• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hegemoni Negara Orde Baru dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hegemoni Negara Orde Baru dan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-haru negara adalah sebuah realitas politik yang nyaris kita terima sebagai suatu yang given. Kecenderungan ini terjadi karena negara yang diketahui dan dialami setiap hari itu seakan berada di luar kesadaran manusia. Pada tingkat kesadaran individual, negara baru dirasakan keberadaanya manakala ia berbenturan dengan kekuasaan. Apabila memandang negara dari dan didalam masyarakat, akan terlihat bahwa negara merupakan hubungan sosial yang bersifat dominatif.1 Negara mendukung dan mengorganisasikan hubungan-hubungan dominasi ini melalui institusi-institusi yang biasanya memonopoli sarana paksaan fisik (coercion) di dalam wilayah tertentu.2

Pada umumnya, negara dipandang memiliki kewenangan yang sah untuk mempertahankan sistem dominasi sosial. Dalam masyarakat kapitalis yang lebih bertumpu pada hubungan produksi atau struktur kelas, negara merupakan refleksi hubungan produksi yang ada, khususnya kelas yang dominan, sehingga ia tidak lebih sebagai aspek politik dari hubungan-hubungan sosial yang bersifat dominatif.3 Maka berdasarkan persfekti itu, negara pertama-tama merupakan hubungan dominasi yang mewakili kepentingan komponen masyarakat yang dominan. Hubungan masyarakat yang dominatif ini dijalankan dan ditegakan melalui institusi-institusi seperti, polisi, militer, birokrasi dan hukum.

Negara merupakan aspek politik hubungan sosial yang bersifat dominatif dan dalam wujud yang kongkret, negara merupakan seperangkat situasi dan norma-norma hukum yang menjalankan dan menegakan dominasi itu. Dominasi negara dalam hal ini dapat dilihat melalui peran institusi negara seperti militer dimana negara merupakan sebagai komunitas

1 Gaetano Mosca, The Ruling Class. (New York: McGraw Hill Book), 1939, hlm. 50, dalam Ramlan Surbakti,

Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia), 2010, hlm. 61.

2Ibid. hlm, 62.

(2)

manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan secara fisik yang sah dalam wilayah tertentu.4

Militer mempunyai peranan penting dalam sistem perpolitikan Indonesia. Satu alasan utamanya adalah karena militer selalu memiliki tempat dan kekuatan tersendiri dalam power interplay di Indonesia sehingga bisa mempengaruhi arah jalannya pengambilan keputusan di negeri ini. Bahkan dalam beberapa waktu militer menjadi pengambil keputusan utama di Indonesia dalam jelmaan Presiden Soeharto, seorang jenderal aktif yang mampu merebut kekuasaan setelah tumbangnya Orde Lama pimpinan Soekarno.

Bahkan untuk waktu yang lama keterlibatan militer dalam sistem politik Indonesia menjadi suatu kewajaran dan sesuatu yang harus diterima oleh seluruh rakyat. Berbagai sektor kehidupan politik, ekonomi, berbangsa, berbudaya dan sektor-sektor lainnya tidak lepas dari keterlibatan militer. Namun, selain stabilitas yang jelas dibawanya sebagai alat negara yang mempunyai hak melakukan kekerasan secara legal, keterlibatan militer dalam politik memberikan dampak negatif terhadap politik Indonesia.

Pada era Orde Baru Soeharto yang menggunakan kekuatan TNI dan dikombinasikan dengan birokrasi pemerintahan menciptakan suatu pemerintahan otoriter di Indonesia.5 Hal itu membuktikan kekuatan yang besar yang dijalankan oleh sebuah negara. Oleh karena itu sangat menarik untuk membahas bagaimana sebenarnya mengenai hegemoni militer pada Orde Baru. Pemahaman yang menyeluruh mengenai hegemoni militer di masa Orde Baru akan menjadi pengingat bagi generasi penerus Indonesia agar tidak kembali mengulang kesalahan yang sama.

Rumusan Masalah

4Ibid, hlm. 63.

(3)
(4)

BAB II

LANDASAN TEORI

Konsep Negara

Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunakan paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara mapun antar kelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang konkret dan dia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk memaksakan ketaatan.

Berdasarkan pendapat Weber, maka dapat disimpulkan tiga aspek sebagai ciri negara, yaitu :6

1. Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti jabatan, peranan dan lembaga-lembaga yang semuanya memiliki tugas yang jelas batasnya, yang bersifat kompleks, formal dan permanen;

2. Kekuasaan yang menggunakan paksaan yang dimonopoli oleh negara. Negara memiliki kewenangan yang sah untuk membuat putusan yang final yang mengikat seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai hak untuk menegakan putusan itu seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan hak milik. Dalam hal ini, untuk melaksakanan kewenangan, negara menggunakan aparatnya, seperti polisi, militer, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan; dan

3. Kewenangan untuk mengguanakan paksaan fisik hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara tersebut.

(5)

Negara dilihat sebagai kumpulan individu yang menduduki posisi yang memiliki kewenangan, membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat semua pihak yang ada dalam wilayah tertentu. Dalam konteks ini, negara dilihat sebagai bagian dari kumpulan individu yang menjadi pejabat pemerintahan, termasuk dalam kategori ini Presiden,, para menteri dan individu-individu pemegang jabatan pemerintahan lainnya.

Negara merupakan seperangkat organisasi yang meliputi organisasi administratif, kepolisian, militer, yang dipimpin dan dikordinasi oleh eksekutif, termasuk lembaga-lembaga yang mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat dalam pembuatan keputusan oleh negara (seperti parlemen, partai politik, dan organisasi korporatis yang dibentuk negara), beserta lembaga-lembaga masyarakat lainnya yang dimobilisasi oleh negara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan kebijakan, kepentingan dan kekuasaan negara.7

Disisilain negara selalu menjadi fokus pengorganisasian dan menjadi pengorganisasi konsesus mengenai kepentingan umum dalam masyarakat karena hal ini menjadi basis legitimasinya.8 Untuk mencapai konsesus itu lembaga-lembaga negara harus menampilkan diri sebagai pengemban kepentingan umum (suatu bangsa yang bersifat mengatasi kepentingan-kepentingan golongan dan pribadi di dalam masyarakat). Peranan negara sebagai pengelola konsesus mengenai kepentingan umum akan diikuti oleh masyarakat manakala negara mempunyai mediasi (sambungan komunikasi dengan masyarakat), yaitu bangsa, hak-hak politik warga negara dan kelompok populis.

Negara akan mendapatkan legitimasi apabila mampu menampilkan diri sesuai dengan rujukan eksternalnya yakni mediasi tersebut. Itu sebabnya negara adakalanya menampakan diri sebagai pengorganisasi dan pemelihara dominasi sosial. Adanya ketegangan antara realitas negara sebagai pengorganisasi dan pemelihara sistem dominasi sosial merupakan karakteristik setiap bentuk negara. Bentuk negara yang muncul dari ketegangan itu dapat

7Ibid, Ramlan Surbakti, hlm. 6.

(6)

berupa salah satu dari tiga bentuk berikut ini. Pertama, negara mempertahankan kekuasaanya tidak semata-mata dengan dominasi dan paksaan fisik, tetapi juga dengan memanipulasi “mediasi” (menjadi semacam ideologi dalam arti sistem pembenaran atas kepentingan pihak yang dominan) sehingga warga negara percaya bahwa mereka diperlakukan secara tidak adil, dan karena itu mereka menerima nasib mereka yang malang.

Dalam mempertahankan kekuasaan yang menonjol bukanlah hanya dominasi fisik oleh polisi, militer dan birokrasi tetapi juga dominasi secara ideologis melalui media komunikasi massa (dalam bentuk propaganda) dan media komunikasi pendidikan (dalam bentuk indoktrinasi) dengan teknologi yang canggih.

Kedua, negara mempertahankan kekuasaan semata-mata dengan paksaan fisik dan kepentingan yang diartikulasikan pun hanya kelompok yang dominan dalam masyarakat. negara tanpa mediasi ini merupakan negara tanpa dasar konsesus sehingga ia bertumpu pada sistem demokrasi yang vulgar, negara ini sering pula disebut negara pilisi. Karakteristik negara yang pertama dan kedua jelas tidak dapat dikategorikan sebagai negara demokratis.

Selanjutnya yang ketiga, negara mempertahankan kekuasaan tidak hanya dengan paksaan fisik, tetapi juga dengan persuasi dan perstujuan rakyat. Negara ini jelas dapat digolongkan demokratis karena lembaga-lembaga pemerintah bertindak sesuai dengan rujukan eksternalnya (bangsa, hak-hak politik warga negara dan kelompok populis).9

Teori Negara

Pada dasarnya, teori-teori negara yang ada dapt digolongkan menjadi dua kelompok

besar yaitu :10

1. Teori yang menekankan bahwa negara merupakan sebuah lembaga yang mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan sendiri. Teori ini dicetuskan oleh Hegel dan

kemudia diartikulasikan lagi menjadi teori Negara Organis sekarang ini.

9Ibid, hlm. 65.

(7)

2. Teori yang mengatakan bahwa negara bukan sebuah lembaga yang mandiri. Kebijakan yang dihasilkan oleh negara ditentukan oleh faktor eksternal atau faktor di

luar dirinya. Dia hanya sekedar arena dimana kekuatan-kekuatan sosial berusaha

saling bertanding untuk menguasai. Dia adalah semacam tabula rasa, sehelai kertas

putih yang siap ditulisi oleh orang lain. Orang inilah yang akan menulis di atas kertas

tersebut, bukan kertas itu sendiri.

Teori ini punya dua varian : Pertama, varian kaum Pluralis. Kaum pluralis beranggapan

bahwa negara hanya melaksanakan kepentingan yang beranekaragam yang ada didalam

masyarakat. Kebijakan negara adalah hasil sebuah kompromi dari kekuatan-kekuatan

tersebut. Tidak ada yang mendominasi, kalaupun ada suatu kelompok yang kuat dan berhasil

menguasai negara, ini merupakan hasil persaingan yang demokratis dan sifatnya sementara.

Karena pada dasarnya, kebijakan negara ditentukan oleh pertemuan kepentingan di dalam

masyarakat. Kedua, varian kaum Marxis. Kaum ini mengatakan bahwa negara dikendalikan

oleh kelompok yang paling dominan di masyarakat. Kelompok atau klas yang dominan ini

secara terus menerus akan menduduki posisi dominan tersebut.

Teori Hegemoni Negara

Negara diartikan sebagai lembaga-lembaga yang tidak hanya mencakup unsur pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif) serta aparat pertahanan dan keamanannya (polisi dan militer), tetapi bisa juga mencakup di dalamnya lembaga-lembaga non-pemerintah atau organisasi sosial politik, ekonomi, dan kultural masyarakat yang menjadi sarana bagi berlangsungnya hegemoni negara (memeperkukuh penyebaran kepentingan/kekuasaan negara). 11

Gramsci menekankan bahwa hegemoni berhasil ketika kelas penguasa berhasil menyingkirkan kekuatan oposisi, dan memenangkan persetujuan baik aktif maupun pasif dari sekutunya. Menurut Gramsci subjek dari tindakan politik tidak dapat di identifikasikan

(8)

dengan kelas-kelas sosial, semenjak mereka mencapai bentuk “keinginan kolektif, yang menciptakan ekspresi politik dari sistem hegemoni yang diciptakan melalui ideologi. Formasi dari sebuah keinginan kolektif bukanlah konsekuensi dari penekanan dari ideologi kelas dominan terhadap kelas-kelas lainya, melainkan produk dari reformasi moral dan intelektual yang mengartikulasikan kembali elemen-elemen ideologi. Jadi secara umum bisa dikatakan bahwa hegemoni dalam pemehaman Gramsci mengorganisir persetujuan-proses dimana dilakukan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi dikonstruksi tanpa harus melalui jalan kekerasan atau koersi, blok penguasa ini tidak hanya beroperasi ditataran ruang politik (political society) tetapi juga diseluruh masyarakat (civil society). 12

Hegemoni merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dalam terminologinya disebut momen dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang: Dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai klas diktator.13 Hegemoni adalah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsesus ketimbang didapat melalui penindasan terhadap klas sosial lainnya. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui institusi yang ada di dalam masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Karena itu hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam rangka yang di tentukan.

Ada dua hal yang mendasari dalam terjadinya hegemoni, yaitu pendidikan di satu pihak dan mekanisme kelembagaan dipihak lain. Oleh karena itu pendidikan yang ada tidak pernah menyediakan kemungkinan membangkitkan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan sistematis. Di lain pihak mekanisme kelembagaan (sekolah, partai-partai politik, media

12 Antoni Gramsci, Selection From Prison Notebooks dalam Nezar Patria&Andi Arief, Antoni Gramsci Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2003, hlm. 113.

(9)

masa, militer, polisi dan sebagainya) menjadi tangan-tangan kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominir. Konflik sosial yang ada dibatasi baik intensitas maupun ruang lingkupnya, karena ideologi yang ada membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai dan harapan menurut sistem yang telah ditentukan.14

Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu Pertama, hegemoni total (integral), hegemoni integral diandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia menunjukan adanya potensi disintegtrasi disana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi dibawah permukaan kenyataan sosial. Hegemoni yang tidak cukup efektif dan tidak berhasil melumpuhkan kepatuhan seluruh masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat sebenarnya melihat banyak ketimpangan dan dalam diri mereka terdapat danyak ketidak setujuan dan ketidak sepakatan namun tidak disertai dengan tindakan atau pemberontakan yang kongkret (passive resistance). Ketiga, hegemoni yang minimum (minimal hegemony). Bentuk hegemoni ini merupakan bentuk yang paling rendah dibandingkan dua bentuk diatas. Hegemoni ini bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campurtangan massa dalam hidup bernegara.15

14 Robert Bocock, Pengantar komprehensif untuk memahami hegemoni, (Yogyakarta: Jalasutra), 2007, hlm. 35.

(10)

BAB III PEMBAHASAN

Hegemoni Negara Oleh Militer Masa Orde Baru

Keterlibatan ABRI dalam politik erat kaitanya dengan Dwi Fungsinya. Masalah ini telah banyak mendapat sorotan oleh para ahli/pengamat ilmu politik, baik dari dalam negeri maupun oleh sarjana-sarjana asing. 16 salah satu pendapat yang sangat menarik, dikemukakan oleh Ulf Sundhaussen bahwa “kaum sipil memikul tanggung jawab besar terhadap pengambilan-pengambilan keputusan politik oleh kaum militer”, atau dengan kata lain “naiknya kaum militer dalam pangung kekuasaan adalah disebabkan oleh ketidak mampuan lembaga sipil sendiri untuk mencegah dan mengatasi krisis”.17 TB Simatupang dengan sudut pandangan yang agak berbeda dengan mengajukan tiga alternatif dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan, memilih alternatif ketiga, yaitu mencapai kemajuan dalam pembangunan dengan mengawinkan stabilitas serta pembangunan ekonomi dan industri dengan pengalaman semua sila dari Pancasila.

Disinilah letak TNI sebagai stabilisator dan dinamisator. Lebih dari itu menurut Simatupang TNI dalam melaksanakan tugasnya itu bukan hanya menyangkut TNI saja, “melainkan termasuk salah satu permasalahan nasional kita yang akan ikut menentukan sifat dan arah perkembangan serta pertumbuhan kita sebagai bangsa dan negara diwaktu yang akan datang”.18 Kiranya dapat dipahami jika hampir di semua eselon pemerintahan, di lembaga legislatif dan juga di lembaga-lembaga sosial swasta kita temukan ABRI. Ini sejalan dengan upaya mewujudkan stabilitas sebagai pra syarat bagi terlaksananya pembangunan. Bahkan pada tahun 1992—hanya sebagai contoh kasus tanpa ada pretensi terhadap tahun ini

16 Lihat misalnya karya-karya : Ulf Sundhaussen, Harold Crouch, Yahya Muhaimin, Nugroho Notosusanto, M. Rusli Karim.

17 M. Dawam Rahardjo, Angkatan Bersenjata sebagai Kekuatan Politik. Prisma 12, hal. 109-123, dalam Drs. M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, (Jakarta: Rajawali), hal. 162

18 T.B. Simatupang, Menelaah Kembali Peranan TNI : Refleksi Kesejarahan dan Perspektif Masa Depan,

(11)

diperkirakan setengah dari kabupaten dan kotamadya serta sepertiga dari 27 provinsi yang ada saat itu dipimpin oleh militer aktif. Penunjukkan militer aktif sebagai kepala daerah tersebut dimungkinkan dalam konteks Dwifungsi ABRI.19

Militer dapat menancapkan kuasanya secara nyata setelah Soekarno dapat disingkirkan melalui tragedi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Militer mengambil alih kuasa negara ini melalu tangan Soeharto, seorang perwira aktif ketika diangkat menjadi Presiden. Militer mengedepankan kembali ideologi Pancasila yang selama Soekarno digeser oleh ideologi Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom). Pada tahun 1968 Soeharto menjadikan Pancasila sebagai ideologi dasar negara. ABRI pun menjadikannya sebagai ideologi dasarnya. Ini berarti usaha mengganti Pancasila sebagai ideologi dasar negara adalah suatu usaha pengkhianatan terhadap Negara dan juga militer sekaligus. Ini juga dapat terlihat dalam Sapta Marga, janji dasar militer yang harus dilaksanakan oleh semua anggotanya. Pada marga pertama berisi bahwa semua prajurit adalah Warga Negara Indonesia yang berdasar Pancasila. Yang kedua semua prajurit adalah patriot Indonesia, penjaga kedaulatan negara dan juga ideologinya. Dengan ini jelas militer mengidentikkan dirinya dengan Pancasila yang tak tersentuh (untouchable).20

ABRI dan partai politik dipandang sama-sama sebagai unsur kekuatan nasional. Keduanya merupakan kawan seperjuangan dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pembangunan nasional (termasuk pembangunan sektor politik), di samping tugas membangun dan memelihara stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Serta guna meningkatkan ketahanan nasional. Sebagai kekuatan sosial, ABRI melaksanakan tugasnya dengan memprioritaskan, dan mengoptimalkan integrasi ABRI-masyarakat. Hubungan ABRI dan masyarakat terjalin di atas keakraban (partnership). Demikian pula antara ABRI dan kekuatan sosial lain.

19 Damien Kingsbury, Power Politics and the Indonesian Military, (London: Routledge Courzon), 2003, hal. 10-11

(12)

Pada era Orde Baru, kepemimpinan ABRI mudah sekali ditenggarai lewat kepemimpinan ABRI di berbagai bidang kehidupan bersama di negeri ini. ABRI bertindak sebagai pelopor ideologi, pembaruan, dan dinamisasi kehidupan politik. Selain perannya yang menonjol pada umumnya, maupun dalam bidang-bidang khusus, seperti pembangunan pedesaan (lewat program AMD/ABRI Masuk Desa), perkotaan, industri, dan lain sebagainya. Di era itu, tidak sedikit elite di kalangan ABRI, juga cendekiawan di tengah masyarakat umum yang meyakini, selama terdapat ancaman terhadap UUD 1945 dan ideologi negara Pancasila, yang tertuju langsung atau tidak langsung ke negara dan masyarakat Indonesia, selama itu pula ABRI tidak akan berdiam diri. Dorongan itu, disebabkan ABRI memposisikan diri, selain diposisikan oleh lingkungannya sebagai kekuatan bersenjata, sekaligus dinamisator dan stabilisator.

Selama pemerintahan Presiden Soeharto, Dwifungsi ABRI dimanifestasikan lewat organisasi politik Jenderal Soeharto, yaitu Golkar. Di dalam Golkar pada tingkat pusat Presiden Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina, sedangkan pada tingkat daerah, Panglima, Komandan Kodim, merupakan penentu organisatoris dalam kepengurusan Golkar. ABRI adalah jalur terpenting di dalam Golkar, disamping Korpri.

Perkembangan Jumlah Kursi Militer di DPR Tahun 1967-2004

Tahun Jumlah Kursi Persentase

1967-1971 43 12,3

1971-1977 75 16,3

1977-1982 75 16,3

1982-1987 75 16,3

1987-1998 100 20

1992-1997 100 20

1997-1999 75 15

1999 (TNI & POLRI) 38 8

Sumber: Jun Honna, 200321

(13)

Doktrin yang ada di masyarakat pun pada saat itu menggambarkan ABRI sebagai pejuang pembela kemerdekaan. Sosok ABRI sebagai penyokong bangsa menjadikan ABRI sebagai lembaga maupun personal diposisikan sebagai penjaga keselamatan dan ketertiban bangsa Indonesia. Setiap anggota ABRI digambarkan sebagai pejuang pembela kemerdekaan negara. Dalam perkembangannya, baik lembaga maupun anggota ABRI diposisikan sebagai subsistem daripada sistem pemerintahan Pancasila, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekeluargaan di atas landasan keserasian, keseimbangan, serta keselarasan. Bahkan jika ditilik berdasarkan periodenya, ada beberapa slogan yang disematkan kepada ABRI.22

Periode Slogan

Wasit dan Penyeimbang bagi Politisi Sipil

Pada masa Orde Baru nyaris tidak terjadi friksi yang kentara dalam tubuh militer. Terjadi kolaborasi yang sangat tertata antara negara sebagai klien dari tentara. Sehingga yang terjadi bukanlah supremasi sipil terhadap militer, melainkan pemanfaatan kekuatan militer oleh rezim yang bersikap layaknya sipil. Dalam konteks ini William Liddle menegaskan ada empat kendala besar supremasi sipil sulit terwujud di Indonesia.23 Kendala yang pertama adalah sikap pemimpin partai yang enggan menegakkan sendi-sendi supremasi sipil secara tegas. Mereka masih mengharapkan dukungan politik tentara untuk masing-masing partai. Kedua, secara keuangan tentara mandiri dan sangat tidak transparan mengenai keuangannya,

22 Eep Saifullah dalam bahan Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia di Universitas Indonesia, 2007

(14)

serta negara hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari anggaran militer sehingga militer lebih otonom terhadap negara. Ketiga, peran politik riil yang dimainkan oleh perwira TNI saat ini dalam bentuk komando teritorial (kini komando kewilayahan) yang mencakup skup terkecil administrasi birokrasi pemerintahan sipil dan mempunyai kekuatan intelejen yang tinggi. Keempat, sikap arogan banyak anggota TNI yang membuatnya tak mudah untuk menyatu dengan sipil.

Dengan kuatnya militer dalam masa Orde Baru, maka dengan serta-merta kekuatan itu memberikan teror pada rakyat atau kalangan sipil oposisi. Dalam konteks itu Damien Kingsbury mencoba meminjam sudut pandang Gramsci tentang hegemoni dalam menjelaskan bagaimana kuatnya ABRI dalam kehidupan bernegara Indonesia pada masa Orde Baru. Singkatnya Gramsci merumuskan hegemoni sebagai kondisi saat subjek atau individu melakukan aktivitas atau tidak melakukan aktivitas dalam kerangka ketiadaan pilihan. Dan kondisi ini bisa dihadirkan oleh ABRI saat itu dengan menanamkan pikiran pada benak rakyat Indonesia bahwa mereka selalu ada dalam tekanan konstan todongan senjata. Konsep Gramscian ini dipahami benar oleh para petinggi sipil dan militer untuk berkolaborasi membangun ketertiban di Indonesia. Bahkan pengaruh itu sangat luas dari mulai pendidikan, penggunaan Pancasila, membelokkan makna nasionalisme untuk kepentingan rezim serta menekan media massa dengan melakukan sensor dan pembredelan.24

Oleh karena itu penekanan Gramsci pada hegemoni atau dominasi beberapa kelompok sosial atau kelas dalam kekuasaan telah mendorong beberapa pengkritik untuk menyarankan bahwa ia mendesakan interpretasi-interpretasi reformis atau tanpa menggunakan dialektika memisahkan politik dari ekonomi.25 Kekuatan tersebut disokong lewat sistem komando teritorial yang membuat ABRI menjadi organisasi yang sangat tertata secara hierarkis dan

24 Damien Kingsbury, op.cit., hal. 26-27

(15)

juga memiliki sistem intelejen yang rapi. Berikut adalah gambaran komando teritorial

Komandan Unit Teritorial Angkatan Darat

(16)

BAB IV KESIMPULAN

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa hegemoni negara yang dilakukan oleh militer dalam hal ini yang sangat mendominasi dan sangat berpengaruh menentukan arah jalanya negara pada masa Orde Baru. Selain itu militer pada masa Orde Baru dapat menempatkan diri di masyarakat sehingga pengaruh dan keberadaanya sangat dirasakan oleh masyarakat. Hegemoni pada masa Orde Baru tidak hanya dalam militer akan tetapi di pendidikan, agama dan ideologi negara sehingga pada masa Orde Baru sangat seragam dan searah. Doktrin yang dilakukan oleh militer sangat terasa dan berhasil selama lebih kurang 32 tahun sehingga mengakar kuat di masyarakat hal itu masih terasa pada saat ini yang menjadi warisan budaya Orde Baru.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief, Teori Negara, Negara Kekuasaan dan Ideologi, (Jakarta : Gramedia), 1996. Bocock, Robert, Pengantar komprehensif untuk memahami hegemoni, (Yogyakarta :

Jalasutra), 2007.

Bulkin, Farchan,(ed.) Analisa Kekuatan Politik Indonesia, (Jakarta : LP3ES), 1985. Cesch, Michael D, Politisi vs Jenderal: Kontrol Sipil Atas Militer di Tengah Arus yang

Bergeser, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), 2002.

Crouch, Harold, Militer dan Politik Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan), 1999. Feith, Herbert, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta : LP3ES), 1988. H. Chilcote, Ronald, Teori Perbandingan Politik Penelusuran Paradigma, ( Jakarta :

Rajawali Pers), 2007.

Honna, Jun, Military Politics and Democratization in Indonesia, (London : Routledge), 2003. Karim, M Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut,

(Jakarta : Rajawali), 1993.

Kingsbury, Damien, Power Politics and the Indonesian Military, (London : Routledge Courzon), 2003.

Said, Salim, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan), 2001.

Saifullah, Eep, Bahan Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia, (Universitas Indonesia), 2007.

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia), 2010.

Pabottinggi, Mochtar, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, (Jakarta : Gramedia), 1995.

Referensi

Dokumen terkait

Jika suatu perusahaan memiliki kinerja keuangan yang baik maka investor akan menanamkan modalnya, karena bisa dipastikan akan memperoleh keuntungan dari penanaman

Keputihan normal atau fisiologis terjadi sesuai dengan siklus reproduksi wanita atau sesuai dengan siklus tubuh wanita dengan jenis pengeluaran berwarna bening,

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menguji apakah ukuran koperasi dan

[r]

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial gaya kepemimpinan, pemahaman good governance, dan ketidakjelasan peran berpengaruh signifikan terhadap kinerja

Ahmadi Usman, MA NIP... Ahmadi Usman,

Salah satu dari faktor yang mempengaruhi loyalitas pelanggan adalah kualitas layanan. Jika kualitas layanan dari sebuah restoran tidak dapat memenuhi ekspektasi

Kesimpulan penelitian ini adalah terjadi kembali keutuhan dan sifat biomekanik tendon yang fungsional pada jaringan rekonstruksi defek tendon fleksor kelinci yang disambung