MULTINATIONAL CORPORATIONS & DAMPAKNYA BAGI INDONESIA. SEBUAH KAJIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
M. Ikhwan Maulana Haeruddin
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Makassar
Adanya perjanjian kerjasama secara global untuk mengadakan daerah pasar bebas (AFTA) mendorong banyak pihak eksternal atau yang dalam hal ini adalah Multi-National Corporations (MNCs) untuk berinvestasi ke negara-negara berkembang yang memiliki kelebihan dalam aspek Sumber Daya Manusia dan bahan baku yang mudah di dapatkan pada kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Akan tetapi dengan kehadiran MNCs di Indonesia, tidak serta merta hanya membawa dampak yang positif. Berbagai macam dampak negatif turut serta hadir sebagai konsekuensi kehadiran MNCs tersebut, baik pada dimensi pekerja maupun pada dimensi lingkungan hidup. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kehadiran MNCs tersebut terhadap dimensi buruh (pekerja) dan lingkungan hidup. Hasil temuan yang ingin disampaikan pada tulisan ini adalah bahwa dengan kehadiran MNCs, tidak berarti negara berkembang dengan otomatis akan mendapatkan keuntungan di segala dimensi, akan tetapi ada dimensi lain yang justru tereksploitasi, seperti pada dimensi SDM dan lingkungan hidup.
Kata Kunci : Multi-National Corporations, dampak, Indonesia, Industrial Relation, buruh, dan Corporate Social Responsibility (CSR).
Perubahan-perubahan multi dimensi dan globalisasi telah membawa berbagai pengaruh dan dampak bagi negara-negara berkembang, terutama pada negara-negara Asia Tenggara. Negara tersebut— seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam —
memiliki pakta / perjanjian dengan turut aktif berpartisipasi dalam pasar bebas dengan menggabungkan diri ke dalam Asian Free Trade Agreement (AFTA) pada tahun 2003 dan nantinya
ke dalam Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) pada tahun 2020.
Negara-negara tersebut di atas merupakan salah satu destinasi favorit bagi Korporasi
sumberdaya natural dan yang paling penting, adalah sebagai pasar untuk mendistribusikan produk mereka. Lebih jauh lagi, dengan ketersediaan keterampilan pekerja yang rendah pada tingkat biaya
yang rendah pula, ditambah dengan keterbatasan pemerintah lokal didalam mengontrol keputusan manajemen, adalah merupakan sebuah faktor yang sangat “menggembirakan” bagi perusahaan
multinasional (Allmond, Edwards dan Clark, 2003).
Collingsworth berpendapat (2006), bahwa MNCs akan cenderung memilih untuk
mengembangkan dan memperluas sumberdaya mereka di sebuah negara berkembang yang memiliki halangan-halangan minimal. Selanjutnya, MNCs diundang oleh pemerintah negara berkembang
untuk menginvestasikan modal dan sumberdaya mereka, yang diasumsikan dan diharapkan akan mencipatakan “locomotive effect” pada pertumbuhan dan kesejahteraan negara. Akan tetapi, menurut Petrella (dikutip dalam Hadiz, 2002; Miano, 2003), ketika sebuah negara mencoba untuk
menarik perusahaan asing untuk masuk, maka kehadiran perusahaan tersebut akan mengurangi dan bahkan menghilangkan kekuasaan dan peran dari pemerintah negara itu sendiri.
Selalu ada dua sisi yang berbeda pada satu mata uang, demikian pula halnya dengan kehadiran MNCs di Indonesia. Pertama, sebagai keuntungan dari hadirnya MNC’, pendapatan
nasional pemerintah akan meningkat, investasi infrastruktur fisik, pendapatan dari pajak, serta pekerja yang terampil dan ber-skill (Jensen, 2005). Pada tabel di bawah ini dapat kita lihat
Source: International Labours Organization, 2005.
Selanjutnya, keuntungan lain yang dihadirkan oleh MNCs adalah pemberdayaan dan penyerapan tenaga kerja lokal. Tidak dapat dipungkiri bahwa, kehadiran MNCs dapat menyediakan
peluang kerja, pelatihan, serta transfer ilmu, tekhnologi, dan keterampilan bagi tenaga kerja lokal (O’Higgins, 2003), yang mana akan berakibat pada meningkatnya tingkat produktivitas kerja
ketimbang dengan pekerja pada perusahaan lokal (Takii dan Ramstetter, 2005). Pada satu sisi, kehadiran MNCs dipertanyakan pada sisi aspek kesejahteraan sosial, perlindungan lingkungan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan hubungan industrial dengan pekerja. Lebih jauh lagi, aspek negatif dari
MNCs menurut pendapat Colman dan Nixson (dikutip di Wicaksono, 2002); di mana mereka menyatakan bahwa tujuan utama dari MNCs adalah untuk memaksimalkan keuntungan global dan
seluruh tindakan mereka ditujukan untuk mencapai tujuan utama tersebut, dan bukan untuk mengembangkan negara tempat mereka berinvestasi. Kesejahteraan dan perkembangan dari Negara tuan rumah dianggap sebagai tanggungjawab dari pemerintah Negara yang bersangkutan.
Pemerintah dari negara-negara berkembang berkompetisi untuk menarik perhatian MNCs. Akibatnya, tiap-tiap badan pemerintah berusaha untuk menciptakan kebijakan seperti menurunkan
Untuk menggambarkan posisi pihak pemerintah dan pihak MNCs, kita dapat menggunakan
hukum “Supply and Demand” untuk menganalogikannya. Pemerintah negara-negara berkembang ini mewakili aspek supply/persediaan dengan adanya lokasi/daerah, tenaga kerja, dan material yang
berasal dari sumberdaya alam lokal. Selanjutnya, MNCs merupakan pihak yang mewakili permintaan. Selanjutnya mudah, ketika persediaan lebih besar dari pada permintaan, maka posisi tawar MNCs akan lebih besar daripada posisi tawar pemerintah, dimana MNCs memainkan politik
“take it or leave it”.
Selanjutnya, Moody (dikutip dalam Hadiz, 2003) mengemukakan bahwa pergerakan serikat pekerja di negara-negara berkembang sedang mengalami hari-hari yang suram. Melemahnya pergerakan serikat buruh disebabkan oleh tiga faktor utama, pertama, — sebagai unitaris —
Manajemen Sumber Daya Manusia pada sebuah MNC tidak membutuhkan pihak ketiga untuk menjembatani kepentingan pihak pemodal dan pekerja. Akibatnya, pihak manajemen mengeluarkan
kebijakan yang bersifat menggantikan atau menghapuskan serikat pekerja (Bray, Deery, Walsh, dan Waring, 2005). Kedua, dalam hal menarik investasi asing, negara melalui pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada pemilik modal yang berakibat pada penghapusan
peran dari serikat pekerja. Sejauh ini, pemerintah Indonesia terkesan memaksakan revisi UU No. 13 Tahun 2003 terkait terbitnya Inpres No. 3 tahun 2006 tentang Paket Peraturan Perbaikan Iklim
Investasi, yang di antaranya menyangkut ketenagakerjaan di Indonesia. Pemerintah ingin mengurangi pengangguran dengan perbaikan iklim investasi, di mana hal yang menjadi ganjalan menarik minat investasi adalah adanya beberapa masalah utama di bidang ketenagakerjaan yang
sering dibicarakan investor. Masalah tersebut antara lain, tentang besaran pesangon, status karyawan (outsourcing, dan pekerja kontrak), proses pemutusan hubungan kerja (PHK), unjuk rasa,
sendiri (2005), dimana kaum kapitalis, — melalui sumberdaya yang tak terbatas dan jaringan media yang tersedia, — dapat dengan mudah membentuk opini publik terhadap serikat pekerja.
Kehadiran MNCs selalu saja tidak dapat dipisahkan dengan masalah hak asasi manusia.
Masalah-masalah tersebut berupa pembayaran upah di bawah standard, eksploitasi pekerja di bawah umur, diskriminasi gender, pelecehan seksual, bekerja di bawah paksaan, dan lingkungan kerja yang tidak aman (Wells, 2003; Bernadette, 2002; Bernstein, 2005). Pada tahun 2000, International
Labour Organization (ILO)mengemukakan fakta bahwa terdapat lebih dari 200 juta anak-anak pada usia 5-14 tahun terlibat dalam kegiatan eksploitasi pekerja di negara kurang berkembang. Pada
aspek pembayaran upah, terdapat ketimpangan yang sangat signifikan antara pekerja dan pemilik modal. Kita ambil contoh seorang pekerja level supervisor yang bekerja pada pabrik NIKE yang hanya memperoleh US$ 18 per hari, di mana seorang Philip H. Knight — Presiden dari NIKE Inc.
— dapat memperoleh US$ 4526 per hari (Sudiarto, 2006), berdasarkan fakta tersebut, dapat kita bayangkan bagaimana dengan upah mereka yang bekerja sebagai buruh kasar. Selain itu, ada juga
ketentuan lain mengenai pesangon yang merugikan buruh dan pekerja, yaitu ketika perusahaan tutup karena alasan force majeur, maka perusahaan tidak wajib membayar uang pesangon kepada buruh atau pekerja.
Lebih lanjut, diskriminasi gender juga turut dipraktekkan pada kehadiran MNCs. Upah bagi
pekerja perempuan hanya 68% dari upah pria. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada sektor buruh/pekerja kasar, perempuan lulusan universitas (S1) mendapatkan 25% lebih kurang dari yang didapatkan oleh lulusan pria (Gardner, 2003). Kaum perempuan juga lebih cenderung dipekerjakan
pada sistem kontrak atau sebagai karyawan temporer. Sistem ini mengijinkan perusahaan untuk membayar gaji lebih rendah kepada karyawan kontrak daripada karyawan permanen, untuk tugas
Pemerintah negara-negara berkembang tengah menghadapi situasi yang dilematis, di satu sisi, mereka mencoba untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dengan cara menarik investasi
asing. Akan tetapi pada sisi yang lain, ada begitu banyak opportunity cost yang mereka harus bayar sebagai akibat dari tindakan tersebut.
Untuk mengatur kegiatan operasional dari MNCs di dalam pengawasan terhadap perlakuan terhadap pekerjanya, seharusnya terdapat kontrak internasional, kode etik, standar minimum dan
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dielaborasi sacara bersama-sama oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), dan sebaiknya di mediasi oleh badan pemerintah yang berwenang
seperti Kementerian Tenaga Kerja / DEPNAKER (O’Higgins, 2003; Fashoyin, 2004; Lozano and Boni, 2002). Seluruh hak dan kewajiban dari semua pihak yang terkait idealnya tercantum dengan jelas di dalam kontrak. Bagaimanapun juga, paling kurang terdapat 5 aspek yang harus diperhatikan
dan dihormati oleh pihak MNCs, yaitu “1) kebebasan berserikat, 2) tawar menawar dan proses negosiasi secara kolektif, 3) adanya transparansi dari pihak MNCs, 4) penyelesaian masalah secara
musyawarah, dan 5) seluruh syarat dan peraturan yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan keselamatan di tempat kerja” (International Labour Organization, 2000).
Walaupun konsep Corporate Social Responsibility (CSR) telah diterapkan oleh sebagian besar MNC’s, pada kenyataannya hanya bisa menghapus sebahagian kecil dari citra buruk
kapitalistik MNC’s. ditambah dengan fakta adanya fleksibilitas pasar buruh (labor market flexibility) dengan model outsourcing yang marak dipraktikkan oleh sebagian besar perusahaan
yang tanpa memberikan batasan jenis pekerjaan, akan berpotensi menjadikan buruh dan karyawan
bebas "diperjualbelikan". Tulisan ini mengajak untuk membuka mata kita bahwa kita tidak perlu hanya menyandarkan perekonomian kita kepada investasi asing semata, tetapi juga ikut
khusus bagi pemerintah bangsa ini dan nantinya menciptakan kebijakan yang berpihak kepada buruh dan pekerja.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tulisan di atas yang telah dilakukan berdasarkan rumusan masalah, tujuan, dan landasan teori; maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Multi-National Corporations (MNCs) cenderung untuk memilih berinvestasi pada
Negara-negara berkembang atas faktor rendahnya biaya tenaga kerja, kemudahan untuk mendapatkan sumberdaya natural, dan yang paling penting, adalah sebagai pasar potensial
untuk mendistribusikan produk mereka.
2. Kehadiran MNCs tidak berarti akan selalu membawa dampak positif pada setiap dimensi kehidupan, akan tetapi juga membawa dampak negatif, khususnya pada dimensi tenaga kerja
— seperti praktik perlakuan diskriminatif dan rasis, eksploitasi pekerja di bawah umur, pembayaran upah yang tidak sesuai dengan standar regulasi, praktik outsourcing yang
semakin menekan posisi tawar pekerja itu sendiri, serta pelecehan seksual — dan lingkungan hidup yang tercemar sebagai akibat dari proses operasional mereka.
3. Sinergi yang positif dari tripartite yang efektif akan menguntungkan setiap stakeholder, baik
DAFTAR PUSTAKA:
Allmond, P. Edwards, T. Clark, I. (2003) Multinationals and Changing National Business Systems in Europe: Towards the ‘Shareholder Value’ Model? Industrial Relations Journal, 34, 5, pp.430-445.
Bernstein, A. (2005) Freeport’s Hard Look at Itself, Business Week, 10. 3956, pp.108.
Bernadette, N. (2002) Diskriminasi di Tempat Kerja Masih Ada, accessed 8th July 2006. http: // situs.kerespro.info/gendervaw/sep/2002/gendervaw03.htm
Bray, M., Deery, S., Walsh, J., Waring, P. (2005) Industrial relation: a contemporary approach. McGraw-Hill Irwin, Australia.
Collingsworth, T. (2006) Beyond Public Relations: Bringing the Rule of Law to Corporate Codes of Conduct in Global Economy, Corporate Governance, 6. 3, pp.250-260.
Fashoyin, T. (2004) Tripartite Cooperation, Social Dialogue and National Development, International Labour Review, 143. 4, pp.341-371)
Gardner, S. (2003) Women in Trade Unions, accessed 9th July 2006 http://www.insideindonesia.org/index.htm.womenintradeunions
Hadiz, V.R. (2002) Globalisation, Labour, and Economic Crisis: Insights from South East Asia Asian Business and Management, 2002, 1, pp. 249-266.
International Labour Organisation (2000) Codes of Conduct for Multinationals, accessed 8th July 2006. http://www.itcilo.it/english/actrav/telearn/global/guide/main.htm#summ
International Labour Organisation (2005) Multi Report ASEAN 2005, Tripartite Symposium on Promoting the Tripartite Declaration of Principles Concerning Multinational Enterprises and Social Policy in ASEAN Countries, Jakarta Indonesia, 11th – 12th April 2005.
Jensen, N. (2005) The Multinational Corporations Empower the Nation-State, Symposium – Ten Years from Now, 3. 3, pp.548-551.
Lozano, J.F. and Boni, A. (2002) The Impact of the Multinational in the Development: An Ethical Challenge, Journal of Business Ethics, 39. ½, pp.169-178.
O’Higgins, E.R.E. (2003) Global Strategies – Contradictions and Consequences, Corporate Governance, 3. 3, pp.52-56.
Piasecki, R. and Wolnicki, M. (2004) The Evolution of Development Economics and Globalization, International Journal of Social Economics, 31. 3, pp.300-314.
Sudiarto, R. (2006) Pengawasan HAM di Pabrik-Pabrik, accessed 8th July 2006 http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=557
Takii, S. and Ramstetter, E.D. (2005) Multinational Presence and Labour Productivity Differentials in Indonesian Manufacturing, 1975-2001, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41. 2, pp.221-242.
Wells, D. (2003) Global Sweatshops & Ethical Buying Codes, Canadian Dimension, 37. 5, pp.9.