• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Balik Siluet Lampu Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Di Balik Siluet Lampu Kota"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Rabu, 230915.11:00

Di Balik Siluet Lampu Kota

Oleh: Rio Heykhal Belvage1

Abstrak

Tulisan ini hendak menyuguhkan potret wajah sebuah kota dari engle

Antropologi. Kota yang akan diulas di dalam tulisan ini memiliki banyak julukan, dari Kota Pelajar, Kota Seniman, Kota Budaya, Kota Pariwisata, Kota Istimewa hingga Kota Berhati Nyaman, yang tidak lain ialah Yogyakarta. Pembahasan tentang kota dan komunitas yang dipilih untuk tema kali ini diawali dengan menyajikan gambaran mengenai perubahan ruang-ruang kota yang disponsori oleh prinsip ekonomi-kapitalisme, yang kemudian dilanjutkan dengan menampilkan bagaimana reaksi kaum muda kota ketika mengalami alih-fungsi ruang di sekelilingnya. Selain itu, pembahasan ini juga akan menunjukkan absurditas yang kerapkali muncul dalam pelaksanaan program pembangunan. Tujuannya, mengingatkan tentang betapa pentingnya para pemangku kebijakan berbagi ruang agensi dengan kaum muda, karena dari sanalah benih masa depan itu tumbuh. Kata kunci: Yogyakarta, kota, kaum muda, perubahan.

Yogya bukan hanya tentang keraton, meski kisahnya selalu menarik untuk disimak. Bila membuka album-album lama misalnya, kota yang sekaligus Daerah Istimewa ini pernah menorehkan sejarah menarik puluhan tahun silam. Seperti dinyatakan Emha Ainun Nadjib (1983) dalam kolomnya di koran harian ketika itu: Yogya antara tahun 1969-1975 dikenal sebagai kotanya sastrawan dengan PSK - nya (Persada Studi Klub). Di tahun-tahun tersebut tidak kurang dari 1500 penulis dan para seniman berbakat tergabung ke dalam perkumpulan yang berpusat di Malioboro. Inilah puncak renaisans kota ini, yang sepertinya turut juga mengilhami terciptanya tembang “Yogyakarta” oleh band Kla Project di awal 90’an. Akan tetapi kini pesatnya perubahan yang dipicu oleh iklim kapitalisme membuat Yogya bukan lagi kota yang dialami Emha. Bahkan seorang

1Penulis adalah peneliti lepas alumni Pascasarjana Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.

(2)

seniman dalam pentasnya di Taman Budaya (TBY) akhir Agustus 2015 lalu mewanti-wantilewat lagunya bahwa Yogyakarta, “Kota yang Hampir Berhenti Nyaman”.

Tulisan ini merupakan refleksi yang dilatarbelakangi oleh disiplin ilmu yang saya tekuni. Berangkat dari hasil pengamatan dan pengalaman pribadi selama delapan tahun tinggal di Yogyakarta, tentulah bukan waktu yang singkat untuk mengalami perubahan yang terjadi di kota ini dari hari ke hari. Sesuai judul yang tertera di atas, pembahasan pada bagian awal dalam tulisan ini akan bermula dari upaya membongkar citra kota yang selama ini dikenal sebagai salah satu daerah yang istimewa di Indonesia. Selanjutnya pembahasan akan diteruskan dengan mengulas agensi kaum muda kota dalam merespon perubahan yang berlangsung di lingkup ruang kota. Dalam pengamatan saya selama ini, perkembangan Yogya yang terbilang pesat dalam beberapa dekade terakhir ini ternyata memperoleh tanggapan kreatif oleh beberapa kaum muda kota. Kreatifitas ini terwujud ke dalam bentuk aksi-aksi sosial yang menggugah kesadaran sebagai manusia kota. Dari hal tersebut, tulisan ini ingin menunjukkan justru di sinilah letak keistimewaan dari sebuah kota, di mana manusia yang tinggal di dalamnya mendapat ruang untuk mengekspresikan gagasannya. Saya berargumen, kota yang sehat bukan saja kota yang memenuhi syarat dengan disediakannya taman-taman kota yang riuh, tetapi sebuah kota harus ditatap sebagai ruang sosial yang diperuntukkan bagi manusia untuk mereka saling berinteraksi, bertukar gagasan, mendialektikakan pikiran, sehingga manusia kota dapat memanusiakan manusia, dan yang lebih penting lagi, kota bukan hanya menjadi garasi bagi mesin-mesin impor atau rimbunan beton yang bersemayam memadatinya.

A. Pembahasan

(3)

kepada masyarakat dewasa ini. Sebagai ruang sosial keberadaan kota sekaligus menandai fase liminal yang dihuni oleh masyarakat yang terus berubah, dari masyarakat tradisional yang ditopang oleh nilai-nilai lokal tergantikan dengan tipologi masyarakat industri, yakni para pekerja keras yang terserap oleh daya sakti statistik ekonomi yang ditawarkan dalam gaya hidup modern abad ini. Dengan demikian kehadiran perkotaan tidak terlepas dari gesekan-gesekan spasial dan kultural. Dalam sejarahnya, selalu saja ada yang ditelikung dan didominasi, digusur dan dikonversi demi terbentuknya sistem perkotaan yang seragam (Izzah, 2006: 3). Kota bukanlah ruang kosong, yang tanpa relasi dan tanpa makna. Perbincangan kota sekaligus adalah perbincangan tentang apa yang bukan kota. Karena kota diperbincangkan berdasarkan prinsip pembedaan atau perbedaan. Ada perbedaan kota/desa, kota/kota, subkota/subkota (Amir Piliang, 2010: 227).

Di Indonesia sendiri, memandang sebuah kota tidak dapat dilepaskan dari tampilan pedesaan, karena perkembangan desa telah layaknya perkembangan kota yang tertunda. Anatomi kota hari-hari ini akan lebih tepat jika diandaikan dengan organ kaki kiri manusia yang menjamah lumpur di sawah, sementara kaki kanan dibungkus sepatu mengkilat di eskalator-eskalator mall mewah. Begitulah tahap pembangunan yang masih dan sedang berlangsung di setiap daerah di Indonesia kini - tidak terkecuali kota - yang tidak bisa tidak, selalu menyisakan ironi tersendiri di balik pembangunannya. Demi memuluskan proyek modernisasi di segala lini, setiap kota tentu membutuhkan sokongan biaya dalam jumlah besar di mana ekonomi kapitalitasme menjadi bankir utamanya. Hari-hari ini, pembangunan semacam itu tidak saja mengenai tipe kota-kota satelit, kota metropolit, melainkan juga kota kecil di daerah.

Kondisi semacam itu menuntut manusia untuk saling berlomba dengan ‘kemajuan’, supaya dapat merias wajah kota yang mereka huni. Seperti dinyatakan Amir Piliang (2010) pada salah satu tulisannya, kini kita berhadapan dengan wajah manusia kota yang cenderung sama di kota manapun ia hidup dalam skala global2. Sejalan dengan logika ekonomi skala global, upaya-upaya semacam ini ditujukan semata-mata demi satu tujuan: meningkatkan pendapatan ekonomi, baik di daerah maupun dalam skala nasional. Logika

2Untuk uraian lengkapnya, lihat, Yasraf Amir Piliang, 2010, “Menuju Kota Digital: Potret Kota,

(4)

pembangunan yang selama ini cenderung lebih banyak menjatuhkan perhatiannya pada sektor ekonomi semata inilah yang akan menjadi perhatian pada ulasan berikutnya.

B. Yogya Hari-hari Ini

Wajah manusia kota merupakan cermin dari wajah kotanya, dan begitu juga sebaliknya. Manusia membangun dan mengubah kota, dan bersama perubahan itu berubah pula wajah manusianya (Amir Piliang, 2010: 232). Di negeri ini, sudah menjadi rahasia umum bila keberadaan sebuah kota kerapkali bertabur warna-warni bedak impor,

eyeshadow dan perona bibir berupa slogan dan papan iklan berbahasa Inggris yang dibayangkan dapat menjadi pelet untuk menarik minat pengembang supaya datang membawa modal dan menancapkan investasinya di berbagai sektor pembangunan jangka panjang. Dengan begitulah wajah kota terbentuk, dan tim ahli dari para penguasa di tiap daerah akan membayangkan perekonomian menjadi bergairah sehingga mendatangkan

surplus aliaspemasukan daerah yang cukup untuk membangun istana pasir.

Di tengah kecepatan modernisasi itulah para pemangku kebijakan kerap kurang tanggap memperhatikan dampak sosio-kultural yang diakibatkan dari pembangunan, karena pembangunan seringkali diterjemahkan sebagai penghancuran dalam bentuk yang lain. Seperti dinyatakan Rocky Gerung dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul

Politik dan Akronim, kondisi dewasa ini kerapkali berupa “Kenyataan buruk dapat disembunyikan dalam ungkapan yang indah, seperti Tegar Beriman (Tertib, Segar, Bersih, Indah dan Nyaman)3, ambivalensi ruang sosial yang penuh akronim dengan berbagai banner dan poster yang hari ini justru tampil menghasilkan sampah kota.

Di Yogyakarta sendiri, seperti dinyatakan Twikromo (1999:60) dalam tulisannya, berbagai macam bentuk budaya “Jawa” yang disuguhkan oleh Yogyakarta menarik banyak wisatawan, sehingga hal tersebut dapat dimanfaatkan, dijual, dieksploitasi khususnya untuk mendukung kepentingan para elit yang berkuasa. Kenyataan dari situasi semacam ini diperkuat oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menjadikan Yogyakarta sebagai obyek kajiannya. Dalam buku Menjadi Jogja (2006:61) misalnya,

(5)

dinyatakan bahwa hal inilah yang menjadi sumber utama pendapatan penduduk Yogya. Kecenderungan komersialisasi terutama di bidang pendidikan baik yang dilakukan oleh perguruan tinggi swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BHMN), telah menggeser segmen ekonomi para penuntut ilmu di Yogyakarta ke level yang lebih atas lagi. Daya beli anak-anak muda ini memacu pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan yang kian mendominasi ruang kota4. Pendapat yang hampir serupa juga pernah diajukan oleh Kadir (2006) dalam penelitiannya ketika mengamati tubuh kaum urban dalam kosmologi kapitalisme di Yogyakarta.

“Bahwa pada masyarakat kota dapat terlihat pada setiap bangunan kota, khususnya yang berada di pinggir jalan utama, di mana nyaris atau bahkan tak ada yang hanya berfungsi sebagai rumah semata. Namun difungsikan sebagai bangunan yang mempunyai profitabilitas tinggi. Setiap bangunan tersebut selalu menghadap ke badan jalan utama sebagai usaha untuk pengumpulan modal dan laba dengan cara menggaet ribuan calon pembeli dari para pendatang dan tamu lewat yang diharapkan mampir setiap harinya”.

Di balik siluet lampu kota semacam itulah, meski tak terdengar santer gaungnya, namun selalu ada rutinitas kegiatan kreatif yang dapat merefleksikan perkembangan kota di Yogyakarta. Salah satu kreatifitas itu termanifestasikan dalam sekumpulan kaum muda yang menjuluki kegiatannya sebagai 'Kota untuk Manusia' dengan pentas seni bertajuk “Trotoar”. Sebuah judul yang membuat kita mungkin akan bertanya-tanya, “Kota untuk Manusia? Memangnya selama ini kota bukan untuk manusia?”.

4Untuk uraian lebih jelasnya, lihat buku “Menjadi Jogja: Menghayati Jatidiri dan Transformasi

(6)

Keterangan Gambar: Grafiti Kota Untuk Manusia. (Sumber: Sosial Media).

Berangkat dari satu kegiatan yang diselenggarakan oleh sekumpulan kaum muda Yogyakarta tersebut, tema yang saya angkat di dalam tulisan ini memperoleh konteks kongkretnya. Ide awal kegiatan tersebut berangkat dari perkara sederhana. Bermula dari kegelisahan anak muda yang prihatin terhadap nasib trotoar di Yogyakarta yang dari waktu ke waktu semakin kehilangan fungsinya sebagai tempat bagi para pejalan kaki. Kota seolah-olah bukan lagi diperuntukkan bagi manusia, melainkan bagi keruwetan lalu-lintas, kemacetan mesin kendaraan di lampu merah, tembok-tembok tinggi megah menjulang dan para pedagang kaki lima yang acapkali berdiri di lajur utama para pejalan kaki. Seolah kota diciptakan dari uang, uang dan untuk uang semata. Kota disulap menjadi tempat ideal untuk memusatkan perputaran ekonomi sekaligus memperbesar sirkulasi modal hingga membuat keberadaan manusia sendiri luput dari perhatian. Sebagaimana diikrarkan oleh “Kota untuk Manusia”;

“Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, kota budaya dan daerah tujuan pariwisata. Berbagai kesenian tradisi dan modern, candi-candi dan situs-situs bersejarah yang ada di Yogyakarta merupakan aset yang sangat berharga bagi kotanya. Demikian pula Yogyakarta dikenal sebagai kota seni dimana lahir banyak seniman dan karya karya besarnya, serta sejumlah pemikir, penggagas baik dari kalangan akademis maupun aktivis yang telah menjejakkan karya besarnya pula.

(7)

Yogyakarta selalu dinanti masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Di kota ini pula hidup dan berkembang sejumlah komunitas seni yang aktif dan bergagasan kuat, setia melakukan eksplorasi dan kegiatan artistiknya sampai ke taraf internasional. Jumlah pelajar, mahasiswa, yang menuntut ilmu di kota ini pula telah memberi predikat intelektual bagi kota ini.

Namun sebagai kota budaya, kini Yogyakarta mulai mengalami pergeseran. Mengalami kota Yogyakarta saat ini hampir tidak bisa dipisahkan dari pengalaman akan kebisingan, kemacetan, sampah visual, serta kekurangan atau bahkan tak tersedianya fasilitas penunjang publik yang memadahi, seperti trotoar, ruang publik, dan aksesibilitas bagi penyandang cacat. Fakta tersebut dalam kenyataannya merupakan sebuah tanda dari makin hilangnya kemanusian di kota ini.

Problem-problem tersebut makin meningkat, berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor, pembangunan dan komersialisasi ruang kota, serta berimbas akhirnya pada penurunan kesadaran publik akan kota dan kemanusiaannya. Isu-isu kota ini kini mulai menjadi perhatian dari sejumlah masyarakat dan komunitas yang hidup di Yogyakarta. Hal ini perlu disuarakan dan disolusikan, dengan langkah yang paling mendasar yaitu pembentukan kesadaran kolektif tentang pentingnya kemanusiaan dalam berkota, perlunya kota untuk manusia. Dengan demikian, harapannya adalah sebagai individu kita bisa mampu membangun kemanusiaan di kota dalam kapasitas kita, dan mampu menginspirasi pengambil kebijakan untuk menomorsatukan kemanusiaan dalam menentukan keputusan, dalam konteks ini adalah kota.”5

Melalui berbagai repertoar dan juga pamflet-pamflet yang disebar lewat jejaring sosial dunia maya, acara ‘Kota untuk Manusia’ mendapat sambutan hangat di kalangan kaum muda Yogyakarta yang umumnya berlatar-belakang mahasiswa. Acara yang sarat kreatifitas dan menyita perhatian kaum muda itu berlangsung dengan menampilkan pertunjukan Pantomim Trotoar yang diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 30 April 2013 lalu.

Ide ini tentu tidak saja menarik ketika acara dilangsungkan, melainkan keberlanjutan dari proses eksekusi ide itu sendiri. Sebagian besar kaum muda Yogyakarta terbilang merupakan pendatang dari berbagai daerah di seluruh penjuru Indonesia. Ketika acara yang diselenggarakan itu mampu menarik animo kaum muda, maka dengan sendirinya hal itu akan membuat kaum muda menjadi lebih awas dengan kondisi kota, atau setidaknya mereka menjadi tahu akan situasi kota yang ditinggalinya. Lebih-lebih lagi, bila perhatian akan kondisi kota itu dapat menginspirasi mereka dan terbawa idenya

5Diambil dari laman grup “Kota untuk Manusia” di jejaring sosial media

(8)

sampai ketika mereka pulang ke daerahnya masing-masing. Tentu ini bukan angan-angan belaka jika melihat perubahan tren gaya hidup dari waktu ke waktu yang selalu bermula dari ‘pusat’ lalu merembet ke ‘pinggiran’, dari kota yang riuh menuju kota-kota pinggiran dan bahkan merembes hingga wilayah pedesaan.

Gagasan ‘Kota untuk Manusia’ mulanya berangkat dari keprihatian dan kegelisahan kaum muda yang peduli pada kondisi kotanya. Hal inilah yang kemudian diekspresikan oleh kalangan terdidik (yang pada umumnya berlatarbelakang mahasiswa) melalui protes sosial yang dikemas ke dalam wadah kreatif sehingga para pengunjung yang menonton pertunjukan pun bisa turut menikmati protes tersebut tanpa perlu khawatir terlibat dalam kerusuhan seperti aksi-aksi protes yang kerap diliput oleh media massa hari ini.

(9)

C. Demokratisasi Ruang Publik

Jurgen Habermas (2007:2) menjelaskan bahwa ruang publik merupakan ruang yang dimiliki dan dapat digunakan oleh masyarakat umum. Segala bentuk yang diikuti dengan publik merujuk pada sesuatu yang bersifat umum atau terbuka untuk siapa saja6. Tidak terkecuali tempat-tempat umum yaknispaceyang biasa digunakan sebagai ruang bertemu,

nongkrong, bertukar pikiran, menyampaikan kegelisahan, hingga ruang-ruang berekspresi seperti protes sosial dalam beragam bentuknya. Secara konseptual, keberadaan ruang publik semacam ini berkeinginan untuk mendorong partisipasi seluruh warga untuk mengubah praktik sosio-politis mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif (Budi Hardiman, 2010:1).

Di Yogyakarta sendiri, berbagai ruang publik yang berfungsi sebagai tempat umum seperti itu dapat muncul dalam beragam bentuk, dari angkringan, warung kopi, kafe-kafe, klub malam, grafiti yang menghiasi sudut dinding kota, perang jargon antar kelompok sosial tertentu dengan menggunakan spanduk atau poster berukuran besar yang dipasang di tepi-tepi jalan, demonstrasi rutin di Titik Nol, hingga protes sosial dalam bentuknya yang kreatif, seperti acara yang digagas oleh 'Kota untuk Manusia' di atas.

Keterangan Gambar: Kumpulan berita koran tentang Yogyakarta. (Sumber: Sosial Media, diedit oleh Rio Heykhal Belvage).

6Untuk lebih jelasnya, lihat, F.Budi Hardiman, 2010, pada bagian Pendahuluan dalam “Ruang

(10)

Beragam bentuk protes semacam itu tidaklah muncul dengan sendirinya. Sehingga untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentangnya, berbagai aksi tersebut perlu diletakkan dalam konteks perubahan sosiologi ruang yang berlangsung di Yogyakarta. Bila menengok pertumbuhan ekonomi Yogyakarta yang begitu pesat pada satu dasawarsa terakhir, aksi-aksi semacam itu merupakan respon alami yang dilakukan oleh manusia-manusia kota ketika kecepatan perubahan dalam ruang sosial tidak diimbangi oleh perkembangan nilai-nilai kultural manusia yang tinggal di dalamnya. Dalam perspektif tersebut, Karl Polanyi (1957) memperlihatkan adanya pertemuan yang menghasilkan dua gelombang (double-movement): perluasan ekonomi global dan perlawanannya dari lingkungan hidup setempat7. Akibat dari peristiwa semacam ini, hampir selalu ada protes yang muncul sebagai reaksi ketidaksepakatan dari pembangunan yang sedang berjalan. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari pembangunan empat mall baru di Kota Yogyakarta yang pada tahun 2015 ini dua di antaranya telah selesai tahap pembangunan dan sudah mulai beroperasi, yang tentunya dengan sendirinya akan menuntut kenaikan daya beli manusia kota. Pembangunan apartemen oleh pengembang yang mulai marak dilakukan di sekitar tempat hunian warga yang seringkali menyedot debit air dalam volume besar sehingga hal itu berdampak pada sumur warga yang mengering dan memunculkan aksi-aksi protes dari spanduk sampai melalui media massa. Sementara di jalur-jalur utama jalanan Yogya, seperti di daerah Jalan Solo, di pertigaan UIN Sunan Kalijaga di depan Museum Affandi, di Jalan Solo daerah Mrican, sepanjang Jalan Kaliurang kilometer 5, atau juga di depan Universitas Negeri Yogyakarta, kemacetan sudah menjadi rutinitas setiap pagi dan sore, suatu pemandangan yang jarang ditemukan pada satu dasawarsa lalu ketika saya tiba di kota ini. Dan inilah yang sering luput dari media. Konstruksi citra sebuah kota dari media mainstream melalui promosi pariwisata yang menuntut para aktornya untuk mengeksplorasi siluet eksotisme Yogya membuat sisi lain wajah kota ini seringkali luput dari media.

Seorang Guru Besar dari Ilmu Geografi UGM yang ahli perkotaan (2006) dalam tulisannya “Problematika Kehidupan Kota dan Strategi Menuju Suistanable City”

7 Dikutip dari Karl Polanyi, 1957, dalam Budi Subanar, “Manunggaling Kawula Gusti dalam

(11)

mencoba merumuskan secara lebih sistematis tentang permasalahan yang umumnya dilanda oleh kota-kota di Indonesia dewasa ini. Menurutnya, pemetaan permasalahan kota yang mendesak untuk segera diselesaikan di antaranya adalah; (1). permasalahan kemiskinan kota, (2). permasalahan perumahan, (3). deteriorisasi lingkungan dan yang terakhir (4). masalah kepadatan penduduk8. Namun perlu juga dikritisi lebih lanjut bahwa rumusan tersebut melihat kota secara elitis karena seolah perubahan hanya terjadi karena ditangani oleh pemangku kebijakan tanpa menyisakan tempat bagi partisipasi warga -terutama dalam hal ini, kaum muda urban - untuk turut menentukan sendiri perubahan yang dikehendakinya. Sehingga dengan itu dibutuhkan juga perhatian lebih khususnya pada berbagai infrastruktur yang mampu menstimulus munculnya ruang-ruang publik baru, karena di sanalah masyarakat dari segala lapisan bertemu sehingga memungkinkan terjalinnya interaksi sosial - yang mana hal itu seringkali menghasilkan kreatifitas tak terduga di benak para pemangku kebijakan, seperti yang telah digagas oleh sekumpulan kaum muda yang menjuluki kegiatannya sebagai “Kota Untuk Manusia”. Mereka inilah -sebagaimana dinyatakan Budi Hardiman (2010: 10) yang justru mampu mereproduksi ruang publik dan bersamaan dengan itu ruang publik itu sendiri menjadi arena belajar hak-hak dari para anggota masyarakat. Dengan itu demokrasi dari ruang publik seperti dibayangkan oleh Habermas bermula.

D. Penutup

Setelah melewati uraian penjelasan yang semoga tidak terasa membosankan, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan singkat. Bagian ini hanya hendak menekankan betapa pentingnya mengembalikan peran kaum muda sebagai agen perubahan (Agent of Change), karena seturut pengalaman kolektif masa lalu, politik bahasa dari pergantian penyebutan “pemuda” menjadi “anak muda” di masa awal berdirinya Orde Baru - seperti dinyatakan Shiraishi (2001) dalam penelitiannya, telah melenyapkan partisipasi kaum muda dari hiruk-pikuk politik di negeri ini. Padahal setiap perubahan dalam peradaban di sistem

8 Untuk lebih lengkapnya, lihat, Hadi Sabari Yunus, 2006. “Problematika Kehidupan Kota dan

(12)

sosial mana pun selalu diawali oleh sepak-terjang kaum muda yang berani menatap ke depan dan mendorong transformasi sosial ke arah terjauhnya. Oleh karena itu, untuk studi lebih lanjut tentang Suistanable City, pertama-tama dibutuhkan kritik yang menyeluruh, terutama terhadap gaya hidup kaum urban saat ini. Kritik ini bertujuan untuk merevolusi pemahaman tentang kota yang selama ini kerap diterjemahkan oleh berbagai pihak secara keliru karena hanya bersandar pada sektor ekonomi semata. Melihat kondisi kekinian itu, kota hari ini tidak akan melangkah kemana-mana bila kaum muda sebagai agen perubahan tenggelam dalam fantasi pasar yang ditawarkan oleh iklim kapitalisme. Sebaliknya, kota hanya akan menjadi tempat transaksional bagi membiaknya budaya konsumen. Mendesaknya kebutuhan akan kritik ini tentunya didasarkan pada penerapan pembangunan yang selalu ditopang oleh regenerasi kaum muda dari waktu ke waktu. Sebagaimana kita tahu, situasi yang sedang dihadapi hari ini bukanlah apel yang jatuh dari langit, melainkan ditentukan dan diputuskan juga oleh kaum muda, yakni golongan kaum muda yang berasal dari generasi 70-80’a. Sehingga budaya konsumerisme yang membuai saat ini, tentunya akan berbuah 20 atau 30 tahun mendatang.

E. Sumber Bacaan

- Ainun Nadjib, Emha. 1983. “Ustadz Umbu”, dalam “Slilit Sang Kiai” (Cetakan Ketiga), 1991. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

- Amir Piliang, Yasraf. 2010. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.(Edisi Ketiga). Bandung: Matahari.

- Budi Hardiman, F, dkk. 2010. “Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.

- Budi Subanar, G. 2006. “Manunggaling Kawula Gusti dalam Transisi: Potret Dunia Jawa dari Yogyakarta”, dalam “Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno”. Yogyakarta: Kanisius.

(13)

- Habermas, Jurgen. 2007. “Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis”. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

- Izzah, Atiyatul. 2006. “Peta Kota dalam Tiga Studi”, dalam Jurnal Balairung Mahasiswa Gadjah Mada Edisi 40, No.II, 2006, berjudul “Menera Kota Menakar Peradaban: Narasi atas Modernitas dan Pergulatan Hasrat Manusia”, pp.2-5.

- Kadir, Abdul Khatib. 2006. “Geliat Dugem sebagai Ritual Baru pada Tubuh Kaum Urban: Studi Kasus Para Clubbers di hugo’s Cafe”, dalam Jurnal Balairung Mahasiswa Gadjah Mada Edisi 40, No.II, 2006, berjudul “Menera Kota Menakar Peradaban: Narasi atas Modernitas dan Pergulatan Hasrat Manusia”, pp.55-65.

- Shiraishi, Saya Sasaki. 2001. “Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

- Twikromo, Y.Argo. 1999. “Pemulung Jalanan: Konstruksi Marginalitas dan Perjuangan Hidup dalam Bayang-bayang Budaya Dominan”. Yogyakarta: Media Pressindo.

- Yunus, Hadi Sabari. 2006. “Problematika Kehidupan Kota dan Strategi Menuju Suistanable City”, dalam Jurnal Balairung Mahasiswa Gadjah Mada Edisi 40, No.II, 2006, berjudul “Menera Kota Menakar Peradaban: Narasi atas Modernitas dan Pergulatan Hasrat Manusia”, pp.6-19.

- Rocky Gerung. “Politik dan Akronim” dalam Majalah Tempo, 29 September 2014.

Sumber Laman

- Grup “Kota untuk Manusia” di jejaring sosial media

https://www.facebook.com/kotauntukmanusia/info?tab=page_info, pada 26 September 2015, pukul 13:33.

Sumber Gambar

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari perancangan ini adalah konsep buku panduan dasar konsep bangunan hijau yang mampu membantu masyarakat untuk memahami konsep dasar bangunan hijau tanpa

Motor yang di asut dalam kasus ini adalah motor PM-002 yang merupakan motor dengan tegangan tinggi mencapai 6.6 kV yang berada pada line di SS 16 A jaringan distribusi

Delirium yang tidak diinduksi oleh alcohol atau zat psikoaktif lainnya (3A).. Intoksikasi akut zat adiktif (3B)

KKN ini bukan hanya kewajiban semata melainkan telah menjadi sejarah hidup kami yang berbekas dalam ingatan kami hingga akhir hayat, disini kami banyak belajar

4) Pengetikan paragraf baru dimulai dengan awal kalimat yang menjorok masuk ke dalam dengan lima pukulan tik dari tepi kiri atau lima huruf (1tab) bila dengan komputer.

Apabila konfl ik di wilayah Laut Tiongkok Selatan tidak ditangani dengan baik akan berdampak terhadap stabilitas keamanan Indonesia dan kawasan, mengingat pintu masuk dan keluar

server di dalam jaringan internet dengan cara menghabiskan sumber (resource) yang dimiliki oleh komputer tersebut sampai komputer tersebut tidak dapat menjalankan

RIP ini ditujukan bagi dosen di lingkungan Departemen Ilmu Gizi yang akan menyusun usulan penelitian, sehingga hasil penelitian yang diperoleh berkontribusi