. Jika ternyata bahwa dalam akta tersebut ada unsur memasukkan
keterangan palsu, maka akta tersebut batal demi hukum, artinya hukum
memandang tidak pernah terjadi perjanjian atau batal dengan sendirinya tanpa
harus ada gugatan. Keadaan dikembalikan seperti keadaan semula sebelum
ada perjanjian. Dalam hal ini berarti harus dibuktikan dulu apakah ada unsur
tindak pidana dalam pembuatannya, berarti setelah tersangka diputus pidana.53
Ketentuan pidana tidak diatur di dalam UUJN namun tanggung jawab notaris
secara pidana dapat dikenakan apabila notaris melakukan perbuatan
pidana.UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan notaris
terhadap UUJN sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 dan Pasal 85.Sanksi
tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan
otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan (Pasal
84).Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa
53Putri A.R., Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator Tugas-tugas Jabatan Notaris
teguranlisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian
dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat (Pasal 85).
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.54Selanjutnya Ilhami Bisri menyatakan bahwa
suatu perbuatan yang tidak boleh dilakukan (dilarang) karena bertentangan
dengan:55
a. Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
b. Kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sosial, yaitu
kepentingan yang lazim terjadi dalam perspektif pergaulan hidup antar
manusia sebagai insane yang merdeka dan dilindungi oleh
norma-normamoral, agama, social (norma etika) serta hukum;
c. Kepentingan pemerintah dan Negara, yaitu kepentingan yang muncul dan
berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerintahan
serta kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya Negara
Indonesia, baik bagi rakyat Indonesia adupun dalam pergaulan dunia.
54Moeljanto,Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 59
Suatu peristiwa agar supaya dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan
pidana harus memenuhi syarat-syarat seperti berikut:56
a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang.
b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam UU.
Pelakunya harus sudah melakukan sesuatu kesalahan dan harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan
itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan hukum.
d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum
yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.
Pembagian perbuatan pidana dalam KUHP terdiri dari “kejahatan” dan
“pelanggaran”. Pembentukan Undang-undang membedakan perbuatan atau
tindak pidana atas “kejahatan” dan “pelanggaran”, berdasarkan kualifikasi
tindak pidana yang sungguh dan tindak pidana kurang
sungguh-sungguh.
3. Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap
kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya. Tanggung jawab notaris
56Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007,
disebutkan dalam Pasal 65 UUJNyang menyatakan bahwa notaris
bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol notaris
telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris.
Menurut Ima Erlie Yuana57, tanggung jawab materiil terhadap akta yang dibuat dihadapan notaris perlu ditegaskan bahwa dengan kewenangan notaris
dalam pembuatan akta otentik bukan berarti notaris dapat secara bebas sesuai
kehendakya membuat akta otentik tanpa adanya para pihak yang meminta
dibuatkan akta. Akta notaris dengan demikian sesungguhnya adalah aktanya
para pihak-pihak yang berkepentingan, bukan aktanya notaris yang
bersangkutan, karena itulah dalam hal terjadinya sengketa dari perjanjian yang
termuat dalam akta notaris yang dibuat bagi mereka dan dihadapan notaris
maka yang terikat adalah mereka yang mengadakan perjanjian itu sendiri,
sedangkan notaris tidak terikat untuk memenuhi janji atau kewajiban apapun
seperti yang tertuang dalam akta notaris yang dibuat dihadapannya dan notaris
sama sekali diluar mereka yang menjadi pihak-pihak.
Secara formil notaris bertanggungjawab atas keabsahan akta otentik yang
dibuatnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 UUJN. Notaris tidak
bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan isi akta yang dibuat di
hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung jawab bentuk formal akta
otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang. Tanggungjawab
tersebut sebagai kesediaan dasariah untuk melaksanakan kewajibannya.
Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materil atas
akta yang dibuatnya. Dengan demikian bahwa tanggungjawab formil notaris
hanya terhadap keabsahan akta otentik yang dibuatnya, bukan terhadap isi
akta tersebut. Oleh karena itu terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi,
agar lahir, tercipta atau terwujud adanya suatu akta otentik, yaitu:
a. Akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang.
Maksud dari bentuk yang ditentukan undang-undang dalam hal ini adalah
bahwa akta tersebut pembuatannya harus memenuhi ketentuan
undang-undang, khusunya UUJN;
b. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Adapun yang dimaksud
dengan pejabat umum adalah organ Negara, yang dilengkapi dengan
kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan
Negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang
hukum perdata. Kata ”dihadapan” menunjukkan bahwa akta tersebut
dibuat atas permintaan seseorang, sedangkan akta yang dibuat ”oleh”
pejabat umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan, dan
sebagainya (berita acara rapat, protes wesel, dan lain-lain);
c. Pejabat yang membuat akta tersebut harus berwenang untuk maksud itu di
tempat akta tersebut dibuat. Berwenang (bevoegd) dalam hal ini
khususnya menyangkut : (1) jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya;
Sanksi atas kesalahan notaris dalam menjalankan jabatannya diatur dalam
UUJN, yaitu Pasal 84 dan Pasal 85. Pasa 84 menentukan bahwa tindakan
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41,
Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang
mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,
ganti rugi, dan Bunga kepada Notaris.
Selanjutnya sanksi yang diatur dalam Pasal 85 berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian dengan hormat; atau
e. pemberhentian dengan tidak hormat.
Sanksi dalam UUJN bersifat umum, sehingga terbuka untuk penerapan unusr
pidana, sebab pengenaan sanksi pidana tidak diatur dalam UUJN. Hal ini
bukan berarti bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak
dengan jabatan notaris adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 dan
Pasal 264 KUHP yang dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP.58
4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik notaris.
Hubungan kode etik notaris dan UUJN memberikan arti terhadap profesi
notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik notaries menghendaki agar notaris
dalam menjalankan tugasnya, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat
pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab terhadap masyarakat
yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atauINI)
maupun terhadap negara. Apabila notaris melakukan perbuatan pidana, UUJN
hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris.
Abdul Kadir Muhammad sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori59,
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus bertanggung jawab,
artinya :
a) Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik danbenar.
Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan
pihak berkepentingan karena jabatannya.
b) Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang
dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak para pihak yang
58Putri A.R.,Op.Cit, hlm. 109.
berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris
menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan
prosedur akta yang dibuatnya itu.
c) Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu
mempunyai kekuatan bukti sempurna.
D. Pertanggungjawaban Werda Notaris terhadap Akta yang Dibuatnya
Setiap orang yang mengemban atau memangku jabatan tertentu dalam bidang
apapun sebagai pelaksanaan dari suatu struktur negara, pemerintah atau organisasi
mempunyai batasan. Ada batasan dari segi wewenang, ada juga dari segi waktu,
artinya sampai batas waktu kapan jabatan yang diemban oleh seseorang harus
berakhir. Produk dari suatu jabatan, misalnya, surat keputusan yang dibuat dan
ditandatangani oleh pemangku suatu jabatan, maka surat keputusan tersebut harus
sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh jabatan tersebut dan surat keputusannya
akan tetap berlaku (mengikat) meskipun pejabat yang menjabat suatu jabatan sudah
tidak menjabat lagi. Oleh karena itu, setiap jabatan apa pun mempunyai batasan
waktu pertanggungjawabannya, yaitu sepanjang yang bersangkutan menjabat oleh
karena apabila jabatan yang dipangku seseorang telah habis, yang bersangkutan
berhenti pula pertanggungjawabannya dalam jabatan yang pernah dipangkunya.
Khusus untuk notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat
tempat dan kedudukan wilayah jabatan. Berdasarkan konsep jabatan seperti tersebut,
notaris sebagai suatu jabatan (sehingga aturan hukum mengenai notaris, yaitu UUJN,
bukan undang-undang profesi notaris dan bukan undang-undang profesi jabatan
notaris) mempunyai batasan dari segi wewenangnya, yaitu sebagaimana tersebut
dalam Pasal 15 UUJN.
Sebagai pejabat, batasan wewenang tersebut adalah ketika masih menjadi
pejabat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Demikian
juga dengan Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dibatasi oleh umur,
sehingga Notaris memiliki batas waktu dalam menjalankan tugas jabatannya. Hal ini
sesuai dengan Pasal 8 UUJN ayat (1) huruf b, bahwa Notaris berhenti atau
diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena telah berumur 65 tahun.
Selanjutnya Pasal 8 UUJN ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan umur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan
mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.
Namun demikian sesuai dengan ketentuan batas waktu dalam menjalankan
tugas jabatannya, tidak dijelaskan mengenai batas waktu pertanggungjawaban notaris
terhadap akta yang dibuatnya. Bahkan Pasal 65 UUJN menentukan bahwa: Notaris,
Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris
bertanggungjawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah
Memperhatikan ketentuan Pasal 65 UUJN tersebut, maka walaupun notaris
sudah berakhir masa jabatannya, namun tetap bertanggungjawab terhadap akta yang
dibuatnya. Oleh karena itu terdapat kerancuan mengenai batas pertanggung jawaban
Notaris berdasarkan pada Pasal 65 UUJN yakni meskipun semua akta yang dibuat
oleh Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol
Notaris, walaupun sudah berhenti atau tidak menjabat lagi sebagai Notaris masih
harus bertanggung jawab sampai hembusan nafas terakhir. Sehingga yang sesuai
dengan batasan waktu pertanggungjawaban, jika Notaris sudah tidak menjabat lagi
meskipun yang Notaris tersebut masih hidup tidak dapat dimintai lagi
pertanggungjawaban dalam bentuk apapun.Notaris penyimpan Protokol wajib
memperlihatkan atau memberikan fotocopy dari minuta akta yang diketahui sesuai
dengan aslinya oleh Notaris penyimpan protokol atau oleh Majelis Pengawas Daerah
untuk protokol yang telah berumur 25 tahun atau lebih (sesuai dengan Pasal 63 ayat
(5) UUJN). Berdasarkan pengertian tersebut tidak sesuai dengan makna bahwa akta
Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai nilai pembuktian yang sempurna.60
Penyimpanan protokol Notaris oleh Notaris pemegang protokol merupakan
suatu upaya untuk menjaga umur yuridis akta Notaris sebagai alat bukti yang
sempurna bagi para pihak atau ahli warisnya tentang segala hal yang termuat didalam
akta tersebut. Akta Notaris dalam bentuk salinan akan selamanya ada jika disimpan
oleh yang bersangkutan dan dalam bentuk minuta juga akan selamanya ada yang
disimpan oleh Notaris sendiri atau oleh Notaris pemegang protokol atau oleh Majelis
Pengawas. Notaris meninggal dunia tapi akta Notaris akan tetap ada yang mempunyai
umur yuridis dan melebihi umur biologis Notaris sendiri. Dengan demikian
pertanggung jawaban Notaris sepanjang masih mempunyai wewenang untuk
menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris.
Apabila dikaitkan dengan teori tanggung jawab, bahwa pertanggungjawaban
yang dilakukan oleh Notaris merupakan akibat lebih lanjut dari pelaksanaan Notaris
dalam menjalankan tugas dan jabatannya, yang merupakan hak dan kewajiban yang
diberikan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga
tanggung jawab yang digunakan dalam UUJN adalah tanggung jawab berdasarkan
kesalahannya, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Notaris dapat dimintakan
pertanggung jawaban atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja melakukan
perbuatan tersebut dan menimbulkan kerugian bagi para pihak.
Prinsip pertanggung jawaban yang dipergunakan adalah pertanggung jawaban
berdasarkan kesalahan.Notaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya apabila
terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Perlu diadakannya pembuktian terhadap
unsur-unsur kesalahan yang dibuat oleh Notaris tersebut, yaitu meliputi:
a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun menghadap;
c. Tanda tangan yang tercantum dalam minuta akta.61
Ketentuan pada Pasal 65 UUJN yang kabur atau tidak menjelaskan batasan
waktu pertanggungjawaban Notaris yang telah berhenti menjabat ini menimbulkan
implikasi hukum yang merupakan akibat yang tidak langsung karena adanya
peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dalam menjelaskan batasan waktu
pertanggungjawaban Notaris yang telah berhenti menjabat terhadap akta yang pernah
dibuat. Akibatnya, Notaris walaupun telah berhenti menjabat tetap dimintai
pertanggungjawaban terkait akta yang dibuatnya. Akibat lain dengan adanya
ketentuan Pasal 65 UUJN ini, Notaris dalam menjalankan jabatannya harus bekerja
dengan hati-hati agar tidak terkena permasalahan suatu saat nanti terhadap akta yang
pernah dibuat. Apabila Notaris tidak melaksanakan tugas jabatannya dengan baik,
maka Notaris tersebut harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang
dilakukannya sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak.
Dampak negatif dengan adanya ketentuan pada Pasal 65 UUJN, bagi Notaris
yang sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus tetap
bertanggung jawab jika terjadi permasalahan suatu saat nanti. Sehingga dengan
adanya ketentuan ini Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya akan
“was-was” atau tidak tenang karena walaupun telah berhenti menjabat tetap bisa terkena
masalah suatu saat nanti jika Notaris tidak hati-hati dalam menjalankan tugas dan
jabatannya. Sedangkan dampak negatif bagi para pihak, bahwa para pihak yang hanya
menuruti Notaris, akan merugikan dirinya-sendiri suatu saat nanti.
Namun begitu ketentuan pada Pasal 65 UUJN tidak hanya mempunyai
dampak negatif saja, melainkan memiliki dampak positif yakni bagi Notaris yaitu
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya mempunyai semangat untuk bekerja
dengan baik sesuai dengan prosedur yang berlaku dan didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Sedangkan dampak positif bagi masyarakat bahwa dengan
adanya ketentuan ini masyarakat menjadi terlindungi. Apabila jika didasarkan bahwa
pertangungjawaban Notaris melekat sampai Notaris meninggal. Jika Notaris tersebut
telah meninggal dan akta tersebut dipermasalahkan oleh para pihak, maka yang akan
bertanggung jawab secara perdata dibebankan kepada ahli waris dari Notaris tersebut
dan ketentuan yang digunakan oleh para pihak untuk menggugat ahli waris secara
perdata yakni perbuatan melawan hukum.62
Jika dikaitkan dengan permasalahan terkait batasan waktu
pertanggungjawaban Notaris yang telah berhenti dengan hormat terhadap akta yang
pernah dibuat, bahwa apabila Notaris telah meninggal dan akta yang dibuat oleh
Notaris tersebut menimbulkan sengketa yang akhirnya Notaris harus bertanggung
jawab atas akta tersebut.
62 Agri Fermentia Nugraha, Pertanggungjawaban Notaris yang Berhenti dengan Hormat
Menurut Agri Fermentia Nugraha63, batasan waktu yang ideal terkait
pertanggungjawaban Notaris yang berhenti dengan hormat yakni sebagai berikut:
1) Didasarkan pada Ketentuan Daluwarsa.
a) Terkait tanggung jawab perdata dapat didasarkan pada Pasal 1967 BW bahwa
segala tuntutan hukum hapus dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun.
Kemudian jika dikaitkan dengan pertanggungjawaban Notaris yang berhenti
dengan hormat (setelah berumur 65 tahun) maka Notaris tidak bertanggung
jawab ketika sudah berumur 95 tahun. Hal ini dikarenakan apabila Notaris
tersebut berhenti menjabat pada umur 65 tahun, kemudian umur 65 tahun
tersebut ditambah dengan lewatnya waktu berdasarkan Pasal 1967 BW yakni
30 tahun. Berdasarkan penambahan tersebut Notaris tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban setelah berumur 95 tahun.
Menurut Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, dalam buku Ke-4
BW, antara lain diatur tentang daluwarsa, bahwa:64
1. Daluarsa menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu kewajiban
atauyang menyebabkan hak menuntut seseorang menjadi gugur,
praescriptio(bahasa Latin) danextinctieve verjaring(bahasa Belanda)
2. Daluarsa menyebabkan seseorang memperoleh suatu hak
tertentu.Daluarsa ini mengharuskan adanya itikad baik dari orang yang
63Ibid, hlm. 22-25.
64Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
akan memperoleh hak tersebut, usucapio (bahasa Latin) dan
acquistieveverjaring(bahasa Belanda).
Selanjutnya C.S.T. Kansil menyatakan bahwa lembaga lewat waktu
(daluwarsa) dapat dibedakan sebagai berikut:65
1. Lewat waktu untuk memperoleh hak milik. Dalam hukum perbendaan,
seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak lama
kelamaan dapat memperoleh hak milik atas benda tersebut. Apabila ia
dapat menunjukkan suatu titel yang sah, maka dengan lewatnya waktu
dua puluh tahun lamanya sejak ia mulai menguasai benda tersebut, ia
menjadi pemilik yang sah dari benda tersebut.
2. Lewat waktu untuk dibebaskan dari suatu tuntutan. Oleh Undang-undang
ditetapkan bahwa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, setiap orang
dibebaskan dari semua penagihan atau tuntutan hukum. Hal ini berarti
bila seseorang digugat untuk membayar utang yang sudah lebih dari tiga
puluh tahun lamanya, ia dapat menolak gugatan itu dengan hanya
mengajukan bahwa ia selama tiga puluh tahun belum pernah menerima
tuntutan atau gugatan itu.
Selanjutnya Darwan Prinst menyatakan bahwa daluwarsa (verjaring) atau
lewat waktu adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari
sesuatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata). Seseorang
tidaklah dapat memperoleh sesuatu hak karena daluwarsa, bila waktunya
belum tiba. Akan tetapi, seseorang dapat melepaskan sesuatu hak yang
diperolehnya karena daluwarsa.66
Pasal 1967 KUHPerdata menentukan:“segala tuntutan hukum, baik yang
bersifat perbendaan maupun yangbersifat perseorangan, hapus karena
daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh (30) tahun, sedangkan siapa
yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan
suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya suatu tangkisan
yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.”
Daluwarsa sebagai alat dibebaskan dari suatu kewajiban, yaitu hapusnya
segala hak untuk mengajukan tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan
maupun yang bersifat perseorangan setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) tahun.
Untuk menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah menunjukkan suatu alas
hak atas pemilikannya. Terhadapnya juga tidak dapat diajukan suatu tangkisan
yang didasarkan itikadnya yang buruk (Pasal 1967 KUHPerdata).
b) Terkait tanggung jawab pidana dapat didasarkan pada Pasal 78 ayat (1) angka
3 KUH Pidana, bahwa kewenangan menuntut pidana hapus setelah 12 (dua
belas) tahun dengan ancaman pidana penjara lebih dari 3 tahun. Maka Notaris
tidak dapat dimintai pertanggung jawaban ketika berumur 77 (tujuh puluh
tujuh) tahun. Hal ini dikarenakan pasal yang digunakan untuk menuntut
Notaris adalah Pasal 263, dan 264 KUH Pidana yang dapat dipidana penjara
selama-lamanya 6 tahun. Maka berdasarkan penambahan tersebut Notaris
tidak dapat dimintai pertanggung jawaban setelah berumur 77 tahun.
2) Pertanggungjawaban Notaris adalah sampai seumur hidup.
Walaupun Notaris tersebut telah berhenti dari jabatannya, Notaris tetap
bertanggungjawab seumur hidup terhadap akta yang pernah dibuatnya. Hal ini
didasarkan bahwa kehadiran Notaris untuk membuat akta otentik sebagai alat
bukti sempurna bagi para pihak. Oleh karenanya Notaris dalam membuat akta
harus memenuhi standar prosedur berdasarkan ketentuan perundangan-undangan,
sehingga pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuatnya harus
melekat seumur hidup pada diri Notaris.
Hasil penelitian Agri Fermentia Nugraha 67 menunjukkan ada narasumber
menyatakan bahwa ketentuan mengenai Pasal 65 UUJN sudah jelas terkait batas
waktu pertanggungjawaban Notaris karena pertanggungjawaban Notaris ialah
sampai Notaris tersebut meninggal. Walaupun di Pasal 65 UUJN tidak
menunjukkan batas waktu pertanggungjawaban, Notaris harus tetap bertanggung
jawab sampai meninggal terhadap akta yang pernah dibuatnya.
3) Pertanggungjawaban Notaris hanya pada saat masih mengemban jabatannya.
Notaris yang telah berhenti dengan hormat, Notaris tidak harus bertanggung
jawab terhadap akta yang dibuat. Hal ini didasarkan pada teori tanggung jawab
jabatan, bahwa seseorang harus bertanggung jawab terhadap kesalahannya yang
dilakukan terkait kewenangannya. Sehingga seseorang harus bertanggung jawab
atas kesalahannya ketika orang tersebut masih menjabat. Namun ketika orang
tersebut sudah tidak menjabat lagi, maka orang tersebut tidak harus bertanggung
jawab terkait jabatannya yang pernah dipangkunya.
Hasil penelitian Agri Fermentia Nugraha68juga menunjukkan ada narasumber
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 65 UUJN terkait batasan waktu
pertanggungjawaban masih belum jelas. Sebab dalam Pasal 65 UUJN tidak
dijelaskan secara tegas, sehingga sampai saat ini Notaris memberikan penafsiran
bahwa Notaris bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat walaupun telah
berhenti menjabat harus bertanggung jawab seumur hidup. Oleh karena belum
jelasnya ketentuan Pasal 65 UUJN terkait batas waktu pertanggungjawaban
Notaris yang telah berhenti menjabat, maka semestinya Notaris yang telah tidak
menjabat lagi harusnya tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas akta yang
dibuatnya. Batas waktu tanggung jawab Notaris seharusnya hanya dapat diminta
sepanjang Notaris masih berwenang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya
sebagai seorang Notaris atau terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan
dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris yang dilakukan demikian juga
sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada Notaris hanya sepanjang memiliki
kewenangan melaksanakan tugas Jabatan sebagai Notaris atau sebelum Notaris
tersebut dinyatakan berhenti dengan hormat. Berdasarkan konstruksi tanggung
jawab seperti hal tersebut, maka tidak ada lagi Notaris yang diminta tanggung
jawab lagi setelah yang bersangkutan berhenti dengan hormat dari jabatannya
bahkan jika perlu dibatasi mengenai batasan tanggung jawab seorang Notaris
dalam jangka waktu tertentu.
Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu kejelasan
dalam UUJN tentang batas waktu pertanggungjawaban notaris terhadap akta yang
dibuatnya. Hal ini perlu untuk memperoleh kepastian hukum bagi notaris yang telah
berakhir masa jabatannya. Dalam hal ini, sesuai dengan kewenangan jabatan, maka
selayaknya batas pertanggungjawaban notaris terhadap akta yang dibuatnya adalah
pada saat menjabat sebagai notaris, karena akta yang dibuatnya adalah berdasarkan
kewenangan jabatan. Setelah notaris habis masa jabatannya, maka notaris tidak lagi