• Tidak ada hasil yang ditemukan

KLASIFIKASI KITAB TAFSIR al munir BERDASARKAN MET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KLASIFIKASI KITAB TAFSIR al munir BERDASARKAN MET"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

KLASIFIKASI KITAB TAFSIR

BERDASARKAN METODE

YANG DIGUNAKAN

Dosen Pengampu: Suismanto, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Isnaenti Fat Rochimi :144300

Siti Umairoh :14430037

PENDIDIKAN GURU RAUDLATUL ATHFAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

(2)

PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin assholatu wassalamu ‘ala asyrofil anbiyai wal mursalin sayyidina wa maulana muhammadin wa’ala alihi wa shohbihi ajma’in ammaba’du.

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul: KLASIFIKASI KITAB-KITAB TAFSIR BERDASARKAN METODE YANG DIGUNAKAN. Tidak lupa sholawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’at nya di dunia hingga yaumul akhir.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen mata kuliah Qur’an hadits, Bapak Suismanto, M.Pd.I yang telah memberikan tugas pembuatan makalah ini. Semoga dengan tugas makalah ini dapat membuka wawasan tentang pendidikan islam serta inovasi dalam pendidikan Islam. Segala kritik dan saran yang positif kami harapkan dari Bapak Suismanto M.Pd.I dan pembaca makalah ini.

Akhir kata terimakasih atas perhatiannya dan kami mohon maaf apabila terdapat salah kata selama dalam penulisan makalah .

Yogyakarta, 12 Maret 2015

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam yang di dalamnya memuat nilai-nilai universal kemanusiaan. Al Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat hingga akhir jaman. Untuk mendapatkan petunjuk itu manusia harus membaca, mengkaji, kemudian mengamalkan apa yang ada dalam al Qur’an tersebut. Sejalan dengan perkembangan jaman dengan segala macam permasalahan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, maka semakin berkembang pula penafsiran-penafsiran terhadap al-Qur’an sebagai usaha mewujudkan kemaslahatan bersama.

Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, tentu masing-masing mufasir memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam makalah ini penulis berusaha menjelaskan tentang studi kitab tafsir yakni membahas klasifikasi beberapa kitab-kitab tafsir.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana klasifikasi kitab-kitab tafsir yang didasarkan pada metode yang digunakan para Mufassir?

2. Metode apa yang digunakan Mufassir dalam menafsirkan kitabnya? C. TUJUAN MASALAH

1. Mengetahui dan memahami klasifikasi kitab-kitab tafsir beerdasarkan metode yang digunakan Mufassir.

(4)
(5)

BAB II PEMBAHASAN

1. JAMI’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL-QUR’AN (Karya Ibn Jarir Al-Tabari)

A. Setting Historis-Biografis Awal

Abu Ja’far Muhmmmad Ibn Jaris Ibn Yazid Ibn Ghalib al Tabari al-Amuli, ia lahir pada 223 H (838-839M) di kota Amul, ibukota Thabaristan, Iran. Ia hidup dilingkungan keluarga yang memberikan perhatian terhadap masalah pendidikan terutama, masalah keagamaan. Bebarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami masa kejayaan dan kemajuan dibidang pemikiran. Kondisi yang sedemikian itu, secara psikologis turut berperan membentuk kepribadian al-Tabari dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu1

B. Sejarah penulisan

Dibidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman tersendiri, setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al-Hadits, disamping bidang-bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami perkembangan secara metodologis dan substansial. Kemunculan aliran tafsir bi al-ma’sur dan bi al-ra’yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Kitab tafsir ini ditulis oleh al-Tabari pada paruh abad III H, dan sempat disosialisasikan di depan para murid-muridnya selama kurang lebih 8 tahun, sekitar 282 hingga 209 H.

Kitab tafsir karya al-Tabari memiliki nama ganda yang dapat dijumpai diberbagai perpustakaan: pertama, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al Qur’an dan kedua Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, terdiri dari 30 juz. Al-Tabari mencoba mengelaborasi terma takwil dan tafsir menjadi sebuah konstruksi pemahaman yang utuh dan holostik. Baginya kedua istilah itu adalah mutaradif (sinonim). Keduanya merupakan piranti intelektual untuk memahami kitab suci al-Qur’an yang pada umunya tidak cukup hanya dianalisis melalui kosakatanayaa, tetapi memerlukan peran aktif logika dan aspek-aspek penting lainnya, seperti

(6)

munasabah ayat dan atau surat, terma(ma’udu’), asbab al nuzul dan sebagainya. Menurut al-Subki, bentuk tafsir yang sekarang ini adalah khulasah (resume) dari kitab orisinilnya.2

C. Karakteristik Penafsiran

Dari sisi linguistic (lughah), Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan dan bertumpu pada syair-syair Arab Kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran ilmu gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, ia sanagat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan kepada pendapat dan pandanagan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in melalui hadits yang mereka riwayatkan (bi al-Ma’sur), ia juga menempuh jalan istinbat, ketika menghadapi sebagian kasus hokum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar I’rab-nya.

Aspek penting lainnya di dlam kitab tersebut adalah pemaparan qira’ah secara variatif dan dianalisis dengan cara dihubungkan dengan makna yang berbeda-beda, kemudian, menjatuhkan pilihan pada satu qiro’ah tertentu yang ia anggap paling kuat dan tepat.. al-Tabari sebagai seorang ilmuan, tidak terjebak dalam belengu taqlid. Ia selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam (kandungan al-Qur’an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan.3

D. Metode Penafsiran

Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma’sur, yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat otoritas-otoritas awal. Tetapi ia biasanya tidak memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta’dil dan tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian, untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuah lafaz, ia juga menggunakan

ra’yu. Dalam kaitan ini, secara runtut yang pertama-tama ia lakukan, ialah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab disertai struktur

(7)

linguistiknya, dan (i’rab) kalau diperlukan. Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai

syawahid dan alat penyelidik bagi ketepatan pemahamannya. Dengan langkah-langkah ini, proses tafsir (ta’wil) pun terjadi. Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah)-mau tidak mau- ia harus menggunakan logika (mantiq). Metode semacam ini termasuk dalam kategori Tafsir Tahlili dengan orientasi penafsiran bi al-ma’sur dan bi ar-ra’yi yang merupakan terobosan baru dalam bidang tafsir atas tradisi penafsiran yang berjalan sebelumnya.

Riwayat-riwayat yang kontroversial ia jelaskan dengan memeberikan penekanan-penekanan –setuju atau tidak setuju (sanggahan) – dengan mengajukan alternatif pandangannya sendiri disertai argumen penguatnya. Ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum, ia tetap konsisten dengan model pemaparan pandangan

fuqaha’ dari para sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in, kemudian mengambil

istinbat.

Untuk menunjukkan kepakarannya dibidang sejarah, maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Israiliyyat). Al-Tabari mengambil riwayat-riwayat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah Muslim seperti Ka’ab al-Ahbar, Wahab Ibn Munabbih, Abdullah Ibn Salim dan Ibn Juraij, dengan persepsi yang kuat bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat Arab dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama. Dengan pendekatan sejarah yang ia gunakan, tampak kecenderungannya yang independen. Ada dua pernyataan yang mendasar tentang konsep sejarah yang dilontarkan Al-Tabari; pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian, dan kedua, pentingnya pengalaman-pengalaman dari umat dan konsistensi pengalaman sepanjang zaman.

(8)

b. Melakukan penafsiran ayat dengan ayat (munasabah) sebagai aplikasi norma tematis “al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’d”

c. Menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah/al-Hadits (bi al-Ma’sur)

d. Bersandar pada analisis bahasa (lugah) bagi kata yang riwayatnya di persilisihkan e. Mengeksplorasi sya’ir dan menggali prosa bahasa Arab (lama) ketika menjelaskan

makna kosa kata dan kalimat

f. Memeprhatikan aspek I’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan tarjih

g. Pemaparan ragam qira’at dalam rangka mengungkap (al-kasyf) makna ayat

h. Membeberkan perdebatan dibidang fiqih dan teori hokum Islam untuk kepentingan analisis dan istinbat hokum

i. Mencermati korelasi ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang relative kecil

j. Melakukan sinkronisasi antar makana ayat untuk memperoleh kejelasan dalam rangka untuk menangkap makna secara utuh

k. Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.4

E. Sistematika Penafsiran

Sistem penafsiran al-Tabari mengikuti tartib Mushafi. Dalam sistematika ini, sang mufasir mrnguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah di dalam mushaf (Usmani). Sekalipun demikian, pada bagian tertentu ia juga menggunakan pendekatan yang semi-tematis. Pendekatan ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suaatu ayat dengan memberikan sejumlah ayat-ayat lain yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya.

Penafsiran al-Tabari yang paling dahulu adalah pemaparan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada tentang takwil (tafsir) firman Allah. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan dengan riwayat-riwayat generasi awal Islam. Langkah selanjutnya adalah analisis terhadap ayat dengan nalar kritisnya yang ditopang oleh perangkat-perangkat penting lainnya, termasuk linguistic.

(9)

F. Contoh Penafsirannya

Ketika menafsirkan Qs. Al-Ma’idah (5): 89

Yang dicermati al-Tabari adalah kalmat min ausati ma tut ‘imuna ahlikum. Potongan ayat ini telah ditafsirkan oleh sebagian sahabat Nabi Saw secara berbeda. Ibnu Abbas, misalnya, menafsirkan ayat itu dengan: jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda) secara moderat tidak mahal dan tidak murah. Sementara Sa’id bin Jubair ‘Ikrimah menafsirkan dengan: (atau dari jenis makanan yang sederhana yang dikonsumsi keluarga); sahabat ‘Atha’ menafsirkan: (semisal apa yang dikonsumsi keluargamu).Disamping merujuk pada beberapa penafsiran para sahabat, al-Tabari merujuk pula sebuah hadis terkait dengan penafsiran tersebut, yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin dari Ibn ‘Umar.

Setelah ditopang oleh sejumlah referensi yang cukup akurat, kemudian al-Tabari menyetakan secara tegas , bahwa yang dimaksud firman Allah: min ausati ma tut ‘imuna ahlikum adalah dalam hal kuantitas, moderat tidak sedikit dan tidak pula banyak. Dari sini kemudian muncul wacana di kalangan ulama tentang standar bahan makanan yang harus dibayarkan oleh si pembayar kifarat (denda).

2. AL-KASYSYAF (Karya Al-Zamakhsyari) A. Setting Historis-Biografis

(10)

mengikuti pengajian fiqh oleh Hanafi. Ia juga melawat ke Mekkah selama dua tahun untuk membersihkan dosa-dosanya. Di kota suci ini ia mempelajari kitab Sibawaihi.

Al-Zamarkhasyari wafat di Jurjaniyah pada malam ‘Arafah tahun 538 H. B. Latar Belakang Penulisan

Bermula dari permintaan suatu kelompok yang menanamkan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adiliyah. Kelompok disini yang dimaksud adalah kelompok Mu’tazilah.

Berdasarkan desakan pengikut-pengikut Mu’tazilah di Makkah dan atas dorongan hasan ‘Ali ibn Hamzah ibn Wahas serta kesadaran dirinya sendiri, akhirnya al-Zamakhasyari berhasil menyelesaikan penulisan tafsirnya dalam waktu kurang lebih 30 bulan. Penulissan tersebut dimulai ketika ia berada di Makkah pada tahun 526 H dan selesai pada hari Senin 23 rabi’ul-akhir 528 H.

Penafsiran yang ditempuh al-Zamarkhasyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat tapi jelas, sehingga dipersentasikan pada para ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak I’tizali dan hasilnya adalah tafsir al-kasysyaf yang ada sekarang ini.

C. Sumber Penuliasn

Sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh al-Zamakhsyari dalam menulis kitab tafsirnya meliputi berbagai bidang ilmu, antara lain:

a) Sumber Tafsir

1. Tafsir Mujtahid (w.104 H)

2. Tafsir ‘Amr ibn ‘As ibn ‘Ubaid al-Mu’tazali (w.144 H) 3. Tafsir Abi Bakr al-Mu’tazali (w.235 H)

4. Tafsir al-Zajjaz (w.311 H) 5. Tafsir al-Rumani (w. 382 H)

(11)

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Zamakhsyari mengambil dari berbagai maccam hadits, tetapi yang disebutkan secara jelas hanya Sahih Muslim. Biasanya ia menggunakaan istilah fi al-Hadits.

c) Sumber Qira’at

1. Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud 2. Mushaf Haris ibn Suwaid 3. Mushaf Ubay bin Ka’ab

4. Mushaf ulama Hijaz dan Syam. d) Sumber Bahasa dan Tata Bahasa

Adapum seumber-sumber yang diambil antara lain: 1. Kitab al-Nahwi karya Sibawaihi

2. Islah al-Mantiq karya Ibn al-Sukait 3. Al-Kamil karya al-Mubarrad 4. Al-Hujjah karya Abi Ali al-Farisi 5. Al-Tamam karya Ibn al-Jinni D. Metode dan Corak Penafsiran

Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib mushafi, yaitu berdasarkan surat dan ayat dalam Mushaf Usmani. Dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Zamakhsyari lebih dulu menuliskan ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil ddan riwayat atau ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan sebab asbabun nuzul suatu ayat dalam hal penafsiran ayat.

(12)

berorientasi pada rasio (ra’yu) maka tafsir al-Kasysyaf dikategorikan pada tafsir bi al-ra’yu5

Contoh bentuk penafsiran bi ra’yi dengan metode tahlili adalah dalam Q.S al-Baqarah ayat 144:

“palingkanlah mukamu kearah masjidil haram, dan dimana saja kamu berada , maka palingkanlah mukamu kearah-Nya”

Menurut al-Zamakhsyari maksudnya (masjidil haram) itu adalah Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan manusia diperintahkan untuk menghadap Allah pada tempat tersebut. Maksud ayat diatass adalah apabila seorang Mukmin hendak melakukan sholat dengan menghadap Masjidil Haram dan Bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk menghadap kea rah tersebut, maka Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap kea rah manapun dalam sholat dan di temapt manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu.6

Mengenai corak tafsir al-Kasysyaf, dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Al-Zamakhsyari terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bahasa Arab, yang melipiti sastranya, balaghah-nya, nahwu nya atau gramatikalnya. Al-zamakhsyari lebih banyak berorientasi pada balaghah untuk menyingkap keindahan dan rahassia yang terkandung dalam al-Qur’an. Selain itu, aspek nahwu dan gramatika nya juga sangat kental mewarnai tafsir al-Kasysyaf terutama berkaitan dengan dhamir.

b. Al-Zamakhsyari adalah seorang teolog (mutakalim) sekaligus tokoh Mu’tazilah, sehingga tafsir al-Kasysyaf tersebut juga memiliki corak teologis dan lebih khusus lagi corak Mu’tazilah. Al-Zamakhsyari juga memperlihatkan keberpihakannya dengan Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat mutasyabihat pada muhkamat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan kedalam ayat mahkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak ssesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan kedalam mutasyabihat.7

5 Muhammad Yusuf DKK.Studi Kitab Tafsir:Menyuarakan teks Yang Bisu.(Penerbit Teras.Depok.2004)hlm.51

(13)

3. AL-JAMI’ LI AHKAM AL-QUR’AN WAL MUBAYYIN LIMA

TADAMMANAH MIN AL-SUNNAH WA AYIL FURQON (Karya

al-Qurtubi)

A. Setting Historis-Biografis al- Qurtubi

Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn Farh al-Ansari al-Khazraji al-Qurtubi al-Maliki. Berdasarkan salah satu sumber, Hasbi Ash-Shidieqi menyebutkan bahwa ia lahir di Andalusiaa tahun 486 H dan meninggal di Mausul tahun 567; namun informasi ini sangat lemah. Para biografi tidak ada yang menuliskan kelahirannya namun mereka menyebutkan tahun kematiannya yaitu 671 H di kota Maniyyah Ibn Hassib Andalusia. Ia dianggap sebagai seorang tokoh yang bermazhab Maliki.

Aktivitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius dibawah bimbingan ulama ternama pada saat itu diantaranya Syaikh Abu Abbas Ibn ‘Umar al-Qurtubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri.

B. Tartib (Sistematika)

Al-Qurtubi menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, dengan demikian ia menggunakan sistematika Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir yang berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf.

C. Metode

Langkah-langkah yang dilakukan al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dijelaskan dengan periniaan sebagai berikut:

a. Memeberikan kupasan dari segi bahasa

b. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hasits dengan menyebutkan sumbernya sebagai dalail

c. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hokum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan

d. Menolak pendapat yang dianggap tidk sesuai dengan ajaran Islam e. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing,

(14)

Satu hal yang dianggap paling menonol adalah penjelasaan panjang lebar menegnai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui.

Dengan memperhatikan pembahasannya yang demikian mendetail kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa metode yang dipakainya adalah tahlili. Karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Qur’an dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai sedikit ilustrasi dapat diambil contoh ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah dimana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab ta’min

(bacaan mim), dan bab tentang Qira’at dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.

D. Laun (corak tafsir)

Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang mempunyai corak (laun) Fiqhi. Sehingga sering disebut tafsir ahkam.

Karena dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.

Sebagai contoh al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalan-persoalan Fiqh dapat diketemukan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43

Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantaranya pembahasan yang menarik adalah pada masalah ke-16. Ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam salat. Diantara tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya: (anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)

(15)

Pembahasan ayat ini dibagi menjadi 21 masalah. Ketika memasuki pembahasan yang ke-17, ia mendiskusikan persoalan salat ‘Idul Fitri yang dilaksanakan pada hari kedua. Ia berpendapat tetap boleh dilaksanakan, berbeda dengan pendapat malik sebagai imam mazhabnya yang tidak membolehkan.

4. Ruhul Ma’ani Fi Tafsir Al Qur’an Al ‘Azim Wal Al Sab’ Al Masani

( Tafsir Ruhul Ma’ani)

Tafsir Ruhul Ma’ani merupakan karya besar Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi, salah seorang intelektual muda yang dimiliki Islam pada zamannya. Kitab ini terdiri dari 15 jilid kitab ditambah 1 jilid indeks. Jadi keseluruhan ada 16 jilid. Sebagai karya ulama belakangan, Tafsir Ruhul Ma’ani banyak mengutip pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimin). Hal ini penting karena dengan demikian rabithah (benang merah) dengan mufassir terdahulu tetap terjaga. Selain itu Tafsir Ruhul Ma’ani juga banyak mengemukakan pendapat ulama belakangan (mutaakhkhirin). Hal ini juga penting untuk rabithah dengan zaman di mana Tafsir Ruhul Ma’ani disusun.

1. Riwayat Hidup Pengarang

(16)

Sejak lama al Alusi ingin menuangkan buah pikirannya ke dalam sebuah kitab. Namun karena merasa belum mampu dan kurangnya kesempatan, keinginan tersebut belum dapat terwujud. Hingga pada suatu Malam Jum’at di bulan Rajab tahun 1252 H. beliau bermimpi diperintah Allah SWT untuk melipat langit dan bumi. Kemudian (masih dalam keadaan mimpi) beliau mengangkat satu tangan ke arah langit dan satu tangan ke tempat mata air, kemudian beliau terbangun. Setelah dicari, ternyata tafsir mimpi beliau adalah bahwa beliau diperintah mengarang sebuah kitab tafsir. Maka mulailah beliau mengarang pada tanggal 16 Sya’ban 1252 H, pada waktu beliau berusia 34 tahun pada zaman pemerintahan

Sultan Mahmud Khan bin Sulthan Abdul Hamid Khan. Setelah kitab ini selesai disusun, beliau mendapat kesulitan dalam memberikan nama yang sesuai. Akhirnya beliau melaporkan hal ini kepada Perdana Menteri Ali Ridho Pasha. Secara sepontan beliau memberinya nama Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani. Setelah beliau meninggal, kitab ini disempurnakan oleh putranya, Sayyid Nu’man al Alusi.

2. Metode Kitab Tafsir

a. Sumber Penafsiran

Ditilik dari sumbernya, Tafsir Ruh al Ma’ani selain menggunakan dalil nash al Qur’an, al Hadis, aqwal al ‘ulama juga ra’yu. Ra’yu inilah yang paling besar porsinya. Sehingga tidak heran apabila Dr. Jam’ah memasukkannya ke dalam golongan Tafsir bil Ra’yi. Akan tetapi menurut hemat penulis, Tafsir Ruh al Ma’ani bisa juga dikelompokkan ke dalam golongan tafsir bil iqtirani, yakni tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur juga menggunakan

ra’yu.

b. Cara Penjelasan

(17)

c. Keluasan Penjelasan

Penjelasan yang diberikan oleh al Alusi terbilang detil, bahkan sangat detil. Sehingga tepatlah jika Tafsir Ruh al Ma’ani dimasukkan ke dalam golongan Tafsir Ithnabi (Tafsili)/Detail. Penjelasan di awal surat biasanya diawali dari nama surat, asbabun nuzul, munasabah dengan surat sebelumnya, makna kata, i’rab, pendapat para ulama, dalil yang ma’tsur (namun jarang), makna di balik lafaz

(makna isyari) dan jika pembahasannya panjang terkadang juga diberi kesimpulan.

d. Sasaran dan Tertib Ayat yang ditafsirkan

Tafsir Ruh al Ma’ani memberikan penjelasan terhadap al Qur’an secara berurutan sesuai dengan tertib mushaf. Dimulai dari Surat al Fatihah diakhiri dengan Surat al Nas. Sehingga tafsir ini masuk daam golongan Tafsir Tahlili.

3. Kecenderungan Aliran (Naz’ah / Ittijah)

Naz’ah/Ittijah adalah sekumpulan dari dasar pijakan, pemikiran yang jelas yang tercakup dalam suatu teori dan yang mengarah pada satu tujuan. Dalam penjelasannya al Alusi memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafad. Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi.

5. LUBAB AL-TA’WIL FI MA’ANI AL-TANZIL (Karya al-Khazin)

A. Latar Belakang

Nama lengkap Al- Khazin adalah ‘Ala al Din Abu Hasan ‘Ali Abu Muhammad ibn Ibrahim Ibn Umar Ibn Khalil al- syaikhi al- baghdadi al- Syafi’i al –Khazin. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 678 H. Dan wafat tahun 741 H. Di kota Halb (Aleppo).

(18)

dalam bidang tafsir serta hadist. Beliau meninggal kurang lebi tujuh abad yang yang lalu di salah satu sudut kota Halb.

B. Karakteristik Tafsir al Khazain

Dalam tafsir al- Khazain bahwa nama resmi adalah Lubab al- Ta’wil fi Ma’wani al- Tanzil), nama tersebut bisa dipandang sebagai suatu konversionalitas orang dalam menyebut suatu karya tafsir atau karya lainnya, yang mungkin saja karena alasan praktis saja, dan mungkin juga untk mengaitkannya dengan popularitas pengarangnya.

C. Latar Belakang Penyusunan

Kitab ini selesai disusun oleh al- Khazin pada hari Rabu, tanggal 10 Ramadhan ahun 725 H. Dalam kitab ini al- Khazin sendiri mengatakan bahwa tafsir tersebut sebagi produk karya ilmu tafsir yang tinggi kualitasnya.Kitab tafsir ini juga mendapat berbagi sanjungan dan pujian yang diantaranya sanjungannya adalah kitab yang berpegang teguh pada Al- Qur’an dan sunnah sangat inggi integritas keilmuannya dan karya tafsirnya yang ia susun berdasar keahliannya membawa faedah yang besar.

D. Sistematika Penyusunan

Dalam kaitannya dengan sistematika penyusunan kitab tafsir, perlu diketahui adanya tiga sistematika penyusunan tafsir yang dikenal di kalangan para ahli tafsir; tartib mushafi (urutan ayat dan surat), tartib nuzuli (urutan kronologi turunnya surat), tartib maudu’i (urutan sesuai tema).

E. Manhaj Penyusunan Tafsir Al- Khazin

Menurut ‘Abd al- Hayy al- Farmawi ada empat manhaj yang digunakan para munfasir: manhaj tahlili, manhaj ijmali, manhaj muqaran, manhaj maudu’i.al-Khazin dalam tafsirnya mengikuti manhaj tahlili yakni manhaj yang berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat- ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang ditujunya.

Penafsiran al- Qur’an dengan manhaj tahlili ini memiliki corak dan orientasi yang berbeda- beda, sejalan dengan corak dan orientasi pemikiran masing- masing mufasir.

(19)

A. Latar Belakang

Mempunyai nama lengkap Nshirudin Abul Khayr ‘Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad bin ‘Ali al- Baidawi al- Syafi’i. Beliau dilahirkan di Baida’, sebuah daerah dekat kota Syiraz, Iran Selatan. Ia sempat tinggal di Bagdad dan menjadi hakim agung di Syiraz. Kemudian mundur dari jabatan tersebut untuk hidup mengabdi kepada ilmu di Tabriz. Di kota inilah beliau berhasil menulis sakah satu karya monumentalnya yang berjudul Anwar al- Tanzil wa Asrar al- Ta’wil.

B. Sejarah Penulisan

Al- Baidawi menyebutkan dua alasan yang mendesaknyauntuk menulis tafsir ini. Pertama, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu ilmu agama yang lain. Alasan yang kedua, melaksanakan apa yang diniatkan sejak lama yang berisi tentang pikiran- pikiran terbaik. Beberapa penelitian terhadap karangan al- Baidawi menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki ketergantungan pada kitab- kitab tafsir terdahulu, namun tidak menyebutkan nama mufasir tertentu meski kebanyakan penafsirannya sama dengan para mufasir yang telah ada sebelumnya.

Menurut Jane Smith, al- Baidawi melakukan hal demikian karena memang sudah merupakan praktik yang umum saat itu, Namun demikian, beliau juga mengakui bahwa karyanya adalah langkah independen dari hasil istinbat yang beliau lakukan sendiri.

C. Bentuk dan Corak Penafsiran al- Baidawi

Dalam menafsirkan ayat- ayat al- Qur’an, al- Baidawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan yang spesifik untuk menggunakan satu corak yang mutlak. Karya ini lebih kental nuansa teologinya. Dari segi sistematika penyusunannya, kitab tafsir yang terdiri dari “hanya” dua jilid ini diawali dengan menyebutkan basmalah,tahmid,penjelasan tentang kemukjizatan al- Quran, signifikasi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudiandiuraikan penafsiran terhadap al- Qur’an.Keunggulan kitab tafsir ini dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secaa mudah oleh para pembaca.

(20)

Sebagaimana kebanyakan kitab-kitab tafsir saat itu, tafsir al-Bai āwiḍ ini menggunakan metodologi tahlīli (analitis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan urutan urutan mushaf Usmani, dari surat ke surat, dan dari ayat ke ayat, mulai dari al-Fātihah sampai al-Nās.

Dalam menafsirkan al- Qur’an, al- Baidawi memanfaatkan berbagai sumber; ayat al- Qur’an,hadist nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in dan pandangan para ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al- Baidawi.

Langkah pertama yang dilakukan al- Baidawi dalam menafsirkan adalah menjelaskan empat turunnya surah (makiyah atau madaniyah) dan jumlah ayat dari surah yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, al- Baidawi menjelaskan makna satu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahsaan, menyitir hadist Nabi maupun qiraah. Di akhir al- Baidawi menyertakan hadist-hadist yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan.

Menafsirkan ayat al- Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat yang lain merupakan bagian penting dalam tafsir al- Baidawi. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain dalam surah yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surah yang lain dari al-Qur’an.

Selain mendasarkan pada ayat- ayat al- Qur’an dan macam- macam qiraat, dalam menafsirkan al- Qur’an, al- Baidawi juga sangat besar memberikan porsi kepada hadist Nabi. Hadist – hadist yang dikutip oleh al- Baidawi tersebut dikategorikan menjadi tiga; hadist yang dikutip sebagi penjelas ayat yang sedang ditafsirkan, kemudian hadist yang termasuk dalam kategori asbab al- nuzul, dan hadis- hadis yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat- surat yang ditafsirkan.

7. TAFSIR AL-QUR’AN AL-AZIM (Karya Ibnu Kasir)

(21)

Ibnu Katsir, pengarang kitab yang sedang dikaji ini, nama lengkapnya ialah ‘Imad al-Din Isma’il ibn ‘Umar ibn Kasir al-Quraisyi al-Dimasyqi. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu Al-Fida. Ia lahir di Basrah tahun 700 H/1300 M. Ia wafat di Damaskus dalam usia 74 tahun.

2. Tentang Nama Tafsirnya

Mengenai nama tafsir yang dikarang oleh Ibnu Kasir ini, tidak ada data yang dapat memastikan berasal dari pengarangnya. Hal ini karena dalam kitab tafsir dan karya-karya lainnya, Ibnu Kasir tidak menyebutkan judul/nama bagi kitab tafsirnya, padahal untuk karya-karya lainnya ia menamainya. Dalam berbagai naskah cetakan yang terbitpun pada umumnya diberi judul Tafsir Al-Qur’an al-Azim, namun ada pula yang memakai judul Tafsir Ibnu Kasir. Perbedaan judul hanya pada namanya sedangkan isinya sama.

3. Corak dan Metode Penafsiran

Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi tafsir bi-al ma’sur/ tafsir bi al-riwayah, karena dalam tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/ hadis, pendapat sahabat dan tabi’in. Dapat dikatakan dalam tafsir ini paling dominan adalah pendekatan normativ-historis yang berbasis utama kepada hadis/riwayat. Namun IBnu Kasir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.

Adapun metode (manhaj) yang ditempuh oleh Ibnu Kasir dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analisis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis menurut mushaf al-Qur’an. Meski demikian, metode penafsiran kitab inipun bisa dikatakan semi tematik (maudu’i) , karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu. Langkah-langkah dalam penafsirannya secara garis besar ada tiga; Pertama,

(22)

yang mudah dan ringkas. Jika memungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan ayat lain, kemudian memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas. Kedua, mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik sanadnya bersambung ataupun tidak), yang berhubungan dengan ayat yang sedang ditafsirkan.Ketiga, mengemukakan berbagai pendapat mufassir atau ulama sebelumnya.

Secara lebih rinci tahap-tahap tersebut akan diuraikan dibawah ini:

a. Menafsirkan dengan al-Qur’an (ayat-ayat lainnya)

Ketika membaca tafsir ini para pembaca akan sangat sering mendapatkan ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang terkait dengan ayat yang sering ditafsirkan. Ayat-ayat itu adalah yang menurutnya dapat menopang penjelasan dan maksud ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, atau ayat-ayat yang mengandung persesuaian arti.

Contohnya ketika Ibnu Kasir menafsirkan kalimat (al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa) dalam Qs. Al-Baqarah (2): 2, ia menafsirkan dengan tiga ayat lain dari Qs, Fussilat (41): 44, al-Isra’ (17): 82 dan Yunus (10): 85 sehingga pengertiannya menjadi khusus yakni bagi orang-orang yang beriman.

b. Menafsirkan dengan hadis

Metode atau langkah ini ia pakai ketika penjelasan dari ayat lain tidak ditemukan, atau jika ayat lain ada, penyajian hadis dimaksudkan untuk melengkapi penjelasan. Hal ini merupakan cirri khas tafsir Ibnu Kasir.

c. Menafsirkan dengan pendapat sahabat dan tabi’in

(23)

al-Qur’an. Sedangkan pendapat tabi’in dijadikan hujah apabila pendapat tersebut telah menjadi kesepakatan di antara mereka, jika tidak ia tidak mengambilnya sebagai hujah.

d. Menafsirkan dengan pendapat para ulama

Ibnu Kasir pun sering mengutip berbagai pendapat ulama atau mufassir sebelumnya ketika menafsirkan ayat. Berbagai pendapat yang dikutip menyangkut berbagai aspek seperti kebahasaan, teologi, hukum, kisah/sejarah. Ia pun sering mengkritik kualitas hadis yang dikutipnya itu. Dengan demikian secara substansial Ibnu Kasir telah melakukan perbandingan penafsiran.

e. Menafsirkan dengan pendapatnya sendiri

Langkah ini biasa di tempuhany setelah ia melakukan keempat langkah di atas. Dengen menempuh langkah-langkah tersebut dan menganalisis serta membandingkan berbagai data atau penafsiran, ia seringkali mengemukakan kesimpulan ataupun pendapatnya sendiri pada bagian akhir penafsiran ayat. Namun perlu diketahui bahwa langkah ini tidak semuanya dapat diterapkan pada semua ayat. Adapun untuk membedakan antara pendapatnya sendiri antara ulama-ulama lainnya, dapat diketahui dari pernyataannya: “Menurut pendapatku………” (qultu…..) yang secara eksplisit banyak dijumpai dalam kitab ini.

8. TAFSIR AL-MISBAH (Karya Muhammad Quraish)

1. Sketsa Biografi

(24)

selesai, Quraish Shihab berminat melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, tetapi ia tidak diterima karena belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan karena itu ia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis walaupun jurusan-jurusan lain terbuka lebar untuknya. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-Qur’an al-Karim.

Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syarafal Ula. Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan. ia juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir al-Amanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an Tafsir al-Qur’an Al-Karim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.

2. Metodologi Tafsir al-Misbah

Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam tafsir Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam hal:

a. Keserasian kata demi kata dalam satu surah;

b.Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil); c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;

(25)

e. Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya; f. Keserasian tema surah dengan nama surah.

Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.

Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode Tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode Maudhu’i. Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i.

Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:

a. Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.

b.Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.

c.Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.

(26)

Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”

Tafsir al-Misbah bukan semata-mata hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain. 8

(27)
(28)

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, Muhammad, DKK.Studi Kitab Tafsir:Menyuarakan teks Yang Bisu.2004.Penerbit Teras:Depok.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada siklus II diperoleh nilai presentase (83,16%) dari 13 anak didik ada 8 anak dengan kriteria Berkembang Sangat Baik (BSB) dengan diperoleh nilai presentase (56,73%)

Ini bertujuan agar saya windows dihupkan tidak akan menginstall ulang lagi kemudian klik Storage dan setting sebagai berikut.(X17-5946.iso ini adalah nama master

Dari sinilah, kemudian peneliti bertanya-tanya “kenapa mereka tidak mau kawin padahal mereka orang beragama?”Peneliti mencoba mencari informasi lebih dalam lagi, dan

Dengan luas hutan pinus yang ada di cilacap dan dikelola pemerintah sudah pasti banyak hasil hutan yang dihasilkan dari hutan pinus tersebut, dan yang paling

Apabila dalam waktu yang telah ditentukan Pejabat tidak juga menetapkan keputusan yang sifatnya tidak mengabulkan atau tidak menolak permintaan izin untuk

Dusun Kucur yang terletak di kaki Gunung Arjuno, tepatnya di Desa Sumberrejo Purwosari Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, hal

Sukmawidiyanti (2013) memperkuat hasil penelitian Miqawati dan Sulistyo (2014) dengan penelitiannya yang memberikan simpulan: 1) terdapat peningkatan hasil