A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan bagian dari tata hukum Indonesia, yang mana bagi
setiap muslim, sudah menjadi kewajiban dalam menerapkan aturan yang telah
dititahkan oleh Allah, karena agama Islam mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia, termasuk dalam pembangunan ekonomi dan juga dalam institusi keuangan.
Institusi keuangan yang mempunyai peranan penting terhadap perkembangan
ekonomi sebuah Negara modern khusus istitusi perbankan. Tidak dapat dinafikan,
bahwa institusi perbankan memang menyediakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan
masyarakat.
Melalui sektor keuangan ini, dana atau potensi yang ada dalam masyarakat
dapat dikembangkan pada kegiatan yang bersifat produktif, sehingga pertumbuhan
ekonomi dapat diwujudkan. Selain itu, institusi perbankan juga merupakan elemen
penting dari system pembayaran karena tanpa sistem pembayaran yang baik,
kehidupan modern tidak mungkin akan tercipta.1
Lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia telah menambah
semarak khasanah hukum dan mempertegas visi tentang kehidupan perbankan di
Indonesia. Hal ini didasarkan pada Islam sebagai agama yang hak mengakui
kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat-alat
produksi dan faktor-faktor produksi. Namun kepemilikan tersebut dibatasi oleh 2
(dua) hal, yaitu kepentingan masyarakat dan cara memperoleh pendapatan. Islam
menolak pendapatan dari suap, rampasan atau perampokan, kecurangan, bunga uang,
perjudian, perdagangan gelap dan usaha-usaha yang menghancurkan masyarakat,
termasuk menimbun barang-barang untuk menghasilkan keuntungan.2
Keinginan untuk memperoleh pendapatan yang bersih termasuk mengenai
bentuk Bank Islam yang bersih dari sistem riba ditegaskan pada Konfrensi
Negara-Negara Islam Sedunia pada tanggal 21-27 April 1969, dimana sejak saat itu
perkembangan Bank Islam atau Bank Syariah di berbagai negara termasuk Indonesia
- cukup pesat, terbukti sejak Tahun 1992 telah beroperasi Bank Syariah bernama
Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
1992 tentang Bank Bagi Hasil.
Di Indonesia peranan Perbankan Syariah sebagai sumber pembiayaan dunia
usaha masih sangat minim. Ini dikarenakan banyak orang masih awam/kurang
mengerti dengan prinsip syariah yang diusung oleh bank-bank syariah. Akan tetapi
dalam perkembangannya, bank-bank yang berazaskan syariah ini mempunyai prospek
yang cerah, karena didalam prinsip syariah tidak mengusung sistem bunga seperti
pada bank konvensional, melainkan sistem bagi hasil. Dalam hal demikian, maka
kreditur, yang biasanya adalah suatu bank, dalam memberikan pembiayaan kepada
para pengusaha tersebut akan sangat mempertimbangkan agar uang yang digunakan
untuk membeli barang modal yang diperuntukkan nasabah tersebut dapat kembali
tepat waktu seperti yang diperjanjikan.
Pembiayaan dalam kegiatan Perbankan syariah merupakan kegiatan usaha
yang paling utama, karena pendapatan terbesar dari usaha Bank syariah berasal dari
pendapatan kegiatan usaha pembiayaan yaitu berupa bagi hasil. Ruang lingkup dari
pembiayaan sebagai kegiatan Perbankan syariah tidaklah semata-mata berupa
kegiatan membelikan barang modal yang diperuntukkan nasabah melainkan sangatlah
kompleks karena menyangkut keterkaitan unsur-unsur yang cukup banyak,
diantaranya meliputi : sumber-sumber dana pembiayaan, alokasi dana, organisasi dan
manajemen pembiayaan, kebijakan pembiayaan, dokumentasi dan administrasi
pembiayaan, pengawasan serta penyelesaiaan pembiayaan yang bermasalah.
Mengingat begitu luas ruang lingkup dan unsur-unsur yang melingkupi kegiatan
pembiayaan ini, maka tidak berlebihan penanganannya pun harus dilakukan secara
sangat hati-hati dengan ditunjang profesionalisme serta integritas moral yang harus
melekat pada sumber daya manusia pembiayaan tersebut.
Bank Syariah saat ini menjadi salah satu alternatif masyarakat untuk
melakukan transaksi perbankan dan transaksi bisnis para pengusaha, di mana
Indonesia. Secara yuridis formal, keberadaan bank syariah telah diakui dalam sistem
perundang-undangan Negara Republik Indonesia, termasuk keberadaan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 dan 4, Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perbankan),
disebutkan, bahwa undang-undang membagi jenis bank menjadi dua macam, yaitu
bank umum dan bank perkreditan rakyat.
Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; Bank perkreditan rakyat
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan
Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.3
Ketentuan ini dipertegas dengan keluarnya Undang-undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, yang menyebutkan “Bank Syariah adalah Bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut
jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”.4
Undang-undang ini juga mengganti istilah Bank Perkreditan Rakyat Syariah menjadi
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank
3Pasal 1 angka 3 dan 4, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
4
Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.”5
Sistem perbankan dengan prinsip syariah istilah kredit berubah menjadi istilah
pembiayaan. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyebutkan:
Pembiayaan berdasar Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Prinsip syariah oleh Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perbankan
Syariah) diberikan defenisi yaitu: prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.
Defenisi tersebut menjelaskan bahwa salah satu transaksi yang cukup populer
dan dikembangkan dalam sistem perbankan syariah adalah sistem jual beli, seperti
halnya diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam literatur hukum perdata, yang menjelaskan
tentang pengertian jual beli ini, disebut dengankoop en verkoop(bahasa Belanda) dan
5
purhcase and sale (bahasa Inggris).6 Hanya saja, dalam literatur hukum Islam,
pengertian jual beli sebagaimana diatur dalam KUH Perdata itu, dalam fiqh Islam
bentuk dan jenisnya dibagi pada tiga cara, yaitu:7
1. Bai` Al-murabahah (Deferred Payment Sale), yaitu bentuk jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
2. Bai` As-Salam (In Front Payment Sale), yaitu pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka.8 3. Bai` Al-Istishna (Purchase By Order Or Manufacture), yaitu merupakan
bentuk kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.9
Dalam praktek sistem perbankan syariah, produk istishnamenyerupai produk
salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Dasar hukum Istishnamenurut fiqh Islam adalah jual beli dalam bentuk pemesanan, pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan penjual (Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 06/DSN-MUI/IV/2000). Sedangkan Istishna
menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah jual beli barang dalam bentuk
pemesanan, pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
6
Yan Pramadya Puspa,Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang , 1997, hlm. 872
7
Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001.
8Dalam perbankan,salambanyak dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang
relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Bank memberikan pembiayaan sebagai pembayaran penuh di muka di awal masa tanam sebagai modal bagi petani. Kemudian setelah panen petani wajib menjual hasil panennya kepada bank sesuai dengan kualifikasi dan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Dalam akad ini, para phqak tidak dapat membatalkan kontrak secara sepihak.
9
disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan (PBI Nomor 7/46 pasal 1
butir 9).
Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi diantara ketiga bentuk sistem jual beli ini, pada awalnya yang banyak dilakukan adalah sistem jual beliBai` Al-Murabahahdan selalu disebut secara ringkas dengan sistem Murabahah. Namun dalam perkembangannya kedua
bentuk lainnya juga telah dikembangkan seperti salah satuproduk Bank BRI Syari’ah adalah Akad Pembiayaan Istishna yang merupakan pembiayaan produktif maupun konsumtif untuk memenuhi kebutuhan barang produksi atau barang konsumtif yang
dilakukan dengan cara pemesanan secara syari’ah sesuai dengan kemampuan
masing-masing nasabah.Akad Pembiayaan Istishna dalam pelaksanaannya digabung dengan Akad Murabahah. Hal ini dilakukan karena pada prinsipnya sama-sama berbentuk
jual beli barang hanya saja pada jual beli dilakukan dengan lebih dahulu melalui
pemesanan.10
Di dalam praktek perbankan khususnya pada Bank BRI Syariah
Cabang Binjai dikenal berbagai kegiatan usaha dibidang syariah antara lain adalah
Giro Wadi'ah, Tabungan Mudharabah, Deposito Mudharabah, Wakalah (Transfer, Kliring) dan Pembiayaan. Produk Pembiayaan yang dilaksanakan pada Bank BRI Syariah Cabang Binjai antara lain adalah : Murabahah (jual beli barang jadi bayar tangguh), Istishna (jual beli barang pesanan bayar tangguh), Ijarah (sewa atau leasing), Mudharabah (bagi hasil tanpa sharing dana nasabah), Musyarakah (bagi
10Hasil Wawancara dengan Bapak Toras Pulungan Kepala Cabang Bank Rakyat Indonesia
hasil dengan sharing dana nasabah) dan Qardh (pinjam kebajikan).11
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa salah satu produk Bank BRI Syari’ah adalah Istishna (jual beli barang pesanan bayar tangguh) yang dalam praktiknya dikaitkan dengan jual beli pembiayaan Murabahah sehingga pada akad pembiayaannya dikenal dengan “Akad Pembiayaan Murabahah Al Istishna”. Hal disebabkan karena pembiayaan murabahah juga menganut prinsip jual beli dengan
bayar tanggung hanya pada Istishna jual beli tersebut harus melalui pemesanan
terlebih dahulu.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah
lebih lanjut mengenai perjanjian pembiayaan Istishna dalam system perbankan
syariah. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan
judul “Akad Pembiayaan Istishna Pada PT Bank Rakyat Indonesia Syari’ah Cabang
Binjai”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan pokok permasalahan yang
akan diteliti secara lebih mendalam sebagai berikut:
1. Bagaimanakah mekanisme perjanjian pembiayaan Istishna menurut fiqh dan perbankan syari’ah ?
2. Apakah perjanjian pembiayaan Istishna pada Bank BRI Syari’ah Cabang Binjai telah sesuai dengan ketentuan prinsip-prinsip syari’ah ?
3. Apakah yang menjadi kendala pada perjanjian pembiayaan Istishna pada
Bank BRI Syari’ah Cabang Binjai ?
11
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui mekanisme perjanjian pembiayaan Istishna menurut fiqh dan menurut perbankan syari’ah.
2. Untuk mengetahui perjanjian pembiayaan Istishna pada Bank BRI
Syari’ah Cabang Binjai telah sesuai dengan ketentuan prinsip-prinsip
syari’ah.
3. Untuk mengetahui yang menjadi kendala pada perjanjian pembiayaanIstishna
pada Bank BRI Syari’ah Cabang Binjai ?
D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan terhadap perkembangan hukum perbankan
syari’ah pada khususnya, dan bagi para akademis mengenai penerapan prinsip kafalah
dalam akad pembiayaan pada bank syari’ah. Sedangkan bagi kalangan perbankan,
hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam rangka
meningkatkan pemberian pembiayaan secara teknis berkaitan dengan adad
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,
khususnya kepada nasabah penerima pembiayaan pada bank syari’ah khususnya
nasabah Bank BRI Syari’ah Cabang Binjai, agar lebih mengetahui tentang hak dan
kewajibannya dalam Akad PembiayaanAl Istishnayang berdiri sendiri maupunAkad Pembiayaan Murabahah Al Istishna pada bank syari’ah yang diperolehnya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan
baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan beberapa
penelitian menyangkut produk bank syari’ah antara lain:
1. Judul Penelitian “Kuasa MenjualDalam Aqad PembiayaanMurabahah, Sebagai
Dasar Hukum Penjualan Barang Jaminan (Studi Pada Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah Gebu Prima Medan) Oleh Hasbullah Hadi, NIM : 077011092. Adapun
yang menjadi pokok Kajian adalah
a. Bagaimanakah isi perjanjian pembiayaan murabahah yang dilaksanakan oleh
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Gebu Prima Medan ?
b. Bagaimanakah kekuatan yuridis dari Akta Kuasa Menjual yang dibuat
mengikuti akta perjanjian pembiayaan murabahah di Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah Gebu Prima Medan?
c. Bagaimanakah proses yang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Gebu Prima Medan dalam menjual barang jaminan milik nasabah debitur yang
2. Judul Penelitian “Penerapan Sistem Jual BeliMurabahah Pada Bank Syariah (Studi Terhadap Pembiayaan Rumah/Properti Pada Bank Negara Indonesia
Syariah Cabang Medan) Oleh : Ridha Kurniawan Adnans, NIM : 057011074.
Adapun permasalahan yang dikaji adalah :
a. Bagaimanakah konsep jual belimurabahahmenurut syariat Islam?
b. Bagaimanakah penerapan sistem jual belimurabahahterhadap pembiayaan
rumah/ properti pada bank BNI Syariah?
c. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem jual
beli murabahah terhadap pembiyaan rumah/ properti pada bank BNI
Syariah?
3. Judul Penelitian “Perjanjian Pembiayaan Murabahah Pada Bank Dengan
Prinsip-Prinsip Syariah Islam” (Penelitian di Bank Syariah Mandiri Medan),
Oleh : Rifki Suryadi NIM : 047011055. Adapun Permasalahan yang dibahas
adalah :
a. Bagaimanakah bentuk dari perjanjian (aqad) pembiayaanmurabahahpada
bank dengan prinsip-prinsip syariah Islam?
b. Bagaimanakah bentuk jaminan dalam perjanjian pembiayaanmurabahah?
c. Bagaimanakah penyelesaian pembiayaan macet yang diikat dengan
Ketiga penelitian di atas sejauh yang diketahui baik mengenai judul maupun
permasalahan tidak ada kesamaan dengan penelitian ini karena penelitian ini lebih
memfokuskan pada pembiayaan dengan prinsip Al Istishna pada Bank Syari’ah.
Dengan demikian penelitian tentang “Akad Pembiayaan Istishna Pada PT Bank
Rakyat Indonesia Syari’ah Cabang Binjai”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu,
penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat
dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian
yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk
mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori
merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori
merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/ logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, defenisi dan proposisi yang disusun secara
sistematis.12
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur,
beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang
tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.13Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah: “...pendapat,
cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.”14
Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori
menurut pendapat dari berbagai ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “Teori adalah
seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk
memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial
bagi keseluruhan teori yang lebih umum.”15 “Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian,
karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan memang dapat
mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”.16
Jadi kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perbankan
syari’ah, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin
disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian
ini.17 Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan
berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, yaitu
mengenai perjanjian pembiayaan istishna pada lembaga perbankan syariah yang
dalam hal ini didasarkan pada ketentuan Alqur’an dan Hadits serta ketentuan
13
HR.Otje Salman S dan Anton F Susanto,Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm.21.
14W.J.S.Poerwadarminta,Kamus Umum BahasaIndonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hlm.1055. 15HR.Otje Salman S dan Anton F Sisanto,Op.Cit,hlm 22
16
J.Supranto,Op.Cit,, hlm.192-193.
17
Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
06/DSN-MUI/IV/2000. Dengan demikian, kerangka teori yang dijadikan sebagai pisau analisis
dalam penelitian ini bila dikaitkan dengan pemberian pembiayaan oleh bank syariah
kepada penerima pembiayaan, merupakan kebijakan perbankan sebagai konsekuensi
semakin tingginya berkembangnya lembaga perbankan syariah di Indonesia.
Berkembang perbankan syariah di Indonesia adalah didasarkan pada
ketentuan syariat Islam yang mengatur berbagai sisi kehidupan masyarakat muslim
termasuk di bidang perekonomian dan perbankan. Tujuan utama Syari’at diturunkan
adalah untuk kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kemafsadatan (kerusakan), syari’at menetapkan ada lima kebutuhan pokok manusia yang harus dilindungi oleh
hukum, yaitu;18 agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan, sehingga Allah SWT
menjadikan risalah Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamiin
sebagaimana tercermin dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya; “Tidaklah kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat bagi seru sekalian alam”.
Dengan demikian, dapat dipahami Bank Syariah adalah “Bank yang
penentuan harga produknya berdasarkan perjanjian yang berlandaskan aturan hukum
Islam antara bank dan pihak lain (nasabahnya) untuk menyimpan dana atau
penyaluran dana (pembiayaan) usaha atau kegiatan perbankan lainnya.19
Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian.20 Ditinjau dari Hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan
suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih
berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan kata lain akad adalah perikatan
18Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm 35.
antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak.21
Dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 1, Allah SWT. berfirman yang
menyatakan ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”22 Ahli pentafsir Al-Quran menjelaskan, bahwa makna aqad dalam firman Allah SWT.
tersebut diatas adalah “Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba
kepada Allah, dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan
sesamanya.”23
Berdasarkan firman Allah SWT. tersebut di atas, syariat Islam menetapkan,
bahwa setiap manusia diminta untuk memenuhi aqadnya atau janjinya. Istilah al-aqdu, atau yang dalam literatur Indonesia dikenal dengan istilah aqad, makna dan esensi dasarnya dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata. ”Istilah verbintenis yang dalam bahasa Belanda berarti mengadakan perjanjian.”24 Sedangkan istilah aqad menurut Atabik Ali dan A.Zuhdi Muhdlor dalam bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu: “...dari akar kata
`aqada, yang berarti mengikat, menyimpulkan, dan menggabungkan.”25 Kemudian kata `aqadasebagai kata kerja berubah menjadi kata benda, dan disebut dengan lafal
al-aqdu. “al `aqdu artinya adalah persepakatan, perjanjian, atau kontrak.”26 Selanjutnya para ahli fiqh memberikan rumusan pengertian aqad sebagai
berikut ”Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan defenisi akad sebagai
21
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi,Pengantar Fiqh Muamalat, Cetakan Pertama Edisi Kedua, Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997, hlm. 28.
22Al-Quran Dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Jakarta, 1971,
hlm.156.
23Ibid.
24Yan Pramadya Puspa,
Op.Cit,hlm.861.
25Atabik Ali dan A.Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Multi Karya Grafika,
Jogyakarta, 1998, hlm.1305.
pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan olehsyara` yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.”27
Pengertian akad atau perjanjian menjelskan bahwa dalam hukum perikatan
Islam titik tolak yang menjadi essensi dasar terjadinya suatu perikatan adalah adanya
unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam setiap transaksi. Karena apabila dua janji antara
para pihak telah disepakati, kemudian dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka
terjadilahaqdu (perikatan). Berdasarkan essensi dasar ini, maka dapat dilihat, bahwa kesepakatan kedua belah pihak yang ada dalam ijab dan kabul adalah menjadi syarat
utama sahnya suatu perjanjian.
Selanjutnya akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan
atau simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy). Kamus Al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak dan perjanjian.28 M. Hasballah Thaib mengatakan secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan perimaan ikatan) sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada objek
perikatan.29
Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan
atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak
atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya.30 Subhi Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau hubungan di antaraijab
danqabulyang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakkan.31
27Gemala Dewi dkk,Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.45-46. 28Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah,
Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 1. Juli 2009. Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub. al-Qamus al-Muhit, jilid 1. Beirut : D Jayl, hlm. 327.
29
M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqh Islam dan Praktek di Bank Sistem Syari’ah, PPS, USU, Medan, 2005, hlm. 1.
30
Sementara itu, pengertian akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu
perikatan antaraijabdankabuldengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan akibat-akibat hukum. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, dan kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.32 Dalam hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian,
keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai
pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut syara’ yang tampak akibat hukumnya pada obyeknya.33 Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak merupakan
kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih
melalui ijab dan qabul yang memiliki ikatan hukum bagi semua pihak yang terlibat
untuk melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan tersebut.
Sehubungan dengan pengertian Hukum Kontrak dalam literatur Ilmu Hukum,
terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah
”Hukum Perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur
transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah ”Hukum Perutangan”,
”Hukum Perjanjian” ataupun ”Hukum Kontrak”. Masing-masing istilah tersebut
mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan lainnya.34Istilah hukum perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi mengakibatkan adanya konsekuensi yang
berupa suatu peristiwa tuntut-menuntut.35
32
Ahmad Azhar Basyir,Azas-azas Hukum Muamalah, UII Press, Yogyakarta, 2004 hlm. 34.
33
Syamsul Anwar, Kontrak dalam Islam, makalah disampaikan pada Pelatihan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Agama. Kerjasama Mahkamah Agung RI Dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2006 hlm.7.
34
Gemala Dewi dkk Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 1.
35Bandingkan dengan pengertian perikatan menurut Subekti yaitu, suatu pehubungan hukum
Lebih lanjut M. Hasballah Thaib mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya
aqad harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak yang artinya bahwa seluruh
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak
sejalan dengan hukum syara’ dan akibat dari aqad tersebut terjadi perpindahan
kepemilikan dar suatu pihak (yang yang melakukan hijab) kepada pihak lain (yang
menyatakan qabul).36
Hasballah Thaib merumuskan, bahwa ada 8 syarat umum yang harus dipenuhi
oleh suatu akad yang dilakukan oleh para pihak. Adapun syarat – umum suatu akad
itu ialah :
1) Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf).
2) Obyek akad itu diakui oleh syara`.
3) Akad itu tidak dilarang olehnash(ayat atau hadis)syara’.
4) Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu.
5) Akad itu bermanfaat.
6) Pernyataan ijab tetap utuh sampai terjadinya kabul. 7) Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis. 8) Tujuan akad itu harus jelas diakui olehsyara`.37
Sedangkan Gemala Dewi dkk dalam bukunya menyimpulkan, bahwa ada tiga
unsur pokok yang harus ada dalam suatu aqad atau perjanjian yaitu:38 a) Pertalian ijab dan qabul.
b) Dibenarkan olehsyara`.
c) Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya.
Dari pengertian dan penjelasan tersebut jelaslah bahwa dalam melaksanakan
aqad tersebut tidak terlepas dari adanya rukun aqad yang terdiri atas (1) Pernyataan
36M. Hasballah Thaib,Op.Cit., hlm.1. 37Ibid.hlm.11-12.
untuk mengikatkan diri (sighat al ‘aqad), (2) Pihak-pihak yang beraqad ( al-muta’aqidain) dan (3) Objek aqad (al-ma’qud ‘alaihi).39Sighat al ‘aqad merupakan rukun akad yang terpenting dan paling esensial, karena melalui pernyataan inilah
diketahui suatu maksud setiap pihak melakukan akad yang diwujudkan melalui ijab
kabul.
Selanjutnya apabila dikaitkan dengan pembiayaan yang dijalankan
oleh Bank Syariah dapat diketahui bahwa akad pembiayaan tersebut termasuk dalam
bentuk kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang
berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Sesuai dengan sifatnya berdasarkan Syariah, maka
produk-produk Bank Syariah tidak sama dengan produk-produk-produk-produk Bank Konvesional,
walaupun beberapa produk harus diakui mengadopsi produk bank konvensional yang
dicari landasan hukumnya dalam sumber hukum Islam.
Sedangkan penentuan biaya-biaya jasa bank lainnya bagi bank yang
berdasarkan prinsip syari’ah juga sesuai dengan syari’ah Islam. Sumber penentuan
harga atau pelaksanaan kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah juga sesuai dengan
prinsip syariah dasar hukumnya adalah Alquran, dan Sunnah Rasul. Bank
berdasarkan prinsip syari’ah bunga adalah Riba.40
39Ibid. hlm 2.
Mandala Manurung dan Prathama Rahardja mengemukakan bahwa terdapat
tiga prinsip pokok perbankan syariah yaitu:
1. Orientasi Produktivitas
Beberapa aspek yang tercakup dalam prinsip ini adalah:
a) Modal dan sumber daya dikerahkan untuk produksi dan distribusi yang menghasilkan kesejahteraan.
b) Tidak diperkaankan adanya modal dan sumber daya yang tidak terpakai; Dari aspek-aspek di atas dapat dikatakan bahwa lembaga keuangan syariah sekalipun berorientasi kesejahteraan, namun tidak mempermasalahkan motivasi memperoleh laba.
2. Keadilan.
Dalam rangka keadilan, maka penerapan bunga diharamkan. Sedangkan investasi dilakukan dengan prinsip berbagi resiko. Kesucian dari kontrak/akad harus terjaga, dimana transparansi dan keterbukaan antara kedua belah pihak sangat penting untuk mengurangi resiko akibat informasi yang tidak sama dan kecurangan–kecurangan(moral hazard).
3. Investasi yang halal.
Tidak diperbolehkan melakukan investasi disektor-sektor yang diharamkam seperti : minuman keras, perjudian, pelacuran, dan lain-lain juga tidak diperbolehkan investasi untuk kegiatan spekulasi.41
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa seperti halnya pada bank
Konvensional, bank syari’ah dalam menjalankan operasionalnya juga
melakukan berbagai bidang usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Demikian
juga dalam menyalurkan dana kepada masyarakat yang dilakukan dalam
bentuk pembiayaan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian yang dikenal dengan
akad.
Salah satu dari produk penyaluran dana pembiayaan oleh bank syrai’ah yang
diwujudkan dalam bentuk akad adalah istishna’. Istishna merupakan transaksi jual
beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan
kesepakatan.42 Landasan Syari’ah dari akad istishna adalah Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 282 yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman jika kalian berhutang dengan sebuah hutang dengan waktu yang telah di tentukan, maka
tuliskanlah hutang tersebut…”. Sedangkan dari Hadits didasarkan pada yang artinya
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf) dan salah satu hadits lainnya yang artinya “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al- Khudri).43 Produk pembiayaan ini diantaranya adalah pembiayaan jual- beli Istishna. Beberapa pengertianIstishnaantara lain:
1. Istishna menurut Fiqh adalah jual beli dalam bentuk pemesanan, pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (pembeli) dan penjual (Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
06/DSN-MUI/IV/2000).
2. Istishna menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan, pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan (PBI
Nomor 7/46 pasal 1 butir 9).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwaBai’ Istishnaadalah transaksi jual beli dengan pesanan, dimana pihak pembeli memesan suatu barang kepada pihak penjual
untuk dibuatkan baginya, dan mengenai pembayarannya dapat dilakukan dimuka
sekaligus, bertahap sesuai dengan progress pengerjaan, atau malah dicicil dalam jangka panjang, semua dapat diatur sesuai dengan perjanjian.
2. Konsepsi
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang
akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindari
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau
definisi operasional sebagai berikut :
1. Akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan perimaan ikatan) sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada
objek perikatan.44
2. Pembiayaan adalah suatu bentuk perjanjian penyediaan dana yang didasarkan
pada ekonomi Islam (prinsip syariah), yang salah satu prinsipnya
melarang/mengharamkan adanya riba (bunga) apa pun bentuknya.
3. Istisnna adalah Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
berdasarkan persyaratan serta kriteria tertentu, sedangkan pola pembayaran
dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan (dapat dilakukan di depan atau
pada saat pengiriman barang).45
4. Bank Syari’ah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”.46
5. Bank BRI Syari’ah adalah salah satu bank umum yang menjalankan usaha
Syari’ah.
G. Metode Penelitian
Penelitian menurut Ronny Hanitijo Soemitro, penelitian merupakan kegiatan
yang menggunakan penalaran empirik dan atau non empirik dan memenuhi
persyaratan metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan.47
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini melakukan analisis secara sistimatis sehingga dapat lebih mudah
untuk difahami dan disimpulkan. Biasanya, penelitian deskriptif seperti ini
menggunakan metode survei.48 Dikatakan deskriptif, maksudnya dari penelitian ini
diharapkan dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistimatik mengenai
pembiayaan pada bank syariah. Sedangkan analisis dilakukan terhadap berbagai
45
Bank Indonesia, Istilah Populer Perbankan Syariah www.bi.go.id, Diakses September 2011
46Pasal 1 angka 7, Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
47Ronny Hanitijo Soemitro,Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 2. 48
aspek hukum yang mengatur tentang Akad Pembiayaan Istishna’ pada Bank Rakyat
Indonesia Syari’ah Cabang Binjai.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian
dengan metode penulisan dengan pendekatan pendekatan yuridis empiris untuk
menganalisa berbagai peraturan tentang pembiayaan berdasarkan bagi hasil pada
bank syariah, sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalisis hukum
yang dilihat dari perilaku masyarakat dalam kehidupan masyarakat, selalu
berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan. Berbagai temuan dari
lapangan yang bersifat individual, kelompok yang akan dijadikan bahan utama dalam
mengungkapkan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada ketentuan yang
normatif.
3. Sumber data
Jenis sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sumbernya dengan
melakukan penelitian lapangan (field research) melalui wawancara guna akurasi
terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yaitu wawancara langsung dengan nasabah
dan pejabat Bank Rakyat Indonesia Syari‘ah Cabang Binjai yang dalam penelitian ini
Sumber-sumber data dalam penelitian ini juga difokuskan pada data
kepustakaan mengingat penelitian yang dilakukan merupakan penelitian normatif.
Sumber data kepustakaan diperoleh dari :
a) Bahan hukum primer yang bersifat mengikat terdiri dari :
1) Norma atau kaidah dasar
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
4) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perbankan syariah.
5) Aqad pembiayaan musyarakah pada Bank Rakyat Indonesia Syari‘ah
Cabang Binjai
b) Bahan hukum sekunder, antara lain buku yang membahas tentang bank
syariah, akad/perjanjian, pembiayaan dengan sistim bagi hasil dan akad
pembiayaan Istishna pada bank syariah serta asil-hasil penelitian,
laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang
relevan dengan penelitian ini.
c) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan
sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah serta
ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang
berhubungan dengan objek telah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya. Di samping itu, juga dilakukan
penelitian lapangan (Field Research), dilakukan untuk memperoleh data primer, dengan cara wawancara para responden dan informan dalam penelitian ini.
5. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka
alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
perikatan dalam Islam, bank syari’ah dan pembiayaan syari’ah yang
merupakan dokumen sebagai sumber informasi secara teori.
b. Wawancara49 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide)50. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan
49Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
50
dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview).
5. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara
kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. Analisis data kualitatif
adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa
yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang
nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.51
Pengertian di analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan
penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara
berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan-laporan
penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara
perspektif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti.52 Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.