• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUALISME KONSEP GEOPOLITIK DAN GEOSTRATE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DUALISME KONSEP GEOPOLITIK DAN GEOSTRATE"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

“Aku Lebih suka lukisan Samudra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, “Kadyo siniram wayu sewindu lawase.”

(Pidato Soekarno pada HUT Proklamasi 1964)

1.1 Latar Belakang

Semenjak zaman tradisional, kegiatan perdagangan di Asia Tenggara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Hal tersebut ditandai dengan adanya dua jalur perdagangan yang ramai dilewati, yaitu jalur perdagangan darat dan jalur perdagangan laut. Adapun jalur perdagangan darat yang dikenal dengan “Jalur Sutera” dimulai dari Tiongkok melalui Asia Tengah, Turkestan hingga ke Laut Tengah. Di sisi lain, jalur perdagangan melalui jalur laut juga dimulai dari Tiongkok melalui laut Cina, melalui Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia, melalui Syam (Suriah) sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah. Dari berbagai jalur tersebut, Selat Malaka merupakan salah satu wilayah yang memegang peranan penting. Hal tersebut lazim terjadi mengingat letak Selat Malaka sangat strategis sehingga menjadi salah satu jantung perdagangan di Asia Tenggara.

Pada perkembangan selanjutnya, pedagang dari Arab mulai menguasai wilayah Selat Malaka dan menjadikannya sebagai jalur perdagangan besar di Asia Tenggara pada abad ke-14. Selanjutnya, memasuki abad ke-16, Selat Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kejatuhan tersebut menandai titik awal mulainya kedatangan bangsa Eropa untuk melakukan kolonialisasi dan imperialisasi di Asia Tenggara.

(2)

Asia Pasifik, dibuktikan dengan 50.000 kapal per tahun atau sama dengan 600 kapal per hari melalui Selat Malaka dalam rangka perdagangan. 1

Secara geopolitik letak geografis Selat Malaka begitu penting bagi kepentingan negara-negara di dunia dalam kegiatan ekonomi, lalu-lintas perdagangan, maupun strategi militer terutama negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang dan India. Posisi Selat Malaka termasuk jalur SLOC (Sea Lanes of Communication) terpadat untuk perdagangan dan alur minyak dunia jika dibandingkan dengan selat-selat lainnya Akibatnya Malaka yang tidak begitu luas banyak dilalui oleh kapal-kapal asing sehingga sering terjadi di dalamnya kecelakaan kapal. Dari situ, keamananan Selat Malaka selanjutnya menjadi fokus perhatian bagi tiga negara yang memilikinya.

Untuk menyelesaikan kasus di Selat Malaka, nampaknya bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut karena letak Selat Malaka yang diitari oleh tiga negara, rentan mengalami gesekan akibat pembagian keuntungan dari kepemilikan Selat Malaka. Sebagai contohnya adalah kesulitan untuk menentukan perjanjian dan kesepakatan mengenai pajak yang harus dipungut, hasil yang harus dibagi dan lain sebagainya. Adapun salah satu faktor penyebab sulitnya tercapai kesepakatan di Selat Malaka adalah ketidakstabilan hubungan politik antara Indonesia, Malaysia dan Singapura. Selain itu, perbedaan pandangan tiap-tiap negara mengenai konsep geopolitik dan geostrategi terhadap Selat Malaka juga menjadi penyulut konflik tiga negara tersebut.

Selama ini Indonesia dan Malaysia, hubungan keduanya diidentikan berjalan penuh dengan konflik oleh media, baik konflik mengenai klaim perbatasan, budaya, ataupun tenaga kerja. Konflik antara Indonesia dengan Singapura justru jarang muncul di media, padahal dalam realitasnya kedua negara tersebut masih berkonflik mengenai masalah Selat Malaka. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai perbedaan konsep geopolitik dan geostrategi antara Indonesia dan Singapura sebagai penyebab tarik ulur masalah perbatasan di Selat Malaka pada periode 1970—1982.

1.2 Rumusan Masalah

1 Rodrigue. Straits, Passages and Chokepoints: A Maritime Geostrategy of Petroleum Distribution. hlm.

(3)

Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan sebuah masalah, yaitu bagaimana dualisme konsep geopolitik dan geostrategi terhadap Selat Malaka antara Indonesia dan Singapura berpengaruh terhadap konflik antara keduanya pada periode 1970—1980.

(4)

KONFLIK SELAT MALAKA ANTARA INDONESIA DAN SINGAPURA

2.1 Konsep Geopolitik dan Geostrategi Indonesia

Membahas mengenai konsep geopolitik, pada dasarmnya mencakup pemikiran strategis dalam dimensi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan keamanan suatu wilayah. Berdasarkan latar belakang historisnya, Indonesia menjadi entitas geopolitik sejak awal abad ke-20, sebagai hasil dari proses konsolidas administrasi dan territorial di bawah otoritas kolonial Belanda. Indonesia memiliki letak yang sangat strategis, yaitu di antara Samudra Hindia dan Pasifik dan Benua Asia dan Australia. Selain itu, juga didukung dengan kepemilikan empat dari tujuh chokepoint maritim utama di dunia.

Di Indonesia sendiri terdapat Selat Malaka yang memiliki arti strategis di mata dunia. Nilai strategis yang dimiliki Indonesia tersebut selanjut menjadi titik pengaruh bagi geopolitik dan kebijakan asing negara lain, terutama di wilayah Asia-Pasifik. Arsitektur geopolitik Indonesia berdasar pada ‘strategic trinity’ yakni geostrategi dalam dimensi keamanan dan militer, geoekonomi dalam dimensi ekonomi dan sumber daya, serta geopolitik dalam dimensi sosial dan politik .2

Akan tetapi, kekayaan sumber daya dan posisi Indonesia yang sebenarnya memberikan keuntungan, dapat pula menjadi bumerang. Muncul rasa khawatir dan tidak aman akan terjadinya eksploitasi sumber daya dan pengambilalihan kontrol maritim Indonesia oleh negara besar dan kuat. Kondisi geografis Indonesia sendiri yang dikatakan cukup dominan dan sebagai negara kepulauan berjumlah ribuan menghadirkan sebuah komplikasi besar terkait pemerintahan maritim. Manajemen domain maritim Indonesia berdasar pada United Nation Conference Law of the Sea (UNCLOS) serta didukung dua peraturan pemerintah, memiliki yurisdiksi berlapis yakni perairan di dalam dan di luar Indonesia. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mengatur kawasan perairan.3

Pada perkembangannya, kebijakan Indonesia dalam konteks geopolitik menekankan pada aspek lokasi. Hal tersebut berdasarkan perjalanan historis Indonesia dan hubungan Indonesia serta pergolakannya dengan negara-negara lain terkait dengan

2 Evan A. Laksmana. The enduring strategic trinity:explaining Indonesia's geopolitical architectur, hlm.

96.

3 Oegroseno, A.H. ‘Indonesia’s maritime boundaries’, in R. Cribb and M. Ford, eds., Indonesia beyond

(5)

lokasi Indonesia yang dikenal sebagai posisi “silang” antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta antara Benua Asia dan Australia.4

Adapun arsitektur geopolitik modern Indonesia mulai terlihat pada periode 1956-1960, yang ditandai dengan ditetapkannya kebijakan luar negeri dan keamanan secara sistematis dan mempertimbangkan letak geografis negara di dalamnya.5 Pemerintah mulai membentuk komite antardepartemen untuk mengkaji isu geopolitik yang berkaitan dengan maritim negara dan batas teritorial hingga dibentuknya draf UU Perairan Teritorial Indonesia dan Lingkungan Maritim dan Deklarasi Djuanda (1957). 6Deklarasi Djuanda sendiri merupakan kebijakan eksplisit pertama Indonesia yang

bertujuan menyatukan nusantara dan menutup wilayah perairan terbuka, yang kemudian membentuk geopolitik Indonesia melalui ‘Doktrin Nusantara’. Dua tahun berikutnya, ratifikasi dilakukan untuk menyesuaikan dengan UNCLOS I untuk menguji kredibilitas konseptual doktrin tersebut dan sebab kekuatan maritim AS, Inggris, dan Australia yang menentang doktrin tersebut. Pada akhirnya, doktrin yang dibuat Indonesia baru disetujui dalam hukum internasional pada UNCLOS III tahun 1982.7

Selat Malaka sebagai salah satu chokepoints yang berada di wilayah Indonesia

merupakan bagian penting dalam hal perdagangan internasional. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan Selat Malaka sebagai jalur dagang paling aktif sejak 1967. Namun keberadaannya juga menimbulkan persoalan karena terletak dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) beberapa negara, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dari situ, tiap negara yang memiliki Selat Malaka berusaha menjaga keamanan dan efektifitas aktivitas perdagangan di sana, terlebih lagi terdapat berbagai hambatan atau ancaman pada lalu lintas tersebut seperti perompak yang merupakan gerakan separatis, terorisme, serta kondisi geografisnya sendiri yang rumit.

2.2 Konsep Geopolitik dan Geostrategi Singapura

Di samping kebijakan geopolitik Indonesia atas Selat Malaka, Singapura juga memiliki kepentingan geopolitik di Selat Malaka. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh

4 Djalal, D.P. The geopolitics of Indonesia’s maritime territorial policy. hlm. 101 5Ibid., hlm.18

6 Danusaputro, M. (1980), Tata Lautan Nusantara: Dalam Hukum dan Sejarahnya. Bandung: Binacipta,

hlm. 131—134

(6)

kebutuhan terhadap kerja sama dengan negara lain melalui lalu lintas laut dan menjaga sektor pariwisatanya yang berhubungan langsung dengan selat dan agar pelabuhan Singapura dapat tetap berhubungan dengan 400 shipping lines dan 700 pelabuhan lainnya di dunia. Oleh karena kepentingan besar tersebut, Singapura benar-benar mengedepankan keamanan Selat Malaka, akibat maraknya aksi terorisme dan perompakan liar. Peningkatan intensitas patroli keamanan laut dan penempatan kapal militer dilakukan untuk berjaga-jaga.

Di satu sisi, terdapat kerja sama Singapura dan Amerika Serikat dalam menjadi oposisi bagi Indonesia. Singapura menginginkan Selat Malaka menjadi kawasan bebas internasional bagi semua negara. Hal tersebut didasari oleh keyakinannya terhadap konsep transit bebas yang dirasa lebih menjanjikan dibandingkan konsep innocent passage yang tidak memberi keuntungan. Dengan dijadikannya Selat Malaka sebagai fasilitas pelayaran internasional maka negara lain tentu akan berpartisipasi dalam menjaga keamanan, melihat kondisi selat yang kian strategis.8

2. 3 Awal Mula Konflik Indonesia—Singapura

Adanya perkembangan yang penting dalam bidang perkapalan dan perubahan dalam strategi militer secara global di negara-negara besar telah menyulut timbulnya persoaaln Selat Malaka antara Indonesia dan Singapura. Sejak tahun 1967, terutama setelah pecahnya perang Arab—Israel, zaman kapal-kapal tangki raksasa telah lahir di bidang perkapalan, dan banyak dari tangki –tangki raksasa tersebut membawa minyak dari Timur Tengah ke Jepang. Di satu sisi, Selat Malaka merupakan urat nadi perekonomian Jepang karena sekitar 90% dari kebutuhan minyak Jepang melalui selat Malaka dan menggunakan kapal-kapal tangki. Dari situ, kapal-kapal tangki yang lewat semakin besar sedangkan kemampuan Selat Malaka semakin sempit, dangkal, dan ramai makin lama makin terbatas untuk melayani kapal-kapal tersebut. Oleh karena itu, sering terjadi kecelakaan di sana yang mengakibatkan pengotorana laut kepada negara-negara pantai yang kemudian berdampak pada kelestarian lingkungan laut dan kehidupan rakyat di sekitarnya.9

8 Djalal, Hasjim (2006) Persoalan Selat Malaka dan Singapura (online) dalam

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=33, diakses pada 26 Desember pukul 12.25 WIB

(7)

Dengan banyaknya kecelakaan yang terjadi di Selat Malaka, hal tersebut membuat banyak orang prihatin dengan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang akan dihadapi. Adapun berbagai kecelakaan yang terjadi adalah sebagai berikut.

1. Pada bulan Juni 1971, 2 kapal tangki raksasa kandas, yaitu kapal ARABIYAH yang berukuran 208.000 dwt dan kapal Yunani EUGENE & NIARCHOS yang berukuran 212.000 dwt.

2. Pada tanggal 18 Mei 1972, kapal tangki raksasa Jepang, MEIJIN MARU yang berukuran 201.319 dwt bertabrakan dengan segitiga dengan oiler Singapure PROSPERITY yang berukuran 18.482 dwt dan dengan kapal tangki Liberia WORLD DUALITY yang berukuran 96.000 dwt kira-kira 15 mil dari pelabuhan Singapura. 3. Pada tanggal 23 Maret 1973, kapal tangki Korea, KING STAR yang berukuran

134.000 dwt kandas di dekat pulau Sebarok, dan 4 hari berikutnya kapal tangki Yunani juga kandas.

4. Pada tanggal 6 Januari 1975, kapal tangki raksasa Jepang, SHOWA MARU yang berukuran 237.698 dwt kandas dan menyebabkan tumpahnya kira-kira 7.500 ton minyak mentah dan menyebabkan pencemaran laut yang sangat serius di perairan selat Singapura.

5. Pada tanggal 5 April 1976, kapal tangki raksasa Inggris yang berukuran 212.759 dwt juga kandas.10

Intensitas kecelakaan yang terjadi disebabkan karena beberapa hal. Menurut penelitian yang didasarkan pada kepadatan lalu lintas dan keadaan fisik selat Malaka, ditemukan beberapa fakta sebagai berikut.

1. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan menunjukkan bahwa kira-kira 150 kapa l setiap hari melewati Selat Malaka. Pada tahun 1973, tercatat 4.019 kapal melewati Selat Malaka, 1.115 di antaranya adalah kapal-kapal tangki minyak dan 40 di antaranya berukuran 180.000 dwt ke atas.

2. Bagian selat yang dapat dilayari Philip’s Channel hanya sekitar 800 meter untuk lebarnya dan untuk kecepatan arusnya pernah mencapai 3 mil.

3. Banyak nelayan setempat menangkap ikan di perairan Malaka.

(8)

4. Terdapat kedangkalan kurang 23 meter yang banyak di Selat Malaka sehingga membahayakan kapal-kapal tangki raksasa yang lewat.

5. Kondisi alam dalam hal ini juga berpengaruh, seperti hujan dan angin.

Adanya perubahan strategi militer negara-negara adidaya di dunia juga telah menyeret persoalan bagi selat Malaka –Singapura. Sebagai contoh adalah perkembangan Uni Soviet pada tahun 1960-an sebagai negara maritim yang memegang peran penting di dunia yang kehadiran armadanya di Samudera Hindia semakin terasa. Kehadiran tersebut ada sangkut pautnya dengan keinginan Uni Soviet melintas bebas ke Samudera Pasifik melalui Selat Malaka –Singapura. Oleh sebab itu, semakin lama, peran Selat Malaka semakin penting bagi strategi global Uni Soviet. Negara adidaya lainnya yaitu Amerika Serikat mengubah strategi di Pasifik Barat sejak Guam Doctrine, yaitu penetapan Amerika Serikat pada tahun 1969 dalam mengalihkan tulang punggung pertahannya di wilayah tersebut dari kehadiran secara besar-besaran di daratan Asia menjadi kehadiran di lepas pantai Asia. Offshore strategy tersebut membuthkan mobilitas angkatan laut, termasuk kapal-kapal pengangkut kapal-kapal terbang dan kapal-kapal yang digerakkan atau membawa tenaga dan senjata nuklir yang melalui selat Malaka—Singapura.

2.4 Persoalan di Selat Malaka—Singapura

Semakin banyak kecelakaan yang terjadi di Selat Malaka-Singapura berpengaruh terhadap kelestarian dan keamanan negara pantai, termasuk Indonesia dan Singapura. Hal tersebut menjadi persoalan besar ,mengingt kemampuan negara pantai untuk menanggulangi bahaya yang ditimbulkan kapal-kapal tangki raksasa, kapal-kapal perang, dan kapal-kapal nuklir masih sangat minimal, bahkan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa yang menjadi masalah di Selat Malaka— Singapura, bukanlah kapal-kapal dagang yang melintas, namun adalah kapal-kaal yang disebutkan di atas tadi.

(9)

yang berkepentingan besar di bidang lalu lintas kapal-kapal militer. Upaya penyatuan pandangan dan sikap negara-negara pantai sangat penting mengingat posisi georafis tiga negara sangat berbeda.

Singapura di satu sisi, merupakan negara yang “mini”dari segi luas wilayah, maka kewaspadaannya terhadap negara lain menjadi tinggi. Namun, hal tersebutlah yang menjadikan Singapura memiliki mentalitas baja dalam mempertahankan wilayahnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Singapura begitu perhatianpada pertahanan negaranya, salah satunya dengan melalui pemberlakuan anggaran pertahanan yang sangat besar. Nilai penting Selat Malaka bagi negara ini bisa dlihat dari segi ekonomi dan strategis, navigasi, sumber daya laut, dan pariwisata11 dengan pantainya yang tidak begitu panjang dan sebagai salah satu pelabuhan besar di dunia yang hidup matinya banyak ditentukan dari kapal-kapal yang melalui selatnya. Oleh karena itu, Selat Malaka dan Singapura bagi Singapura lebih diutamakan sebagai wadah komunikasi atau pelayaran. Sementara itu, Indonesia dan Malaysia yang pantainya begitu panjang dan dengan kehidupan masyarakat pantai yang lebih banyak sebagai nelayan sehingga lebih mementingkan pemeliharaan lingkungan laut untuk menjaga sumber-sumber perikanan. Oleh karena itu, harus banyak pula yang melihat fungsi Selat Malaka—Singapura sebagai sumber penghidupan bagi masyarakatnya di samping fungsinya sebagai wadah komunikasi.

2. 5 Sudut Pandang Hukum Selat Malaka—Singapura

Indonesia sejak tahun 1957 menerima lebar laut wilayah 12 mil dan menyatakan bahwa selat-selat yang lebarnya kurang dari 24 mil, garis batas laut wilayah Indonesia ditarik di tengah laut. Pada tahun 1969, Malaysia juga telah menerima lebar laut wlayah 12 mil tersebut. Dengan persamaan pedoman tersebut, Indonesia dan Malaysia perlu menetapkan garis batas yang jelas karena bagian selatan dari Selat Malaka kurang dari dua kali 12 mil (di bagian paling selatan lebar Selat Malaka kurang lebih hanya 8 mil). Dari situlah kemudian diadakan perjanjian di Jakarta pada bulan Maret 1970 mengenai garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka yang umumnya adalah garis batas tengah yang ditarik dari titik-titik terluar tiap-tiap negara di Selat Malaka.

(10)

Selanjutnya perjanjian ini diratifikasi oleh dua negara sejak penukaran piagam ratifikasinya pada tanggal 8 Oktober 1971. Dengan demikian, bagian Selat Malaka yang lebarnya kurang dari 24 mil termasuk ke dalam laut wilayah Indonesia dan Malaka sehingga di bagian selatan selat tersebut berlaku kedaulatan Indonesia dan Malaysia. Dari situlah kapal-kapal asing dapat melintas sesuai dengan prinsi-prinsip innocent passage sebagaimana yang terdapat dalam rezim hukum pelayaran melalui laut wilayah.

Sementara itu, Selat Singapura tidak termasuk dalam persoalan karena luasnya sangat sempit dan di bagian-bagaian tertentu lebarnya justru kurang dari 3 mil. Dari situ Selat Singapura selamanya dianggap sebagai laut wilayah negara tepinya. Oleh sebab itu, sesuai dengan pasal 16 ayat 4 konvensi Geneva tahun 1958 tentang Laut Wilayah dan Zona Berdekatan, rezim pelayaran yang berlaku di wilayah tersebut adalah resim

innocent passage, dengan ketentuan bahwa innocent passage di selat tersebut tidak boleh ditangguhkan.

Dengan demikian, persoalan hukum dan politik Selat Malaka—Singapura bagi Indonesia adalah persoalan mempertahankan undang-undang 12 milnya; mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum interasional yang ada yang mana dapat menjamin keseimbangan antara kepentingan negara-negara selat dengan negara-negara maritim; dan memelihara kesatuan pandangan dan sikap tiga negara pantai sebagai negara sahabat dan yang bertetangga baik di dalam lingkungan ASEAN dalam mengadapi sikap negara-negara maritim.

BAB 3

(11)

3.1 Pandangan Indonesia

Sumber: http://research-group21.com/news/malacca-strait-1.gif.jpeg, diakses pada 25 Desember, pukul 19.20 WIB

Pada realitasnya Selat Malaka—Singapura merupakan bagian dari “laut wilayah” negara tepi Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia merupakan negara yang sangat berkepentingan mengenai keselamatan di selat tersebut. Dari situ, Indonesia beserta Malaysia pada waktu itu menolak gagasan-gagasan yang mengarah kepada internasionalisasi Selat Malaka—Singapura dan menentang intervenes pihak luar dalam pengurusan selat tersebut.

(12)

3.2 Pandangan Singapura

Singapura adalah negara yang masih menganut lebar 3 mil yang belum bersedia menyatakan Selat Singapura dan Selat Malaka sebagai laut wilayah (territorial sea) negara tepinya atau bukan sebagai selat internasional. Hal tersebut terjadi karena kekhawatiran Singapura akan mengganggu pelayaran internasional dan kepentingan perdagangan dan perkapalannya akan dirugikan. Singapura lebih memilih untuk menunggu resolusi masalah yang terjadi oleh Konferensi Hukum Laut.

Pada dasarnya, Indonesia dan Singapura memiliki pandangan berbeda mengenai posisi kedua negara dalam kaitannya letak Selat Malaka. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.

innocent tidaknya suatu passage ditentukan oleh negara pantai. Di sini Indonesia berpegang pada prinsip ini.

2. Di sisi lain, apabila Selat Malaka—Singapura tidak diakui sebagai “laut wilayah” namun merupakan “laut bebas” atau “selat internasional”, menyebabkan wewenang negara pantai akan sangat terbatas di selat tersebut, karena perairan tersebut bukan merupakan wilayah mereka. Di perairan tersebut dapat berlaku prinsip free transit

yang berarti negara pantai tidak dapat banyak melakukan sesuatu, walaupun suatu

passage dinilai non-innocent terhadap negara pantai.Dari situ, Singapura lebih menyukai konsep ini karena untuk menjamin kepentingannya di situ.12

Dengan demikian, dapat dilihat pandangan Singapura lebih dekat dengan negara-negara maritim lainnya, khususnya Amerika Serikat, Uni Soviet, Jepang, Inggris, dan lainnya daripada dengan negara-negara pantai lainnya yang merupakan tetangganya seperti Indonesia dan Malaysia. Begitu pula Indonesia juga lebih dekat terhadap negara-negara selat seperti Spanyol, Maroko, Iran, Oman, Yaman Selatan, dan lain-lain.

(13)

3.3 Usaha Menyamakan Persepsi Antara Indonesia dan Singapura

Dengan letaknya yang dbatasi oleh tiga negara pantai, keberadaan Selat Malaka memerlukan penyatuan pandangan dan tindakan tiga negara pantai, yaitu Indonesia, Singapura, dan Malaysia mengenai segala hal yang berhubungan dengan selat Malaka— Singapura, seperti hal yang berhubungan dengan keselamatan pelayaran atau dalam menghadapi reaksi-reaksi dari luar (non-coastal States).

Meninjau dari segala perbedaan pandangan di kalangan negara pantai, menjadi sebuah politik Indonesia yang utama dalam usaha menyatukan pandangan ketiga negara pantai dalam menghadapi pihak luar. Oleh karena itu, Indonesia menginisiasi berbagai konsultasi yang salah satunya menghasilkan pernyataan bersama tiga negara pada tanggal 16 November 1971. Adapun kesepakatan tersebut memiliki arti sebagai berikut.

1. Pernyataan tersebut menandakan dimulainya dalam soal keselamatan pelayaran, Selat Malaka dan Selat Singapura dianggap sebagai satu selat, yaitu Selat Malaka dan Singapura. Keputusan tersebut sangatlah penting mengingat telah menjadi masalah segitiga (tripartite) antara Indonesia, Singapura, dan Malaysia mengenai Selat Malaka dan Singapura.

2. Berdasarkan prinsip “unity”, antara Selat Malaka dan Selat Singapura, tiga negara yang terlibat mengambil tanggung jawab untuk mengatur keselamatan pelayaran di negara tersebut. Tiga negara yang terlibat menentang usaha-usaha ke arah internasionalisasi Selat Malaka dan Singapura, seperti pengaturan selat tersebut melalui badan internasional yang lain.

(14)

4. Ketiga negara bersedia melanjutkan kerja sama dalam melakukan hydrographic survey di Selat Malaka dan Singapura.13

Sebagai tindak lanjut dari Pernyataan tiga negara di atas, pada tanggal 4—5 Juli 1972, diadakan pertemuan konsultasi pertama tiga negara di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut dibahas pencarian jalan keluar untuk meningkatkan keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan Singapura. Selanjutnya, dilakukan konsultasi kedua yang terkesan lebih terarah. Dalam konsultasi tersebut disepakati perlunya mengadakan traffic separation scheme (TSS) di Selat Malaka dan Singapura, perlunya mengadakan tindakan-tindakan keselamatan pelayaran tambahan , perlunya mengadakan suatu badan kerja sama tiga negara pantai, dan perlunya melanjutkan survei Hydrographic

sebelumnya.

Perkembangan selanjutnya Indonesia menggagas untuk diadakannya pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri antara tiga negara. Pada tanggal 19 Februari 1975, pertemuan tersebut diadakan di Singapura. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia dan Malaysia bersepkat bahwa sering terjadinya kecelakaan di Selat Malaka dan Singapura yang puncaknya adalah kecelakaan kapal SHOW MARU, sudah tiba waktunya bagi negara-negara pantai mengambil tindakan konkret dalam mengatur keselamatan pelayaran dan tindakan konkret membatasi kapal yang melintas.

Dari situ, Indonesia berdasarkan kedalaman selat Malaka dan Singapura, yaitu 23 meter selanjutnya mengusulkan pembatasan sarat kapal 19 meter yang kira-kira mencakup kapal berukuran 200.00 dwt. Pembatasan tersebut akan memberikan safety margin sekitar 20% sarat kapal. Di sisi lain, Singapura dengan memperhitungkan pasang naik dan pasang surut yang menurutnya dapat mencapai 23 meter, merasa bahwa pembatasan sarat haruslah 22 meter karena safety margin yang diperlukan di bawah air cukuplah 10% dari sarat kapal. Singapura berargumen bahwa pembatasan tersebut haruslah hanya didasarkan pada sarat kapal, bukan pada tonase kapal. Dengan demikian, ketiga negara kemudian bersepakat mempelajari soal tersebut.

(15)

SIMPULAN

(16)

Selat Malaka karena merupakan bagian dari chokepoints di wilayah Indonesia. Selain itu, sumber daya alam yang melimpah yang ada, dapat diperdagangkan melalui lalu lintas selat tersebut sehingga memberikan keuntungan yang luar biasa. Dari situ, lazim apabila Indonesia berupaya keras menetapkan Selat Malaka sebagai bagiannya. Di sisi lain, Singapura juga mengklaim dari arti strategis geopolitik Selat Malaka menjadi basis perekonomian dan mendulang keuntungan.

Hal tersebut kemudian menimbulkan ambiguitas perbatasan dan hukum laut antara Indonesia dan Singapura yang selanjutnya memicu perseteruan dan secara tidak langsung ikut mengganggu stabilitas regional Asia Tenggara meskipun permasalahan terjadi secara bilateral. Untuk itu, dilakukanlah berbagai upaya untuk menyatukan pandangan mengenai Selat Malaka supaya konflik yang terjad dapat diredam dan keamanan Selat Malaka dapat diwujudkan dengan baik.

Daftar Acuan

Djalal, H. (1979). Perjuangan Indonesia di bidang hukum laut. Jakarta: Binacipta. Djalal, H. (1995). Indonesia and the law of the sea. Jakarta: Centre for Strategic and

(17)

Djalal, D.P. (1996). The geopolitics of Indonesia’s maritime territorial policy. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Djalal, H. (2006) Persoalan Selat Malaka dan Singapura (online) dalam http://www.setneg.go.id/index.php?

option=com_content&task=view&id=22&Itemid=33, diakses pada 26 Desember pukul 12.25 WIB

Laksmana.E.A. The enduring strategic trinity:explaining Indonesia's geopolitical architectur. Centre for Strategic and International Studies and Indonesian Defense University, Jakarta

Oegroseno, A.H. (2009), ‘Indonesia’s maritime boundaries’, in R. Cribb and M. Ford, eds., Indonesia beyond the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 49—58

Rodrigue. Straits, Passages and Chokepoints: A Maritime Geostrategy of Petroleum Distribution. Cahiers de Geographie du Quebec. Volume 48, no. 135, decembre 2004, 357-374

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa budaya Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Bone sudah termasuk dalam kategori kondusif yang ditandai dengan perilaku atau

Dari hasil analisis data di atas dapat diketahui bahwa, guru PKn telah melakukan upaya penerapan media gambar dalam pembelajaran PKn untuk menanamkan tanggungjawab pada

Kewajiban pekerja yang telah disebutkan di atas bersifat universal yang artinya sesuatu yang menjadi kewajiban pemberi pekerjaan/pengusaha akan menjadi hak

Dengan demikian yang menjadi konteks dekat dari teks ini adalah bahwa Hana mengalami tekanan hidup yang membuktikan spiritualitas sebagai seorang wanita yang mampu menjaga hidup

Button play game merupakan menu game untuk memulai permainan, button tutorial merupakan menu untuk mengetahui cara bermain game engklek ini, button setting merupakan

Tindakan yang dilakukan oleh gerakan sosial Ikhwanul Muslimin di Mesir yaitu; dengan memboikot pemilihan umum yang diselenggarakan tahun 2014, setelah Mursi turun dari

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka perlu dilakukan penelitian mengenai Pengaruh Model Guided Discovery Terhadap Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar

³D da perbedaan yang signifikan kemampuan penyesuain diri siswa antara sebelum dan sesudah diberi penerapan teknik permainan ³VLDSD GL VDPSLQJNX´ dalam bimbingan