Makna Pancasila sebagai Sistem Etika
Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Pancasila yang diampuh oleh Ibu Widio Purwani, SH, M.Psi.
Disusun oleh: Anas Tyas
Shasha
Nadya Liyanti
Nadias Gibran
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pancasila memiliki peranan sebagai ideologi dan dasar negara, yang berarti bahwa Pancasila digunakan sebagai sumber hukum nasional, sebagaimana yang telah ditentukan di Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 pasal 1 bahwa Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah adalah pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan atas identifikasi masalah dan pembatasan masalah. Adapun rumusan masalah untuk makalah kami adalah:
1.) Apa makna Pancasila sebagai Etika dan Karakter bangsa?
2.) Bagaimana aktualisasi Pancasila sebagai Etika dalam kehidupan berbangsa?
3.) Studi kasus
1.3Tujuan
Tujuan berisi tentang hal yang diinginkan sesuai dengan konteks permasalahan yang akan dibahas. Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1.) Mengetahui apa makna Pancasila sebagai sistem Etika dan Karakter bangsa
BAB II ISI
2.1 Makna Pancasila sebagai Sistem Etika dan Karakter Bangsa
Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentanan dengan nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai-nilai Pancasila, meskipun merupakan kristalisasi nilai-nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya juga nilai-nilai yang bersifat universal dapat diterima oleh siapa pun dan kapan pun. Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Pertama, Nilai Ketuhanan: Secara hierarkis, nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini (nilai ketuhanan). Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah, dan hukum Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah, dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan kasih sayang antarsesama, akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Dari nilai ketuhanan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. (Ngadino Surip, dkk, 2015: 180)
Kedua, Nilai Kemanusiaan: Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai-nilai kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain seperti hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu, suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban. Dari nilai kemanusiaan menghasilkan nilai kesusilaan contohnya seperti tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerja sama, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 180)
Keempat, Nilai Kerakyatan: Dalam kaitan dengan kerakyatan ini, terkandung nilai lain yang sangat penting, yaitu nilai hikmat atau kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat atau kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibandingkan dengan pandangan mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya pada peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memerhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas ‘dimenangkan’ atas pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui atau bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah atau kebijaksanaan. Dari nilai kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 181)
Kelima, Nilai Keadilan: Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbutan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain. Dari nilai ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. Dari nilai keadilan juga menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 181)
Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai Pancasila apabila benar-benar dipahami, dihayati dan diamalkan, tentu mampu menurunkan angka kasus korupsi.
Penanaman satu sila saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila bangsa Indonesia menyadari jati dirinya sebagai makhluk Allah, tentu tidak akan mudah menjatuhkan martabat dirinya ke dalam kehinaan dengan melakukan korupsi. Kebahagiaan material dianggap segala-galanya dibandingkan dengan kebahagiaan spritual yang lebih agung, mendalam dan jangka panjang. Keinginan mendapatkan kekayaan dan kedudukan secara cepat menjadikannya nilai-nilai agama dikesampingkan. Buah dari penanaman dan penghayatan nilai-nilai ketuhanan ini adalah kerelaan untuk diatur Allah, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan larangan-Nya. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 182)
satu dengan yang lain. Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar manakala keseluruhan nilai Pancasila yang meliputi nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan dijadikan landasan moril dan diejawantahkan dalam seluruh lehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pemberantasan korupsi. Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas paling efektif adalah melalui pendidikan dan media. Pendidikan informal di keluarga harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung oleh pendidikan formal di sekolah dan nonformal di masyarakat. Media harus memiliki visi dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat yang maju, namun tetap berkepribadian Indonesia. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 183)
2.2 Aktualisasi Pancasila sebagai Etika dalam Kehidupan Berbangsa
Etika Sosial dan Budaya ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan saling menolong di antara manusi dan warga bangsa. Sejalan dengan itu, perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, juga perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus di wujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat. Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kembali kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi dengan menggugah, menghargai, dan mengembangkan budaya nasional yang bersumber dari budaya daerah agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa lain, dan tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan globalisasi. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 201)
dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. (Ibid, Ngadino Surip dkk, 2015: 202)
Ketiga, Etika Ekonomi dan Bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi dan bisnis, baik oleh perorangan, institusi, maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yan bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambugan. (Ibid, Ngadino Surip dkk, 2015: 203)
Keempat, Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. (Ibid, Ngadino Surip dkk, 2015: 204)
Kelima, Etika Keilmuan dimaksudkan untuk menjujukan tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika Keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta menapati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik, mendorong tumbuhnya kemampuan menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam kehidupan, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, mampu menumbuhkan kreativitas untuk penciptaan kesempatan baru, dan tahan uji serta pantang menyerah. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 204)