• Tidak ada hasil yang ditemukan

MILITER DALAM NOVEL NOVEL INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MILITER DALAM NOVEL NOVEL INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh Aprinus Salam1, Ramayda Akmal,2 dan Ary Budiyanto3

1. Pengantar

Dari awal kelahirannya, novel-novel Indonesia sudah “cukup akrab” dengan militer, baik sebagai tokoh maupun sebagai persoalan. Hal itu sudah terlihat dari Siti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat hingga Bilangan Fu. Persoalannya, bagaimana keberadaan militer diceritakan dan direpresentasikan? Konteks sosial politik dan kewacanaan apa yang mengondisikan penceritaan dan representasi tersebut?

Pengertian militer memiliki cakupan yang luas. Militer merupakan sekelompok orang yang diorganisasi suatu negara dengan berbagai aturan dan kedisiplinan untuk melakukan pertempuran dan pertahanan (Finer, 1962; Muhaimin, 2002). Di samping itu, persoalan militer juga tidak semata berkaitan dengan fungsi defensi ataupun ekspansinya, tetapi mencakup kehidupan personal orang-orang di dalamnya, terutama menyangkut semangat, ideologi, kondisi psikologis, dan persepsi-persepsi mereka terhadap dunia.

Di Indonesia, novel tidak bisa menceritakan militer secara bebas. Negara akan sangat peduli dan memperhatikan bagaimana citra militer di mata masyarakat. Berbagai tindak pembredelan, pelarangan, dan bahkan pembakaran adalah sekelumit tindak represif negara terhadap novel-novel yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan negara. Perkembangan cerita dan representasi militer dalam novel-novel dapat dijadikan cara melihat bagaimana negara ikut “mengendalikan” keberadaan novel.

2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian terhadap wacana militer dalam novel-novel pasca Orde Baru ini memiliki dua tujuan, yaitu, tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah menarasikan dan mendeskripsikan wacana militer dalam novel-novel pasca Orde Baru serta menelusuri konteks yang melahirkan wacana-wacana tersebut. Dengan menggunakan pendekatan analisis wacana Foucault dan piranti-piranti teori pendukung lainnya, kemunculan wacana militer dalam novel-novel, kaitannya dengan konteks, serta ideologi di dalam teksnya dapat diformulasikan.

Tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan alternatif pemahaman kepada pembaca dengan memunculkan perspektif yang lebih beragam tentang wacana-wacana militer dalam novel-novel pasca Orde Baru. Jika selama ini pemahaman pembaca tentang militer diseragamkan oleh wacana yang diproduksi kekuasaan dalam novel-novel Orde Baru dan sebelumnya, maka penelitian ini ditujukan untuk

1Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM.

2Asisten Dosen di Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM.

(2)

memaparkan perspektif lain tentang militer yang terdapat dalam novel-novel pasca Orde Baru.

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya yang hendak mengkaji lebih jauh wacana-wacana militer di dalam novel. Bagaimana konstelasi antara kekuasaan, negara, sastrawan, dan karya sastra dalam proses pewacanaan pada penelitian ini juga dapat dijadikan sumbangan untuk penelitian sejenis.

3. Zaman Kolonial: Yang Militer itu Tentara Kolonial

Seperti telah disinggung, novel modern awal yang memperlihatkan aspek militer adalah Sitti Nurbaya—SN (1922) karya Marah Rusli. Selanjutnya adalah Sengsara Membawa Nikmat--SMN (1929) karya Tulis Sutan Sati, dan Hulubalang Raja--HR (1934) karya Nur Sutan Iskandar. Ketiga novel ini terbit pada masa akhir pendudukan kolonial Belanda. Corak militer yang ditampilkan ketiga novel tersebut hampir sama, yaitu menghadirkan seorang tokoh pribumi yang menjadi tentara Belanda.

Syamsul Bahri dalam SN adalah serdadu Belanda dengan pangkat letnan. Ia memimpin pasukan Belanda dalam meredam pemberontakan pribumi di Padang. Sebagai seorang tentara, Samsulbahri dikenal baik budinya, peramah, penolong tanpa melihat rupa dan bangsa. Dalam ketentaraan ia adalah Letnan Mas yang gagah berani dan telah menolong pemerintahan (Belanda) dalam beberapa kesulitan peperangan (SN, 331). Dalam posisi yang berbeda, Datuk Maringgih, ditempatkan sebagai pemimpin pemberontak terhadap Belanda (yang berarti pejuang Indonesia). Walaupun tindakan dan fungsi gerakaan pejuang itu seperti militer, tetapi sebagai organisasi mereka tidak dapat disebut militer.

Selain itu, Midun dalam SMN digambarkan sebagai anak lelaki yang baik, alim, dan disukai oleh semua orang (SMN, 10). Parasnya tampan, tubuhnya kuat dan sehat (SMN, 11). Oleh karena itu, ia diangkat menjadi polisi di Tanjung Priok. Bahkan, oleh komisaris Belanda ia diangkat menjadi asisten demang. Tokoh terakhir adalah Sultan Malakewi dalam HR. Sultan Malekewi muncul sebagai penglima perang yang tangkas, gagah berani, dan rendah hati yang berdampingan dengan Belanda (HR, 119, 137, 140). Ia bekerjasama dengan Belanda untuk melumpuhkan pemberontakan rakyat Sumatera.

Dari penelusuran terhadap tiga novel ini, terdapat dua kesimpulan menarik mengenai keberadaan militer. Pertama, tentara yang gagah berani adalah tentara Belanda (pemerintah yang berkuasa pada waktu itu). Orang-orang pribumi yang baik budinya dan gagah perkasa menjadi bagian dari tentara itu. Mereka berada di pihak Belanda yang akan selalu melindungi Belanda. Setiap orang ingin menjadi tentara Belanda karena mereka dianggap gagah, cerdik dan baik. Kedua, yang dikatakan musuh dan pemberontak adalah orang-orang pribumi yang tidak mau tunduk dan bekerjasama dengan Belanda (yang berarti adalah pejuang kemerdekaan Indonesia). Pemberontak ini diceritakan sebagai kaum yang jahat, bebal (tidak mau bekerja sama), dan bodoh.

(3)

melindungi, merebut, menaklukan, bahkan menghancurkan area atau kedaulatan tertentu.

Novel-novel dengan aspek militer di atas adalah novel yang berhasil terbit dan lulus sensor kolonial. Alur cerita, tokoh-tokoh, dan aspek militer yang dihadirkan sesuai dengan kepentingan Belanda. Terhadap karya sastra, pemerintah kolonial melakukan kontrol dengan menciptakan berbagai peraturan atau undang-undang. Salah satunya adalah persbreidelordonnantie 1930 (Jaringan Kerja Budaya/JKB, 1999: 16). Berdasarkan peraturan dan undang-undang ini pemerintah kolonial bebas melakukan tindakan represif berupa pelarangan ataupun pembredelan terhadap novel-novel yang dianggap membahayakan ataupun melawan negara (kolonial).

Kontrol ini dipakai untuk melindungi kepentingan kolonial Belanda yang tidak menginginkan perubahan yang dapat mengancam kedudukan dan dominasi politiknya. Balai Pustaka didirikan untuk mendukung kontrol ini dengan memonopoli penerbitan bahan bacaan bagi anak-anak sekolah zaman penjajahan. Kriteria bacaan yang baik ditentukan oleh badan ini (Sumardjo, 1999: 110).

4. Zaman Jepang: Rezim Tentara Jepang

Pada tahun 1942, Indonesia dikuasai oleh Jepang. Paling tidak terdapat dua novel yang terbit pada waktu-waktu itu, yaitu, Cinta Tanah Air--CTA (1944) karya Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944) karya Karim Halim. Kedua-duanya sarat wacana militer dan propaganda. Amirrudin, tokoh utama dalam CTA merupakan anggota PETA yang begitu mengagumi Jepang terutama semangat bushido-nya. Amirrudin begitu takjub kepada kehebatan tentara Jepang, baik itu Seinendan (CTA, 11), Keibodan (CTA, 21), maupun Heiho (CTA, 72). Oleh karena ketakjubannya itu ia kemudian masuk PETA. Bala tentara Dai Nippon tak mau mundur, bahkan tak tahu arti mundur (CTA, 77). Bala tentara Nippon memiliki semangat kesatria yang tak takut mati (CTA, 109). Akibat kemenangan Nippon terhadap Rusia, dunia Timur menjadi bangkit (CTA, 65). Pemerintah bala tentara Nippon juga membuka banyak lapangan pekerjaan. ...pemerintah bala tentara segera mengatur penghidupan rakyat dengan sebaik-baiknya. Bermacam-macam kerja dan usaha diadakan. Mana yang mau bertani diberi tanah...” (CTA, 64).

(4)

Pada zaman pendudukan Jepang ini peranan Balai Pustaka masih besar. Namun, sensor redaktur sudah tidak bersifat kolonial lagi, terbukti dari terbitnya novel-novel yang “melawan Belanda” (Sumardjo, 1999:119). Jepang ingin merebut simpati Indonesia dengan menempatkan diri sebagai pahlawan yang membantu mengusir Belanda. Pemerintah Jepang mendirikan satu lembaga yang disebut Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso untuk menghimpun tenaga sastrawan dan seniman, agar mereka dapat dimanfaatkan bagi kepentingan perang Asia Timur Raya. Lembaga ini melaksanakan sensor keras terhadap penerbitan, menghasilkan karya sastra yang sejalan dengan “pesanan” pemerintah, sehingga dalam berbagai karya sastrawan yang dihasilkan, unsur propaganda tidak dapat dielakkan.

5. Zaman Orde Lama: Tentara-Tentara Revolusi

Setelah Indonesia merdeka, novel dengan muatan militer baru muncul sekitar tahun 1950-an, ditandai dengan novel Surapati (1950) karya Abdul Muis. Selanjutnya secara berturut-turut, novel Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951) karya Pramoedya Ananta Toer; Djokja Diduduki (1950) karya Muhamad Dimyati; Menunggu Bedug Berbunji (1950) karya Hamka; Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis; Robert Anak Surapati (1953) karya Abdul Muis; Telaga Darah (1956) karya Damhoeri; Pulang (1958) karya Toha Muchtar; Pagar Kawat Berduri (1963) karya Trisnoyuwono; Sepasang Suami Istri (1964) karya Satyagraha Hoerip; dan Tanah Kesayangan (1965) karya Bokor Hutasuhut .

Pemerintahan Soekarno mendapat dukungan dari negara-negara sosialis di Eropa dan Asia Timur. Ia melancarkan kampanye menentang pengaruh imperialisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia (JKB,1999:24 ; Kahin, 1995). Kedekatan Soekarno dengan negara-negara sosialis Eropa Timur ini berimplikasi pada banyak hal. Salah satunya kehidupan pers dan karya sastra. Segala buku (karya sastra) yang berasal atau berbau Barat dilarang terbit dan dibredel bagi yang sudah terbit. Undang-undang yang mendasari pelarangan tersebut antara lain, Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer No. PKM/001/9/1956 dan Penetapan Presiden No.4/1963 (JKB, 1999:16,21).

Implikasinya terhadap wacana militer dalam novel-novel yang terbit pada masa itu adalah terjadinya booming tema-tema revolusi yang menyoroti perjuangan tentara nasional melawan penjajah seperti telah diungkapkan di atas. Novel-novel bertema revolusi ini sangat dianjurkan untuk memupuk rasa nasionalisme rakyat, yang berarti langgengnya kekuasaan pemerintahan/Soekarno.

(5)

Jepang, mereka pengecut dan pecundang. Namun, Hardo tetap mempertahankan prinsipnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, memaafkan orang-orang yang telah berkhianat (PB, 1949:123), dan tetap memelihara cintanya pada sang kekasih. Hazil juga menampakkan sifat-sifat yang sama dengan Hardo.

Bagi Hazil, individu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia (JTU, 40).

Karakter Hardo dan Hazil di atas bertentangan sekali dengan karakter serdadu-serdadu musuh (Belanda atau Jepang). Dalam Pagar Kawat Berduri, ada seorang serdadu Belanda bernama letnan de Groot (ia memang besar dan tegap) yang berpedoman pada kekerasan untuk melaksanakan kewajibannya, sebab ia percaya hanya dengan kekerasan bisa tercapai keberesan dan kerapihan dalam mengurus tawanan...ia memperlakukan para tawanan sebagai sekumpulan binatang yang keras kepala dan angkuh (PKB, 22).

Tokoh-tokoh pejuang di atas adalah tokoh-tokoh pemuda yang terpelajar, cerdik, dan gagah. Herman dan Toto sebagai contohnya. Mereka menjadi telik sandi yang tugasnya menyelundup untuk berhubungan dengan orang-orang tertentu. Mereka berani dan cerdik (PKB, 2). Toto pernah menunjukkan keberaniannya ketika ia dan Herman dalam suatu pasukan terjebak patroli Belanda. Herman yang menuntun menyelamatkan pasukan dan Toto seorang diri memancing menyesatkan serdadu-serdadu Belanda dan kemudian menembakinya (PKB, 2).

Mereka berada setingkat lebih terpelajar dan beradab dibanding dengan pejuang-pejuang lain yang cenderung gegabah, tidak berpikir panjang, dan dalam tataran tertentu mereka sangat kejam. Hal ini tampak pada perilaku teman-teman seperjuangan Hazil dalam novel Jalan Tak Ada Ujung. Mereka melakukan kekerasan dan kekejaman membabi buta terhadap semua orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. ...dua orang perempuan Tionghoa. Kita potong tiga hari yang lalu. Ketangkap lagi lewat kampung. Diperiksa tidak mau mengaku, katanya mau menagih hutang. Hutang apa—hah, terus dibeginiin. Dia menggerakan tangannya seakan orang yang hendak mencabut golok, kemudian dengan jari telunjuknya digoresnya lehernya (JTU, 66).

(6)

suatu negara merdeka—belum muncul atau diwacanakan dalam novel-novel.

Namun, ada perubahan posisi, dan bahkan ada perubahan kriteria dan sikap-sikap di dalam militer dibandingkan dengan citra-citra militer pada novel-novel terdahulu. Perubahan posisi terlihat jelas, jika dalam novel-novel pada masa penjajahan, pejuang dianggap musuh maka kini berlaku sebaliknya. Perubahan sikap berkaitan dengan semangat humanisme yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Hardo dan Hazil. Mereka militer yang manusiawi, yang berperasaan, dan setia. Gambaran militer demikian tidak terlalu tampak dalam novel-novel pada masa sebelumnya (masa kolonial dan pendudukan Jepang).

6. Zaman Orde Baru: Militer Pahlawan Segalanya

Novel (karya sastra) merupakan bagian dari ISAs, maka keberadaannya perlu dikendalikan. Secara eksternal, Orde Baru mengendalikan novel-novel dengan menggunakan peralatan RSAs berupa UU, peraturan, dan aparat yang berhak melakukan pembredelan dan pelarangan terhadap sebuah novel yang dianggap membahayakan. Haryanto (1999) mengungkapkan ada beberapa UU yang digunakan untuk melarang sebuah novel, antara lain, UU Antisubversi (UU no.11/63), Haatzai Artikelen dalam KUHP, dan UU Pertahanan Keamanan Negara. Pelarangan tersebut berlaku pada novel-novel yang muatannya dapat mengancam keamanan negara, mengganggu ketertiban umum, dan membahayakan stabilitas nasional.

Dapat dipastikan kendali Orde Baru ini menghasilkan novel-novel yang kompromis terutama yang berkaitan dengan wacana militer. Novel-novel ini menghadirkan wacana militer ‘sesuai jalur’ Orde Baru. Secara historis, pada masa Orde Baru militer hampir berada di setiap lini kehidupan masyarakat. Demikian pula yang digambarkan dalam novel-novelnya. Militer adalah pahlawan, pembela rakyat, dan penjaga kedaulatan negara dari pemberontak (terutama PKI). Misalnya, peranan ABRI menumpas PKI dan PRRI dalam novel Pergolakan. Musuh militer adalah musuh rakyat, seperti terlihat dalam novel Si Bongkok, Kubah, dan Dari Hari ke Hari. Menjadi bagian dari militer adalah kebanggaan setiap orang seperti dialami tokoh Muladi dalam Masa Bergolak, seorang insinyur yang rela menjadi tentara untuk membela negara. Militer dihormati banyak orang seperti tokoh Rasus dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Militer mempunyai masa depan yang cerah, kedudukan sosial tinggi di masyarakat, dan lain-lain.

(7)

Jadi, militer dalam novel-novel Orde Baru digambarkan sebagai orang-orang yang nyaris sempurna. Peranannya tidak hanya sekedar pertahanan, tetapi juga secara kemasyarakatan. Tentara—dalam kasus Rasus—menjadikan seseorang sebagai ‘manusia sempurna’, baik secara pendidikan maupun secara spiritual. Dalam hal status tentara sendiri merupakan status yang tinggi, yang dinginkan dan dihormati setiap orang. Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan lain-lain yang menggambarkan militer dengan kriteria-kriteria di atas adalah novel kompromis, novel yang menyesuaikan ceritanya dengan misi negara.

Jika tidak kompromis, maka wacana militer muncul secara simbolis-strategis. Novel-novel simbolis strategis mencoba lepas dari hegemoni, tetapi berusaha menyiasati dengan mewacanakan militer melalui berbagai simbol dalam unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu, strategi lain seperti mengubah latar dan merekayasa tokoh. Novel Tuyet dan Lembah Membara menceritakan otoriter dan kekerasan dalam dunia militer. Namun latar yang digunakan di luar negeri (Vietnam dan Eropa). Kekerasan militer juga dihadirkan melalui tokoh-tokoh kecil yang tidak penting, jauh dari teritorial pemerintah (penguasa), atau bahkan dihadirkan melalui musuh penguasa.

Baik novel kompromis maupun novel strategis, kedua-duanya merupakan produk pengendalian Orde Baru. Jika disimpulkan, meskipun dalam kurun waktu empat zaman di atas Indonesia menjalankan sistem pemerintahan dengan ideologi, peraturan, kecenderungan, dan kepentingan yang berbeda-beda, tetapi kekuasaan pada empat zaman tersebut memiliki kesamaan dalam hal kendali terhadap novel-novel— yang berarti juga terhadap wacana-wacana militer di dalamnya. Meskipun kriteria-kriteria menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak itu berbeda-beda sesuai dengan ideologi masing-masing zaman, alasan utama mereka tetap sama, yaitu, menjaga ketertiban dan keamanan negara yang berarti untuk menjaga kepentingan penguasa.

7. Zaman Reformasi: Militer Orde Baru Itu Payah

Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 ditandai dengan reformasi besar-besaran dalam sistem pemerintahan dan perundang-undangan. Salah satunya adalah penghapusan UU Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi melalui PUU No.26 tahun 1999. Penghapusan undang-undang ini menjadi semacam gerbang kebebasan. Novel-novel yang selama masa-masa sebelumnya dilarang kemudian diterbitkan dan beredar bebas di pasaran. Wacana-wacana militer yang dulu tidak diceritakan mendapatkan tempatnya kembali.

(8)

bagaimana militer sebagai intelejen negara telah menyebarkan ingatan palsu/buatan kepada masyarakat tentang peristiwa G30S PKI

Intrik politik dan kekerasan yang dilakukan oleh militer di Penjara Nusakambangan, Penjara Sukamiskin, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Kuil Yasukuni Tokyo, hingga ke Hiroshima, Kamp Konsentrasi Nazi Sachsenhausen dan Holocaust Memorial Berlin diungkap dengan jelas dalam novel Bulan Jingga dalam Kepala (2007) karya Fadjroel Rachman. Penculikan militer terhadap mahasiswa dan orang-orang yang dianggap berbahaya juga dipaparkan dalam novel Epigram (2005) karya Jamal. Nada-nada sejenis tentang militer juga dipaparkan oleh novel-novel lainnya.

Namun, perlu diketahui bahwa militer yang diceritakan lebih terbuka dalam novel-novel pasca Orde Baru adalah gambaran militer masa lalu (khususnya militer masa Orde Baru). Sampai tahun 2009 ini berdasarkan penelusuran penulis, wacana militer pasca Orde Baru tidak diceritakan dalam novel-novel. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, berbagai tekanan dan pengendalian yang ketat dari negara pada masa Orde Baru membuat sastrawan tak bisa menceritakan militer dengan bebas. Hal itu baru bisa dilakukan setelah Orde Baru runtuh.

Kedua, perlu diperhatikan bahwa keruntuhan Orde Baru ditandai oleh reformasi besar-besaran terhadap berbagai konsep, kebijakan, ataupun undang-undang. Salah satunya adalah penghapusan Dwi fungsi ABRI. Hal ini disambut baik oleh seluruh masyarakat karena selama ini Dwi Fungsi ABRI merupakan payung hukum bagi militer untuk melakukan berbagai tindakan yang dirasa masyarakat telah melampaui hak-hak dan kewajibannya. Implikasi lain yang lebih penting adalah adanya harapan dan kepercayaan baru terhadap militer dari kalangan sipil, termasuk sastrawan. Berbagai perubahan dan reposisi militer dalam negara menjanjikan citra yang lebih baik bagi diri militer sendiri. Oleh karena itu sastrawan merasa tidak lagi berkepentingan mendiskreditkan militer melalui karya-karyanya. Jika pada waktu-waktu kemudian militer diceritakan dalam novel, maka tidak menutup kemungkinan militer akan dicitrakan lebih baik daripada wacana-wacana yang sudah lebih dulu muncul.

8. Kesimpulan

Relasi antara militer, negara, dan karya sastra di Indonesia menunjukkan keterkaitan yang signifikan. Kekuasaan menjadi benang merah yang menghubungkan dan menyejajarkan ketiganya. Dikatakan sejajar ketika negara melalui militer, atau militer sebagai representasi negara, mengendalikan karya sastra agar mendukung kekuasaannya. Suara karya sastra mengalami apropriasi (pencocokan, pemantasan) sesuai dengan suara negara. Militer yang diwacanakan dalam karya sastra adalah militer negara. Sejak Indonesia memasuki era kesusastraan modern, kecenderungan demikian telah terjadi. Perlu diketahui pula, sejak Indonesia mengenal konsep negara, sejak itu pula militer menjadi penting dan kelak tidak terpisahkan dalam berbagai bidang kehidupan.

(9)

kemiliteran berkiblat pada Belanda. Musuh-musuh militer kala itu adalah kelompok-kelompok laskar rakyat yang kini biasa disebut sebagai pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Namun dalam novel-novel yang terbit pada masa penjajahan Belanda, yang disebut pejuang atau pahlawan adalah militer-militer yang berpihak ke Belanda. Artinya, novel-novel kala itu tidak mengikuti arus perjuangan revolusi. Padahal, seluruh novel ditulis oleh pengarang-pengarang pribumi.

Hal di atas mengindikasikan bahwa kesusastraan dan juga militer menjadi bagian penting bagi Belanda untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini juga menunjukkan keberhasilan kerja hegemoni Belanda terhadap pengarang-pengarang waktu itu. Sementara itu, posisi kesusastraan berdasarkan kenyataan ini berada dalam lingkungan penguasa (Belanda), bukan pada sisi rakyat yang kala itu berjuang demi kemerdekaan Indonesia.

Jepang mengulangi apa yang dilakukan Belanda terhadap kesusastraan Indonesia, bahkan terkesan lebih ‘kejam’. Pemerintahan Jepang di Indonesia adalah pemerintahan militer. Oleh karena itu, segala urusan ditangani oleh dan secara militer. Kesusastraan pada masa ini benar-benar kehilangan eksistensi dan fungsi hakikinya. Novel dan karya sastra lain dipersamakan dengan senjata yang dianggap hanya sebagai alat. Novel harus mempropagandakan kehebatan Jepang, bahwa Jepang adalah wakil Tuhan di dunia.

Dalam situasi yang keseluruhannya represif ini dapat dibayangkan bagaimana posisi karya sastra dan lebih khusus lagi bagaimana militer diceritakan di dalamnya. Semuanya tentang kehebatan Jepang, tidak ada wacana tandingan, tidak ada perlawanan.

Setelah Indonesia merdeka, posisi militer, karya sastra, dan tentunya negara mengalami perubahan—untuk tidak menyebut pembaruan (karena dalam banyak hal kebiasaan dan aturan Belanda/Jepang masih digunakan). Negara diperintah oleh orang Indonesia sendiri, demikian pula militer. Yang lebih pasti mengalami perubahan adalah karya sastranya, terutama yang berkaitan dengan wacana militer. Pejuang-pejuang yang dulu dianggap musuh, dalam novel-novel zaman ini disebut pahlawan revolusi. Mereka menjadi ‘militer-militer baru’.

Pada awal kemerdekaan ini pula, ada kekuatan baru yang mengimbangi militer dalam menjalankan pemerintahan dan otomatis dalam konstelasi kekuasaannya juga. Kekuatan itu adalah sipil. Pemahaman bahwa militer itu berbeda dengan sipil mulai menjadi pertimbangan dan landasan berbagai macam strategi pemerintahan. Akan tetapi, dalam banyak hal sipil tampak lebih mendominasi. Hal ini kemudian berimplikasi kepada wacana militer dalam novel-novel yang sebagian besar lahir dari tangan sipil pula. Banyak militer yang diceritakan humanis, tidak menyukai kekerasan, demokratis dan diplomatif. Sifat-sifat seperti itu selama ini diklaim milik sipil yang dianggap bertentangan dengan corak militer. Persaingan antara pemikiran sipil dan militer mulai tampak dalam novel, terutama berkenaan dengan penilaian tentang militer.

(10)

revolusi sebagai modal untuk menjalankan pemerintahan. Pada masa itu, hampir seluruh novel mewacanakan hal yang sama. Wacana tentang militer berarti wacana tentang militer revolusi.

Militer akhirnya memenangkan persaingan itu, dan lahirlah Orde Baru. Sipil sangat tersubordinat sepanjang rezim yang militeristik ini. Militer menguasai hampir seluruh kehidupan dan menjadi penjaga stabilitas penguasa dalam kehidupan tersebut. Dengan menggunakan ideologi Pancasila dan jargon pembangunan, Orde Baru meredam segala kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya. Tindakan-tindakan yang berbahaya akan disebut “tidak sesuai dengan ideologi Pancasila” atau “menghambat pembangunan”. Semuanya sudah terkategori dalam apa yang disebut AGHT (Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan).

Demikian pula yang terjadi dalam karya sastra. Militer yang diwacanakan dalam novel adalah militer pembela ideologi dan militer sebagai bagian dari pembangunan. Militer di dalam novel adalah militer yang melawan pemberontak (komunis misalnya), militer yang mencerdaskan warga desa, militer yang meningkatkan peradaban, dan sejenisnya. Hampir sama ketika pada zaman Jepang, militer Orde Baru adalah manusia-manusia unggul yang menguasai seluruh aspek kehidupan. Kepada wacana yang tidak sesuai, Orde Baru melakukan tindak represi besar-besaran. Sama sekali tidak ada kesempatan untuk bebas berwacana. Represi dari rezim yang bertahan lebih dari tiga dekade ini meninggalkan semacam dendam dalam dunia kesusastraan sehingga ketika kekuasaan mereka runtuh, wacana yang selama itu dibangun ikut hancur. Inilah yang terjadi pada masa reformasi dan setelahnya.

Pada era reformasi, wacana tentang militer yang sejak seratus tahun sebelumnya selalu digambarkan baik telah berubah. Meskipun kriteria tentang militer ‘baik’ itu berbeda-beda, bergantung kepada siapa pihak yang tengah berkuasa, tetapi pada intinya militer yang diwacanakan dalam novel tidak pernah jauh berbeda dengan apa yang juga diwacanakan oleh penguasa. Wacana-wacana itu seragam, mendukung satu kepentingan. Pada era reformasi, muncul gejala-gejala baru. Militer sebagian besar diceritakan (“dicitrakan”) dalam konotasi yang buruk. Jika ada militer yang baik, maka ia akan bernasib buruk. Novel bebas untuk mempersepsikan bahkan mendiskreditkan militer. Ada beberapa indikasi yang melatari munculnya gejala-gejala tersebut.

(11)

Ketiga, wacana militer yang dimunculkan dalam novel-novel era reformasi adalah wacana militer masa lalu (Orde Baru), sampai penelitian ini berakhir belum ditemukan novel yang mewacanakan militer pada era reformasi. Fakta ini merujuk kepada dua kemungkinan, pemerintah dengan kekuasaannya tetap melakukan tindak represi sehingga wacana tentang dirinya dibatasi termasuk tentang militer pada masa pemerintahannya. Seperti yang telah diungkapkan di atas, mereka tidak peduli dengan masa lalu, yang terpenting diri mereka tidak terusik.

Kemungkinan lain, tidak ada atau belum ada peristiwa-peristiwa berkaitan dengan kehidupan militer di era reformasi yang perlu diwacanakan. Artinya, besar kemungkinan militer sampai saat ini telah menjalankan tugasnya dengan baik. Jika dikaitkan dengan dikotomi sipil-militer, kedua belah pihak telah menyadari fungsi dan hak masing-masing sehingga tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.

Daftar Pustaka

Finer, SE. 1962. The man On Horseback: The Role of the Military in Politics. New York, N.Y: Frederick A. Praeger.

Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan Negara, Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan Negara. Jakarta: ELSAM

Jaringan Kerja Budaya (JKB). 1999. Menentang Peradaban, Pelarangan Buku di Indonesia. Jakarta: ELSAM

Kahin, Audrey dan George McTurnan Kahin. 1997. Subversi sebagai Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Press

Jassin, HB. 1975. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka

Muhaimin, Yahya A. 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Liddle, R. William. 2001. “Rezim Orde Baru” dalam Indonesia Beyond

Soeharto. Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Donald K. Emmerson (ed). Jakarta: Gramedia.

Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: penerbit Alumni

Novel-Novel

Halim, Karim. 1944. Palawija. Jakarta: Balai Pustaka.

Iskandar, Nur St. 1984. Hulubalang Raja (Cet. 8). Jakarta: Balai Pustaka Iskandar, Nur St. 1963. Cinta Tanah Air (Cet. 4). Jakarta: Balai Pustaka Jamal. 2005. Epigram. Jakarta: Gramedia

Juwono, Trisno. Pagar Kawat Berduri. Jakarta: Djambatan

Lubis, Mochtar. 1952. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Balai Pustaka Moerwanto. 1984. Lembah Membara. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rachman, Fadjroel.2007. Bulan Jingga dalam Kepala. Jakarta: Gramedia Rasuanto, Bur. 1978. Tuyet. Jakarta: Gramedia

Rusli, Marah. 1990. Sitti Nurbaya (cet.20). Jakarta: Balai Pustaka Salmoen, MA. 1964. MasaBergolak. Jakarta: Balai Pustaka

(12)

Toer, Pramoedya Ananta. 1952. Perburuan (cet.2). Jakarta: Balai Pustaka Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk (Trilogi, Cet.2). Jakarta:

Gramedia

Utami, Ayu. 2002. Saman (cet.20). Jakarta: KPG Utami, Ayu. 2002. Larung (cet.2). Jakarta: KPG

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia memasuki orde reformasi sejak tahun 1998 hingga era reformasi diberlakukannya undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,

fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan.. terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi

Setelah era Soeharto atau orde baru berakhirpun Masa kapitalisme belum berakhir di negara Indonesia, bahkan berlanjut dan mulai merambah pada bidang- bidang

Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang

Fase ketiga, pasca pemilu, sikap yang ditunjukan oleh pihak militer tidak seperti militer yang profesional itu di karenakan militer mengeluarkan ultimatum

Ketiga ialah era reformasi dan pasca turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan yang bergerak pada kurun waktu 1998 hingga sekarang dimana pada era ini terlihat titik balik

Soeharto pada masa pemerintahannya melibatkan militer secara langsung dalam berpolitik. Semua bentuk militer berada di bawah kekuasaannya. Militer dalam

Dengan beralihnya Era Orde Baru ke Era Reformasi dan terbentuknya MPR Era Reformasi. Maka dilakukan perubahan UUD 1945 karena dianggap tidak cocok lagi dengan tuntutan