• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA DI PERANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA DI PERANAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA

PERANAN RAPI SEBAGAI INSTRUMEN MEDIA

KOMUNIKASI BENCANA (STUDI KASUS: RAPI SLEMAN

SAAT BENCANA ERUPSI MERAPI 2010)

PROPOSAL TESIS

DIAN PUSPITA

120120203007

SEKOLAH KAJIAN PERTAHANAN DAN STRATEGI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BENCANA

UNTUK KEAMANAN NASIONAL

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Posisi geografis Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia (Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik) serta karakteristik dan kepadatan populasi di Indonesia menyebabkan Indonesia terpapar oleh berbagai ancaman bencana baik alam maupun non-alam yang tinggi. Oleh karena itu, kesiapan menghadapi bencana perlu dimiliki oleh Indonesia. Terlebih lagi, dalam beberapa dasawarsa terakhir tren bencana di dunia terus meningkat, tak terkecuali Indonesia. Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI), terdapat 11.910 kejadian bencana di Indonesia selama 1815-2011 yang menyebabkan 329.585 jiwa meninggal dan hilang serta lebih dari 15,8 juta jiwa mengungsi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah menyusun dan mengeluarkan buku Indeks Kerawanan Bencana Indonesia pada tahun 2011 yang berisikan tentang informasi tingkat kerawanan bencana tiap-tiap kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan identifikasi kerawanan tersebut, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang memiliki kelas kerawanan yang tinggi yakni peringkat ke-18 dari seluruh provinsi di Indonesia. Dalam administrasi Yogyakarta sendiri, Sleman merupakan kabupaten paling rawan dengan menempati peringkat ke-7 se-Indonesia dalam hazard bencana letusan gunungapi.

(3)

(2011), tercatat aktivitas letusan Merapi terjadi dari 3000 – 250 tahun yang lalu hingga letusan tearkhir pada 2010 yang lalu. Letusan yang terjadi pada 2010 ini merupakan letusan yang terbesar sejak 1872.

Tabel 1.1 Sejarah Letusan Gunung Merapi

Tahun Keterangan

3000 – 250 tahun yang

lalu 33 kali letusan, di antaranya merupakan letusan besar 1768, 1822, 1849,

1872 (abad 19), dan 1930 – 1931 (abad 20)

Terjadi beberapa letusan, pada abad ke-20 minimal 28 letusan, letusan terbesar pada tahun 1931.

2010 Peningkatan aktivitas mulai terlihat pada September 2010, dan pada 20 September Merapi menaikan statusnya menjadi “Waspada”. Kenaikan status berdasarkan penigkatan aktivitas seismik, yaitu gempa fase banyak dengan 38 kejadian/hari, Gempa Vulkanik 11 kejadian/hari, dan Gempa Guguran 3 kejadian/hari.

21 Oktober satus Merapi menjadi “Siaga” Kenaikan status berdasarkan penigkatan aktivitas seismik, yaitu gempa fase banyak dengan 150 kejadian/hari, Gempa Vulkanik 17 kejadian/ hari.

25 Oktober, status merapi menjadi “Awas”. dengan kondisi akan segera meletus, Kenaikan status berdasarkan penigkatan aktivitas seismik, yaitu gempa fase banyak dengan 588

kejadian/hari, Gempa Vulkanik 80pa vulkanik, 194 kejadian/hari Gempa guguran, dengan laju deformasi 42cm/hari. Radius aman ditetapkan di luar 10 km dari puncak Merapi

Pada 26 Oktober, pukul 17:02 terjadi letusan pertama, Letusan bersifat ekplosif disertai dengan awan panas dan dentuman. 3 November, terjadi rentetan awan panas yang dimulai pukul 11:11 WIB.

3-4 November, menunjukan proses pertumbuhan kubah lava yang mencapai volume 3.5 juta m3 . 5 November, terjadi

penghancuran kubah lava yang menghasilkan awan panas hingga 15 km dari puncak ke kali Gendol.

13 November, intensitas erupsi menurun, dan radius aman juga dirubah yaitu Sleman 20 km, magelang 15 km, Boyolali 5 km, dan klaten 10 km.

3 Desember pukul 09:00 WIB, status aktivitas G.Merapi diturunkan dari”AWAS” menjadi ”SIAGA”.

Ancaman berikutnya adalah lahar hujan produk erupsi Merapi yang mencapai 150 juta m3. Sekitar 35% produk letusan G,

Merapi tersebut masuk ke K.Gendol berupa aliran piroklasik dan sisanya tersebar di sungai-sungai lainnya yang berhulu di lereng G. Merapi, seperti Kali Wiro, Kali Senowo, Kali Trising dan Kali Apu. Setelah Erupsi pertama tanggal 26 Oktober hingga kini apa bila terjadi hujan di puncak G. Merapi, terjadi banjir lahar di sungai yang berhulu di G.Merapi.

(4)

Pasca ditetapkannya status Merapi pada 25 Oktober 2010 menjadi AWAS, erupsi terjadi pada hari berikutnya yakni 26 Oktober 2010. Erupsi tersebut menyebabkan 44 orang meninggal dunia dan ribuan orang harus mengungsi dari kediamannya yang ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sejak tanggal 26 Oktober – 4 November Merapi terus memuntahkan awan panas dan lahar dingin dengan luasan zona bahaya berada di 10 km dari puncak Merapi. Berdasarkan Laporan Tanggap Darurat Merapi Yogyakarta 2010, pengungsi tersebar di beberapa titik, terbagi ke dalam 4 kabupaten di 2 provinsi, yaitu Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan jumlah pengungsi terbesar terdapat di Kabupaten Sleman.

1. Kabupaten Sleman, Yogyakarta – jumlah pengungsi sejumlah 13.626 jiwa tersebar di 7 titik pengungsian

2. Kabupaten Magelang, Jawa Tengah – jumlah pengunsi 34.190 jiwa yang tersebar di 58 titik pengungsian

3. Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah – jumlah pengungsi 900 jiwa yang tersebar di 20 titik pengungsian

4. Kabupaten Klaten, Jawa Tengah – jumlah pengungsi 4.677 jiwa yang tersebar di 4 titik pengungsian

(5)

Masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang paling utama dalam menghadapi bencana. Hal ini dikarenakan masyarakat dapat berperan sebagai pelaku dan korban jika terjadi bencana. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana sangatlah penting. Hal ini terkait dengan kunci penting dalam manajemen kebencanaan yaitu pendekatan M to M, artinya pendekatan yang berhulu (awal) dari manusia dan berakhir (hilir) manusia pula (Ma’arif, 2011). Pendekatan ini merupakan akar inspirasi pelibatan masyarakat dalam pengurangan bencana dengan konsep yang disebut community based disaster risk reduction (PRBBK) atau pengurangan bencana berbasis komunitas (PRBBK).

Peranan masyarakat dalam penanggulangan bencana tertuang dalam UU 24 Tahun 2007. Dalam Pasal 1 ayat 21 dijelaskan bahwa kegiatan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab setiap orang yang berkaitan dengan bencana, “Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum”. Dengan demikian, peran komunitas dalam masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam keberhasilan penanggulangan bencana. Terlebih lagi, kebijakan penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran dari yang bersifat top-down menjadi bottom-up.

(6)

1. Menunjang program Pemerintah dalam pembangunan Nasional, membantu memelihara keamanan Negara, ketertiban masyarakat serta membina penggunaan Perangakat Komunikasi Radio Antar Penduduk.

2. Membantu Pemerintah dalam bantuan komunikasi cadangan dan menyelenggarakan bantuan komunikasi radio dalam hal penanggulangan bencana alam, marabahaya, wabah penyakit, serta bantuan komunikasi lainnya.

3. Membantu pemerintah, organisasi, dan masyarakat yang membutuhkan bantuan komunikasi radio pada kegiatan sosial serta bantuan teknis komunikasi.

4. Membina ketaatan anggota terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Organisasi.

5. Membina anggota dalam hal berkomunikasi radio dengan baik, benar, dan bertanggungjawab.

6. Meningkatkan keterampilan anggota dalam memberikan bantuan komunikasi radio dan pengabdian masyarakat luas.

7. Meningkatkan kualitas sumber daya anggota terutama dalam hal kepemimpinan dan manajemen organisasi serta operasi penanggulangan bencana.

8. Meningkatkan sarana dan prasarana untuk kemudahan berkomunikasi anggota.

(7)

lokasi bencana sehingga sumberdaya yang ada dapat dimobilisasi sesuai dengan kebutuhan di lokasi bencana. Berdasarkan Perka BNPB no 10 Tahun 2008 mengenai Komando Tanggap Darurat Bencana, informasi awal kejadian bencana diperoleh melalui sumber antara lain pelaporan, media massa, instansi/lembaga terkait, masyarakat, internet, dan informasi lain yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, RAPI dapat bertindak sebagai salah satu sumber informasi kejadian bencana yang berasal dari masyarakat.

Peranan RAPI saat tanggap darurat bencana terlihat dari studi kasus terdahulu yakni pada bencana tsunami Aceh Desember 2004. RAPI dengan potensi sumberdaya yang dimilikinya, dengan ketentuan pemerintah dan tujuan pendirian organisasi, memberikan kontribusi dan peran dalam bantuan komunikasi radio. Saat terjadi tsunami di Aceh, semua sistem dan sarana telekomunikasi dan sumberdaya listrik di kota Banda Aceh rusak dan tidak berfungsi. Kemudian seorang anggota RAPI, JZ 01 BKO, dengan perangkat KRAP-nya terus mengkomunikasikan data dan informasi terkini saat tanggap darurat bencana kepada posko RAPI, sehingga dapat dilakukan respons yang tepat saat tanggap darurat bencana (www.rapi.or.id).

(8)

dan pascabencana dilihat dari perspektif pengurangan risiko bencana berbasis komunitas.

1.2 Perumusan Masalah

Susunan organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) bersifat bertingkat yang terdiri atas (1) Organisasi RAPI tingkat Nasional disebut RAPI Nasional; (2) Organisasi RAPI tingkat Provinsi disebut RAPI Provinsi; (3) Organisasi RAPI tingkat Kab/Kota disebut RAPI Kabupaten/Kota; (4) Organisasi RAPI tingkat Kecamatan/Distrik disebut RAPI Kecamatan/Distrik. Kegiatan Organisasi RAPI diselenggarakan dari level distrik hingga pusat dengan mengadakan musyawarah dari level lokal hingga nasional. Sedangkan anggota RAPI terdapat di seluruh provinsi di Indonesia, tidak terkecuali Kabupaten Sleman.

Saat terjadi bencana erupsi Merapi 2010, terdapat kerusakan perangkat IT di Yogyakarta, di antaranya:

Tabel 1.2 Kerusakan Perangkat IT No Jenis Perangkat/

3 Freq Freq Bayu, Praja, Buah

3 Perangkat link repeater radio komunikasi

3 Freq Freq Bayu, Praja, Buah

4 Perangkat sirine tanda

(9)

dan hotspot area Hargobinangun,

Umbulharjo, Glagaharjo

7 Perangkat online lokasi dan hotspot area

9 Lokasi SD Tarakanita Tritis, Barak Purwobinangun, SD

Glagaharjo, Barak Glagaharjo, Elemen komunitas

Sumber: Laporan tanggap darurat bencana Kabupaten Sleman 2010 dalam Haris

Berdasarkan data pada tabel 2, dapat dilihat bahwa beberapa alat sistem peringatan dini serta radio komunikasi mengalami kerusakan. Dengan demikian, arus komunikasi dan informasi selama bencana dapat terganggu. Terlebih lagi, berdasarkan data sebelumnya yang menyebutkan bahwa terdapat banyaknya korban mengungsi di Kabupaten Sleman (13.626 jiwa yang tersebar di 7 titik pengungsian). Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dihasilkan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimanakah peranan RAPI dalam masa pra-bencana, tanggap, dan pasca-bencana erupsi Merapi 2010?

2. Bagaimanakah peranan RAPI dalam implementasi PRBBK studi kasus Sleman, Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya, maka terdapat tiga tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini:

1. Menjelaskan peranan RAPI sebagai instrumen media informasi bencana pada saat pra-bencana, tanggap darurat, dan pasca-bencana studi kasus erupsi Merapi 2010.

2. Menjelaskan implementasi RAPI dalam PRBBK.

(10)

Secara teoritis, manfaat dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan implementasi PRBBK dalam RAPI sebagai organisasi kemasyarakatan yang efektif dalam penanggulangan bencana. Sedangkan secara praktis, berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat signifikansi peranan RAPI dalam manajemen bencana sehingga dapat menjadi salah satu masukan kebijakan dalam implementasi PRBBK di Indonesia.

1.5 Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan dilakukan dengan batasan masalah sebagai berikut:

1. Analisis mengenai peranan RAPI dalam fase pra-bencana, tanggap darurat, dan pasca- bencana.

(11)

1.6 Kerangka Penelitian

Skema di bawah ini menjelaskan garis besar (kerangka) struktur penelitian yang memberikan gambaran utuh penelitian ini dan hubungan antara tiap unsur penelitian.

“Peranan RAPI Sebagai Media Informasi Bencana, Studi Kasus RAPI Yogyakarta Dalam Erupsi Merapi 2010”

1.Apakah peranan RAPI sebagai instrumen media informasi bencana pada saat prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana?

2.Bagaimanakah implementasi PRBBK dalam RAPI?

1. Menjelaskan peranan RAPI sebagai instrumen media informasi bencana.

2. Menjelaskan implementasi PRBBK dalam RAPI

Level Pemerintah BPBD Kab Sleman

Level Masyarakat

Metode kualitatif:

Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam ke komunitas, masyarakat dan para pemangku kebijakan penanggulangan bencana.

Bab 1 Pengenalan terhadap permasalahan dan konteks penelitian

Bab 2 Tinjauan teori, konsep, dan kerangka pemikiran Bab 3 Metode penelitian

Bab 4 Analisis hasil penelitian dan pembahasan Bab 5 Kesimpulan dan saran

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Media Informasi dan Komunikasi Dalam Bencana 2.1.1 Peranan Penting Komunikasi

Komunikasi memiliki peranan penting dalam penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak yang lain. Dalam manajemen bencana, informasi dan komunikasi memiliki peranan penting dalam semua fase bencana. Komunikasi dalam bencana berperan dalam menyampaikan informasi terkait bencana, baik dari fase prabencana, tanggap darurat, sampai fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam informasi dan komunikasi itu sendiri, terdapat enam tahap dalam proses penerimaan informasi (McGuire dalam Coppola: 1968):

1. Keterpaparan terhadap pesan 2. Perhatian terhadap pesan

3. Pemahaman terhadap pendapat dan kesimpulan yang terdapat dalam pesan

4. Menghasilkan pesan 5. Menerima pesan

6. Integrasi informasi (yang memungkinkan adanya ingatan akan pesan yang disampaikan)

(13)

suatu hal), afektif (perasaan seseorang terhadap suatu hal), dan perilaku (perilaku seseorangg terkait suatu hal).

2.1.2 Informasi dan Komunikasi Dalam Manajemen Bencana

Dalam penanggulangan bencana, tujuan utama komunikasi dalam penyebaran informasi terkait dengan bencana adalah untuk meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana. Informasi dan komunikasi berperan penting dalam manajemen bencana, baik pada prabencana, tanggap darurat, maupun pascabencana. Komunikasi mengenai informasi bencana tersebut merupakan proses edukasi publik.

Menurut Copolla & Mallponey (2009), terdapat tiga tujuan utama dalam edukasi publik mengenai informasi kebencanaan, antara lain: 1. Meningkatkan kesadaran publik akan risiko ancaman bencana

2. Memandu atau membuat suatu pedoman publik yang mencakup:

- Pengurangan risiko pada saat prabencana

- Kesiapsiagaan pada saat prabencana

- Tanggap darurat

- Pascabencana yang meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi

3. Peringatan dini kepada publik

Berdasarkan tiga tujuan utama tersebut, dapat dikategorikan peranan informasi dan komunikasi bencana dari tahap mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi-rekonstruksi bencana.

a. Mitigasi bencana

(14)

kesadaran publik mengenai risiko bencana yang mereka hadapi dapat meningkat.

Dengan meningkatnya kesadaran publik tersebut, maka publik atas inisiatifnya sendiri akan melakukan mitigasi bencana, baik secara struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dan/atau mengurangi risiko bencana dengan melakukan penyesuaian pembangunan infrastruktur baik dari segi bangunan, jalan umum, bendungan, jembatan, dll. Sedangkan mitigasi nonstruktural dapat dilakukan dengan penilaian risiko (risk assessment), penilaian kerentanan (vulnerability assessment), ataupun dengan melakukan pemetaan terhadap risiko bencana (risk mapping) yang mereka hadapi. Hasil dari penilaian dan pemetaan tersebut kemudian diinformasikan dan dikomunikasikan kepada masyarakat setempat dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran publik akan risiko yang mereka hadapi.

Meskipun komunikasi yang dilakukan atas upaya mitigasi struktural dan non-struktural dapat dilakukan, upaya-upaya tersebut tidak dapat menjamin peningkatan kesadaran publik. Hal tersebut dikarenakan risiko komunikasi yang muncul yaitu terdapat kesimpangsiuran serta banyaknya komunikator yang berusaha menyampaikan pesan. Oleh karena itu, untuk menghindari rintangan yang sosial dan psikologi yang berat, proses komunikasi harus dilakukan dengan akurat, terpercaya, dan seefektif mungkin (Morgan et al dalam Coppolla).

b. Kesiapsiagaan

(15)

Kesiapsiagaan dapat diupayakan dengan adanya sistem peringatan dini yang baik. Peringatan diumumkan untuk memperingatkan publik tentang perubahan risiko mengenai kemungkinan peningkatan atau terjadinya bencana tertentu. Peringatan dini juga memuat instruksi otoritatif tentang tindakan yang tepat harus diambil segera dalam respon bencana. Sistem peringatan dinin harus dirancang untuk mencapai semua lapisan masyarakat dalam masyarakat, terlepas dari lokasi atau waktu meskipun dalam keadaan bencana. Peringatan dini harus bekerja secara multisistem; bekerja sama dengan berbagai mitra publik, swasta, dan non-pemerintah, untuk meningkatkan kemungkinan sistem mencapai target publik.

c. Tanggap darurat

Coppola (2009) menyatakan bahwa edukasi publik yang dilakukan dalam tanggap darurat merupakan upaya untuk menginformasikan masyarakat akan tindakan-tindakan di tengah-tengah dan setelah peristiwa bahaya. Sebagai contoh, individu diinstruksikan bagaimana mengenali indikator bencana dan tahu apa yang harus mereka lakukan saat terjadi bencana, termasuk cara yang tepat untuk berpartisipasi dalam evakuasi. Kategori pendidikan publik ini juga mencakup langkah-langkah yang memberdayakan masyarakat untuk memberikan layanan tanggapan pertama terhadap keluarga, teman, tetangga, dan diri mereka sendiri.

d. Rehabilitasi-rekonstruksi

(16)

bermaksud untuk memberikan kontribusi dalam membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi (Coppola, 2009).

2.1.3 Faktor Kunci Komunikasi Dalam Manajemen Bencana

Pesan dalam edukasi bencana harus dirancang dalam kerangka yang mengakomodir bermacam-macam cara sehingga target edukasi dapat memperoleh informasi secara umum dan khusus yang berkaitan dengan bahaya dan risiko. Setiap komunitas memiliki criteria yang berbeda yang dipengaruji oleh sarana, budaya, jaringan sosial, dan faktor lainnya. Terdapat tiga faktor yang harus dipertimbangkan cara-cara mencapai target dan cara-cara-cara-cara menyampaikan pesan kepada mereka (Coppola, 2009), yaitu pengaturan (settings), saluran (channels), dan metode (methods).

a. Pengaturan (setting)

Setting adalah faktor pertama yang digunakan komunikator untuk membingkai pesan kesiapsiagaan. Seperti yang tertera pada namanya, setting adalah situasi di mana terjadi komunikasi. Ada tiga faktor yang membedakan setting, yaitu:

1. Waktu (pagi, siang, sore, malam, Senin – Minggu, musim dingin, musim panas, dll)

2. Lokasi (rumah, tempat kerja, sekolah, di dalam mobil, dalam transportasi, kantor, pusat komunitas, dll)

3. Situasi (misalnya, selama makan malam, sementara berkumpul dengan teman-teman atau rekan-rekan, saat berbelanja, saat menghadiri pertemuan sekolah, dll)

(17)

ideal. Oleh karena itu, saluran (channel) komunikasi juga harus dipertimbangkan.

b. Saluran (channel)

Channel adalah rute atau mekanisme di mana pesan disampaikan. Dalam setiap kategori channel, komunikator dapat mencapai target audiens melalui banyak sub-channel individu yang berbeda. Lima saluran (channel) pesan utama, dan contoh-contoh sub-saluran dalam setiap kategori, tercantum sebagai berikut:

1. Interpersonal channels 2. Group channels

3. Organizational and community channels 4. Mass media channels

5. Interactive digital media channels c. Metode

Transfer pesan dari komunikator kepada penerima dilakukan melalui satu atau lebih metode. Sebuah metode komunikasi merupakan item yang aktual, tindakan, penghubung, atau peristiwa yang digunakan oleh komunikator untuk menarik perhatian penerima, dan untuk menginformasikan kepada penerima tentang perubahan perilaku yang diperlukan (atau bagaimana untuk mengakses informasi tersebut).

Sama halnya dengan pemilihan setting dan channel, pemilihan metode harus memenuhi pertimbangan akses, kepentingan, dan gaya belajar para penerima informasi. Berdasarkan penggunaan media, berikut ini adalah beberapa metode yang dapat dilakukan untuk komunikasi dan edukasi bencana:

a. Siaran langsung di acara-acara kesiapsiagaan, atau rekaman wawancara

b. Tajuk pada peristiwa kesiapsiagaan

(18)

f. Iklan majalah, artikel, atau pesan g. Editorial Koran

h. Kolom di koran dan majalah i. Siaran pers

j. Konferensi pers k. Pengumuman on-air

Sedangkan menurut media eletronik yang digunakan, berikut ini adalah kelebihan dan kekurangan salah satu media edukasi dan informasi bencana, yaitu radio:

Tabel 2.1 Kelebihan & Kekurangan Radio

Radio

Kelebihan Kekurangan Jangkauan luas.

Dapat disampaikan dengan berbagai format.

Dapat saja biaya rendah atau justru bebas biaya.

Dapat interaktif dengan panggilan masuk.

Penggunaan script dapat memberi kesanbahwa pesan disampaikan secara langsung oleh host radio.

Tepat waktu dan berulang-ulang.

2.2 Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) 2.2.1 Konsep komunitas

Dalam Critical Guidelines: Community Based Disaster Risk Management (ADPC, 2006) diseutkan bahwa komunitas adalah satu terminologi yang dapat memiliki makna yang luas yang meliputi:

(19)

b. Komunitas dapat didefinisikan oleh kesamaan pengalaman, seperti kepentingan kelompok-kelompok tertentu, kelompok etnis, kelompok profesional, kelompok bahasa, kelompok yang terletak di daerah rawan bencana tertentu, dll.

c. Komunitas dapat didefinisikan berdasarkan sektor, seperti komunitas petani, komunitas nelayan, komunitas bisnis, dll.

d. Komunitas dapat digunakan untuk merujuk kepada kelompok yang terdampak oleh bencana dan kelompok yang dapat membantu dalam mitigasi bahaya dan pengurangan kerentanan.

Dalam tujuan PRBBK, sebuah komunitas dapat berarti satu kelompok yang memiliki satu atau lebih hal-hal yang sama, seperti tinggal di lingkungan yang sama, terpapar risiko bencana yang sama, atau terdampak bencana yang sama. Masalah-masalah umum, perhatian, dan harapan berkenaan dengan bencana juga dapat menjadi hal serupa yang dimiliki oleh suatu komunitas. Namun demikian, masing-masing individu yang terdapat dalam komunitas tersebut dapat saja memiliki kerentanan dan kapasitas yang berbeda. Sebagian dapat memiliki kerentanan yang lebih tinggi atau sebagian dapat memiliki kapasitas yang lebih tinggi daripada yang lainnya.

2.2.2 Pelibatan Komunitas Dalam Pengurangan Risiko Bencana

Keterlibatan komunitas sangat penting dalam proses pembangunan karena beberapa pertimbangan praktis berikut (ADPC, 2006):

a. Tidak ada yang mengerti peluang dan hambatan lokal suatu komunitas lebih baik dari diri mereka sendiri. Oleh karena itu mereka perlu dilibatkan dalam identifikasi dan resolusi masalah kerentanan bencana.

(20)

c. Beberapa studi dan penelitian yang berkembang menunjukkan bahwa manajemen risiko dan respon bencana telah gagal mengatasi kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, mengabaikan potensi dan kapasitas sumber daya lokal, dan dalam beberapa kasus justru meningkatkan kerentanan masyarakat. Hal ini berdampak pada tercapainya konsesus global antara praktisi manajemen risiko bencana untuk lebih memberi perhatian pada program manajemen risiko bencana berbasis komunitas. Hal ini berarti bahwa orang-orang yang rentan terhadap risiko akan terlibat aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan langkah-langkah manajemen risiko bencana bersama dengan entitas lokal, provinsi, dan nasional melalui kemitraan.

2.2.3 Aktor-Aktor dalam PRBBK

Dalam PRBBK, terdapat beberapa pemangku kepentingan dan pelaku/aktor. Secara umum, aktor-aktor dalam PRBBK dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu insiders dan outsiders (ADPC, 2006). Istilah insiders merujuk pada individu-individu, organisasi-organisasi, dan pemangku kepentingan yang berada dalam komunitas. Sedangkan istilah outsiders merujuk pada sektor-sektor dan lembaga-lembaga yang berada di luar komunitas dan ingin mengurangi kerentanan serta meningkatkan kapasitas suatu komunitas dalam manajemen risiko bencana.

(21)

nelayan, buruh, pemuda dan individu lainnya dengan kebutuhan khusus. Dalam rangka membangun hubungan kerja, CDRMO harus mengakui perbedaan persepsi, kepentingan dan metodologi, serta memfasilitasi konsensus tentang target, strategi dan metodologi antara berbagai pemangku kepentingan di masyarakat.

(22)

Gambar 2.1 Pemangku Kepentingan dan Aktor Dalam PRBBK

Sumber: ADPC, 2010

2.2.4 Prinsip-Prinsip PRBBK

Para praktisi dan pejabat harus menentukan prinsip-prinsip untuk memandu aksi-aksi mereka. Prinsip-prinsip tersebut menyediakan kerangka kerja untuk perencanaan dan aksi sehingga jika kondisi yang dihadapi berbeda dari yang tersirat oleh indikator, maka mereka dapat menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk merancang alat mereka sendiri untuk PRBBK. Prinsip-prinsip berikut adalah asas yang terdapat dalam Kode Etik PRBBK (ADPC, 2006):

Level 1. Etika, Prinsip nilai ini berhubungan dengan dasar keyakinan/kepercayaan bersama dan kepentingan organisasi serta mandate pelaksanaan PRBBK. Secara metafor, prinsip level 1 diibaratkan dengan etika produksi pangan. Prinsip-prinsip yang terdapat dalaml level ini meliputi prinsip memperhatikan hak dasar, penyebaran informasi mengenai risiko, penyebaran informasi penilaian risiko, dan kolaborasi.

(23)

diibaratkan dengan panduan gizi dalam konsumsi pangan. Prinsip-prinsip pada level ini meliputi Prinsip-prinsip pertimbangan strategis, kepercayaan vs pengendalian, serta memperhatikan komitmen dan kompetensi staf/pegawai.

Level 3 Prinsip Taktis. Prinsip ini berhubungan dengan tindakan praktis dari prinsip-prinsip strategis. Secara metaphor, level 3 dapat diibaratkan sebagai buku resep masakan. Melalui buku resep ini didapatkan panduan bagaimana untuk mengadopsi strategi yang disepakati dengan pertimbangan staf atau implikasi keuangan, dll. Prinsip-prinsip pada level ini meliputi prinsip pertimbangan taktis, data dasar, pengukuran indikator terukur dan indikator non-terukur, pengukuran persyaratan minimum, indikator yang relevan, perbaharuan indikator dalam konteks perubahan yang dinamis, serta pengarusutamaan pengurangan risiko bencana.

Level 4 Prinsip Implementasi. Prinsip ini berkenaan dengan semua level sebelumnya: nilai etika, strategi, dan taktis. Secara metaphor, level 4 dapat diibaratkan seperti menikmati makanan di sebuah restoran, lalu memberikan pujian kepada juru masak atau memberikan keluhan sebagai evaluasi. Tindakan ini merupakan tindakan monitoring dan evaluasi. Prinsip-prinsip yang terdapat pada level ini meliputi indikator adaptasi budaya dan efek samping.

Gambar 2.2 Piramida prinsip-prinsip PRBBK

(24)

2.2.5 Indikator Hasil PRBBK

Setelah melakukan tahapan proses PRBBK, maka diperoleh beberapa indikator hasil dari terselenggaranya PRBBK (ADPC, 2006):

1. Community Based Organization (CBO)

Tujuan CBO adalah untuk membangun, meningkatkan, mempertahankan mekanisme organisasi pada level komunitas untuk mengimplementasikan kegiatan PRBBK. CBO terdiri dari masyarakat lokal di tingkat komunitas. Indikator kunci untuk efektivitas CBO meliputi:

a. Pemimpin yang sah

b. Kelompok yang teridentifikasi

c. Kelompok teridentifikasi dan peran yang luas 2. Community Disaster Risk Reduction Fund

Tujuan dari CDRRF adalah untuk memastikan ketersediaan sumber daya untuk pelaksanaan PRBBK dan langkah-langkah kesiapsiagaan. Sedangkan indikator kunci untuk efektivitas CDRRF meliputi:

a. Mekanisme pendanaan lokal b. Pendanaan dimobilisasi oleh CBO c. CBO mengelola rekening

d. Kriteria untuk alokasi dana telah disepakati e. Staf dilatih mengenai pengelolaan keuangan f. Laporan dari kontribusi anggota komunitas g. Laporan kontribusi dari sumber lain

h. Kriteria yang disepakati untuk pencairan dana untuk orang-orang yang rentan.

3. Community Hazard, Vulnerability, Capacity Map (HVCM)

Tujuan dari Community Hazard, Vulnerability, Capacity Map ini adalah membentuk dasar untuk pelaksanaan PRBBK dan pembelajaran masyarakat. Indikator kunci untuk efektivitas aspek ini meliputi:

(25)

b. Identifikasi risiko kelompok rentan

c. Tingkat kemiskinan diidentifikasi dan dipetakan.

d. Individu dan keluarga lebih aktif dalam mencari informasi tentang bahaya, kerentanan dan kesiapsiagaan bencana dan pengurangan risiko dari CBO dan otoritas lokal / LSM.

e. Data Penilaian Risiko dipublikasikan 4. Community Disaster Risk Management Plan

CDRMP bertujuan untuk memastikan tindakan kolektif oleh komunitas untuk pengurangan risiko bencana melalui mobilisasi lokal sumber daya. Indikator kunci untuk efektivitas aspek ini meliputi:

a. Penghasilan dari kelompok sasaran meningkat karena pengurangan dan kontrol atas guncangan yang disebabkan oleh bencana.

b. Konsumsi kelompok sasaran pada kegiatan reproduksi meningkat; mis pembelian peralatan mata pencaharian, (mesin bahan baku sapi, kerbau, perahu, traktor)

c. Konsumsi kelompok sasaran pada fasilitas hidup dan kebutuhan meningkat; mis pakaian, transportasi, makanan, TV, kulkas, kipas angin, dan lain-lain.

d. Konsumsi kelompok sasaran pada pendidikan anak dan kesehatan keluarga meningkat.

5. CBO Training System

Sistem pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan organisasi dari organisasi kemasyarakatan dan komite PRBBK pada pertolongan pertama, pencarian dan penyelamatan, manajemen evakuasi, manajemen operasi bantuan darurat dan manajemen penampungan, penilaian kerusakan dan kebutuhan, dan rekonstruksi. Indikator kunci efektivitas meliputi:

a. Pembangunan pusat pelatihan PRBBK b. Terdapat staf

(26)

d. Laporan pelatihan

e. Salinan manual pelatihan

f. Salinan jadwal pelatihan masyarakat g. Laporan survei masyarakat

h. Kurikulum program pelatihan 6. Community Drill System

Tujuan dari hasil ini adalah untuk memastikan kesiapan komunitas untuk melakukan respon bencana. Indikator efektivitas meliputi:

a. Kerjasama yang lebih pada level keluarga dan komunitas untuk saling membantu saat respon bencana.

b. Orang-orang mengikuti prosedur yang disepakati dan langkah-langkah dalam keadaan darurat.

c. Korban jiwa berkurang karena bantuan tanggap darurat ditingkatkan.

7. Community Learning System

Tujuan dari aspek ini adalah meningkatkan pemahaman individu, keluarga dan komunitas tentang bahaya, bencana, kerentanan, pengurangan risiko dan kesiapsiagaan. Indikator efektivitas meliputi:

a. Kelompok sasaran mengikuti praktik konstruksi ketangguhan terhadap ancaman bencana.

b. Kegiatan ramah lingkungan diadopsi oleh anggota kelompok sasaran.

c. Kelompok sasaran mengikuti praktik menghadapi ancaman. d. Kelompok sasaran telah meningkatkan level pendapatan karena

telah menghindari kerugian yang disebabkan bencana.

e. Kelompok sasaran memiliki keselamatan kesehatan karena praktik-praktik higienis yang lebih baik dalam situasi pasca-bencana.

(27)

8. Community Early Warning System

Tujuan dari sistem peringatan dini berbasis komunitas adalah untuk berkontribusi terhadap keselamatan masyarakat dengan memfasilitasi tindakan pencegahan. Indikator kunci efektivitas meliputi:

a. Individu, anggota keluarga dan komunitas mengambil tindakan pencegahan yang tepat untuk menghindari dampak bencana. b. Kelompok sasaran mempercayakan percaya kepada peran

positif lembaga-lembaga keagamaan dan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan meletakkan peringatan dini dalam tempat ibadah seperti kuil, masjid, gereja, sekolah dll.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan teori pada sub-bab sebelumnya, maka disusun kerangka pemikiran sebagai landasan dan acuan peneliti dalam melakukan studi dengan topik media komunikasi bencana berbasis komunitas

(28)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sumber Data/Subjek/Objek Penelitian

3.1.1 Sumber Data

Sumber-sumber data pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek yang akan diteliti, dan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaaan maupun diperoleh dari lembaga atau institusi tertentu (Suyanto & Sutinah, 2005).

Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam (in depth interview) yang semi-terstruktur dan dilakukan kepada para pejabat dan anggota RAPI Sleman Yogyakarta. Sedangkan data-data sekunder diperoleh dari BPBD Sleman mengenai data-data keterlibatan RAPI pada tanggap darurat Merapi 2010. Data sekunder juga diperoleh dari instansi militer yang terlibat dalam kegiatan tanggap darurat erupsi Merapi 2010 dan masyarakat setempat yang terlibat langsung dalam bencana.

3.1.2 Subjek Penelitian

(29)

3.1.3 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi pemusatan pada kegiatan penelitian, atau dengan kata lain segala sesuatu yang menjadi sasaran penelitian (Sugiyono, 2002). Pada penelitian ini, yang menjadi sasaran atau objek penelitian adalah peranan RAPI dalam tanggap darurat erupsi Merapi 2010 dan implementasi PRBBK dalam RAPI.

3.1.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai peranan RAPI sebagai media informasi bencana pada fase tanggap darurat pada erupsi Merapi 2010 dilakukan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Hal ini diputuskan dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Sleman memiliki kerawanan yang paling tinggi akan risiko erupsi Merapi dan memiliki jumlah pengungsi terbanyak pada saat itu. Sedangkan mengenai waktu penelitian, peneliti akan melakukan penelitian pada September 2013.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, digunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, tindakan, peranan dll, secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan naratif pada suatu konteks khusus yang alamiah. Metode induktif dengan teknik deskriptif-analitik digunakan dalam melihat peranan RAPI Sleman dalam manajemen bencana erupsi Merapi 2010.

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data

(30)

penelitian. Wawancara mendalam ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai peranan RAPI dalam manajemen bencana. Kemudian pengumpulan data sekunder dilakukan melalui dokumen dan data sekunder yang diperoleh dari subjek penelitian lainnya yaitu instansi kebencanaan daerah, BPBD Sleman. Data yang diperoleh kemudian melalui prose validasi dengan triangulasi. Triangulasi dilakukan dengan melibatkan expert judgement, dalam hal ini diwakili oleh BPBD setempat dan instansi militer yang terlibat aktif pada tanggap darurat Merapi 2010. Masyarakat Kabupaten Sleman juga dilibatkan dalam proses triangulasi. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti (Salim, 2001). Pada konteks penelitian, triangulasi dilakukan untuk tujuan mendapat pemahaman mendalam mengenai peranan RAPI dalam bencana erupsi Merapi pada tahun 2010.

3.2.3 Teknik Analisis Data

(31)

Daftar Pustaka

Coppola, Damon P & Erin K Maloney. 2009. Communicating Emergency Preparedness: Strategies for Creating a Disaster Resilient Publik. Boca Raton: CRC Press

ADPC. 2006. Critical Guideline: Community-Based Disaster Risk Management. Bangkok: ADPC

Haris, Fitra. 2011. Tanggap Darurat Bencana (Studi Kasus: Tanggap Darurat Bencana Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman Tahun 2010). Depok: Universitas Indonesia

Murphy, Dennis M. 2006. “The Role of Information and Communication in Disaster Response: An Overview”.

Zapata, Ricardo. 2007. Information on Disaster Risk Management: Case Study of Five Countries, Summary Report. Mexico City: UN & IDB

Nogroho, Kharisma dan Kwan Men Yon. 2011. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Indonesia: Gerakan, Pelembagaan, dan Kelanjutan.

Suprapto, et al. 2012. Baseline Kegunungapian Indonesia. Jakarta: BNPB

Abarquez, Imelda dan Zubair Murshed. Community-Based Risk Management: Field Practicioner’s Handbook. 2004. ADPC: Bangkok

Kurniawan, Lilik et al. 2011. Indeks Rawan Bencana Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengurangan Risiko Bencana BNPB

(32)

Ma’arif, Syamsul. 2011. “Hidup Harmoni Dengan Resiko Bencana”.

Buletin online edisi September-Oktober 2011 diunduh dari

http://bulletin.penataanruang.net pada 12 Januari 2013.

Friis, Malene et al. 2010. Establishing Community Based Early Warning System : Practitioner’s Handbook. Kathmandu: Mercy Corps Nepal

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta

Suyanto, B., & Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Prenada Media

Irawan, Prasetya. 2007. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta

--- . 2013. “Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Kominfo, ORARI, dan RAPI – 2013” diunduh dari www.rapi.or.id pada 1 Juli 2013

---. 2013. “Konsultan Australia Lirik RAPI” diunduh dari

www.atjehpress.com pada 1 Juli 2013

---. 2011. “RAPI Dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana Aceh” diunduh dari www.rapiaceh.com pada 1 Juli 2013

Djuni. 2009. “Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) atau Community Based Disaster Reduction (CBDR)” diunduh dari

www.mpbi.org pada 2 Juli 2013.

---. 2013. “Jambore Radio Antar Penduduk Indonesia” diunduh dari

(33)

Dokumen Resmi:

Undang-Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

Perka BNPB Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat

Perka BNPB Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana

Gambar

Tabel 1.1 Sejarah Letusan Gunung Merapi
Tabel 1.2 Kerusakan Perangkat IT
Gambar 1 Kerangka Penelitian
Tabel 2.1 Kelebihan & Kekurangan Radio
+4

Referensi

Dokumen terkait

perlu mengadakan penelitian : “TANGGAPAN MAS YARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA ERUPSI MERAPI DI DESA KEPUTRAN KECAMATAN KEMALANG KABUPATEN KLATEN”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : peranan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo kurang maximal dalam penanggulangan bencana erupsi gunung Sinabung yang dapat

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menyusun rencana tanggap darurat (Emergency Response Plan) untuk tiap keadaan darurat..

Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan objek dan fenomena yang diteliti yaitu bagaimana peranan perempuan peduli pedila medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : peranan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo kurang maximal dalam penanggulangan bencana erupsi gunung Sinabung yang dapat

Tesis ini membahas tentang Peranan Pustakawan dalam Membangun Perpustakaan Digital di Perpustakaan Bosowa. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui: 1). peranan

Dari hasil penelitian audit sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta sistem tanggap darurat di gedung Fakultas X – Universitas Indonesia ini menggunakan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis seluruh faktor yang terlibat dalam respons pandemi COVID-19 sehingga dapat diambil pelajaran menuju tanggap darurat kesehatan