• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Kepemimpinan Etis dan Relevansin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Kepemimpinan Etis dan Relevansin"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Bangsa kita pernah mengalami pergantian presiden sebanyak tiga kali dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun (1998-2004). Pada masa ini masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap pemimpin. Demonstrasi massa marak diberitakan mengkritisi para pemimpin yang dianggap ‘tidak becus’ dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

Dewasa ini krisis kepercayaan terhadap pemimpin atau para aparat pemerintahan, semakin meningkat. Salah satu indikator penyebabnya adalah kasus suap atau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi di kalangan para pemimpin itu sendiri. Akhir-akhir ini image partai Demokrat, partai yang diayomi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tercoreng oleh beberapa kadernya yang terlibat kasus suap pembangunan wisma atlet Palembang (bdk., “Badai Demokrat (Tak) Pasti Berlalu,” http://www.gatra.com , 20 Juni 2012).

Kasus suap, dan KKN beragam bentuknya dan tidak hanya populer di kalangan pemimpin pemerintahan dan aparat-aparatnya, melainkan telah mewabah sampai di dunia pendidikan. Berita kepala sekolah menyalahgunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk kepentingan pribadi sering bergema di media massa (bdk., “Hargai Proses Hukum Kasus Dana BOS”, http://tribunnews.com, Kamis, 15 Maret 2012). Sementara itu “pungli” (pungutan liar) di sekolah-sekolah semakin marak terjadi. Tes masuk sekolah, akademi bahkan perguruan tinggi, tak jarang dijadikan ajang untuk meraup keuntungan tambahan dari oknum-oknum tertentu (bdk.,”Maraknya Pungli di Sekolah Kemendikbud bentuk Tim Investigasi”, http://www.wartakotalive.com, Rabu, 29 Februari 2012).

Selain masalah KKN, terdapat juga masalah etika-moral, seperti perselingkuhan, tindak kekerasan, narkoba, video porno, dan lain-lain (bdk., “Penghentian Kasus Pornografi, Kritik Keras Hantam BK DPR”, http://www.suarakarya-online.com, Rabu, 13 Juni 2012).

(2)

B. Pembatasan masalah

Di tengah sekelumit persoalan moral yang terjadi di masyarakat, khususnya pemerintah, muncul upaya-upaya konstruktif seperti kebijakan pendidikan karakter bangsa yang diintegrasikan ke dalam kurikulum pembelajaran di sekolah. Persoalannya adalah pendidikan karakter tidak cukup sekedar “diajarkan” secara teori, tetapi perlu didukung oleh contoh atau teladan dari pengajar itu sendiri. Dalam konteks ini, pengambil kebijakan (pemimpin) haruslah terlebih dahulu memberikan teladan, sehingga dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Untuk itu pembahasan dalam tulisan ini mengambil fokus “Kepemimpinan Etis dan Relevansinya Bagi Pendidikan Karakter.”

C. Rumusan masalah

Masalah pokok makalah ini terungkap dari pertanyaan-pertanyaan berikut:

 Apakah model “kepemimpinan etis” itu?

 Bagaimanakah relevansi dari “kepemimpinan etis” untuk pendidikan karakter?

D. Tujuan penulisan

Pembahasan dalam tulisan bertujuan untuk:

 Mendapatkan pemahaman tentang model “kepemimpinan etis”.

(3)

BAB 1

MODEL KEPEMIMPINAN ETIS

1.1. Konsepsi Umum dari “Kepemimpinan Etis”

“Kepemimpinan Etis” terdiri dari dua kata, yakni “kepemimpinan” dan “Etis”. Secara umum “kepemimpinan” dipahami sebagai “kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi dan menuntun seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama.”1 Sedangkan kata “Etis” merupakan bentuk kata sifat dari “Etika”.

Webster’s Student Dictionary merumuskan pengertian “Etika” sebagai “The study and philosophy of human conduct, with emphasis on the determination of right and wrong. The basic principles of right action. A work or treatise on morals”2 (Etika adalah studi dan filsafat

tentang tingkah laku manusia, dengan penekanan pada determinasi benar dan salah. Prinsip dasar dari tindakan yang benar. Suatu tindakan atau risalah moral). Jadi, kepemimpinan etis dapat berarti “kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi dan menuntun seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama dengan menekankan pentingnya nilai-nilai moral”.

Kepemimpinan etis merupakan jenis perilaku kepemimpinan. Sementara pemimpin yang etis menunjuk pada kualitas pribadi pemimpin itu sendiri. Keduanya saling terintegrasi. Kepemimpinan etis menunjukkan pemimpin yang etis. Sebaliknya pemimpin yang etis menunjukkan model kepemimpinan etis. Standar pengukuran atau evaluasi kepemimpinan etis terdapat dalam diri pemimpin itu sendiri. Yukl menyebutkan contoh standar moral yang digunakan untuk mengevaluasi meliputi “batasan di mana perilaku pemimpin melanggar UU dasar masyarakat, menyangkal hak orang lain, membahayakan kesehatan dan kehidupan dari orang lain, atau melibatkan upaya untuk menipu dan mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi”.3

1Bdk., Taty Rosmiati dan Dedy Achmad, “Kepemimpinan Pendidikan”, dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hllm. 125.

2“Ethic”, dalam Webster’s Student Dictionary, (USA: Trident Press International, 1999).

(4)

1.2. Pandangan Para Pakar tentang Kepemimpinan Etis

Pandangan para pakar tentang kepemimpin etis datang dari Burns, Heifets, Greenleaf4

dan Bush5. Intisari pandangan mereka adalah sebagai berikut:

Burns

Burns tidak memberikan definisi eksplisit tentang kepemimpinan etis. Tetapi ia meunjukkan pentingnya suatu fungsi kepemimpinan dalam meningkatkan kesadaran mengenai masalah etis dan membantu orang menyelesaikan nilai-nilai yang berkonflik. Menurutnya kepemimpinan adalah suatu saling meninggikan tingkat moralitas dan motivasi di antara para pemimpin dan pengikutnya. Di pihak pemimpin, idealisme dan nilai moral seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan, kedamaian, humanitarisme, harus terus-menerus ditingkatkan sehingga ketakutan, kerakusan, kecemburuan atau kebencian perlahan-lahan dapat disingkirkan. Sementara di pihak para pengikut, mereka dikembangkan dari keadaan dirinya sehari-hari menjadi diri mereka yang lebih baik.

Heifetz

Heifetz menekankan peran utama pemimpin. Menurutnya pemimpin berperan untuk membantu orang-orang yang dipimpinnya untuk mampu menghadapi konflik dan menemukan cara-cara yang produktif untuk menghadapinya. Seorang pemimpin harus mampu melibatkan pengikutnya dalam menghadapi tantangan, perspektif yang berubah, dan belajar mengenai cara-cara baru untuk bekerja bersama secara efektif.

Greenleaf

Greenleaf menambahkan unsur baru dalam pengertian tentang kepemimpinan etis. Menurutnya salah satu esensi dari kepemimpinan etis adalah “pelayanan”. Pendapatnya ini dilatarbelakangi oleh konsep “kepemimpinan pelayan” yang diusulkannya. Pemimpin pada intinya adalah pelayan yang bertanggungjawab memberikan pelayanan kepada para pengikutnya. Pemimpin membantu para pengikutnya agar menjadi lebih sehat, bijaksana dan lebih bersedia untuk menerima tanggungjawab.

4Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima, (Jakarta: Indeks, 2001), hlm. 481-483.

(5)

Bush

Konsep senada tentang kepemimpinan etis dikemukakan pula oleh Bush. Ia menggunakan istilah “kepemimpinan moral”. Bush berpendapat bahwa kepemimpinan moral adalah suatu model kepemimpinan yang berfokus pada nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan etika. Kepemimpinan moral berdasarkan rasional normatif, yakni berdasarkan pertimbangan benar atau salah atas suatu tindakan yang akan atau telah diambil.

Dari pandangan tentang kepemimpinan etis dari para pakar di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip kepemimpinan etis sebagai berikut: pertama, fungsi kepemimpinan etis adalah meninggikan tingkat moralitas dan motivasi di antara para pemimpin dan pengikutnya. Kedua, kepemimpinan etis berperan membantu orang untuk mampu menghadapi konflik dan menemukan cara-cara yang produktif untuk menghadapinya. Ketiga, esensi dari kepemimpinan etis adalah pelayanan. Dan keempat, kepemimpinan etis berfokus pada nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan etika.

1.3. Integritas Pribadi dan “Kepemimpinan Etis”

Salah satu atribut yang dapat membantu menjelaskan efektivitas kepemimpinan adalah “integritas pribadi” yang secara harafiah berarti keutuhan, kejujuran atau ketulusan hati. Pemimpin yang memiliki integritas pribadi adalah pemimpin yang perilakunya konsisten dengan sekumpulan prinsip moral yang dapat dibenarkan. Indikatornya antara lain “mengikuti peraturan dan standar yang sama yang berlaku bagi orang lain, jujur dan terus terang saat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan, menepati janji dan komitmen, dan mengakui tanggungjawab untuk kesalahan sambil berusaha memperbaiki”.6

Mengukur integritas pribadi seorang pemimpin tidaklah gampang. Sebab, kepribadian merupakan “karakteristik psikologis dan perilaku dari individu yang sifatnya relatif permanen karena telah terbentuk sejak lahir yang membedakannya dengan individu yang lain”. Sementara perilaku merupakan “perwujudan tingkah laku dari individu yang ditentukan oleh kepribadiannya masing-masing”.7 Untuk itu seorang pemimpin dengan integritas pribadi

perlu dipersiapkan, dibina dan dibentuk secara matang. Kesadaran tentang pentingnya integritas pribadi inilah yang barangkali mendorong para pemimpin bangsa kita untuk

6Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima, (Jakarta: Indeks, 2001), hlm. 483-484.

(6)
(7)

BAB 2 diwarisinya sejak lahir”. Dalam arti ini “karakter” sering dianggap sebagai “kepribadian”, yakni “ciri atau karakteristik seseorang, yang diterima, baik sebagai faktor genetikal atau bawaan sejak lahir atau sebagai hasil dari proses interaksi dengan lingkungan sekitar.8

2.1.2. Etimologi dan Interpretasi atas Karakter

Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso yang berarti “cetak biru” atau “format dasar”. Sehingga secara harafiah “karakter” berarti “format atau bentuk dasar” dari sesuatu/seseorang.

Istilah karakter mendapatkan berbagai interpretasi. Para tua-tua bangsa Yahudi menafsirkan “karakter” sebagai “sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusia, seperti gelombang laut”. Pedagog Perancis Emmanuel Mounier memberikan dua interpretasi, yakni pertama, karakter adalah “sekumpulan kondisi atau situasi pribadi yang telah ada dan diberikan begitu saja”. Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu mengatasi kondisi tersebut”. Di pihak lain Doni Koesoema menjelaskan karakter sebagai: “sebagaimana yang dilihat”, dan karakter sebagai “sebagaimana dialami”. Karakter yang dilihat menyangkut determinasi natural yang dimiliki setiap individu secara genetik. Sedangkan karakter yang dialami adalah unsur kebebasan dalam diri setiap individu untuk mengembangkan, menyesuaikan diri, melatih diri, atau membina diri melalui pendidikan dan pembinaan.9

Khan menyatakan ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan karakter berbasis nilai religious yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan. Kedua, pendidikan karakter berbasis nilai budaya,

8Bdk., Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer, (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 178-179.

(8)

antara lain budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa. Ketiga, pendidikan karakter berbasis lingkungan dan keempat, pendidikan berbasis kompetensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan meningkatkan kualitas pendidikan.10

2.1.3. Pendapat para Ahli tentang Pendidikan KarakterF.W. Foerster

F.W. Foerster adalah seorang pedagog Jerman. Ia dikenal sebagai pencetus pertama konsep pendidikan karakter. Menurut Foerster pendidikan karakter menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Tujuan pendidikan karakter terwujud dalam kesatuan hakiki antara individu dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Dalam artian ini karakter merupakan kaulifikasi seorang pribadi yang memberikan integritas dan otonomi atas keputusan-keputusan yang diambilnya dalam keseluruhan pengalaman hidup. Karakter adalah identitas yang dapat diukur dari empat komponen, yaitu: pertama, keteraturan interior, yang diukur berdasarkan hierarki nilai. Kedua, koherensi, memiliki prinsip yang teguh, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Ketiga, otonomi, kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan, yakni daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik dan penghormatan atas komitmen yang dipilih.11

Ki Hajar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara sosok yang dikenal sebagai “Bapak Pendidikan Indonesia” telah berpikir tentang masalah pendidikan karakter pada jamannya. Menurutnya, kecerdasan budi itu perlu diasah dengan baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian dan karakter. Jika ini terjadi, maka nafsu dan tabiat-tabiat asli seperti bengis, murka, pemarah, kikir dan lain-lain dapat dikalahkan. Melalui pendidikan karakter terjadi transformasi nilai-nilai. Dengan demikian dalam pendidikan terjadi dua hal sekaligus, transformasi ilmu dan transformasi nilai.12

10Khan, Y. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi, 2010), hlm. 2.

11Bdk., Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer, (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 181-182.

(9)

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003

Pendidikan pada hakikatnya adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (Bab 1 Pasal 1). Selanjutnya pada pasal 3 dirumuskan fungsi dan tujuan pendidikan untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”

Dari kutipan undang-undang di atas, jelaslah bahwa pendidikan karakter merupakan dasar dan tujuan dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan karakter adalah upaya penanaman nilai dan sikap religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab.13

2.2. Relevansi “Kepemimpinan Etis” Untuk Pendidikan Karakter

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa inti dari kepemimpinan etis adalah perwujudan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan moral oleh pemimpin itu sendiri. Sementara inti dari pendidikan karakter adalah ‘keteladanan’. Apa yang diteladankan? Tentu yang diteladankan adalah sikap, perilaku, gaya hidup yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang berlaku atau sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan baik-buruk, benar-salah, atau boleh-tidaknya suatu sikap atau tindakan yang diambil. Untuk itu relevansi kepemimpinan etis untuk pendidikan karakter menantang para pemimpin dan calon pemimpin agar dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dapat berorientasi pada penghayatan dan perwujudan nilai-nilai moral.

 Penyadaran nilai

(10)

Upaya penyadaran nilai ternyata mulai dipandang penting oleh pemimpin bangsa kita. Belakangan ini marak digalakkan pendidikan karakter, yakni dengan mengintegrasikannya ke dalam setiap mata pelajaran. Namun, usaha penyadaran ini tidak semudah yang dibayangkan. Penyadaran nilai perlu dilakukan terlebih dahulu dari dalam diri sendiri dengan tahu dan mau, agar tidak menjadi ‘batu sandungan’ bagi orang lain atau ‘tong kosong berbunyi nyaring’. Artinya adalah penyadaran nilai tidak sekedar di bibir saja, tetapi meresap sampai ke lubuk hati yang paling dalam dan mendasari setiap tindakan yang hendak dilaksanakan. Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan menuntun, mengarahkan dan mengamalkan nilai-nilai moral bersama orang-orang yang dipimpin.

 Membangun konsistensi penghayatan nilai

Penyadaran dan internalisasi nilai-nilai moral, seperti kejujuran, disiplin, bersih, sopan, dll sudah semestinya dibangun secara konsisten, tidak berubah-ubah seperti Bunglon. Kalaupun berubah, maka yang berubah adalah tingkatan-tingkatan, seperti dari yang jujur (sedang) menjadi jujur (luar biasa). Konsistensi penghayatan nilai ini dipandang penting, sebab banyak penyimpangan moral terjadi, karena adanya inkonsistensi penghayatan nilai akibat pengaruh subyektivitas atas relasi tertentu.

 Konsekuen terhadap perwujudan nilai

Konsekuen berarti bersedia menerima atau menanggung resiko dari suatu pilihan yang sudah diambil. Sering terjadi persoalan etis di mana pemimpin memilih diam, tidak mengklarifikasi sesuatu hal yang ditanyakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai contoh ketika seorang pemimpin bersaksi di persidangan. Demi menjaga nama baik, maka keterangan-keterangan yang diberikan ‘mengambang’, tidak jelas dan berbelit-belit.

 Pemimpin Etis sebagai teladan

Saddler mengidentifikasikan beberapa atribut atau sifat yang dimiliki oleh pemimpin yang berkualitas. Salah satu di antaranya adalah “karakter”.14 Artinya pemimpin yang

(11)
(12)

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan yang menekankan pada penghayatan nilai-nilai moral. Kepemimpinan etis adalah perwujudan nilai-nilai-nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan moral oleh pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan etis menuntun, mengarahkan dan mengamalkan nilai-nilai moral bersama orang-orang yang dipimpin. Untuk itu dibutuhkan integritas pribadi yang kokoh dan karakter yang kuat dari seorang pemimpin, agar dapat menjadi teladan, sehingga darinya orang dipengaruhi dan didorong untuk menginternalisasi dan mewujudkan karakter pribadi yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh situasi dan mampu untuk mengambil keputusan sendiri atas hidup yang dijalaninya.

B. Saran

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Khan, Y. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi, 2010.

Lintong, Marcel M. Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011.

Rosmiati, Taty dan Achmad Dedy, “Kepemimpinan Pendidikan”, dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2011.

Tisnawati Sule, Ernie dan Saefullah, Kurniawan. Pengantar Manajemen, edisi pertama. Jakarta: Kencana, 2010.

Usman, Husaini, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, edisi 3. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Yukl, Gary. Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima. Jakarta: Indeks, 2001.

Artikel di Internet

Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam http://staff.uny.ac.id, diakses Rabu, 21 Juni 2012.

Pendidikan Karakter dalam http://perpustakaan.kemdiknas.go.id, diakses Rabu, 13 20 Juni 2012.

Undang-Undang

Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, dalam buku kumpulan Undang-undang. Bandung: Umbara, 2010.

Kamus

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum implementasi karakter pemimpin teladan dalam menghadapi masyarakat pada era new normal di Indonesia dapat dihimpun menjadi 4 kategori pemimpin, sebagai berikut,

Penelitian ini berargumen bahwa ketika karyawan mempercayai pemimpin secara afektif, maka akuntabilitas akan lebih kuat, Rasa percaya afektif diduga dapat memperkuat

Nous yang sehat dan Suneideisis yang murni mengarahkan seorang pemimpin sebagai pribadi yang aman dengan jati diri, fungsi dan perannya di dalam agenda kerajaan Allah, pemimpin yang

Dalam hal ini keberadaan seorang pemimpin bagi segenap masyarakat dalam membangun sebuah sistem negara sangat dibutuhkan, tanpa seorang pemimpin yang kuat, yang

Setidaknya ada tujuh manfaat bagi seorang manajer untuk fokus pada menjadi seorang pemimpin yang etis termasuk citra publik yang lebih baik dari pemulihan organisasi

Seorang yang berperan sebagai pemimpin dalam organisasi yang mempunyai bawahan, tentu saja menginginkan bawahannya memiliki integritas, kompetensi dan loyalitas yang

Oleh karena itu, pendidikan kepemimpinan dan pembinaan karakter menjadi sangat penting untuk dilakukan agar seorang pemimpin dapat menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan

Pemimpin dengan personaliti yang kuat Seorang pemimpin yang efektif harus mempunyai kepribadian yang terkonrol dan mampu meberikan optimisme pada anggota untuk menjacapai tujuan dengan