• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tentang Etika Diskursus Jurgen Habermas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tentang Etika Diskursus Jurgen Habermas."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tentang Etika Diskursus Jurgen Habermas

1

Oleh Rizki Baiquni Pratama, 1106061365

Pendahuluan

Persoalan etik merupakan persoalan yang tidak pernah dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Wacana etik dalam dunia filsafat sudah muncul sejak masa Yunani kuno. Pada abad XX persoalan etik tetap menjadi perhatian, khususnya oleh para filosof. Tokoh pada masa ini yang menonjol antara lain John Rawls dan Jurgen Habermas. Rawls rnemperkenalkan konsep etikanya dengan justice as fairness.2Argumen keadilannya dipengaruhi oleh kontrak sosial Rouseau, John Lock dan Immanuel Kant.

Sedangkan, Jurgen Habermas adalah seorang filosof dari mazhab Frankfurt yang menjadi penerus dari Horkheimer, Marcuse dan Adorno. Mazhab Frankfurt merupakan suatu aliran pemikiran yang mengembangkan teori kritik masyarakat yang didirikan untuk meneruskan pemikiran Marx. Sebagai seorang filosof sosial, Habermas merumuskan suatu prinsip kebenaran yang meskipun dipengaruhi oleh etika Kantian imperatif kategoris, tetapi Habermas lebih menitikberatkan kepada proses terbentuknya suatu norma dari pada normanya itu sendiri yang merupakan hasil dari suatu konsensus. Maka dalam paper ini saya akan memaparkan mengenai pemikiran Jurgen Habermas mengenai pemikiran etika diskursusnya yang menurut saya adalah sangat menarik untuk dibicarakan. Dan mengikuti apa yang dikatakan oleh Rorty maka Habermas memang adalah sosok Filsuf yang paling sistematis di abad ini.

Sejarah Singkat Hidup Habermas

Habermas dilahirkan tahun 1929 di Gummersbach, selain dikenal sebagai ahli politik, dia juga seorang filosof sosial.3

Dia belajar di Universitas kota Gotingen kemudian melanjutkan

studi filsafat di Universitas Bonn dan pada tahun 1945 meraih gelar doktor dalam bidang filsafat dengan disertasinya yang berjudul Das Absolute und Die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang banyak dipengaruhi oleh Heidegger.4

1 Diajukan untuk tugas UAS etika pada tanggal 20 Desember 2012

2 Stephen K. White (ed). The Cambridge Companion to Habermas, (America: CambridgeUniversity Press, 1995). hal. 144.

3 Gerben Heitink, Practical Theology, (Michigan: William B.E. Publishing company, tt), hal.132

(2)

Pada tahun 1956, Habermas masuk dalam Lembaga penelitian social (Institut Fiir Sozialforschung) di Frankfurt dan menjadi asisten Adorno. Salah satu penelitiannya adalah perilaku politik mahasiswa di Universitas Frankfurt, yang dimuat dalam buku Student und politik (1964). Mulai tahun 1961-1964 dia menjadi profesor bidang filsafat di Heidelberg. Setelah tahun 1964 dia kembali ke Frankfurt sebagai profesor bidang sosiologi menggantikan Max Horkheimer. Tahun 1962 dia menulis Stuctunoandel der Oeffentlichkeit (perubahan Struklur Pendapat Umum) suatu karya yang membahas sejauh mana demokrasi masih mungkin untuk dilaksanakan dalam masyarakat industry modern.5 Dan pada tahun 1970, dia meninggalkan Franklin I pindah ke Max Plank Institut di Starberg (dekat Munchen) dan menjadi direktur.

Karya-karya Habermas antara lain Theorie und Praxis (1961), Zur Logik der Sozinlwissehschaften (Tentang logika Ilmu pengeta-huan Sosial) (1967), Technik und Wissenschaft als Ideologic (Tehnik dan Ilmu Pengetahuan Sebagai Ideologi) (1968), Jlieorie der Gesselschaft und Sozialtechnologie (Teori Masyarakat dan Tehnologi Sosial) (1971), Philoshopich-Politische Profile (1971), Kultur und Kritik (1973), Zur Rekonstruktion der Historiclien Materialismus (1976), Moral Consciousness and Commonicative Action, dan

The Theory of Communicative Action.

Bertolak Dari Problem Rasio Praktis Kant

Dalam Pemikirannya mengenai etika, Habermas menamakan etikanya sebagai etika diskursus. Eika diskursus sendiri merupakan salah satu proyek yang ingin diajukan oleh Habermas untuk melanjutkan strategi perubahan dari paradigma filsafat subyek ke paradigma intersubyektivitas dengan melontarkan kritiknya atas filsafat praktis Kant. Kritik ini berkaitan dengan keberatannya terhadap pengandaian-pengandaian dasar Mazhab Frankfurt yang bertumpu pada konsep Immanuel Kant tentang rasio praktis.6

Jelas sekali sejak kant, rasio dibedakan menjadi dua yaitu rasio praktis dan rasio murni. Rasio murni adalah kemampuan akal budi manusia untuk mencapai pengetahuan teoritis. Sedangkan rasio praktis merupakan kemampuan akal budi manusia untuk mengetahi baik atau buruknya suatu tindakan. Selanjutnya dalam rasio praktis, Kant melihat bahwa subyek tindakan sebagai sesuatu yang menimbang-nimbang secara sendirian apa yang seharusnya dia lakukan.

5 Ibid., hal. 214-215.

(3)

Hingga subyek tindakan yang otonom ini menimbang-nimbang manakah maksim tindakan manakah yang sekiranya legitim sebagai norma penetapan undang-undang untuk semua orang. Kant lalu merumuskan maksim tindakan itu di dalam imperatif kategoris yang termasyhur itu.7 Maka dari imperatif kategoris milik kant tersebutlah Habermas memulai etikanya. Namun walaupun seperti itu, Habermas tidak menyetujui bagaimana cara Kant memastikan keberlakuan universalitas nilai-nilai moral.8 Menurut Habermas tidak cukup kalau setiap orang sendirian memeriksa apakah ia dapat menghendaki keberlakuan moral sebuah norma9. Sehingga setiap orang atau subjek tindakan itu mengambil keputusannya yang oleh Habermas dinamakan monologikal. Bagi Habermas sendiri, sebuah norma dapat dikatakan sebagai norma yang universal bukan melalui cara imperatif kategoris milik Kant yang cenderung hanya dimiliki oleh kesadaran individual masing-masing saja, melainkan harus melalui suatu kesepakatan yang disepakati bersama. Kemudian kesepakatan bersama tersebut harus dicapai dalam suatu pembicaraan yang sifatnya adalah terbuka bagi semua pihak yang bersangkutan dan bebas dari segala bentuk tekanan maupun paksaan. Pembicaraan yang untuk memastikan bersama suatu yang dipermasalahkan disebut diskursus10 Dalam diskursus semua yang merasa bersangkutan boleh ikut, semua boleh mengajukan gagasan, harapan, dan argument-argumen mereka.11

Oleh karena itulah bagi Habermas, Kant telah melepaskan rasio praktis tersebut dari konteks komunitas dan melucuti cirri-ciri sosialnya sedemikian rupa sehingga rasio praktis ini dari konteks komunitas sehingga rasio praktis hanya menjadi kemampuan subjektif belaka.12 Selanjutnya seperti yang telah ditulis sebelumnya, Habermas mengatakan bahwa keberlakuan universal ini haruslah berdasarkan kesepakatan universal. Hal itu dengan baik dirumuskan oleh Habermas dalam prinsip penguniversasian “U” : “Sebuah norma hanya boleh dianggap sah kalau implikasi-implikasinya dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua yg bersangkutan.” Prinsip ini disebut Habermas sebagai prinsip jembatan karena menjembatani antara norma moral tertentu dan keharusan umum untuk bertindak moral, sedangkan etika diskursus yang menjadi suatu kesepakatan itu bias benar-benar terlaksana dirumuskan sebagai “D”: “Hanyalah norma-norma

7 Ibid. Hal. 2

8 Franz Magnis Suseno. Etika abad kedua puluh: 12 Teks Kunci, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1983), Hal. 234 9 Ibid, Hal. 234

10 Ibid, Hal. 234 11 Ibid, Hal. 234

(4)

yang disetujui oleh semua yang bersangkutan sebagai peserta sebuah diskursus praktis boleh dianggap sah.

Yang menarik dari etika diskursus milik habermas ini adalah walaupun habermas telah menganggap rasio praktis subjek kant sebagai sesuatu yang telah tidak bisa diterima lagi, namun tetap saja habermas melakukan suatu penguniversalisasian terhadap prinsip etika diskursus itu sendiri, ini dapat terlihat apabila seseorang yang masuk pada sebuah diskursus, dan beradu argument untuk melihat mana yang lebih benar dari yang lain. Maka disini ia mau tidak mau, suka tidak suka harus mengakui prinsip penguniversalisasian. Karena menyangkal keberlakuan “U” merupakan sebuah kontradiksi yang oleh Habermas disebut Kontadiksi Performatif. Jadi dapat dikatakan bahwa peraturan dalam suatu diskursus tidak dapat disangkal. Tanpa yang namana kontradiksi performatif, karena tujuan dari diskursus adalah kesepakatan dan kesepakatan hanya dapat tercapai apabila semua pihak meyakini sendiri apa yang disepakati.13

Prinsip Etika Diskursus

Menurut Habermas, adalah sangat tidak masuk akal bahwa jika orang ikut serta dalam sebuah diskursus hanya dengan maksud murni untuk mencapai konsensus saja. Karena itu Habermas berbicara tentang “kepentingan“ (Interesse) dan “kebutuhan“ (Bedürfnis). Kita berpartisipasi di dalam diskursus dengan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan kita sendiri dengan harapan bahwa konsensus yang dicapai dapat memenuhi kepentingan-kepentingan atau kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dalam pandangan Habermas kepentingan-kepentingan bukanlah sesuatu yang statis atau terisolasi dari kepentingan-kepentingan lainnya. Kepentingan terbentuk lewat kontak intersubyektif. Jadi, tidak tertutup kemungkinan bahwa para peserta diskursus membawa kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Kepentingan-kepentingan mereka itu dapat bertabrakkan dengan kepentingan kepentingan orang-orang lain. Justru lewat konfrontasi macam itu menurut Habermas terbentuklah kepentingan bersama.. Beberapa kepentingan dapat diuniversalisasikan dan beberapa tetap bersifat parsial.

Dalam “prinsip etika diskursus“ proseduralisme untuk menguji universalitas kepentingan itu dijelaskan. Di sinilah prinsip pengujian diskursif dirumuskan secara padat. Menurut asas tersebut, norma yang sahih harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang diuniversalkan. Meskipun pada faktanya tidak semua orang yang bersangkutan dengan norma tersebut bisa hadir

(5)

dalam diskursus praktis, para peserta diskursus yang ada harus berusaha keras untuk menemukan konsensus yang seluas mungkin atas norma tersebut. Oleh karena itu Mereka yang tidak hadirpun harus dapat membayangkan bahwa konsensus yang dicapai itu dapat diterima di dalam diskursus tersebut.

Selanjutnya Habermas harus berhadapan dengan Albrecht Wellmer yang mengajukan keberatan bahwa dalam kenyataannya orang tidak akan berpikir untuk membenarkan keyakinan-keyakinan moralnya terlebih dahulu melalui sebuah diskursus. Sehingga menurutnya etika diskursus tidak ada manfaatnya sama sekali. Menanggapi keberatan Wellmer tersebut maka Habermas dengan tegas menyatakan bahwa Etika diskursus tidak bermaksud menciptakan norma-norma moral, melainkan hanya memeriksa kembali status norma-norma yang dipersoalkan. Jadi dapat dikatakan bahwa etika diskursus tidak menawarkan atau mengajukan suatu pandangan moral tertentu, melainkan hanya sekedar mencek apakah sebuah norma yang dipersoalkan tersebut dapat berlaku universal atau tidak. Lebih lanjut, etika diskursus mengambil norma-norma yang didiskursuskan dari dunia kehidupan. Dunia kehidupan didefinisikan oleh habermas sebagai segala macam pandangan dunia, kepercayaan, nilai-nilai dan kebiasaan yang berlaku dalam dalam sebuah komunitas atau kelompok sosial tertentu. Namun, tetap saja bagi Habermas orang tidak akan mempertaruhkan pandangan moralnya serta mempertaruhkan identitas kulturalnya pada pandangan bersama. Sehingga Etika diskursus tidak akan menguji keyakinan-keyakinan moral dari dunia kehidupan melainkan hanya norma-norma dari dunia kehidupan yang kadar legitimasinya sudah mulai diragukan sehingga perlu dipastikan kembali secara bersama-sama. Maka dapat dikatakan bahwa tugas etika diskursus memang sangat terbatas, Ia tidak menyajikan sebuah system moral, melainkan merupakan prosedur untuk memeriksa apakah norma-norma yang sudah dipersoalkan, berlaku secara moral atau tidak.14 Oleh karena itu Etika diskursus bersifat bukan bersifat material dan subtansial melainkan bersifat formal dan procedural.

Mekanisme Dalam Melaksanakan Etika Diskursus

Sebelumnya telah dijelaskan sedikit bahwa Habermas walaupun mengkritik prinsip maksim penguniversalisasian oleh Kant tapi sebetulnya ia tetap menerimanya pada tatanan

(6)

peraturan etika diskursus itu sendiri. Mengutip analisa Franz Magnis suseno dari usulan Alexy 15 maka peraturan-peraturan dalam etika diskursus adalah sebagai berikut :

1. Setiap Subjek yang mampu untuk berbicara dan bertindak boleh ikut dalam diskursus-diskursus.

2. a. Setiap peserta boleh mempersoalkan setiap pernyataan.

b. Setiap peserta boleh memasukan setiap pernyataan kedalam diskursus.

c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.

3. Tak ada peserta yang boleh dicegah, dengan paksaan didalam atau diluar diskursus, dari menjalankan hak-haknya yang telah ditetapkan melalui peraturan 1 dan 2 di atas

Dengan peraturan-peraturan dalam etika diskursus seperti ini maka sangat terlihat bahwa Habermas ingin mempertahankan universalisme Kantian, namun sekaligus menolak pengandaian-pengandaian filsafat subyek di dalam filsafat Kant. Untuk itu dia melihat universalisme tersebut sebagai sesuatu yang melekat di dalam prosedur-prosedur komunikatif itu sendiri sebagai klaim kesahihan. Sehingga menurutnya orang tak boleh menganggap universalisme Kantian itu berlaku universal, betapapun rasional dan logisnya pernyataan-pernyataannya. Orang juga tak boleh menganggap pernyataan-pernyataan universal itu sebagai kebenaran final yang melampaui hubungan-hubungan sosial. Setiap pernyataan universal dan bahkan universalisme Kantian itu sendiri harus dipandang sebagai sebuah kontribusi yang kebenarannya masih harus diuji secara intersubyektif. Maksim-maksim tindakan yang dihasilkan oleh seorang subyek tunggal yang berpikir sendirian tidak dapat belaku sebagai norma-norma yang universal, sebelum maksim-maksim itu lulus dari pengujian bersama. Namun setelah itu Habermas memperlihatkan bahwa prinsip universalitas itu hanya dapat berlaku pada peraturan dalam proses jalannya etika diskursus itu sendiri. Karena jika orang mau melibatkan diri dalam proses argumentasi maka dia mau tidak mau harus mengakui dan melaksanakan peraturan diskursus itu, dan kalau tidak konsekuensinya adalah diskursus tidak akan pernah bisa terlaksana sama sekali. Memang pada dasarnya Habermas mengakui bahwa dalam kenyataanya tidak semua diskursus bisa berjalan sesuai dengan 3 poin peraturan diskursus tersebut. Karena pada faktanya, diskursus tidak selalu murni bersifat diskursus atau dalam hal ini yang benar-benar murni

(7)

mencari kebenaran sejati, melainkan diskursus juga sudah dipengaruhi oleh berbagai macam keterbatasan dari peserta yang mengikuti diskursus seperti harapan, kehawatiran, emosi, kepentingan dan sebagainya. Walaupun keadaanya seperti itu, sejauh suatu pembicaraan merupakan diskursus maka peraturan diskursus mau tidak mau harus dipatuhi.

Jika dibuat pengandaian untuk memudahkan memahami mengenai prinsip penguniversalisasian dan mekanisme dari jalalanya suatu etika diskursus maka sekiranya dapat diambil contoh melalui mekanisme pengadilan yang ada di pengadilan16. Di dalam proses pengadilan orang tunduk pada prosedur-prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di antara orang-orang yang berperkara. Untuk itu orang harus bertolak dari anggapan bahwa proses pemeriksaan melalui pengadilan itu tidak memihak di hadapan berbagai macam kepentingan yang saling bertentangan (meskipun keadilan bisa saja tidak ada). Proses pengadilan tersebut hanya mungkin dan hanya dapat terlaksana, jika proses itu berdasarkan pada sebuah ide yang mengatasi proses itu, yakni ide keadilan. Keadilan memang tak dapat diwujudkan sepenuhnya karena terdapat kepentingan-kepentingan tersembunyi dari pihak-pihak yang berperkara ataupun dari hakim tak dapat diperkirakan sebelumnya. Akan tetapi fakta dari ide keadilan itu harus diandaikan, supaya proses pengadilan itu dapat berlangsung, dan di dalam jalannya suatu pengadilan itulah antara pihak-pihak yang saling beselisih dan berbeda pandangan bisa saling adu argumentasi secara elegan. Jadi dapat dikatakan bahwa ide keadilan itu bersifat konstitutif, karena tanpanya proses pengadilan itu tak dapat terlaksana. Ide itu sekaligus juga regulatif karena berlaku sebagai prosedur untuk memeriksa apakah proses itu sendiri adil atau tidak, dan hal ini dapat dianalogikan pada prinsip univesalitas yang keberadaanya “menempel” pada syarat mutlak berjalannya suatu etika diskursus.

Kesimpulan

Habermas memperkenalkan teori etikanya dengan nama Etika diskursus, yang mana dalam etika diskursus setiap orang bebas menyampaikan gagasan serta pemikirannya terhadap masalah-masalah moral yang mana nilai moral yang didiskursuskuan tersebut sudah mulai tidak bisa dipercayai lagi. Pemikiran Habermas ini bertolak dari etika deontologi Kantian, tetapi dengan tegas habermas menolak otonomi subjek yang hanya bisa mengetahui suatu nilai kebenaran. Karena menurut habermas suatu klaim moral hanya disebut sah jika terdapat suatu

(8)

kesepakatan bersama di dalamnya. Namun walaupun seperti itu, Habermas tetap mempertahankan ciri universalitas Kantian pada mekanisme etika diskursus itu sendiri.

Daftar Pustaka

Stephen K. White (ed). The Cambridge Companion to Habermas, (America: Cambridge University Press, 1995).

Gerben Heitink, Practical Theology, (Michigan: William B.E. Publishing company, tt) Bertens. Filsafat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983),

Franz Magnis Suseno. Etika abad kedua puluh: 12 Teks Kunci, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1983),

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini ialah bahwa pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar menekankan kepada subjek belajar agar selalu memiliki