PERILAKU PEMAKAIAN KONDOM DENGAN KEJADIAN
INFEKSI MENULAR SEKSUAL
Gretta Hapsari Amalya1
Abstract:The high incidence of STDs caused by WPS are doing a lot of
irregularities in the prevention and treatment of STIs, for example, would not wear a condom every time sexual intercourse, while suffering from sexually transmitted infections continue to serve the guests and if the pain did not want to take medicine the doctor. This study wanted to prove whether there is a relationship between behavior and the use of condoms and willingness to serve guests with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu Ngunut Tulungagung District. This study is a correlational analytic studies using cross-sectional approach and the ex post facto. Population studies on the localization of the entire WPS District Kaliwungu Ngunut Tulungagung and the number of samples selected 65 people WPS with purposive sampling technique. Variable measured is the behavior of condom use and willingness to serve the guests as the independent variable, dependent variable while the incidence of STIs. The results obtained most of the respondents did not use condoms, as many as 42 respondents (64.62%) and almost all of the respondents are willing to serve guests, as many as 37 respondents (88.1%). While the incidence of STIs, the majority of respondents infected with STIs, as many as 34 respondents (52.31%).
Statistical test used in this study is chi square. Condom use behavior is obtained p-value 0.000 <0.05, so that proves there is a connection between the behavior of condom use with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu Ngunut Tulungagung District. While the willingness to serve the guests get the p-value 0.035 <0.05, so that proves there is a relationship between willingness to serve guests with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu Ngunut Tulungagung District.
Keywords : Condom, Serving Customers, STI incidence
Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah penyakit infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Cara hubungan kelamin tidak hanya terbatas secara alat kelamin dengan alat kelamin ( genito-genital), atau anus dengan alat kelamin (ano-genital) sehingga kelainan yang timbul akibat penyakit kelamin ini tidak terbatas pada daerah alat kelamin (ekstra genital) (FK UI, 1989).
Selama dekade terakhir ini insiden IMS cukup cepat meningkat di berbagai negeri di dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang. Pada saat ini IMS termasuk Human Immunodeficiency Virus / Aquired
Immune Deficiency Syndrome
17 terbatasnya sumber daya manusia dan
dana. Kegagalan menemukan dan mengobati IMS pada stadium dini dapat menimbulkan komplikasi serius dan berbagai gejala sisa, pada ibu antara lain berupa infertilitas, kehamilan ektopik, infeksi daerah pelvis, kanker saluran
reproduksi, pada waria berupa kanker daerah anogenital dan pada bayi berupa kelahiran prematur, lahir mati, serta infeksi baik pada neonatus maupun pada bayi, termasuk infeksi konginetal. Keadaan tersebut ikut menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Disamping itu IMS diketahui juga mempermudah penularan HIV yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
AIDS dengan tingkat kematian yang tinggi. Saat ini di Indonesia, prevalensi
IMS termasuk HIV/AIDS belum akurat, disebabkan sistem pencatatan dan pelaporan kasus masih jauh dari lengkap. Hal ini disebabkan karena, banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena belum ada undang-undang yang mengharuskan melaporkan setiap kasus baru IMS yang baru ditemukan (kecuali
HIV/AIDS) serta fasilitas diagnostik yang ada sekarang ini kurang sempurna sehingga sering kali terjadi salah diagnosis dan penanganannya (Depkes RI, 1999).
Banyak kasus yang asimtomatik
(tanpa gejala yang khas) terutama penderita wanita. Meskipun demikian program pencegahan dan pemberantasan infeksi menular seksual harus diberi prioritas yang tinggi. Hal ini disebabkan IMS membawa konsekuensi mempermudah penularan
HIV/AIDS Sedangkan infeksi klamidia, ulkus, gonorhoe, uretritis non gonorhoe, sifilis, dan trikomoniasis
dapat meningkatkan resiko penularan
HIV antara 2 – 9 kali. Penderita IMS dengan ulkus genital mempunyai resiko 2 – 5 kali dibanding penderita tanpa
ulkus (Depkes RI, 1999).
Saat ini di Indonesia prevalensi gonore dan klamedia tertinggi di Asia. Hasil Surveilen Terpadu Biologis Perilaku (STPB, 2007) khusus pada wanita pekerja seks terus meningkat.
Prevelansi HIV pada 9 provinsi 6%-16%. gonore 15,8%-43,9%, klamidia
20,2%-55%, sifilis 1%-17%. Di Jawa Timur terdapat 19.963 penderita IMS. Di Kabupaten Tulungagung sejumlah 1.214 orang menderita IMS, dengan kasus gonoroe 43 (3,5%), suspec gonoroe 3 (0,24%), servicitis 183 (15%), uretritis 327 (26,9%),
tricomoniasis 12 (0,9%), ulkus mole 1 (0,08%), herpes genital 10 (0,82%),
kandidia 50 (4,1%), dan 183 orang menderita HIV/AIDS (Dinkes Tulungagung, 2010).
Di Kabupaten Tulungagung terdapat 2 lokalisasi wanita pekerja seks (WPS) yang menampung 825 WPS, salah satu lokalisasi tersebut adalah lokalisasi Kaliwungu yang berada di Kecamatan Ngunut. Dari data yang ada di lokalisasi Kaliwungu terdapat 215 WPS, 52 mucikari dan 52 wisma.
Berdasarkan data hasil pemeriksaan pada WPS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tahun 2008-2010 didapatkan bahwa jumlah WPS yang menderita IMS pertahunnya semakin meningkat.
18
menolak menggunakan kondom, 2 WPS (20%) tetap melayani tamu walaupun sedang menderita IMS dengan alasan tamu banyak, 2 WPS (20%) minum obat yang dibeli dari toko saat menderita IMS dengan alasan kalau periksa ke dokter mahal. Saat ini di Indonesia prevalensi IMS dipandang kurang akurat karena sistem pencatatan dan pelaporan yang belum lengkap, selain itu juga disebabkan karena banyaknya lokalisasi liar yang belum terjamah oleh pelayanan kesehatan. Sehingga banyak kasus yang belum terlaporkan, disamping itu banyak kasus yang belum terdeteksi. Belum ada kebijakan kusus yang mengharuskan pelaporan terhadap penemuan kasus IMS. Serta fasilitas diagnosis yang ada sekarang kurang sempurna, sehingga seringkali terjadi salah diagnosis dan penanganannya (Depkes RI, 1999).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran IMS, antara lain faktor biologis: faktor umur dan faktor jenis kelamin, selain itu faktor lingkungan, pendidikan, agama, perilaku, sosial ekonomi juga bisa mempengaruhi penyebaran IMS. Bila para WPS mengetahui cara pencegahan IMS, dan memahami tentang perilaku yang dapat memicu terjadinya IMS, mengerti tentang akibat yang ditimbulkan oleh penderita IMS dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan, akan mempermudah tenaga kesehatan dalam usaha penurunan insiden dan prevalensi IMS tersebut.
Prinsip utama dari
pengendalian/pencegahan IMS adalah memutuskan mata rantai penularan IMS dan mencegah berkembangnya IMS serta komplikasinya. Pencegahan secara tepat dan penanganan secara dini IMS bisa disembuhkan dengan baik. Yang penting sekali untuk diingat adalah bentuk dan gejala awal yang menjadi tanda IMS. Bila merasakan tanda gejala
IMS, sebaiknya perlu diwaspadai kemungkinan adanya infeksi IMS. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain: tidak melakukan hubungan seksual pada saat menderita IMS, tidak berganti pasangan, menggunakan kondom setiap hubungan seksual. Yang lebih penting dari semua itu adalah menjaga nilai moral, agama, etika, dan norma kehidupan bermasyarakat, karena dengan moral dan etika yang baik kita akan terhindar dari gangguan atau penyakit yang akan membawa kita dalam masalah serius (Setiawan, 2007).
Sudah banyak usaha pemerintah untuk memberantas dan mengurangi kejadian IMS. Kegiatan ini dilakukan oleh tim pencegahan infeksi menular seksual Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung dan Puskesmas Ngunut yang berupa pemeriksaan berkala, penyuluhan tentang pemakaian kondom yang benar. Disamping itu juga dilakukan pembagian kondom secara cuma-cuma dan pengobatan bagi para Wanita Pekerja Seks baik yang menderita IMS maupun yang tidak menderita IMS melalui Program Pengobatan Presumtif Berkala (PPB). Kegiatan tersebut dilakukan setiap bulan, sedangkan untuk pemeriksaan Serology Test Syphilis Deficiency dan Gonorhoe
dilakukan setiap 5 bulan sekali. Namun demikian masih banyak ditemui WPS yang tidak menggunakan kondom saat melayani tamu, masih melayani tamu, walaupun sedang menderita IMS, dan perilaku WPS itu terbukti bisa membuat prosentase kasus tetap tinggi. Oleh karenanya harus diupayakan suatu usaha yang dianggap mempunyai daya ungkit yang cukup tinggi, untuk memutuskan mata rantai dan meminimalkan penyebaran kasus tersebut.
19 meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan dibidang lain, sikap, keyakinan, perilaku, tingkat kepatuhan dan tindakan untuk mengurangi perilaku berisikonya. Bahkan diharapkan dengan perubahan perilakunya bisa mencegah terjadinya penularan terhadap semua kasus Infeksi Menular Seksual. Karena WPS adalah kelompok yang paling potensial untuk terjadinya penularan,meskipun jumlah mereka relatif sedikit, karena mereka merupakan pelaku utama terhadap penularan dan penyebaran Infeksi Menular Seksual. Karena program pencegahan terhadap Infeksi Menular Seksual merupakan salah satu tugas bidan di wilayah Puskesmas Ngunut dan juga merupakan upaya untuk mendukung tercapainyan Millenium Developematianment Goals (MDG’s) untuk mengatasi kematian ibu dan bayi serta mengendalikan penyakit
HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku seksual dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) pada WPS di Lokalisasi.
Bahan Dan Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan dalam berbagai perspektif yaitu berdasarkan lingkup penelitian termasuk jenis penelitian kasus, berdasarkan tempat penelitian termasuk jenis lapangan, berdasarkan waktu pengumpulan data termasuk jenis rancangan crossectional,
berdasarkan ada tidaknya perlakuan termasuk jenis expost facto
(mengungkap fakta) penelitian, berdasarkan pengumpulan data termasuk jenis observasional, berdasarkan sumber data termasuk jenis primer, berdasarkan tujuan penelitian termasuk analitik korelasional.
Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh WPS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung tahun 2010 dengan jumlah 215 orang.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel dapat ditentukan dengan rumus:
= − − −
( −1) + 2. .
= 215 – (1,96)2 – 0,5 – 0,5
= , , = 64,5
= dibulatkan menjadi 65 responden
Keterangan:
n = perkiraan jumlah sampel N = perkiraan besar populasi
Z = nilai standar normal untuk d = 0,05 (1,96)
P = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q = I P (100% – P)
d = tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)
(dikutip dari Zainudin M, 2000)
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua variabel, yaitu:
1. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini adalah perilaku pemakaian kondom dan kesediaan melayani tamu WPS.
2. Variabel Dependen
20
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Check list pada WPS di lokalisasi Kaliwungu Ngunut Tulungagung 2. Kuisioner.
3. Data calon responden yaitu wanita pekerja seks yang hadir pada saat jadwal pemeriksaan
4. Sarana yang dibutuhkan untuk pemeriksaan in spekulo, meliputi: kamar periksa, bed gynekologi, lampu penerangan, meja, kursi, selimut/kain penutup, MnO4 (cairan sublimat) pada tempatnya, kapas,
speculum, kapas lidi, kaca objek, larutan NaCl fisiologis (0,9%), sarung tangan, larutan chlorin.
Instrument penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan semua variabel bebas yaitu perilaku penggunaan kondom dengan kuisioner, infeksi menular seksual dengan melakukan pemeriksaan, sedang kesediaan dengan cara observasi. Penelitian ini dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung dilaksanakan pada tanggal 14 September 2010.
Untuk mencari ada tidaknya hubungan antara perilaku pemakaian kondom dan kesediaan melayani tamu pada WPS dengan kejadian IMS dilokalisasi Kaliwungu kecamatan Ngunut Tulungagung tahun 2010 dengan menggunakan uji chi kuadrat.
Hasil Penelitian 1. Data Umum
a. Umur
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada diagram diatas menunjukkan bahwa dari total 65 responden sebagian besar responden berumur 20-35 tahun, yaitu sebanyak 39 responden (60%).
b. Pendidikan
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada diagram diatas menunjukkan bahwa dari total 65 responden sebagian besar dari responden berpendidikan SD, yaitu sebanyak 35 responden (54%).
2 Resp (3%)
39 Resp (60%) 24 Resp
(37%)
< 20 th
20-35 th > 35 th
35 Resp. (54%) 27 Resp.
(41%) 3 Resp.
(5%) 0%
21 c. Berdasarkan lama menjadi WPS Di
Lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulung Agung
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada diagram diatas menunjukkan bahwa dari total 65 responden hampir setengah dari responden telah menjadi WPS lebih dari 2 tahun, yaitu sebanyak 27 responden (42%).
2. Data Khusus
a. Perilaku Pemakaian Kondom
Tabel 1 Hasil tabulasi perilaku pemakaian kondom
No Pemakai an Kondom
Jumlah Prosentase
1 Ya 23 35.38 2 Tidak 42 64.62 Jumlah 65 100 Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Berdasarkan tabel 1 didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden tidak memakai kondom, yaitu sebanyak 42 responden (64,62%) dan 23 responden (35,38%) memakai kondom.
b. Kesediaan Melayani Tamu WPS
Tabel 2 Hasil tabulasi kesediaan melayani tamu
No Kesediaan melayani
tamu
Jumlah Pro sent ase 1 Tidak bersedia
melayani tamu 5 11.9 2 Bersedia melayani
tamu 37 88.1 Jumlah 42 100 Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Berdasarkan tabel 2 didapatkan dari total 42 responden yang tidak memakai kondom, hampir seluruhnya dari responden bersedia melayani tamu, yaitu sebanyak 37 responden (88, 1%).
c. Kejadian IMS
Tabel 3 Hasil tabulasi kejadian IMS No Kejadian IMS Ju
ml ah
Prosentase
1 Tidak
Terinfeksi 31 47.69 2 Terinfeksi 34 52.36 Jumlah 65 100 Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Berdasarkan tabel 3 didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden terinfeksi IMS, yaitu sebanyak 38 responden (58,46%). 12 Resp
(18%)
26 Resp (40%) 27 Resp
(42%) < 1 th
22
Tabulasi Silang Antar Variabel
a. Tabulasi silang Perilaku Pemakaian Kondom dengan Kejadian IMS
Tabel 4 Tabulasi Silang Perilaku Pemakaian Kondom dengan Kejadian IMS
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada tabel 4 didapatkan bahwa dari total 65 responden, hampir setenganya dari responden tidak memakai kondom dan terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak 32 responden (49,23%).
b. Tabulasi silang Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS
Tabel 5 Tabulasi Silang Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS
Terinfeksi Terinfeksi J Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada tabel 5 didapatkan bahwa dari total 42 responden yang tidak memakai kondom, sebagian besar dari responden
bersedia melayani tamu dan terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak 28 responden (66,67%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p yaitu 0,000 < 0.05, sehingga HO ditolak dan H1 diterima, berarti “ada hubungan antara perilaku pemakaian kondom dengan kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung”.
Hasil Uji Statistik Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS
Tabel 6 Hasil Uji Statistik Chi Square Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS The minimum expected count is 1.67.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p yaitu 0,035 < 0.05, sehingga HO ditolak dan H1 diterima, berarti “ada hubungan antara kesediaan melayani tamu dengan kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung”. N
Terinfeksi Terinfeksi
23
Pembahasan
1. PerilakuPemakaian Kondom
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung, didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden tidak memakai kondom, yaitu sebanyak 42 responden (64,62%).
Kondom adalah suatu karet yang tipis, berwarna atau tak berwarna , dipakai untuk menututpi zakar yang tegang sebelum dimasukkan ke dalam
vagina sehingga mani tertampung di dalamnya dan tidak masuk vagina. Dengan demikian mencegah terjadinya pembuahan. Kondom yang menutupi
zakar juga berguna untuk mencegah penyakit kelamin.
Ada banyak alasan pria tidak mau pakai kondom karena merasa kesakitan dan terluka saat memakainya. Hal itu membuat tujuan penggunaan kondom gagal dan risiko penyakit menular meningkat. Untuk itu, pria sebaiknya pakai ukuran kondom yang sesuai dengan ukuran alat kelaminnya. Selain itu pemakaian kondom menyebabkan sakit dan tidak pas, itulah alasan sebagian pria yang tidak mau memakai kondom. Pemakaian kondom yang tidak tepat memang bisa merobek kondom atau membuat kondom terlepas sehingga mengurangi hasrat seksual pasangan.
Kondom yang pas sebaiknya dipilih pria agar risiko yang tidak diinginkan bisa dicegah. Pria diketahui tidak suka membeli kondom ukuran kecil dan sedang karena merasa percaya diri dengan ukuran alat kelaminnya. Tapi sebagian pria juga tidak sadar bahwa kondom yang mereka beli justru kekecilan.
Faktor lain yang menyebabkan pria enggan menggunakan kondom
dikarenakan kondom juga mempunyai beberapa kekurangan, diantaranya: menganggu kenyamanan bersenggama, selalu harus memakai kondom yang baru, selalu harus ada persediaan, kadang ada yang tidak tahan (alergi) terhadap karetnya, tingkat kegagalannya tinggi jika terlambat memakainya, sobek bila memasukkannya tergesa-gesa.
Pria dengan kondom yang tidak pas akan cenderung melepas kondomnya sebelum acara seks selesai dan akhirnya tujuan pemakaian kondom pun gagal. Kondom yang tidak pas mempunyai dampak bisa berakibat fatal jika kondom terlepas atau robek.
Kesadaran pria memakai kondom perlu dibarengi dengan kesadaran yang tinggi pula akan ancaman berbagai penyakit seperti gonnore, clamydia, sifilis, HIV dan lainnya.
2. Kesediaan Melayani Tamu
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung, didapatkan dari total 42 responden yang tidak memakai kondom hampir seluruhnya dari responden bersedia melayani tamu, yaitu sebanyak 37 responden (88,1%).
24
untuk melayani tamu. Adapun ada sebagian kecil responden yang tidak mau melayani tamu, mungkin dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi fisik mereka, kesehatan, mood, ataupun faktor lain sehingga pada saat penelitian ada sebagian kecil yang menyatakan tidak melayani tamu.
Hasil penelitian pada diagram 5.1 didapatkan hampir setengah dari responden berumur diatas 35 tahun. Dimana pada umur tersebut seorang wanita sudah mengalami penurunan fungsi organ seksual, sehingga secara fisik akan mudah lelah. Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ada sebagian responden yang tidak melayani tamu.
3. Kejadian IMS
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung, didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden terinfeksi IMS, yaitu sebanyak 34 responden (52,31%).
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah suatu infeksi yang sebagian besar penularanya melalui hubungan seksual. Hubungan seksual tidak hanya dilakukan secara kelamin, mulut dengan kelamin, dan tangan dengan alat kelamin, sehingga kelainan yang timbul akibat penyakit ini tidak terbatas pada alat kelamin saja, tetapi dapat juga pada daerah di luar alat kelamin (ekstra genital). Tanda-tandanya juga bias pada mata, mulut, saluran pencernaan, hati, otak, dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis B yang menular lewat hubungan seks tetapi penyakitnya tidak dapat dilihat dari kelaminnya, artinya alat kelaminnya masih tampak sehat meskipun orangnya membawa bibit
penyakit ini. Kalau kita berhubungan seks dengan orang tersebut, kita dapat tertular walaupun hanya sekali (Dirjen PPM dan PL, 2004).
IMS bisa terjadi disebabkan oleh beberapa perilaku seks antara lain: sering berganti pasangan seksual, mempunyai lebih dari satu pasangan seksual, hubungan seks dengan pasangan yang tidak dikenal (WPS), masih terus berhubungan seks walaupun dengan keluhan IMS, tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan pasangan berisiko tinggi.
Infeksi Menular Seksual disebabkan oleh kurang lebih 20-50 mikroorganisme yang terdiri atas
bakteri, parasit, jamur dan virus
termasuk HIV (FKUI, 2003).
25
4. Hubungan Perilaku Pemakaian Kondom dengan Kejadian IMS
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p yaitu 0,000 < 0.05, sehingga HO ditolah dan H1 diterima, berarti “ada hubungan antara perilaku pemakaian kondom dengan kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung”.
Kejadian IMS berhubungan dengan perilaku kesehatan, yaitu dimana transaksi seksual atau aktivitas seksual antara WPS dengan pelanggannya berlangsung dengan tidak aman dan tidak terlindungi dari berbagai macam penularan IMS. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok yaitu respon dan stimulus atau perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat positif (pengertian, persepsi, dan sikap) mampu bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis), sehingga apabila seseorang memahami pola perilaku seksual sehingga dampaknya adalah angka kejadian IMS akan menurun.
Perjalanan IMS berawal dari adanya penderita IMS, baik yang menimbulkan gejala maupun yang bersifat asimtomatis, melakukan interaksi yang intens dengan manusia lainnya yang tidak menderita IMS. Interaksi tersebut salah satunya adalah interaksi seksual (sexual interaction), dimana hubungan seksual yang terjadi antara penderita IMS dengan pasangan seksnya yang tidak menderita IMS berlangsung tidak aman. Hal tersebut bisa berupa pola hubungan seksual yang tidak sewajarnya, misalnya melalui
anus (anal intercourse), ataupun hubungan seksual yang tidak terlindungi yaitu tanpa penggunaan kondom sebagai barier yang dimiliki oleh
partner seksualnya.
Hasil penelitian pada tabel 5.4 didapatkan bahwa dari total 65
responden, hampir setenganya dari responden tidak memakai kondom dan terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak 32 responden (49,23%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa pada orang-orang yang berperilaku seksual berisiko tinggi, hanya kurang dari 1 orang yang tertular IMS pada kelompok pengguna kondom. Secara medis dan epidemiologis diketahui bahwa akan terjadi penurunan penularan IMS pada para pengguna kondom. Dari studi tersebut juga diketahui bahwa kondom efektif mencegah IMS.
Bila digunakan secara benar dan konsisten, kondom mempunyai peranan penting dalam kesehatan masyarakat, khususnya dalam pencegahan IMS, termasuk HIV dan Hepatitis B. Penggunaan kondom yang baik akan mengurangi risiko terinfeksi penyakit tersebut, bagi mereka yang tidak mampu berpuasa seks.
Kondom memiliki fungsi double protection yaitu selain untuk mencegah penularan IMS juga dapat digunakan sebagai alat kontrasepsi. Hingga saat ini kondom merupakan alat kontrasepsi yang paling efektif untuk mengurangi risiko penularan penyakit seksual. Bahkan vasektomi atau pemotongan saluran sperma pada pria pun tidak mampu mencegah IMS.
Orang yang sudah mengetahui dirinya terinfeksi IMS harus tetap menggunakan kondom walaupun sudah divasektomi untuk mencegah penularan IMS pada pasangannya, kecuali IMS-nya sudah diobati dan sembuh. Meski demikian, angka penggunaan kondom pada masyarakat Indonesia masih rendah.
26
menggunakannya dengan benar, dan bukan karena mutu kondom itu sendiri.
Mengingat bahwa tidak ada obat atau intervensi lain dalam pencegahan IMS, maka penggunaan kondom secara konsisten dalam berhubungan seksual merupakan cara pencegahan penularan IMS yang paling efektif selain dengan cara abstain seks.
5. Hubungan Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p yaitu 0,035 < 0.05, sehingga HO ditolak dan H1 diterima, berarti “ada hubungan antara kesediaan melayani tamu dengan kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung”.
WPS adalah orang yang bekerja dengan memperdagangkan seksual. IMS adalah penyakit infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Banyak kasus yang
asimtomatik terutama pada penderita wanita, kurangnya kesadaran dari para WPS dan mahalnya biaya pengobatan yang menyebabkan para WPS mengobati sendiri penyakitnya. Kesediaan melayani tamu saat sakit IMS berhubungan dengan perilaku kesehatan, dimana aktifitas seksual antara WPS dengan pelanggannya berlangsung tidak aman dan tidak terlindungi.
Dalam semalam, WPS biasa melayani empat sampai lima tamu, dan hampir semuanya tidak menggunakan kondom. Hasil penelitian pada diagram 5.3 menunjukkan bahwa dari total 65 responden hampir setengah dari responden telah menjadi WPS lebih dari 2 tahun, yaitu sebanyak 27 responden (42%), sehingga dengan pelayanannya terhadap tamu yang terhitung sudah sering tersebut, didukung dengan sebagian besar responden tidak
menggunakan kondom, maka penularan IMS sangat rentan sekali terjadi.
Terjadinya penularan IMS melaui
mukosa kulit tubuh yang terbuka, misalnya pada mukosa dinding vagina,
konjungtiva mata, dinding anus atau
rektum, permukaan kulit yang terbuka. Kemudian bakteri tersebut akan berpindah tempat pada manusia sehat lainnya, berkembang biak, melakukan
metatase atau penyebaran ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Pada keadaan lanjut setiap hubungan seksual yang dilakukan akan membuahkan penderita IMS baru, dan akan seperti itu seterusnya jika tidak tertangani dengan baik. Mobilitas yang tinggi dari para WPS akan mempercepat penyebarluasan IMS yang juga melibatkan masyarakat berisiko rendah seperti ibu rumah tangga dan lainnya, yang dijembatani oleh para pelanggan WPS.
Simpulan
Tingginya angka kejadian IMS di karenakan pengunjung yang tidak memakai kondom dan kesediaan WPS dalam melayani tamu meskipun tamu tersebut tidak memakai kondom.
Saran
Disarankan bagi WPS agar meningkatkan kesadaran untuk memakai kondom karena mampu mengurangi kejadian IMS.
27
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
___________. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Daili S.F. (1999). Penyakit Menular Seksual. Edisi 2. Jakarta: FKUI.
___________. (2003). Penyakit Menular Seksual. Edisi 2. Jakarta: FKUI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung. Laporan Tahun 2009/2010.
FKUI. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.
___________. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius.
Hupatena, Ronald. (2003). AIDS, PMS dan Perkosaan. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahfoez, I, dkk. (2005). Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan dan Kebidanan. Ed. Yogyakarta: Fitra Maya.
Manuaba, IBG. (2005). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC. Margono. (2001). Dampak Pergaulan
Bebas. Jakarta: Rekayasa Putra. Muchtar, Rustam. (2005). Sinopsis
Obstetri Patologi. Jakarta: EGC. Mundiharno. (1999). Perilaku Seksual
Beresiko Tertular PMS dan
HIV/AIDS. Universitas Gajah Mada.
Notoatmodjo. Soekidjo. (2002). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
____________. (2003). Metode Penelitian Kesehatan dan Ilmu
Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurainur. (1997). Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular.
Jakarta: Rineka Cipta.
___________. (2003). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Konsep dan Penerapan. Jakarta: Salemba Medika.
RI, Depkes. (1999). Pedoman Pengobatan Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Ditjen PPM & PLP.
____________. (1996). Pedoman
Penatalaksanaan Penyakit
Menular Seksual. Jakarta: Ditjen PPM & PLP.
____________. (2003). Pedoman
Penatalaksanaan Penyakit
Menular Seksual. Jakarta: Ditjen PPM & PLP.
Meliono, Armayanti. (2007). Perilaku
Seksual. [internet].
http://id.wikipedia.org. Diakses 21 Juni 2010.
www.cybernet.com. Anonim. (2007).
Upah Tenaga Kerja Wanita.
Wening, Noor. (2009). Mitos dan
Perilaku Seksual Remaja.
[internet]. ht t p:/ / w w w .jaw apos.com. Diakses 21 Juni 2010.
Suryaatmadja, Susanto. (2009).
Kencing Nanah Ancam Anak, Ada
Yang Mengaku Pernah Ke
Lokalisasi. [internet].
ht t p:/ / w w w .jaw apos.com. Diakses 21 Juni 2010.
1