• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEMOKRASI DAN TEORI DISKUR SUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DEMOKRASI DAN TEORI DISKUR SUS"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

DEMOKRASI DAN TEORI DISKURSUS

Taufiq Rahmat H

Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

taurahida@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan telaah kritis terhadap teori politik Jürgen Habermas dalam menghadapi persoalan fakta pluralisme. Habermas mengelaborasi gagasan tentang validitas dan legitimasi politik di atas tindakan komunikatif. Penelitian ini berusaha menunjukkan bahwa politik demokrasi adalah ruang serba mungkin yang tidak dapat dipagari oleh eksklusi atau inklusi terhadap kategori tertentu. Melalui perspektif teori diskurus Habermas, penelitian ini berusaha mengupas defisit dalam praktik demokrasi dewasa ini. Sasarannya adalah mencapai suatu pemahaman tentang keadilan politik yang tidak beku dan senantiasa terbuka terhadap segala rupa kemungkinan baru.

DEMOCRACY AND DISCOURSE THEORY

ABSTRACT

This undergraduate thesis is a critical analysis of the political theory Jürgen Habermas in terms of addressing the pluralism. Habermas elaborated the notion of political validity and legitimacy above the communicative action. This critical analysis aims to prove that democracy is a room with unlimited probability, which is most unlikely to be restricted with neither exclusivity nor inclusivity towards particular groups. Through the perspective of Habermas’ discourse theory, this analysis seeks to unravel the deficit of democracy to day. The objective is to achieve an understanding of political justice that is not frigid and open to all sorts of new possibility.

(2)

Pendahuluan

Habermas adalah filsuf yang banyak mencurahkan perhatian pada persoalan agama, masyarakat sosial, kebudayaan, dan problematika politik. Ia lahir 18 Juni 1929 di Dusseldorf, Jerman. Pemikiran filsafat politik dan teori tindakan komunikatif Habermas dapat kita tafsirkan sebagai suatu usaha menjelaskan bagaimana suatu masyarakat kompleks dewasa ini menghasilkan produk hukum yang legitim. Habermas berusaha menjawab pertanyaan tentang dimungkinkan atau tidaknya kehidupan bersama secara politis dalam masyarakat majemuk yang plural dan kompleks. Habermas memusatkan perhatiannya untuk mencari bentuk prosedural yang menurutnya paling relevan bagi masyarakat demokratis. Kemajemukan gaya hidup, kepentingan, dan orientasi nilai, menurutnya, tidak lagi dapat diartikulasikan melalui konsep-konsep metafisis tradisional. Habermas memfokuskan pandangannya pada pendasaran-akhir akal budi dan moral dalam mencapai konsensus rasional. Ia mengajukan kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan suatu praksis pencapaian konsensus dapat dilakukan secara bebas dan fair.

Dengan meradikalkan proses-proses komunikasi, Habermas menunjukkan bahwa dalam diri masyarakat modern terdapat potensi untuk mencapai keadilan bersama. Habermas menggali prinsip-prinsip komunikasi yang imanen di tubuh masyarakat modern dan memuarakan konsep-konsepnya pada model deliberatif guna mencari prosedur praktis dalam mencapai keadilan bersama.

Reinterpretasi Konsep Rasio

Kata rasio sudah sangat termashur di dunia filsafat, utamanya sejak dicetuskannya cogito ergo sum oleh Descartes. Dalam tradisi Cartesian, rasio selalu dielu-elukan sebagai fondasi epistemologis pengenalan atas realitas. Rasio Cartesian dipostulasikan sebagai sumber pengetahuan. Di tangan Kant, konsep rasio epistemologis Cartesian diubah menjadi konsep rasio praktis. Kant mengandaikan subjek tindakan sebagai sesuatu yang mempertimbangkan secara sendirian apa yang seharusnya ia lakukan.1 Subjek dalam model filsafat Kant adalah subjek otonom. Subjek otonom, melalui rasio praktis, mampu mempertimbangkan maksim tindakan legitim sebagai norma penetapan undang-undang untuk semua orang. Maksim tindakan tersebut Kant rumuskan dalam imperatif kategoris.2

(3)

Menurut Habermas, subjek dari rasio praktis mengambil keputusan secara monolog, yakni tanpa adanya kesepakatan dengan subjek-subjek lainya. Habermas menafsir ulang etika solipsme metodis Kant dalam horizon filsafat model intersubjektif. Tradisi filsafat subjek memang sudah muncul sejak era Yunani, yakni era Aristoteles. Pada Aristoteles, masih ada hubungan internal antara rasio praktis dan komunitas kultural. Para warga polis pada zaman Yunani kuno berupaya mencapai kesepakatan untuk menentukan tujuan bersama yang hendak mereka wujudkan dalam kehidupan bersama. Menurut Habermas, Kant melepaskan rasio praktis dari konteks komunitas dan melucuti ciri-ciri sosialnya sedemikian rupa sehingga rasio praktis menjadi kemampuan subjektif belaka.3

Rasio praktis Kantian merujuk pada otonomi individu, yaitu mengenai hakikat manusia yang universal dan tak tergantung pada konteks soso-historis. Hegel kemudian menerapkan kemampuan subjektif individu pada ranah sejarah. Ia menyatakan bahwa kemampuan subjektif individu identik dengan kemampuan subjektif suatu bangsa. Ia memperluas konsep rasio praktis Kant dari taraf individu ke taraf masyarakat. Sejarah suatu bangsa dalam memperjuangkan otonominya bersesuaian dengan riwayat sejarah individu otonom.

Melalui proses dialektika sejarah, rasio akan menemukan dirinya sendiri sebagai entitas yang absolut. Dialektika hegel adalah proses dialog terus-menerus antara tesis (realitas afirmatif) berhadapan dengan antitesis (realitas negasi), dan didamaikan oleh realitas jalan tengah yang disebut sintesis. Dialektika Hegel juga dimaksudkan untuk menunjukkan perjalanan panjang individu dan masyarakat dalam menentukan atau membentuk dirinya sendiri.

“Hegel remained convinced, just like Aristotle, that society finds its unity in the political life and organization of the state.... However, modern societies have since become so complex that these two conceptual motifs-that of a society concentrated in the state and that of a society made up of individuals-can no longer be applied unproblematically.”4

“Hegel seperti juga Aristoteles masih percaya bahwa masyarakat memperoleh keutuhannya di dalam kehidupan politis dan di dalam negara... Akan tetapi masyarakat-masyarakat modern sementara itu telah menjadi sedemikian kompleks sehingga kedua model pemikiran tersebut (baik yang memandang negara sebagai pusat masyarakat maupun yang memandang masyarakat sebagai kesatuan individu-individu) tidak dapat begitu saja diterapkan ke dalam masyarakat-masyarakat tersebut.”

3Ibid. Hlm. 3

4 Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, (Cambridge: The MIT Press, 1996), P. 2. Translated by William

(4)

Habermas hendak membuktikan bahwa model rasio praktis Kantian sudah tidak lagi relevan dengan realitas sosial dan realitas politik. Rasio praktis bersifat monolog dan mengandung benih-benih absolutisme totalitarian. Muatan absolutisme totalitarian itu terkandung dalam imperatif kategoris yang bersifat a priori. Imperatif kategoris menunjukkan adanya perintah yang harus dipatuhi tanpa syarat. Dalam mengenali imperatif kategoris secara monolog, subjek tidak membuka dialog dengan subjek-subjek lain. Hasil pegenalan monolog dari rasio praktis adalah klaim yang bisa jadi bersifat hakiki dan tidak mau lagi dikritisi. Segala sesuatu yang hakiki mengandung kebutuhan atas afirmasi. Kebenaran yang diperoleh oleh subjek monolog menuntut legitimasi seluruh makhluk rasional. Subjek rasio praktis menerapkan pengetahuan moral yang diperolehnya kepada subjek-subjek rasional lain tanpa adanya dialog. Asas utama yang menjadi titik tumpu adalah universalitas. Universalitas rasio praktis mengandaikan rasio yang ada sebagai rasio instrumental, yakni rasio pelengkap bagi rasio yang sudah hakiki. Universalitas konsep rasio praktis membawa model rasio ini terjebak pada esensialisme. Esensialisme dalam filsafat politik kontemporer, dicurigai menyembunyikan tendensi-tendensi kekuasaan totaliter. Dengan demikian, model rasio praktis Kantian sudah tidak lagi memadai jika dijadikan sebagai fondasi hidup bersama demi mencapai keadilan bersama.

Fakta tentang kebangkrutan rasio praktis Kantian tersebut hendak diatasi Habermas. Ia mengajukan konsep rasio gaya baru yang ia sebut sebagai konsep rasio komunikatif. Rasio komunikatif inilah yang akan bertransformasi dalam kehidupan sosial. Hasil-hasil dialog rasio komunikatif tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk merumuskan kesepakatan mengenai konsepsi keadilan. Rasio komunikatif Habermas menjadi konsep yang real dan membumi, serta dapat dengan mudah kita kenali dalam kehidupan sehari-hari.

(5)

“After a century that, more than any other, has taught us the horror of existing unreason, the last remains of an essentialist trust in reason have been destroyed. Yet modernity, now aware of its contingencies, depends all the more on a procedural reason, that is, on a reason that puts itself on trial. The critique of reason is its own work: this double meaning, first displayed by Immanuel Kant, is due to the radically anti-Platonic insight that there is neither a higher nor a deeper reality to which we could appeal.” 5

Setelah satu abad yang tidak ada bandingannya dalam sejarah telah mengajarkan kepada kita betapa mengerikan sikap irasional itu, sisa terakhir kepercayaan terhadap rasio esensialistis hancur. Namun modernitas yang sadar akan relativitas-relativitasnya tetap berpegang teguh pada rasio prosedural, yakni pada rasio yang menggugat dirinya sendiri. Kritik atas rasio adalah karya dari rasio prosedural ini: makna ganda dari kritik Kantian ini bersumber pada pandangan antiplatonis bahwa tidak ada hal-hal yang lebih tinggi ataupun yang lebih rendah yang dapat menjadi sumber otoritas bagi kita”

Rasio prosedural memunculkan model intersubjektivisme sebagai pengganti model subjektivisme yang sudah tidak memadai. Prosedur yang diakui secara intersubjektif menjadi sangat penting. Melalui rasio prosedural, proses-proses rasional memperoleh kesahihannya. Rasionalitas tidak dapat dicapai oleh subjek tunggal semata-mata. Sifat rasional dari suatu klaim rasio hanya dapat dicapai secara komunikatif, yaitu melalui pemahaman timbal-balik dengan subjek-subjek lainnya. Rasio prosedural adalah rasio komunikatif. Prosedur digunakan untuk memastikan agar sebuah klaim dapat bersifat rasional dan partisipan yang melahirkan klaim tidak mendapat tekanan paksaan atau tekanan kuasa. Mekanisme pemeriksaan secara intersubjektif dan prosedur yang diterima secara intersubjektif adalah syarat-syarat formal yang mengandung rasio prosedural.6 Berikut pernyataan Habermas:

“The phenomena in need of explication are no longer, in and of themselves, the knowledge and mastery of an objective nature, but the intersubjectivity of possible understanding and agreement-at both the interpersonal and intrapsychic levels. The focus of investigation thereby shifts from cognitive-instrumental rationality to communicative rationality.” 7

“Fenomen-fenomen yang harus diterangkan tidak lagi pengetahuan dan manipulasi alam yang diobjektifikasikan, melainkan intersubjektivitas tentang konsensus yang mungkin - baik pada taraf interpersonal maupun intrapsikis. Fokus penelitian demikian bergeser dari rasionalitas kognitif-instrumental ke rasionalitas komunikatif.”

Bagi Habermas, intersubjektivitas menjadi penting. Karena itulah ia memunculkan konsep rasio komunikatif dan mencoba kembali melakukan refleksi kritis atas model yang sudah ada dan selama ini berlaku dalam masyarakat modern, yakni model rasio kognitif-instrumental.

5Ibid., P. XLI.

6 F. Budi Hardiman, Teori Diskursus dan Demokrasi (jurnal Vol 7), (Jakarta: 2008), Hlm. 9.

7 Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1, (Reason and The Rationalization of Society),

(6)

Teori Tindakan, Lebenswelt, dan Sistem Mayarakat

Demokrasi deliberatif Habermas dibangun dari konsep-konsep kunci yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam bukunya yang berjudul Theorie des Kommunikativen Handelns / Theory of Comuunicative Action (Teori Tindakan Komunikatif)8 Habermas menghubungan konsep rasio prosedural dengan konsep tindakan sosial. Unsur utama pembentuk masyarakat adalah tindakan sosial. Melalui konsep tindakan sosial Habermas mengembangkan konsep masyarakat dengan paradigma teori komunikasi. Habermas menentukan tindakan komunikatif sebagai tindakan sosial paling ideal yang dapat difungsikan secara maksimal di kehidupan masyarakat plural.

1. Tindakan Komunikatif

Dalam teori tindakan komunikatif, Habermas meyakini bahwa tindakan antar manusia dalam sebuah masyarakat tidak terjadi secara semena-mena, melainkan bersifat rasional. Sifat rasional tindakan tersebut dalam pandangan Habermas bersifat instruktif. Ia mengasumsikan bahwa para partisipan komunikasi mengorientasikan diri pada pencapaian pemahaman satu sama lain. Pemahaman pada Habermas berarti ‘mengerti’ suatu ungkapan bahasa. Kata pemahaman juga dapat diartikan sebagai persetujuan atau konsensus. Sifat rasional tindakan mengacu pada arti konsensus.9 Tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus merupakan tindakan rasional. Tindakan komunikatif tidak lain adalah tindakan rasional yang mengarahkan diri pada konsensus. Habermas menyatakannya demikian:

“...concept of communicative action is presented in such a way that the acts of reaching understanding, which link the teleologically structured plans of action of different participants and thereby first combine individual acts into an interaction complex, cannot themselves be reduced to teleological actions.”10

“...konsep tindakan komunikatif diperkenalkan melalui jalan bahwa tindakan-tindakan demi mencapai pemahaman, yang mana secara teleologis tersusun rencana-rencana dari tindakan partisipan yang berbeda dan dengan demikian kombinasi pertama tindakan-tindakan individu ke dalam suatu interaksi yang kompleks, tidak dapat direduksi oleh mereka menjadi tindakan-tindakan teleologis.”

Konsep rasio komunikatif mengacu pada rasionalitas yang secara potensial terkandung di dalam tindakan komunikatif. Rasio komunikatif membimbing tindakan

8Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Thomas McCarthy dan diterbitkan oleh Beacon

Press pada tahun 1984.

(7)

komunikatif untuk mencapai persetujuan bersama berupa konsensus tentang sesuatu. Konsensus tersebut tidak serta merta terjadi begitu saja. Prasyarat utama terjadinya konsensus adalah adanya rasa saling mengerti dan adanya pinjam-meminjam perspektif. Seseorang harus mencoba memahami persoalan orang lain atau mencoba berperan sebagai yang lain agar mengetahui secara persis (atau paling tidak mendekati) persoalan yang dihadapi orang lain. Rasio komunikatif mengarahkan seluruh proses pendekatan dan pengenalan terhadap perspektif yang lain agar dapat mencapai pemahaman bersama.

Pada kenyataannya tidak semua persetujuan dapat dicapai melalui media dialog secara rasional dan bebas tekanan. Ada model pemaksaan kehendak agar terjadi pemahaman yang seragam dengan yang lain. Model ‘setujuh’ semacam itu bukanlah persetujuan. Term persetujuan menunjukkan adanya kesalingan, yakni afirmasi antara subjek satu dan subjek lain. ‘Setujuh’ yang dipaksakan pada dasarnya bukanlah konsensus rasional. ‘Setujuh’ yang dipaksakan adalah bentuk banalisasi rasio. Banalisasi rasio terjadi jika dalam pencapaian kesepahaman dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Mengenai persoalan tersebut, Habermas membahas tentang dua macam mekanisme tindakan, yakni “mencapai persetujuan secara intersubjektif” atau konsensus, dan tindakan “mempengaruhi”.11 Mekanisme tindakan yang berupa konsensus terbentuk lewat pengetahuan bersama yang diterima secara intersubjektif, sedangkan mekanisme tindakan mempengaruhi berangkat dari keyakinan monolog yang dianggap tepat dan benar oleh seseorang tanpa adanya pengakuan rasional dari orang lain. Tindakan komunikatif bersifat situasional sebagaimana dinyatakan oleh Habermas berikut ini:

“...communicative action is dependent on situational contexts, which represent in turn segments of the life-world of the participants in interaction.”12

“...tindakan komunikatif tergantung pada konteks situasional, yang mewakili bagian dari dunia13 kehidupan partisipan dalam interaksi.”

Konsep lain yang juga diajukan oleh Habermas adalah konsep tindakan strategis, yaitu tindakan yang berorientasi pada keberhasilan seperti terjadi dalam tindakan mempengaruhi.14 Tindakan strategis mengandaikan bahwa orang mengerti ungkapan-ungkapan bahasa dan juga dapat menjelaskan pendapatnya. Tindakan strategis bukanlah sebuah alternatif bagi tindakan komunikatif. Dalam tindakan strategis, orang menggunakan

11 Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm.35.

(8)

bahasa tidak sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai alat untuk memaksakan kehendak. Khusus mengenai tindakan sosial dan konsensus, Habermas menyatakannya demikian:

“...Social actions are institutionalized in the framework of legitimate orders; and the latter rest in part on consensus [Einverstandnis]. This consensus is grounded in the intersubjective recognition of norms...”15

“...Tindakan sosial diinstitusionalisasi dalam kerangka aturan-aturan yang legitim; dan berakhir pada suatu bagian konsensus. Konsensus ini didasarkan pada pengakuan intersubjektif atas norma-norma...”

Melalui keterangan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa aturan-aturan yang legitim melembagakan tindakan sosial. Tindakan sosial yang dimaksud dapat kita artikan sebagai tindakan komunikatif, yang tentunya berlandaskan pada rasio kominukatif. Karena hanya melalui pelandasan itu lah suatu tindakan dapat mencapai konsensus. Konsensus adalah bentuk kesepahaman atau persetujuan yang diafirmasi secara intersubjektif.

Jika kita menggunakan medium bahasa untuk saling memahami, menurut Habermas kita mengandaikan berbagai macam sikap performatif terhadap dunia kita. Persoalan ini lazimnya terdapat pada masyarakat modern. Yang dimaksud Habermas adalah bahwa orang dapat membedakan macam-macam pernyataan bukan hanya dari isinya, melainkan juga dari acuan pernyataan-pernyataan itu.16 Kita dapat menggunakan contoh pernyataan “di luar sedang hujan” yang secara mendasar berbeda dengan pernyataan “saya sakit kepala”. Pernyataan pertama bersifat empiris-objektif, sedangkan pernyataan kedua bersifat subjektif. Kemudian ada pernyataan lain berupa “korupsi itu salah”. Maka penyataan terakhir ini bersifat normatif. Ketiga pernyataan tersebut mengacu pada bidang-bidang pemahaman yang berbeda yang oleh Habermas disebut Dunia (Welten).17 Klasifikasi mengenai tiga pernyataan tersebut dapat lebih mudah kita pahami dengan membaca skema berikut18:

15 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol 1, op. cit., P. 254. 16 Hardiman, op. cit., Hlm. 36.

17Ibid.

(9)

KLAIM KETEPATAN

“Saya sakit kepala”

Dunia Intersubjektif (Masyarakat)

“Korupsi itu salah”

“Di luar sedang hujan”

Dunia Subjektif (Individu) Dunia Objektif

(Alam)

KLAIM KEBENARAN KLAIM KEJUJURAN

Gambar : Skema 1

Skema di atas menunjukan adanya tiga klaim kesahihan yang dapat dilakukan oleh pelaku tindakan komunikatif. Klaim-klaim tersebut adalah klaim kebenaran (wahr) yakni klaim yang validitasnya dapat di verifikasi, klaim ketepatan (richtig) yakni klaim yang kebenarannya menuntut afirmasi sosial, dan klaim kejujuran (wahrhftig) yakni klaim subjektif yang menuntut afirmasi kebenaran performatif sesuai dengan situasi dan kondisi faktual subjek.19

Seperti telah diutarakan Habermas dalam kutipan di atas, bahwasanya tindakan komunikatif merupakan tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus. Konsensus dalam kerangka pikir Habermas adalah model konsensus rasional. Keberhasilan model konsensus rasional adalah adanya indikasi kebebasan argumentasi namun tidak melukai yang lain. Artinya, tidak ada kekerasan dan paksaan dalam transaksinya. Untuk mencapai konsensus rasional, klaim yang dihasilkan oleh tindakan komunikatif harus secara serentak bersifat benar, tepat, dan jujur, agar partisipan komunikasi dapat menentukan sikap dan keputusannya dalam merespons klaim yang dihasilkan.

2. Lebenswelt

19 Pernyataan ini diperkuat oleh F. Budi Hardiman sebagai berikut: “Para pelaku tindakan komunikatif

mengeluarkan klaim-klaim kesahihan, yaitu klaim-klaim bahwa pernyataan-pernyataan mereka itu benar, tepat

(10)

“He begins his discussion by examining phenomenological notions of the Lebenswelt as the ever- present horizon of social action, as its Verweisungszusammenhang (Referential context), as the taken for-granted background that is "always already" there when we act.”20

“Dia (Habermas) mengawali diskusi dengan menguji pendekatan gagasan mengenai

Lebenswelt (dunia kehidupan) sebagai kehadiran horizon tindakan sosial, sebagai

Verweisungszusammenhang (konteks referensial), sebagai latar belakang (berperan dibelakang panggung) bahwa ia “selalu siap” ketika kita melakukan tindakan”

Proposisi itu dinyatakan oleh Thomas McCarthy dalam bagian pengantar penerjemahan buku Habermas. Sebagaimana yang Mc Carthy katakan, memang benar Habermas membahas konsep Lebenswelt (Lifeworld) atau penulis menyebutnya sebagai ‘dunia kehidupan’ sebagai pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif. Dunia kehidupan mempunyai keterkaitan erat dengan tindakan komunikatif.

Tiga macam klaim kesahihan mengenai kebenaran, kejujuran, dan ketepatan dalam kehidupan sehari-hari jarang dipersoalkan. Klaim-klaim tersebut dinaifkan dan diandaikan ada begitu saja. Justru karena dinaifkan, maka klaim-klaim tersebut menjadi punya peran penting untuk memungkinkan terjadinya pemahaman. Klaim-klaim itu merupakan basis kognitif komunikasi yang membentuk pengetahuan bersama dengan sifat pre-reflektif dan implisit. Pengetahuan itu hadir sebagai latar belakang, atau berwilayah “di belakang panggung”. Habermas menyebutnya sebagai Hintergrundwissen (pengetahuan latar belakang). 21 Pengetahuan latar belakang membentuk konteks komunikasi dan beroprasi dibelakang proses-proses komunikasi verbal. Habermas menyatakan demikian:

“I can introduce here the concept of the Lebenswelt or lifeworld, to begin with as the correlate of processes of reaching understanding. Subjects acting communicatively always come to an understanding in the horizon of a lifeworld. Their lifeworld is formed from more or less diffuse, always unproblematic, background convictions. This lifeworld background serves as a source of situation definitions that are presupposed by participants as unproblematic. In their interpretive accomplishments the members of a communication community demarcate the one objective world and their intersubjectively shared social world from the subjective worlds of individuals and (other) collectives. The world-concepts and the corresponding validity claims provide the formal scaffolding with which those acting communicatively order problematic contexts of situations, that is, those requiring agreement, in their lifeworld, which is presupposed as unproblematic.”22

“Saya dapat memperkenalkan disini konsep tentang Lebenswelt atau dunia kehidupan, untuk memulai dengan menghubungkan proses-proses mencapai pemahaman. Tindakan komunikatif subjek selalu datang untuk suatu pemahaman dalam horizon di dunia kehidupan. Latar belakang dunia kehidupan ini menjadi sebuah sumber definisi situasi yang diisyaratkan oleh para partisipan sebagai hal yang tidak dipersoalkan. Dalam kecakapan

20 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1, op. cit., P. XXIV. Pernyataan tersebut ditulis oleh

Thomas McCarthy dalam pengantar penerjemahan karya Habermas.

21 Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 38.

(11)

interpretif mereka, para anggota komunitas komunikasi mendemarkasi dunia objektif dengan intersubjektivitas mereka, lalu membagikan dunia sosial dari dunia subjektif baik dalam ranah individu maupun kolektif. Konsep dunia dan hubungannya dengan validitas klaim menyediakan perancah formal dengan aturan tindakan komunikatif itu dalam konteks situasi yang problematis, bahwa, hal tersebut membutuhkan persetujuan, dalam dunia kehidupan mereka, dengan diandaikan sebagai sesuatu yang tidak dipersoalkan.”

Lebenswelt diandaikan sebagai suatu horizon yang memiliki batas-batas dan bersifat elastis. Ia lentur dan dapat disesuaikan dengan posisi atau perspektif partisipan. Jika kita membahas mengenai “Pemilu Presiden 2014” misalnya, maka pengetahuan latar belakang kita adalah mengenai apa-apa yang berhubungan dengan “Pemilu Presiden 2014”. Horizon kita dengan sendirinya akan difokuskan pada tema dan apa-apa yang menyangkut persoalan itu. Otomatisasi fokus inilah yang disebut Habermas sebagai Lebenswelt atau ‘dunia kehidupan’. Dunia kehidupan tidak pernah kosong karena setiap saat subjek selalu dapat mengubah tema dan perspektif komunikasinya, bahkan tanpa disadari.

Dunia kehidupan tidak dapat dikalkulasi secara matematis. Ia kebal dari bentuk-bentuk problematisasi. Karenanya, para pelaku tindakan komunikatif dimungkinkan senantiasa dapat bergerak di dalam dunia kehidupan. Habermas menganggap dunia kehidupan sosial dan kultural sebagai “tempat transendental di mana pembicara dan pendengar bertemu” seolah-olah konsensus potensial sudah terkandung di dalamnya.23

Bagi Habermas, dunia kehidupan mempunyai hubungan yang erat dengan tindakan komunikatif. Habermas menyebut dunia kehidupan sebagai “gudang” (vorrat). Dari gudang tersebut para peserta komunikasi mengambil dan memakai interpretasi-interpretasi tertentu. Dunia kehidupan dapat dipelihara, diteruskan dan diproduksi lewat tindakan komunikatif. Orang dapat membayangkan komponen-komponen dunia kehidupan, yaitu pola-pola budaya, tatanan-tatanan legitim dan struktur-struktur kepribadian sebagai pemadatan dan endapan proses-proses pemahaman, koordinasi tindakan dan sosialisasi yang berlangsung, melalui tindakan komunikatif.24

Konsensus yang didasari fakta-fakta dan klaim-klaim kesahihan yang berhubungan dengan dunia kehidupan dapat dipahami secara intersubjektif. Partisipan komunikasi selalu dalam perspektif pengetahuan mereka yang juga selalu dapat diperbaharui. Karenanya solidaritas antar partisipan dapat terbentuk, meskipun diawali dari proses yang bertahap. Dalam prosesnya tentu akan ada konflik. Namun justru konflik yang muncul akan menambah wawasan pengetahuan dalam dunia kehidupan kemudian dapat dijadikan pertimbangan baru

23 Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 39.

(12)

untuk merumuskan kebaikan bersama diantara para partisipan dan masyarakat yang berkepentingan.

3. Sistem Masyarakat dan Lebenswelt

“Habermas tells us that The Theory of Communicative Action has three interrelated concerns: (1) to develop a concept of rationality that is no longer tied to, and limited by, the subjectivistic and individualistic premises of modern philosophy and social theory; (2) to construct a two-level concept of society that integrates the lifeworld and system paradigms; and, finally, (3) to sketch out, against this background, a critical theory of modernity which analyzes and accounts for its pathologies in a way that suggests a redirection rather than an abandonment of the project of enlightenment.”25

“Habermas menjelaskan kepada kita bahwa Teori Tindakan Komunikatif mempunyai tiga konsentrasi yang saling terhubung: (1) untuk mengembangkan suatu konsep tentang rasionalitas dan meningkatkannya, dan dibatasi oleh, premis-premis subjektif dan individualis dari filsafat dan teori sosial. (2) untuk membangun suatu konsep dua tingkat tentang masyarakat yang terintegrasi dengan dunia kehidupan dan paradigma sistem; dan, akhirnya, (3) untuk menguraikan, berkaitan dengan latar belakang itu, suatu teori kritis bagi modernitas dengan analisis dan catatan patologis dalam sebuah jalan yang menganjurkan suatu petunjuk dan kembali pada proyek pencerahan.”

Sebagaimana telah dinyatakan oleh McCarthy tersebut, tujuan akhir teori tindakan komunikatif Habermas adalah mencerahkan, atau suatu emansipasi dari keterkungkungan masyarakat akan belenggu-belenggu ideologi. Namun ada konsentrasi kedua yang perlu penulis bahas terlebih darulu, yaitu “membangun suatu konsep mengenai masyarakat yang terintegrasi dengan dunia kehidupan dan paradigma sistem”. Konsep sistem (System), dalam filsafat politik Habermas, tidak dapat dipisahkan dengan konsep Lebenswelt (dunia kehidupan). Dalam Teori Tindakan Komunikatif memang Habermas menjelaskan Lebenswelt sebagai bentuk teori sosiologi. Penggunaan Lebenswelt dalam teori sosiologi Habermas berarti bahwa dunia kehidupan berfungsi sebagai kategori dasar teori sosial. Habermas memakai konsep “sistem” dan konsep “dunia kehidupan” secara bersama-sama dan menyebutnya sebagai konsep dua tingkat (two-level concept). Kita akan melihat bagaimana argumentasi Habermas menjelaskan keterkaitan dua konsep tersebut untuk mengusahakan suatu bentuk integrasi sosial dalam masyarakat. Berikut pernyataan Habermas:

“...system and lifeworld are differentiated in the sense that the complexity of the one and the rationality of the other grow. But it is not only qua system and qua lifeworld that they are differentiated; they get differentiated from one another at the same time.”26

25 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1., op. cit. p. VI. Pernyataan tersebut ditulis oleh

Thomas McCarthy dalam pengantar penerjemahan karya Habermas The Theory of Communicative Action.

26 Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 2, (Lifeworld and System: A Critique of

(13)

“... sistem dan dunia kehidupan dibedakan dalam pengertian bahwa kompleksitas dari yang satu dan rasionalitas dari yang lain, tumbuh. Tetapi ini tidak hanya qua-sistem dan qua-dunia kehidupan, bahwa mereka dibedakan; mereka dibedakan satu sama lain dalam waktu yang sama.”

Menurut Habermas, jika dilihat dari perspektif para pelaku (Teilnehmerperspektive), masyarakat tampak sebagai “jaringan kerjasama-kerjasama yang dimungkinkan lewat komunikasi”.27 Kerjasama tersebut memungkinkan munculnya integritas dan stabilitas suatu masyarakat. Para aktor sosial dapat menghasilkan konsekuensi-konsekuensi sosial melalui kerjasama. Tetapi jika dilihat dari perspektif para pengamat (Beobachterperspektive), masyarakat memperlihatkan dirinya sebagai “jaringan fungsional dari rentetan tindakan”.28 Jika dilihat melalui perspektif pengamat, tindakan-tindakan masyarakat seolah-olah terjadi secara mekanis. Tindakan tersebut terjadi diluar intensi para pelaku. Pada tataran tersebut lah masyarakat muncul sebagai “sistem”. Sistem tersebut, dalam kehidupan masyarakat modern, muncul pada kekuasan negara dan ekonomi. Sistem diperkuat oleh komponen integritas masyarakat yang berupa “solidaritas” (dalam Lebenswelt), “uang” (dalam kapitalisme) dan “kuasa” (dalam System).29

Dalam bukunya Teori Tindakan Komunikatif, Habermas banyak membahas persoalan teori rasionalisasi Max Weber. Ia menerima teori tersebut dan menyatakan adanya “hilangnya sambungan antara sistem dan dunia kehidupan”. Proses tersebut bersangkutan dengan evolusi sosial atau modernisasi yang disebut Weber sebagai rasionalisasi.30 Bagi Habermas, sebelum terjadinya proses rasionalisasi, terdapat identitas antara dunia kehidupan dan sistem, utamanya dalam tradisi kehidupan masyarakat tradisional. Dalam keadaan ideal, dunia kehidupan berkembang dalam bentuk rasionalitas komunikatif yang semakin diskursif, sedangkan sistem berkembang dalam bentuk kompleksitas yang fungsional.

Habermas merumuskan proses rasionalisasi yang seimbang sebagai berikut: “Pada tingkat analitis ini hilangnya sambungan antara sistem dengan dunia kehidupan dapat digambarkan sebagai berikut: Dunia kehidupan yang dulu masih sama luasnya dengan sistem sosial yang sedikit terdiferensiasi lama-kelamaan direndahkan menjadi sebuah subsistem di samping subsistem-subsistem lainnya.”31

27 Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 41. Mengutip Teori Tindakan Komunikatif Habermas, Hlm.

223.

28Ibid. 29Ibid. 30Ibid.

(14)

SYSTEM

Dunia kehidupan semakin sempit posisinya karena didesak oleh sistem lain yang juga menjadi semakin rumit. Dalam proses itu, sistem justru mendapat tempat yang lebih luas. Mengenai persoalan itu dapat lebih mudah kita pahami dengan membaca skema berikut ini32:

Gambar : Skema 2

Awalnya, antara sistem dan dunia kehidupan masing-masing mampunyai identitas. Hal tersebut lazimnya terjadi dalam masyarakat tradisional yang belum didera persoalan kompleks dan orientasi-orientasi plural. Namun dalam masyarakat modern, ketika sistem mulai berkembang dengan segala kerumitannya, sistem-sistem yanga ada dalam realitas menekan dunia kehidupan sedemikian rupa (secara tidak disadari) hingga porsi dunia kehidupan dalam realitas menjadi semakin kecil. Bentuk sistem yang paling dominan dalam masyarakat modern adalah kapitalisme dan kuasa negara. Subsistem-subsistem tersebut melakukan kolonisasi dunia kehidupan. Memahami persoalan itu, Habermas menggagas adanya rasionalisasi dunia kehidupan. Upayanya dimaksudkan untuk mengembalikan posisi dunia kehidupan ke porsi yang memadai. Sebenarnya menciutnya dunia kehidupan dapat kita pahami dalam dua perspektif, pertama, dunia kehidupan didesak oleh sistem melalui kerja subsistem, dan kedua, dunia kehidupan menarik diri dari dan memberi tempat bagi sistem. Keberhasilan merasionalisasi dunia kehidupan melalui tindakan komunikatif lah yang menurut Habermas dapat dijadikan emansipasi bagi masyarakat modern dalam mengambil jarak terhadap belenggu sistem modernitas.

Teori Diskursus dan Proseduralisme

Habermas memberi posisi sentral pada rasionalitas. Namun harus diingat bahwa, rasionalitas yang dimaksud Habermas terbatas pada rasio komunikatif. Baginya, suatu pernyataan atau tindakan seseorang akan bersifat rasional sejauh alasan argumentatifnya dapat

(15)

dijelaskan dan dipertanggungjawabkan serta diakui secara intersubjektif. Adanya penjelasan dan pemberian alasan merupakan ciri dasar dari adanya klaim-klaim kesahihan yang bersifat rasional. Rasionalitas klaim dapat terjadi hanya jika komunikasi yang digunakan adalah komunikasi rafleksif, bukan komunikasi naif. Komunikasi naif adalah komunikasi yang biasa kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan kebenarannya kita andaikan begitu saja sebagai komunikasi yang wajar. Sementara komunikasi reflektif adalah komunikasi yang menuntut adanya refleksi atas wacarna yang sedang dikomunikasikan. Komunikasi reflektif memerlukan alasan-alasan dan tindak rasionalisasi atas wacana dalam dunia kehidupan masing-masing partisipan. Melalui komunikasi reflektif inilah partisipan mulai membangun pemahaman untuk mencapai konsensus.

Wacana yang dibahas dalam komunikasi reflektif bukan wacana biasa, namun berupa diskursus. Menurut Habermas, diskursus adalah bentuk komunikasi yang mengandung klaim-klaim kesahihan sebagai objek problematisasinya.33 Dalam diskursus, dunia kehidupan kehilangan cirinya sebagai pengetahuan latar belakang, sebab setelah dijadikan tema komunikasi pengetahuan latar belakang berubah menjadi pengetahuan latar depan yang bersifat eksplisit. Komunikasi yang terjadi diantara peserta dikursus yaitu, para partisipan berusaha keluar dari dunia kehidupan masing-masing untuk menyelesaikan secara rasional berbagai persoalan yang mereka temukan dalam dunia kehidupan bersama. Jadi, ada proses abstraksi antar partisipan dalam membayangkan diskursus dari partisipan lain. Ujung dari proses tersebut, lagi-lagi adalah suatu konsensus. Namun konsensus yang prosesnya dilakukan secara komunikatif diskursif akan melahirkan konsensus reflektif. Karena, diskursus adalah bentuk reflektif dari tindakan komunikatif. Ia melanjutkan skema yang telah dijalankan oleh tindakan komunikatif dengan sarana yang lebih reflektif, yaitu berupa argumentasi. Model diskursus ini, menurut Habermas, relevan dengan kondisi masyarakat modern. Habermas menyatakannya demikian:

“The construction of an unlimited and undistorted discourse can serve at most as a foil for setting off more glaringly the rather ambiguous developmental tendencies in modern societies.”34

“Konstruksi dari sebuah diskursus yang tidak terbatas dan tidak terdistorsi dapat berfungsi sebagai sebuah upaya untuk menggagalkan penerapan (diskursus) yang ambigu dengan tendensi pembangunan (pengembangan sistem yang mengkolonisasi Lebenswelt) dalam masyarakat modern”

33 Hardiman, op. cit., hlm. 34. Mengutip Habermas dalam Teori Sosial atau Teknologi Sosial (versi Jerman),

Hlm. 115.

(16)

Melalui keterangan tersebut Habermas menunjukkan adanya upaya untuk memurnikan diskursus dari belenggu-belenggu yang mendistorsi. Ia mengupayakan diskursus reflektif untuk memecahkan persoalan kesepahaman (misalnya untuk merumuskan keadilan) dalam masyarakat modern. Dalam masyarakt modern berkembang diskursus yang ambigu. Diskursus yang ada sudah diboncengi oleh tendensi pembangunan, yaitu pengembangan sistem yang mengolonisasi dunia kehidupan.35 Diskursus yang tidak reflektif akan mempersempit porsi dunia kehidupan dalam realitas yang akhirnya menutup ruang-ruang komunikatif dalam masyarakat. Partisipan perlu kembali memurnikan diskursus dari berbagai belenggu yang menyelubung di dalam kehidupan masyarakat modern. Adapun jika terdapat kritik dalam mekanisme tersebut, maka pendalaman dan abstraksi terhadap dunia kehidupan partisipan lain digunakan sebagai usaha untuk menyelesaikan persoalan.

Habermas membagi diskursus menjadi dua, yaitu diskursus teoritis dan diskursus praktis. Dalam diskursus teoritis, orang mempermasalahkan klaim kebenaran pernyataan-pernyataan teoritis-empiris. Dalam diskursus praktis, orang mempersoalkan klaim ketepatan pernyataan-pernyataan normatif. Dalam usahanya mengajukan solusi persoalan bagi masyarakat modern, Habermas memusatkan diri pada model diskursus praktis. Diskurus praktis yang dimaksud oleh Habermas adalah prosedur komunikasi. Dalam diskursus praktis, para peserta mempersoalkan klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka.36

1. Prosedur Komunikasi sebagai Diskursus Praktis

Diskursus praktis adalah bentuk komunikasi khusus dengan niveau (level) yang tinggi. Peserta diskursus praktis mencoba memecahkan norma-norma problematis secara kooperatif agar konsensus yang dicapai secara intersubjektif sesuai dengan kehendak semua peserta.37 Tujuan adanya diskursus praktis adalah mencapai pemahaman timbal-balik atas norma-norma tindakan yang dipatuhi bersama. Pemahaman timbal balik yang dimaksud adalah konsensus rasional yang legitim. Habermas meradikalkan intuisi sehari-hari sebagai cara untuk mencapai konsensus legitim. Prasyarat yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus legitim adalah melalui idealisasi (Idealisierung). Konsep idealisasi ini tidak jauh berbeda dengan konsep dunia idea Plato. Kita butuh abstraksi untuk menyatakan sesuatu dengan cara mengartikulasikan asosiasi paling ideal dari sesuatu tersebut. Melalui cara tersebutlah prinsip idealisasi dijalankan.

35 Silakan baca Skema 2 dalam subbab sebelumnya agar lebih mudah memahami maksud pernyataan ini. 36 Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 46.

(17)

Habermas mendefinisikan idealisasi komunikasi sebagai suatu “proses memikirkan proses-proses komunikasi sedemikian rupa seolah-olah proses-proses tersebut berlangsung di dalam kondisi-kondisi ideal”.38 Idealisasi bentuk-bentuk komunikasi dapat diwujudkan secara memadai melalui diskursus praktis. Diskursus praktis mengacu pada proses komunikasi yang ideal. Aturan-aturan komunikasi yang ideal diformalisasikan dari proses komunikasi yang ideal pula. Tepat-tidaknya tujuan komunikasi mensyarakatkan prosesnya. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa diskursus praktis tidak lain berlaku sebagai prosedur komunikasi.

Habermas juga menunjukkan prasyarat-prasyarat komunikasi untuk mencapai konsensus rasional. F. Budi Hardiman mengutip prasyarat tersebut sebagai berikut:

(...1.) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta dalam diskursus. (...2.) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat. b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya. (...3.) tak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam (...1.) dan (...2.).”39

Suatu diskursus dituntut untuk bersifat inklusif. F. Budi Hardiman menunjukkan adanya asumsi tersembunyi dibalik diskursus, yakni: Pertama, keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan sistematis dari bahasa tersebut. Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud, jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab dan sejajar dan tidak menganggap mereka ini hanya sebagai sarana belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan tidak memaksa dari argumen yang lebih baik” (zwangloser Zwang des besseren Arguments).40

Diskursus praktis tidak menyodorkan norma-norma tertentu yang dianggap paling benar. Diskursus praktis bersifat prosedural dalam rangka menguji kesahihan norma-norma secara intersubjektif. Dalam diskursus praktis tidak ada jaminan mengenai legitimitas dan kebenaran hasil dialog. Sebagaimana Habermas menyatakan bahwa “diskursus praktis

38 Ibid., Hlm. 37. Mengutip Habermas dalam bukunya Penjelasan-Penjelasan untuk Etika Diskursus (versi

Jerman), Hlm. 160.

39 Ibid., Hlm. 48. Mengutip Habermas dalam bukunya Kesadaran Moral dan Tindakan Komunikatif (versi

Jerman), Hlm. 99.

(18)

merupakan suatu prosedur bukan untuk menghasilkan norma-norma yang legitim, melainkan untuk menguji kesahihan norma-norma yang dipertimbangkan secara hipotesis.”41 Proses yang dikemukakan Habermas tersebut disebut juga sebagai proseduralisme. Proseduralisme merupakan pengujian diskursif proses penetapan norma-norma dalam dialog antar partisipan komunikasi.

2. Prinsip Etika Diskursus

Setiap subjek yang menggabungkan diri untuk berdialog dalam rangka mencapai konsensus tidak selalu punya niatan murni demi konsensus itu sendiri. Dalam diri subjek terkandung pluralitas kepentingan dan kebutuhan. Konsep kepentingan dan kebutuhan ini juga dibicarakan oleh Habermas. Ia menganggap kepentingan bukan sesuatu yang statis dan terisolasi dari kepentingan yang lainnya. Kepentingan bersama akan terbentuk melalui kontak secara intersubjektif. Konfrontasi kepentingan, menurut Habermas, justru dapat dimanfaatkan untuk menentukan mana kepentingan terbaik untuk dilaksanakan bersama. Diantara pluralitas kepentingan tersebut ada kepentingan yang dapat di universalisasi dan ada yang tidak. Untuk menentukan apakah suatu kepentingan dapat diuniversalisasi ataukah tidak, diperlukan sebuah pengujian secara diskursif.

Konsepsi Habermas mengenai etika diskursus dibedakan dalam beberapa hal sebagai berikut:42

1. Etika diskursus bersifat teleologis dalam maknanya yang berkonsentrasi pada ‘pilihan akhir’ dan ‘penafsiran secara rasional mengenai tujuan’.

2. Etika diskursus mengevaluasi tujuan dari taksiran apa yang ‘baik bagi saya’ atau ‘bagi kita’.

3. Etika diskursus dapat menunjukkan bahwa: ia terfokus pada jalan di mana kita dapat mengatur hasrat-hasrat dan tujuan-tujuan dengan pandangan yang tidak hanya hadir sekarang tetapi juga kebahagiaan di masa yang akan datang dan untuk kebahagiaan segala bentuk pertimbangan.

4. Etika diskursus mementingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan dan sejarah individu dan tradisi khusus atau kelompok budaya yang berhubungan dengan individu tersebut.

41 Ibid., Hlm. 49. Mengutip Habermas dalam bukunya Kesadaran Moral dan Tindakan Komunikatif (versi

Jerman), Hlm. 132.

42 James Gordon Finlayson, Habermas - A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2005),

(19)

5. Pemahaman Habermas mengenai konsep kebaikan dan nilai menghasilkan suatu keutamaan logis dari etika diskursus. Nasehat, keputusan, dan aturan-aturan dari preferensi yang berhubungan dengan persoalan etika diskursus, validitasnya bersifat ‘relatif’ dan ‘kondisional’.

6. Etika diskursus terfokus pada pemahaman terhadap diri sendiri oleh individu atau kelompok.

7. Etika diskursus mambuat suatu validitas klaim demi otentisitas.

Melalui keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dasar konsep dari etika diskursus Habermas adalah mengenai persoalan mana yang baik dan mana yang buruk untuk individu maupun kelompok. Etika diskursus mengkaji mengenai nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Hasil konsep etika diskursus bersifat relatif dan kondisional. Melalui pertimbangan-pertimbangan di dalamnya, Habermas berusaha menunjukkan suatu prosedur kepada masyarakat untuk mengatur preferensi.

Kepentingan-kepentingan individu dalam etika diskursus di universalkan. Preferensi-prefernsi individu yang dipertemukan dalam dialog (diskursus praktis) mengalami seleksi kepentingn, yakni dari yang sangat privat ke yang sangat publik. Prinsip universalisasi Habermas pada dasarnya menunjukkan sebuah prosedur untuk mencapai yang publik melalui dialog-dialog diskursif.

Dalam etika diskursus, Habermas membedakan antara prinsip yang bersifat normatif dan yang bersifat evaluatif. Persoalan-persoalan normatif menyangkut persoalan tentang ‘keadilan universal’, sementara persoalan-persoalan evaluatif menyangkut tentang ‘hidup yang baik’. Mengenai persoalan normatif, Habermas menyebutnya sebagai ‘yang moral’, sedangkan mengenai persoalan evaluatif, Habermas menyebutnya sebagai ‘yang etis’. Proseduralisme Habermas memisahkan secara tegas antara yang moral dan yang etis. Yang etis harus mengalah demi yang moral, karena yang moral bersifat universal dan tidak memihak. Yang etis bersifat sebaliknya. Proposisi yang muncul dalam konteks ‘yang moral’ adalah proposisi-proposisi yang menyangkut keadilan, kebahagiaan, atau kesejahteraan, yang menyangkut segala aspek kehidupan universal yang manfaatnya dapat dirasakan bersama.43

Etika diskursus, universalisasi, dan proseduralisme yang telah kita baca dalam penjelasan di atas membawa kita pada muara filsafat politik Habermas mengenai keterkaitan konsep-konsep yang ia gagas dengan politik, hukum, dan demokrasi. Habermas memasukkan konsep-konsep krusial dalam teori tindakan komunikatifnya sebagai komponen pembangun demokrasi, hukum, dan teori politik.

(20)

Penutup : Teori Diskursus dalam Politik, Hukum, dan Demokrasi

Dalam subbab sebelumnya telah dijelaskan konsep-konsep kunci Habermas dalam membangun pemikiran filsafatnya. Keseluruhan konsep-konsep tersebut menjadi dasar bagi konstruksi pemikiran politik Habermas mengenai keterkaitan teori-teorinya dengan persoalan politik, hukum, dan demokrasi. Pada dasarnya, teori-teori Habermas tidak terlalu radikal. Maksudnya, Habermas tidak menggugat seluruh kecacatan teori politik liberal sebelumnya dari presuposisi dan asumsi-asumsi mendasarnya.

Ada dasar pijak yang Habermas tetap pertahankan, yaitu rasionalitas. Memang rasionalitas yang ia maksud bukan bentuk rasio Kantian murni. Habermas mengembangkan konsep rasionalitas dengan mengandaikan model rasio prosedural yang bersifat komunikatif sebagai proposal untuk mengajukan prosedur, yang menurutnya, bukan sebagai tujuan akhir. Karenanya, model teori politik Habermas tidak terlepas dari proposal tersebut. Bentuk teori politik Habermas bersifat prosedural. Ia merumuskan seperangkat aturan tertentu yang dilekatkan pada institusi-institusi politik yang sudah ada dalam negara hukum demokratis. Habermas tetap mempertahankan beberapa asumsi yang terkandung dalam liberalisme sebagai titik tumpu bangunan filsafat politiknya.

Habermas menganggap politik sebagai ekspresi “kebebasan yang menjadi sumber pembuka secara serempak dari subjektivitas individual dan kedaulatan rakyat.”44 Habermas menjelaskan dan menyangkal pandangan liberal, utamanya mengenai asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:45

1. Hak-hak yang termasuk dalam pre-politikal individu.

2. Keanggotaan dalam komunitas politik hanya dimaknai sebagai jaminan kebebasan individu.

3. Negara harus bersfat netral dalam menghormati justifikasi politik dan hukum, di mana netralitas mengimplikasikan adanya penghindaran pertimbangan nilai-nilai dan pertimbangan etika.

Habermas menyatakan bahwa asumsi-asumsi tersebut merefleksikan bias inheren ke arah subjek dalam karakter filsafat kesadaran. Ia mempertahankan mengenai konsep negara yang mengedepankan keadilan dari proses hidup bersama. Baginya, warga negara bukan

44 Finlayson, op. cit., P. 111. Finlayson menyatakannya demikian: “Politics, according to Habermas, is the expression of ‘the freedom that springs simultaneously from the subjectivity of the individual and the sovereignty of the people’.”

(21)

hanya merupakan instrumen pelengkap politik kenegaraan. Mereka harus difungsikan sebagai subjek-subjek yang berpengaruh dalam setiap keputusan politik, bahkan justru menjadi subjek yang memutuskan keputusan politik. Ia juga menolak asumsi warga negara republikan sebagai berikut:46

1. Bahwa negara harus mewujudkan nilai-nilai dari komunitas politik.

2. Bahwa partisipan dalam komunitas merupakan realisasi dari nilai-nilai tersebut. 3. Hak-hak subjektif diperoleh dari adanya ketergantungan pada etika

pemahaman-diri dalam komunitas.

Teori politik Habermas tidak dapat dilepaskan dari komponen-komponen teorinya yang lain, yakni teori tindakan, etika diskursus, diskursus praktis, dan prinsip proseduralisme. Ia menyoroti demokrasi dewasa ini dengan perspektif itu. Demokrasi menjelaskan proses prosedural dalam menghasilkan produk hukum yang legitim. Demokrasi dengan sendirinya telah memuat prinsip duskursus yang diutarakan oleh Habermas. Demokrasi merupakan prosedur politik yang digunakan untuk mengatasi kompleksitas masyarakat di era modern ini.

Habermas memperkenalkan teori tindakan komunikatif untuk memberikan pemahaman baru pada model kekuasaan legislatif. Penetrasi rangkaian teori Habermas ke dalam demokrasi disebut sebagai demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif merupakan suatu model demokrasi yang didasari oleh aspek-aspek komunikasi diskursif sebagai prosedur untuk mencapai keadilan bersama. Demokrasi deliberatif merupakan sebuah ekstensi dari konsep tindakan komunikatif ke dalam wilayah politik. Demokrasi deliberatif mementingkan apa yang sering kita pahami sebagai musyawarah, komunikasi, atau menimbang-nimbang persoalan untuk mencapai mufakat bersama secara intersubjektif. Habermas mencoba membuktikan bahwa tindakan komunikatif pada dasarnya sudah efektif pada tataran institusional negara hukum demokratis, yaitu pada tataran diskursif formasi opini dan aspirasi politis di dalam parlemen.47 Habermas berusaha merumuskan integrasi sosial yang diawali oleh proses-proses komunikasi diskursif.

“Di dalam negara hukum yang dimengerti dengan teori diskursus kedaulatan rakyat mewujudkan dirinya tidak lagi di dalam sidang para warga otonom yang dapat dilihat. Kedaulatan rakyat menarik dirinya ke dalam siklus-siklus komunikasi forum-forum dan badan-badan yang seakan-akan tidak bersubjek. Hanya dalam bentuk anonim ini kekuasaan rakyat yang telah dicairkan secara komunikatif itu dapat menghubungkan kekuasaan administratif dari aparatus negara dengan kehendak para warga negara.”48

46Ibid. P. 112.

47 Hardiman, Demokrasi Deliberatif,op. cit., Hlm. 97.

48Ibid., Hlm. 102. Mengutip pernyataan Habermas dalam bukunya Fakta dan Kesahihan (versi Jerman), Hlm.

(22)

Dalam pernyataan di atas Habermas menyebutkan tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bagi Habermas adalah suatu prosedur. Ia menarik diri dari model pandangan-pandangan filsafat politik pencerahan sebagaimana di gagas oleh Rousseau misalnya, yang menunjukkan adanya benih-benih absolutisme totalitarian. Teori klasik tentang demokrasi umumnya menunjukkan kedaulatan rakyat yang mengandaikan bahwa rakyat yang berdaulat itu mendapatkan ungkapan paripurna kehendak umum (volente generale) sebagai suatu subjek keputusan yang bersifat kolektif total. Sebagaimana yang dikatakan oleh Roesseau, bahwa “yang berdaulat bertindak, karena dia tidak memiliki kekuasaan lain kecuali legislatif, hanya dengan sarana undang, dan karena undang-undang tidak lain daripada tindakan sesungguhnya kehendak umum, yang berdaulat lalu hanya bertindak, jika rakyat berkumpul.”49

Habermas tidak berposisi kontra dari model kedaulatan Roesseau. Ia hanya ingin memberikan pemahaman baru, yaitu kedaulatan rakyat sebagai bentuk intersubjektivitas warga negara dalam mencapai konsensus secara rasional dan komunikatif. Habermas mengandaikan masyarakat sebagai satuan komunikasi-komunikasi tanpa subjek. Ia membayangkan masyarakat sebagai suatu auditorium raksasa yang menjadi locus sirkulasi komunikasi-komunikasi anonim.50 Demokrasi dalam konteks ini menjadi model demokrasi deliberatif dengan mengedepankan tindakan komunikatif, yakni model kedaulatan yang bertumpu pada proses-proses komunikasi.

Selanjutnya untuk melengkapi rumusan politik dalam negara hukum demokratis, Habermas mengajukan konsep ruang publik. Habermas dalam artikelnya yang membahas tentang ruang publik menyatakan sebagai berikut:

“By "the public sphere" we mean first of all a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed. Access is guaranteed to all citizens.”51

“Melalui “ruang publik” kita berniat memasuki seagala bidang dalam kehidupan sosial dengan melakukan pendekatan opini publik dan dapat membentuknya (opini publik). Akses (dalam ruang publik) dijamin bagi semua warga negara.”

Habermas menegaskan bahwa ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus

49Ibid., Hlm. 100. 50Ibid.

51 Jürgen Habermas, The Publlic Sphere: An Encyclopedia Article (1964), P. 49. Sumber di peroleh dari J Store:

(23)

masyarakat, yakni tempat warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik harus bersifat otonom dan tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik. Ruang publik tidak hanya eksis sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan eksis sebagai komunikasi antar warga itu sendiri. Ruang publik begitu banyak terdapat ditengah-tengah masyarakat warga. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Di mana ada masyarakat yang berkomunikasi, berabstraksi, dan berdiskusi tentang tema-tema yang relevan dengan diskursus tertentu, maka disitulah akan hadir ruang publik.

Dalam demokrasi dewasa ini, masyarakat sudah sangat kompleks dan terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk komunikasi yang saling tumpang-tindih dan terkait dengan berbagai kepentingan. Identitas dan kesepakatan antara kehendak pemerintah dan warga negaranya sulit dicapai. Kedaulatan rakyat sulit dibayangkan secara konkret sebagai aktualisasi kehendak umum. Kedaulatan rakyat dalam masyarakat kompleks oleh Habermas diandaikan sebagai “kontrol atas pemerintah melalui opini publik”. Maka, kedulatan rakyat bukanlah bentuk demokrasi langsung, tetapi bentuk demokrasi deliberatif dari representasi suara rakyat melalui perwakilannya, dan melalui radikalisasi prosedur diskusi-diskusi antar warga.

Demokrasi deliberatif memerlukan vitalisasi ruang publik politis. Bagi Habermas, suatu negara dapat disebut berdaulat ketika negara demokratis dapat terhubung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini di ruang publik. Demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi fundamental atas sebuah rezim demokratis. Demokrasi deliberatif hanyalah suatu bentuk reformasi negara hukum dengan melancarkan kegiatan diskursus publik di berbagai bidang sosiopolitik untuk meningkatkan partisipasi demokratis warga negara dalam merumuskan kebaikan bersama.

(24)

dengan ruang publik, serta terus menerus melakukan kritik dan evaluasi atas keputusan politik yang dibuat oleh pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Adian, D. G. (2010). Demokrasi Substansial. Depok: Koekoesan.

___________(2011). Teori Militansi. Depok: Koekoesan.

Danujaya, B. (2010). Demokrasi sebagai Politik Disensus (Disertasi). Depok: FIB UI.

Finlayson, J. G. (2005). Habermas : A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.

(25)

__________(2002). The Cambridge Companion to Rawls. Cambridge: Cambridge University Press.

Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms translated by William Rehg. Cambridge: The MIT Press.

____________(1964). The Public Sphere: An Encyclopedia Article. New German Critique , 49-55.

____________(1984). The Theory of Communicative Action (Volume 1) translated by Thomas McCarthy. Boston: Beacon Press.

____________(1987). The Theory of Communicative Action (Volume 2) translated by Thomas McCarthy. Boston: Beacon Press.

Hardiman, F. B. (2009). Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta: Kanisius. _____________ (2010). Etika Politik Habermas. Makalah Salihara , 1-17. _____________ (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. _____________ (2008). Teori Diskursus dan Demokrasi. Diskursus , 1-25. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Hardvard: Hardvard University Press.

________(2001). Justice as Fairness: a Restatement. Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press.

________(1993). Political Liberalism. New York: Columbia University Press.

Gambar

Gambar : Skema 2

Referensi

Dokumen terkait

1) Tipe Anguiliform: pola renang ikan dimana ikan tersebut melibatkan keseluruhan bagian tubuhnya dalam berenang. Ciri-ciri ikan yang tergolong dalam tipe ini

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bukti empiris tentang perbedaan profitabilitas perusahaan dengan dan tanpa Undang-Undang Nomor

Apabila, selama Periode Pertanggungan, pada saat Tertanggung melakukan suatu Perjalanan, Tertanggung meninggal dunia akibat dari suatu Kondisi Medis Kritis (yaitu suatu

Peraturan Pemrintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ( Lembaran Negara Republik.. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor

Perancangan karya Beauty fotografi dan menambah display foto dalam toko ini bertujuan untuk meningkatkan pencitraan di Toko Perhiasan Rubeus untuk display didalam

Logistic Regression merupakan salah satu metode statistika yang sering digunakan untuk menganalisis data yang mendeskripsikan antara variabel respon dengan satu atau

Berdasarkan analisis Tabel di atas tedapat R Square (Determinasi) adalah 0,212 (adalah pengkuadratan dari koefesien korelasi 0,460 (a) R Square dapat disebut Koefesien Determinasi