• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kesem patan Memperoleh Pendi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengembangan Kesem patan Memperoleh Pendi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pengembangan Kesempatan Memperoleh Pendidikan bagi

Anak dalam Lembaga Pemasyarakatan

Aditya Awal Sri Lestari

I. Pendahuluan

Sekolah adalah salah satu tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran

untuk menghasilkan generasi yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan

moralitas yang tinggi. Sekolah yang baik dapat membekali murid-muridnya

dengan berbagai pengetahuan, ketrampilan, dan tatakrama yang diperlukan bagi

kehidupan masa depan seorang anak. Idealnya, sekolah dengan berbagai

kegiatan pembelajaranya merupakan tempat yang menyenangkan sehingga

anak-anak dapat mengembangkan potensi dan bakatnya secara

maksimal. Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan tidak luput dari apa

yang diharapkan masyarakat luas sebagai pencetak generasi bangsa dan penerus

dari sebuah keluarga. Peran sekolah kemudian menjadi lebih penting ketika

anak tumbuh dan berkembang, berperilaku mulai menyesuaikan dengan apa

harapan dari lingkungan sekitarnya.

Menurut Harber dan Davies (1997), muncul pertanyaan baru mengenai

sistem edukasi dalam sebuah institusi pendidikan. Apa sebenarnya tujuan dan

seberapa besar efektivitas yang dapat dilakukan dalam lingkungan sekolah

untuk meningkatkan serta berjalan bersama untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan tersebut.1 Karena di dalam sekolah terdapat sebuah diversitas anak

yang masuk, tipe guru yang mengajar, serta pengurus sekolah dengan berbagai

macam latar belakang.

Di Indonesia, tujuan pendidikan sendiri telah mengakar dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidik dan tenaga pengajar yang kemudian menjadi salah satu ujung tombak implementasi

1 Harber, Clive. 2004. Schooling as Violence: How School Harm Pupils and Societies. USA:

(2)

2

tujuan pendidikan itu sendiri. Penyaluran lainnya adalah lewat kurikulum yang

didesain oleh pihak terkait yang mungkin dirasa cukup mewakilkan kebutuhan

belajar siswa/i masa kini. Menurut data yang diperoleh dalam situs resmi

UNDP (United Nation Development Program), Indonesia mempunyai Indeks

Pembangunan Manusia sebesar 0.629 dengan pendapatan per kapita $2910. 2

Namun hal ini berbeda dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura

yang memiliki indeks lebih tinggi 0,83 dan 0,86 persen.3 Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) yang masih tertinggal dari negara tertangga dapat berimplikasi

buruk bagi pembangunan Indonesia ke depannya dan kurangnya Sumber Daya

Manusia (SDM) yang memiliki pendidikan mapan dapat menjadi salah satu

faktor.

Lebih spesifiknya lagi, anak yang tersandung masalah hukum kerap tidak

bisa mendapatkan hak yang sepatutnya didapat. Sistem peradilan pidana bagi

anak ini dibangun dengan ide bahwa anak yang berhadapan dengan hukum

haruslah diperlakukan secara berbeda dan penuh perlindungan. Anak yang

berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkab pertimbangan khusus,

dan negara di seluruh dunia wajib dalam memastikan bahwa semua anak

tumbuh, berkembang, dan mencapai hak-hak mereka secara maksimal. Sebagai

bagian integral dari hal ini, sistem peradilan harus dirancang dan dikelola untuk

menghormati hak-hak anak.4

II.Rumusan Masalah

Berikut ini lampiran dari masalah yang ingin penulis bahas dalam tulisan

kali ini. Ini adalah dua artikel berita mengenai kondisi pendidikan anak di

dalam penjara yang diambil dari dua portal berita dalam jaringan.

2

http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/countryinfo/ diakses pada 10 Desember 2013 pukul 19:45

3

http://www.beritasatu.com/pendidikan/144143-kualitas-pendidikan-di-indonesia-masih-rendah.html diakses pada 10 Desember 2013 pukul 19:52

4 The International NGO Council on Violence Against Children. Creating A Non-Violent Juvenile

(3)

3

“Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”

5

TEMPO.CO, Jakarta – Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia, M.Ihsan, meminta polisi memfasilitasi agar empat anak SMP yang kini

ditahan di Penjara Salemba dalam kasus pencabulan anak SD bisa

mengikuti ujian nasional. “Kalau orang tua takut mereka tak bisa ujian,

tak usah khawatir. Hak itu dilindungi undang-undang. Mereka bisa ujian

di kantor polisi,” ujar Ihsan, ketika dihubungi Kamis, 11 April 2013.

Menurut Ihsan, penahanan atas pelaku tindak kriminal di bawah umur

masih bisa dilakukan mengingat UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak belum berlaku. Pasal 32 peraturan itu

menegaskan bahwa penahanan terhadap pelaku pidana yang masih

anak-anak tidak bisa dilakukan. Namun, dalam aturan peralihan, memang

dijelaskan bahwa UU Peradilan Anak baru berlaku dua tahun setelah

disahkan. Karena itu, Ihsan mengatakan polisi bisa saja melakukan

penahanan terhadap empat siswa SMP YPUI tersangka aksi pencabulan. “Asal, ada pertimbangan-pertimbangan khusus yang menjadi acuan oleh penyidik,” ujar Ihsan.

Ihsan mengatakan, pertimbangan itu bisa meliputi untuk kemudahan

pemeriksaan dan melindungi keselamatan anak. Hal itu, kata Ihsan, sudah

diatur dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ihsan pun

mengatakan bahwa anak yang ditahan pun punya hak yang harus

dipenuhi. Beberapa di antaranya seperti diperbolehkan mengikuti ujian,

bertemu orang tua, dan dipisahkan dari sel orang dewasa.

Ditanyai apakah ada kemungkinan penangguhan penahanan dilakukan,

Ihsan berkata mungkin saja. Pihak orang tua harus menyakinkan

anak-anak yang menjadi tersangka tak akan lagi melakukan kesalahannya dan

tak kabur dari proses hukum. “Tapi, sekali lagi, penyidik punya

5 Istiman MP. “Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”. Tempo.Co: 15 Desember

(4)

4

pertimbangan tersendiri, seperti anak ditahan agar selamat dari serangan

balas dendam korban,” ujar Ihsan.

“Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”

6

TEMPOInteraktif, Semarang – Jumlah anak yang mendekam di di Jawa Tengah saat ini mencapai 324 anak, terdiri dari 316 anak laki-laki dan

perempuan 8 anak. Mereka tersebar di berbagai Lembaga Pemasyarakatan

dan Rumah Tahanan (Rutan) yang ada di Jawa Tengah. Terbanyak berada

di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Kutoarjo sebanyak 92 anak,

terdiri 70 anak berstatus narapidana, tahanan 6 anak, serta 16 anak

negara. Sedangkan yang lain mendekam di Lembaga Pemasyarakatan

Semarang 19 anak, Rumah tahanan Blora 16, Rumah tahanan Purwodadi

16, Rumah tahanan Surakarta 15, Rumah Tahanan Pemalang 13, Rumah

Tahanan Ambarawa 13, serta rumah tahanan di Kendal sebanyak 13

anak.

Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Jawa Tengah Chaeruddin menyatakan, kasus-kasus yang melibatkan

anak-anak itu diantaranya pelanggaran asusila, pencurian dan tindakan

kriminal, melarikan anak, serta kasus narkoba. Chaeruddin menyatakan

anak-anak didik tersebut ditempatkan di sel-sel dengan blok khusus anak.

“Mereka tidak dicampur dengan narapidana dan tahanan dewasa,” ujar Chaeruddin, Jum’at (23/7). Chaeruddin menilai, banyaknya anak-anak yang dipenjara itu disebabkan karena masih minimnya pemahaman para

aparat penegak hukum untuk melindungi hak-hak anak.

Seharusnya, kata dia, penjara adalah 4nsure4iona terakhir atau ultimum

remidium. Pilihan pertama adalah dikembalikan kepada orang tua,

dimasukkan panti rehabilitasi, menjadi anak negara, dan terakhir anak

6 “Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”. Rofiuddin, Tempo.Co: 23 Juli 2014.

(5)

5

pidana atau anak didik di penjara. Perlakuan para pengelola lembaga

pemasyarakatan terhadap anak-anak juga belum mencerminkan

perlindungan hak-hak anak. Chaeruddin mencontohkan belum semua

lembaga pemasyarakatan mengijinkan anak didik untuk melanjutkan

sekolah. “Mestinya siang hari bersekolah, malam pulang ke tahanan,” ujar Chaeruddin. Chaeruddin menambahkan, saat ini Kementerian Hukum

dan HAM masih merancang draft undang-undang sebagai payung hukum

pemberian remisi atau pengurangan hukuman pada anak-anak yang

menjalani hukuman. “Diharapkan setiap ada momentum Hari Anak Nasional anak bisa mendapatkan remisi,” ujar Chaeruddin.

Koordinator Yayasan Setara, Hening Budiyawati menyatakan

penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan umum harus dipantau

secara khusus. Sebab, meski beda blok tapi masih dalam satu lokasi maka

pergaulan narapidana dewasa dengan anak-anak akan tetap tak

terhindarkan. Yang juga penting, kata dia, anak yang dihukum juga harus

tetap bersekolah. “Karena yang ditahan hanya hak kebebasannnya, sedangkan hak pendidikan dan kesehatannya tetap harus dijamin

pemerintah,” ujar Hening. Aktivis pendamping anak ini meminta agar para penegak hukum lebih memperhatikan masa depan anak dengan

menjatuhkan hukuman yang lebih bersahabat bagi anak. Misalnya dengan

pengalihan hukuman, asimiliasi atau hukuman percobaan.

Dua berita di atas yang diambil oleh penulis dalam melihat fenomena

masalah pendidikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

III. Analisa

Doktrin lama tentang hukum dan peradilan mulai digeser ke arah doktrin

baru, yang mana tidak mengandung power authorities dan tidak diselubungi

oleh abuses of power serta tidak mewujudkan pertarungan antara manusia yang

satu terhadap manusia yang lainnya, tidak menimbulkan degradasi manusia

(6)

6

tentang utility bagi semua orang sejalan dengan cita-cita human welfare.

Substansi hukum dan eksistensi peradilan perlu dikembangkan dalam satu

sistem (input-output sistem) dan hasil penerapannya harus memberikan

kontribusi kepada kepentingan kesejahteraan manusia (human welfare)7.

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 yang berfungsi dalam penegakan hukum terdiri

atas empat komponen yang masing-masing merupakan sub-sistem dalam sistem

peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga

pemasyarakatan. Keempat instansi ini dikenal juga dengan istilah sistem

peradilan pidana terpadu.

Sistem peradilan pidana di Indonesia bersifat represif (memaksa) namun

masih diragukan keberhasilannya, karena kegagalan sistem tersebut untuk

memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan

oleh pelaku kejahatan. Namun faktanya, di Indonesia kerap kali menyamakan

anak-anak yang tersandung masalah hukum dengan orang dewasa yang

melakukan kejahatan, termasuk dalam hal penanganannya di dalam penjara

setelah mereka menerima vonis dari hakim.

Menurut UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang

berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus

memproleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin

pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah,

maupun sosial. Dalam undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang

perlindungan Anak dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan

Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai

manusia seutuhnya. Melalui undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa

negara memberikan jaminan untuk memberikan perlindungan terhadap hak

anak, bahkan pembentukan Komisi Perlindungan Anak (KPAI) bertanggung

jawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak.

7

(7)

7

Konsep perlindungan anak mencakup dalam empat kelompok

permasalahan, yaitu perlindungan terkait aspek sosial budaya, ekonomi,

politik/hukum dan pertahanan keamanan. (Supatmi dan Puteri, 1999: 109-110).8

Menurut Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa

Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (The Beijing Rules), Resolusi PBB

No.40/33, 1985 menyatakan tujuan sistem peradilan bagi anak adalah

mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun

terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan

keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun

pelanggaran hukumnya.9

Sementara ketika anak sudah memasuki proses pemidanaan, tugas

perlindungan anak pada Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam prosedur

hukum dibebankan pada ketentuan Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang

pemasyarakatan. Sebagaimana telah ditelaah pada Bab I Lembaga

Pemasyarakatan pada umumnya berfungsi sebagai berikut10 : (1) Perlindungan

hukum (protective), (2) Mendapat hukuman (punitive), (3) Memperbaiki

(reformative), (4) Rehabilitas (rehabilitative).

Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan

Kebebasannya, Resolusi 45/113, 1990 dalam Pasal 37 menyebutkan bahwa: “Setiap fasilitas pemasyarakatan harus menjamin bahwa setiap anak menerima makanan yang disiapkan secara pantas dan disajikan pada waktu-waktu makan

yang normal dan berjumlah serta bermutu cukup untuk memenuhi standar diet,

kebersihan dan kesehatan serta, sejauh mungkin, persyaratan-persyaratan

keagamaan dan budaya. Air minum bersih harus tersedia bagi setiap anak pada setiap saat.”

8

Dendy Lesmana Ellion. 2009. Pemenuhan Perlindungan bagi Anak dari Perkawinan Campuran. Depok: FISIP UI.

9

M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm 49

10 Maulana Hassan Wadang. 2000. Perlindungan Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,

(8)

8

Kasus anak dapat masuk dalam sistem peradilan pidana ditentukan oleh

peranan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum, khususnya polisi

kemudian menerapkan kebijakan diskresi, yaitu kebebasan yang luas bagi

petugas kepolisian dalam menentukan penanganan bagi remaja pelaku

pelanggaran, apakah para pelaku akan ditangani secara tidak resmi, atau remaja

pelaku akan ditahan dan diproses secara resmi.11 Dalam sistem peradilan pidana

ini pula masyarakat menggantungkan harapannya untuk mendapat keadilan atas

apa yang menimpanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Tidak hanya bagi orang dewasa, sistem peradilan pidana ini juga

diberlakukan bagi anak-anak yang notabennya seharusnya mendapat perlakuan

berbeda dari orang dewasa yang melakukan pelanggaran hukum.

Goffman (1961) menggunakan konsep lembaga total dalam menggambarkan

masalah-masalah dalam penjara, termasuk yang berkaitan dengan pemenuhan

hak pendidikan bagi anak dalam penjara. Thomas (1983) menguraikan masalah

yang dalam menerapkan pendidikan formal dalam penjara seperti perilaku

diskresioner dari pihak staf penjara, subkultur dalam penjara serta

mengembangkan hubungan saling percaya antara pengajar dan siswa. Hal ini

dipersulit dengan sikap tidak ramah dengan orang-orang yang memegang

kekuasaan karena kebencian terhadap sipir penjara.12 Tidak jarang pula

penghuni penjara terutama anak-anak mempunyai pengalaman buruk dengan

pendidikan formal di luar penjara sebelumnya. Penerapan silabus sesuai

kurikulum yang dirancang oleh pihak yang berkepentingan, yang kerapkali

disamakan dengan pendidikan formal di luar penjara, sedangkan penjara

merupakan institusi total yang menjadikan ini sebagai pelanggaran atas

kebebasan akademik yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

11

Bynum, Jack E., & William E. Thomson. 2007. Juvenile Delinquency : A Sociological Approach Sevent Edition, USA: Pearson Education Inc., pp. 401

12 Gretchen H. Thompson and Kylie L. Parrotta. “Sociology of the Prison Classroom:

(9)

9

Menurut studi yang dilakukan oleh Yochelson dan Samenow (1976),

narapidana anak yang berada di dalam penjara belum memiliki pola pikir yang

matang dan pantas untuk dilakukan pelatihan pengembangan pola pikir yang

lebih efektif.13 Hal ini menjadikan pengembangan bagi pendidikan tidak hanya

dalam sektor formal, melainkan juga informal (berupa pelatihan kemampuan di

luar bidang akademis) menjadi perlu untuk dilakukan oleh pihak penyelenggara

pendidikan berkerjasama dengan pihak pengelola lembaga pemasyarakatan.

Dalam berita pertama yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini, sudah

sewajarnya jika pihak lembaga pemasyarakatan menyediakan sebuah cara agar

anak-anak SD yang menjadi tahanan dapat belajar sebagai bentuk persiapan

menuju Ujian Nasional. Perluasan kesempatan untuk memperoleh akses

terhadap pendidikan ini dapat dilakukan dengan mendatangkan guru ke dalam

lembaga pemasyarakatan maupun berkerjasama dengan sekolah yang berada di

dekat lembaga pemasyarakatan.

Peran tenaga pendidik profesional di dalam lembaga pemasyarakatan

menjadi penting untuk ditindaklanjuti secara serius karena menurut Letkemann

(1973) dan Duguid (1979), tahanan secara otodidak dan sadar memiliki unsur

yang kuat dalam menentukan pilihan untuk menjadi pelaku kejahatan di masa

depan.14 Peran tenaga pendidik menempati peran sentral dalam mencegah

seorang anak yang tersandung masalah hukum menjadi penjahat di masa depan

dan menyadarkan si anak bahwa ia memiliki masa depan yang lebih cerah

dengan tidak melakukan pelanggaran hukum di masa depan. Di sisi lain, peran

pendidikan dapat memberikan kesempatan kedua bagi si anak ketika ia sudah

keluar dari lembaga pemasyarakatan untuk memperoleh pekerjaan dan

pendidikan yang lebih layak.

Terlepas dari banyaknya kelebihan dalam memperluas akses memperoleh

pendidikan bagi anak di dalam lembaga pemasyarakatan, tidak jarang staf dan

13

Ayers, Douglas. Education in Prisons: A Developmental and Cultural Perspective. Canadian Journal of Education, Vol. 6, No. 2 (1981), pp. 20-38. Hlm 27

14

(10)

10

pihak pengelola lembaga pemasyarakatan mempersulit apa yang seharusnya

menjadi hak anak. Model pendidikan yang diperlukan dalam merubah perilaku

anak-anak tersebut dengan melakukan perbaikan atas tiga asumsi dasar yang

perlu diubah dari anak-anak yang terlibat masalah hukum,15 yakni (1) mereka

memiliki kekurangan dalam membangun serta mengembangkan perilaku

kognitif, sosial, dan moral, (2) ketrampilan mengembangkan kognitif

diperlukan dalam membangun ketrampilan interpersonal dan pengembangan

moral sang anak, (3) membangun kesadaran bahwa apa yang dilakukan

sebelum ia tersandung masalah hukum adalah sebuah kesalahan.

Ada banyak manfaat bagi individu terutama anak, dalam meningkatkan

motivasi mengeyam pendidikan meskipun mereka berada di dalam lembaga

pemasyarakatan karena nilai pendidikan, memikirkan pekerjaan untuk masa

depan setelah bebas dari menjalani masa hukuman.16 Tidak hanya itu, tidak

jarang mengejar pendidikan selagi menjalani masa hukuman dapat menjadi

alasan untuk perencanaan masa depan, alasan sosial serta pelarian dan

membangun kompetensi diri. Remaja mungkin sudah menyadari pentingnya

posisi pendidikan di dalam kehidupannya, namun yang masih perlu diberikan

pengertian adalah anak-anak yang umumnya lebih menyukai untuk bermain dan

tidak melakukan apa-apa di dalam menjalani masa hukumannya.

IV. Kesimpulan

Banyak masalah dalam sistem kepenjaraan Indonesia dan menjadikannya

tumpang tindih dengan sub-budaya yang ada di dalam institusi total ini.

Subkultur dalam institusi total ini dapat menjadi bumerang Salah satu

masalahnya adalah penerapan sistem pendidikan formal yang tidak disediakan

dalam lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Di sisi lain, posisi dari

anak yang tersandung masalah hukum menjadikan ia rentan untuk tidak

15

Ibid.

16 Terje Menger, et.al. 2012. Effects of Educational Motives on Prisoners’ Participation in

(11)

11

memperoleh hak-hak yang seharusnya didapatkan, salah satunya adalah

mengenyam bangku pendidikan. Perlindungan terhadap salah satu hak anak

sebagai bentuk dari realisasi janji konstitusi negara ini perlu diperhatikan

dengan sangat seksama. Bentuk realisasi yang tidak jarang menjadikan anak

berada dalam posisi terpojok dan menerima saja apa yang diberikan selama

mereka berada di dalam masa tahanan. Pendidikan yang inklusif dan

memperluas akses dalam meraihnya perlu untuk dilakukan sebagai sebuah cara

untuk si anak memperoleh masa depan yang lebih layak pasca menyelesaikan

(12)

12 V. Daftar Pustaka

Buku

Dendy Lesmana Ellion. 2009. Pemenuhan Perlindungan bagi Anak dari

Perkawinan Campuran. Depok: FISIP UI.

M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Maulana Hassan Wadang. 2000. Perlindungan Advokasi dan Hukum

Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo.

Muntaha. 2004. Penerapan Hukum di Masyarakat Dan Keterpaduannya

Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. UGM, Yogyakarta: Jurnal

Protectorat.

Jurnal

Ayers, Douglas. Education in Prisons: A Developmental and Cultural

Perspective. Canadian Journal of Education, Vol. 6, No. 2 (1981), pp. 20-38.

Bynum, Jack E., & William E. Thomson. 2007. Juvenile Delinquency : A

Sociological Approach Sevent Edition, USA: Pearson Education Inc., pp. 401 Gretchen H. Thompson and Kylie L. Parrotta. “Sociology of the Prison Classroom: Marginalized Identities and Sociological Imaginations Behind

Bars”. Teaching Sociology, Vol. 39, No. 2 (April 2011), pp. 165-178.

Harber, Clive. 2004. Schooling as Violence: How School Harm Pupils and

Societies. USA: Routledge Fahmer

Terje Menger, et.al. 2012. Effects of Educational Motives on Prisoners’

Participation in Education and Educational Desires. Springer Sciences and

Business Media.

Laporan Lembaga

The International NGO Council on Violence Against Children. Creating A

(13)

13 Publikasi Online

“Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”. Rofiuddin, Tempo.Co:

23 Juli 2014. Diakses dalam

http://www.tempo.co/read/news/2010/07/23/177265756/Di-Jawa-Tengah-324-Anak-Mendekam-di-Penjara pada 21 Desember 2014 pukul 15:38

http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/countryinfo/ diakses

pada 10 Desember 2013 pukul 19:45

http://www.beritasatu.com/pendidikan/144143-kualitas-pendidikan-di-indonesia-masih-rendah.html diakses pada 10 Desember 2013 pukul 19:52 Istiman MP. “Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”.

Tempo.Co: 15 Desember 2014. Diakses dalam

Referensi

Dokumen terkait

Anak yang berhadapan dengan Hukum adalah seorang Anak yang sedang terlibat dengan masalah Hukum atau sebagai pelaku tindak pidana,sementara anak tersebut belum dianggap mampu

Anak yang berhadapan dengan Hukum adalah seorang Anak yang sedang terlibat dengan masalah Hukum atau sebagai pelaku tindak pidana,sementara anak tersebut belum dianggap

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf b meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak

PROGRAM PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS (PLK) BAGI ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH) ( Studi Deskriptif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak

− Anak yang Berhadapan dengan Hukum “Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi